Kamis, 14 Mei 2015

Syarat-Syarat Menjadi Perowi



KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu’alaikum.wr.wb.
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kami rahmat dan kemampuan yang memadai, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini . Shalawat serta salam, kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw yang telah memperjuangkan agama islam, sehingga kita masih dapat berada pada jalan islam hingga saat ini.
            Hadits bukanlah hal yang mudah untuk dipelajari, namun hal tersebut bukanlah alasan yang dapat menghalangi kita mempelajari hadits. Oleh karna itu, penulis menyajikan makalah yang membahas tentang hadits, terkhususnya pada masalah syarat-syarat periwayat hadits dan proses transformasinya. Penulis sangat berharap, tulisan ini dapat membantu pembaca untuk memahami hadits. Dengan do’a penuh cinta, penulis mepersembahkan makalah ini kepada pembaca, semoga saja dapat menjadi pedoman.
Wassalamu’alaikum.wr.wb.




Bandar Lampung, 7 mei 2014



Penulis 


DAFTAR ISI

Halaman
COVER ................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR............................................................................................ 2
DAFTAR ISI............................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 4
A.    Latar Belakang............................................................................. ........ 4
B.     Rumusan Masalah........................................................................ ........ 4
C.    Tujuan Penulisan.......................................................................... ........ 4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... ........ 5
A.    Syarat-Syarat Seorang Perawi................................................... ........ 5
B.     Tahammul Al ‘Ada Dan Lambangnya..................................... ........ 8
C.    Istilah-Istilah Dalam Periwayatan Hadis................................... ........ 18
BAB III PENUTUP....................................................................................... ........ 20
A.    Kesimpulan................................................................................... ........ 20
B.     Saran.............................................................................................. ........ 20
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                21






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Dalam menyampaikan suatu hadits,kebanyakan orang tidak peduli terhadap yang meriwayatkannya. Yang mereka lihat hanyalah isinya.sedangkan diketahui,bahwa untuk mencapai isi dari suatu hadits,maka dibutuhkan adanya perawi. Adanya perawi,belum bisa menjamin bahwa hadits tersebut kualitasnya shahih atau tidak. Maka dibutuhkan pengetahuan yang mengantarkan kita mengetahui kondisi perawi tersebut. Maka,diperlukan bagi kita mengetahui syarat-syarat perawi yang tsiqah. Tidaklah menyampaikan hadits tersebut kepada khalayak,tanpa mengetahui kondisi hadits tersebut.
            Berbicara tentang hadits, maka tidak ada salahnya kita memandang kebelakang. Melihat keadaan dan cara seorang murid mengambil hadits dari seorang guru.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja syarat-syarat menjadi seorang perawi ?
2.       Apa yang dimaksud dengan tahammul wa ‘ada hadits dan lambang-lambang yang digunakan ?
3.      Apa saja istilah-istilah yang digunakan dalam periwayatan hadist ?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini diharapkan :
1.      Mengetahui apa saja syarat-syarat menjadi seorang perawi ?
2.       Mengetahui apa yang dimaksud dengan tahammul wa ‘ada hadits dan lambang-lambang yang digunakan ?
3.      Mengetahui apa saja istilah-istilah yang digunakan dalam periwayatan hadist ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Syarat-Syarat Menjadi Perowi

            Raawi menurut bahasa berasal dari kata riwaayah yang merupakan   bentuk mashdar dari kata kerja rawaa-yarwii,yang berarti”memindahkan atau meriwayatkan”. Bentuk plural dari kata raawii adalah ruwaat. Jadi raawii adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.
             Secara defenisi,kata riwaayah adalah kegiatan penerimaan atau penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian dari periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain,maka dia tidak dapat disebut sebagai seorang yang telah melakukan periwayatn hadits.[1] Demikian pula halnya dengan orang menyampaikan hadits yang diterimanya kepada orang lain,tetapi ketika ia menyampaikan hadits itu, ia tidak menyebutkan rangkaian para perawinya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits.
             Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dapat atau tidak diterimanya suatu hadits ialah kualitas raawii. Tinggi rendahnya sifat adil dan dabith para perawi menyebabkan kuat lemahnya martabat suatu hadits. Perbedaan cara para perawi menerim hadits  dari guru mereka masing-masing mengakibatkan munculnnya perbedaan lafadz-lafadz yang dipakai dalam periwayatan hadits. Karna perbedaan lafadz yang dipakai dalam pennyampaian hadits menyebabkan perbedaan nilai (kualitas) dari suatu hadits.
Adapun syarat-syarat untuk menjadi perawi yaitu :
1.      Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadist, seorang perowi harus muslim. Menurut ijma’ periwayatan orang kafir dianggap tidak sah. Terhadap peowi yang seorang fasikh saja kita disuruh ber-tawaqub, maka terlebih lagi terhadap perowi yang kafir. Dalam kaitannya dengan masalah ini perhatikan firmn Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 6 sbb :


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِين


Artinya : “hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasikh membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu”(QS AL-Hujurat :6)


2.      Baligh
Yang dimaksud dengan baligh adalah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist walaupun penerimaannya itu sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang artinya :
 “hilanglah kewajiban syariat islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun, dan anak-anak sampai ia mimpi “


3.      ‘adalah
Yang dimaksud dengan adalah yaitu suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang sehingga ia tetap takwa, menjaga kepribadian dan percaya diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mudah yang tegolong kurang baik, dan selalu menjaga kepribadiannya.

4.      Dhabit
Dhabit mempunyai dua pengertian yaitu :
a.       Dabit dalam arti kuat hafalan serta daya ingatnya dan bukan pelupa.
b.      Dabit dalam arti dapat memelihara kitab hadist dari gurunya sebaik-baiknya sehingga tidak mungkin ada perubahan.

              Cara untuk mengetahui ke-dhabitan-an perawi adalah dengan jalan I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberi keyakinan.

5.      Tidak syadz, artinya hadits yang diriwayatkan tidak ganjil atau berlawanan dengan hadits yang lebih kuat serta  ayat-ayat Al-Qur’an.





             
B.     Tahhamul wal Ada’ dan Lambang- lambangnya
1.      Pengertian at-Tahammul wa al-Ada’ al-Hadist (Transformasi Kitab Hadis)
a. At-Tahammul al-Hadist.
               Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu . Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi, seperti diungkapkan oleh al Karmani 2 pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.[2]

b. Al-ada’ al-Hadist
Al-Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
secara terminologis Al-Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
Ø  Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi).
Ø  integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatur Rawi).
Ø  Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Ø  Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.

2. Syarat-syarat Tahammulul-Hadits.

        Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
Ø  Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
Ø   Berakal sempurna.
Ø   Tamyis.
            Ulama’ hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadistpun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
            Beberapa ulama’ hadist masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist, mayoritas ulama’ hadist menganggap mereka boleh menerima riwayat hadits, sementara yang lain berpendapat bahwa hadits yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dll, tanpa membedakan mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.[3]
            Hal senada juga diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadits yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah factor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baliqh.

3. Syarat-syarat Al-Ada’ul-Hadits.
         Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus Mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:
Ø  Islam
Ø  Baligh
Ø  Berakal
Ø  Takwa
4. Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya terhadap Persambungan Sanad.

Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu :

a. Al-Sima’ (mendengar)
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima’ mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut :
سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى
قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dhamir mutakallim diganti dengan dhamir jamak (نا).
        Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits yang didengar langsung Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafadh diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.

b. Al-Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).

        Al-Qira’ah disebut juga al-‘Ardlu memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
         Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel.Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.


c. Al-Ijazah
        Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau orang – orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti :
(aku mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku)
        Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan al-ijazah sebagai cara untuk meriwayatkan hadis. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan menggunakan ijazah dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan. Bahkan, ada sebagaian ulama yang mengingkari cara al-ijazah ini.Adapun ulama yang memperbolehkan cara al-ijazah ini menetapkan syarat bahwa sang guru harus benar – benar mengerti tentang hadis atau kita yang diijazahkan, dan naskah muridnya harus menyamai dengan yang asli, sehingga seolah – olah naskah tersebut adalah aslinya selain itu, guru yang member ijazah itu benar – benar ahli ilmu.
        Al-Qadi Iyad membagi al-ijazah ini menjadi enam macam, sedangkan Ibnu ash-shalah menambahkan satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Ketujuh macam al-ijazah tersebut adalah sebagai berikut :
1)      seorang guru mengijazahkan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu sebuah kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.
2)      bentuk ujazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti “Aku ijazahakan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan.”cara seperti ini menurut jumhur juga tergolong yang diperbolehkan.
3)      bentuk al-ijazah secara umum, seperti ungkapan “aku ijazahakan kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang yang ada(hadir).”
4)      bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid.
5)      bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.
6)      bentuk al-ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “aku ijazahakan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu yang akan kudengarkan.”cara seperti ini dianggap batal.
7)      bentuk al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru” Aku ijazahkan kepadamu ijazahku.” Bentuk ini diperbolehkan.


d.      Al-Munawalah
                  Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam :
Ø  Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
Ø  Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
Ø  Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.

e. Al-Mukatabah (menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah.
Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.

f. Al-I’lam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
Al-I’lam as-Syaikh adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.

g. Al-Washiyat.
Al-Washiyat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu washiyat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara washiyat. Washiyat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Sekalipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang menerima hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan washiyat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.

h. Al-Wijadah
           Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Al-Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
          
           Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:

1) Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:

سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني 
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني

2) Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata:

قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه

3) Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah :

أجازنى فلان, أنبأنى

4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah:
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة

5) Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:

كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة

6) Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:

أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام

7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:

أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية

8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah ( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:

وجدت بخط فلان, قال فلان



C.    Istilah-istilah Berkenaan dengan Periwayatan Hadist
            Dalam hadis terkadang mempunyai sanad yang banyak, dan untuk menghemat penulisannya biasanya tidak ditulis semua nama-nama perawinya, namun dengan istilah-istilah. Sering kita jumpai istilah-istilah yang terdapat dalam buku-buku hadits bahwa sebuah hadits diriwayatkan oleh السبعة , الستة, متفق عليه  atau yang lainnya. Istilah-istilah tersebut seperti :
1.    Akhrajahu al-Sab’ah (أخرجه السبعة)
      Istilah ini umumnya mengiringi matan dari suatu Hadits. Hal tersebut berarti bahwa Hadits yang disebutkan terdahulu diriwayatkan oleh tujuh Ulama’ atau Perawi Hadits, yaitu Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, dan Ibn Majjah.
2.    Akhrajahu al-sittah(أخرجه الستة)
      Maksud Istilah ini adalah bahwa matan Hadits yang disebutkan dengannya adalah diriwayatkan oleh enam orang perawi Hadits, yaitu: Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, dan Ibn Majjah.
3.    Akhrajahu al-khamsah atau disebut juga Akhrajahu al-Arba’ah wa Ahmad (أخرجه الخمسة)
Maksudnya adalah matan Hadits yang disebutkan bersamanya diriwayatkan oleh lima orang Imam Hadits, yaitu: Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, dan Ibn Majjah.
4.    Akhrajahu al-Arba’ah atau Akhrajahu Ahab al-Sunan (أخرجه الأربعة)
Bahwa matan Hadits yang disebutkan dengannya diriwayatkan oleh empat orang Imam Hadits, yaitu penyusunan kitab-kitab sunan, yang terdiri atas: Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, Ibn Majjah.
5.    Akhrajahu al-Tsalatsah (أخرجه الثلاثة)
Maksudnya, adalah bahwa matan Hadits yang disebutkan besertanya diriwayatkan oleh tiga orang imam Hadits, yaitu: Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i.
6.    Muttafaq ‘Alaihi (متفق عليه)
      Maksudnya, bahwa matan Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan ketentuan bahwa sanad terakhirnya, yaitu di tingkat Sahabat, bertemu.
                  Perbedaannya dengan Al-Bukhari wa Muslim adalah, bahwa yang disebut terakhir, matan Haditsnya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi sanad-nya berbeda pada tingkatan sahabat, yaitu di tingkat sahabat kedua sanad tersebut tidak bertemu. Istilah yang terakhir ini sama dengan Rawahu Al-Syaykhan, Akhrajahu Al-Syaykhan, atau Rawahu Bukhari Wa Muslim. [4]












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas kami menyimpulkan bahwa :
1.      Syarat-syarat untuk dapat meriwayatkan suatu hadis yaitu islam, baligh, ‘adalah, dhabit, dan tidak syadz.
2.      At-Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan al-Adâ adalah adalah proses (untuk) menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
3.      metode dalam at-tahammul wa al-adâ’ adalah melalui beberapa jalan yaitu as-Samâ’, al-Qirâ’ah ‘alâ Syaikh, al-Ijâzah, al-Munâwalah, al-Mukâtabah, I’lâm asy-Syaikh, al-Washiyyah dan al-Wijâdah.
4.      Istilah-istilah yang digunakan dalam periwayatan hadis yaitu Akhrajahu al-Sab’ah,Akhrajahu al-sittah, Akhrajahu al-khamsah atau disebut juga Akhrajahu al-Arba’ah wa Ahmad,Akhrajahu al-Arba’ah atau Akhrajahu Ahab al-Sunan,Akhrajahu al-Tsalatsah,Muttafaq ‘Alaihi.

B.     Saran
            Kami menyusun makalah ini dengan penuh kehati-hatian,dengan penuh harapan agar sekiranya pembaca dapat mudah memahami,dan menerima pemaparan ataupun penjelasan kami. Namun sejauh mana kami melangkah dan menatap dalam pembuatan makalah ini,mungkin ada konsep-konsep ataupun pemaparan kami yang masih kurang difahami,atau perlu diperbaiki,maka dari itu,kami selaku manusia yang menyadari diri bahwa tidak ada sesuatupun yang sempurna,dengan penuh kerendahan hati,kami meminta kepada pembaca sekalian,sekiranya ada tanggapan ataupun saran untuk kami,demi mewujudkan adanya makalah kami yang lebih baik dihari selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA


·         Ajjajj, Muhammad al-Khathib, Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadits , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
·         Azami, M.M. Memahami Ilmu Hadits, Terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993
·         Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung :CV Pustaka Setia,1999.
·         Nur Sulaiman Muhammad,Antologi Ilmu Hadits,Ciputat:GP Press,2009.
·         Zainimal, Ulumul Hadits, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005








[1] Nur Sulaiman Muhammad.Antologi Ilmu Hadits,Ciputat:GP Press,2009.

[2] Ajjajj, Muhammad al-Khathib, Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadits , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
[3] Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2005.

[4] Irham Khumaidi, Ilmu Hadist untuk Pemula, CV. Artha Rivera,2008

Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...