Kamis, 14 Mei 2015

ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL
              Kata Al-Jarh (الجرح) merupakan bentuk dari kata Jaraha-Yajrahu (جرح - يجرح) atau Jariha-Yajrahu (جرح - يجرح) yang berarti cacat atau luka, atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Sedangkan kata Al-Ta’dil (التعديل) merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu (عدل - يعدل) yang berarti mengadilkan, menyucikan, atau menyamakan. Dengan demikian, ilmu Al-Jarh wa Ta’dil secara etimologis berarti ilmu tentang kecacatan dan keadilan perawi hadis.

                 Secara terminologis, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mendefinisikan Al-Jarh sebagai berikut:
ظهور وصف في الراوي يثلم عدالته او يخل بحفطه و ضبته مما يتر تب عليه سقوط روايته او ضعفه و ردها                   
“Nampaknya suatu sifat pada seorang  perawi yang dapat merusak nilai keadilannya atau melamahkan nilai hafalan dan ingatan, yang karena sebab tersebut gugurlah periwayatannya atau ia dipandang lemah dan tertolak”.
     Sedangkan Al-Ta’dil didefinisikan sebagai berikut:
تز كية الراوي الحكم عليه بانه عدل او ضابط                                                                                  
“Membersihkan seorang rawi dan menetapkannya bahwa ia adalah seorang yang adil atau dhabit”.
    
                 Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kajian ‘Ilmu Jarh wa Ta’dil terfokus pada penelitian terhadap perawi hadis, sehingga diantara mereka dapat dibedakan antara perawi yang mempunyai sifat-sifat keadilan atau kedhabit-an dan yang tidak memilikinya. Dengan tidak memiliki kedua sifat-sifat itu, maka hal tersebut merupakan indicator akan kecacatan perawi dan secara otomatis periwayatannya tertolak. Sebaliknya bagi perawi yang memiliki kedua sifat-sifat di atas, secara otomatis pula ia terhindar dari kecacatan  dan berimplikasi  bahwa hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
                
                 Tentang kriteria keadilan atau ke-dhabit-an perawi, Al-Khatib Al-Baghdadi, misalnya menyebutkan sebagai berikut: Keadilan dan ke-dhabit-an meliputi :
 (1) Al-Sa-doshidq, kejujuran,
 (2) Al-Syarifah bi Thalab Al-Hadis, terkenal dalam pencarian hadis,
 (3) Tark Al-Bida’, jauh dari praktek Bid’ah, dan
 (4) Ijtinab Al-Kabair, bukan pelaku dosa-dosa besar.
B.  SYARAT-SYARAT PENTA'DIL
Para ulama' mensyaratkan dalam memberikan rekomendasi keadilan seseorang, syarat-syarat tersebut yaitu:
1.Penta'dil harus seorang yang adil, yaitu, muslim, baligh, berakal, dan selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk.
2.Penta'dil harus bersungguh-sungguh dalam mencari dan mempelajari keadaan para perawi.
3.      Ia harus mengetahui sebab-sebab yang menjadikan seorang perawi adil atau jarh(cacat). Dan tidak menghukumi kecuali telah pasti keberaan sebab-sebab tersebut.
4.      Tidak ta'ashub terhadap orang yang dita'dilnya, sehingga ia akan manta'dil dan menjarh dikarenakan ashabiyah madzhab atau negara.

Syarat-syarat Penjarh
  1. Penjarh harus seorang yang adil, agar ia menahan dan berhati-hati dari menuduh seseorang dengan kebatilan.
  2. Dia harus mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari dan mengetahui keadaan perawi.
  3. Mengetahui sebab-sebab jarh.
Tidak ta'ashub. 3.4. Tingkatan Penjarh
Dalam Kitab Taisir 'Ulum Al Hadits li Al Mudtadi'in, Amru Abdul Mun'im Salim, hlm 173-174 disebutkan:
Tingkatan penjarh sebagaimana pada tingkatan penta'dil diatas, yaitu:
  1. Mutasyadid dalam menjarh, seperti Abu Hatim Ar Razi dan Al Jauzajani.
  2. Musrifin (terlalu mudah) dalam menjarh, seperti Abu Al Fath Muhammad bin Al Husain Al Azdi.
  3. Mu'tadil dalam menjarh, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur'ah Ar Razi, Ibnu Ma'in, Asy Syaikhani




3.5. Tingkatan Jarh dan Lafadz-lafadznya kelemahan
  1. Lafadz yang menunjukan adanya (yaitu jarh yang paling ringgan), contohnya fulan layyinun Al Hadits, atau dihi maqalun, (haditnya diperbincangkan).
  2. Lafadz yang menunjukan adanya kelemahan terhadap perawi tidak dapat dijadikan hujjah, cnotoh fulan laa yuhtaj bihi(fulan tidak bisa dijadikan hujjah), atau dha'if, lahu manakir(haditsnya munkar).
  3. Lafadz yang menunjukan lemah sekali tidak dapat ditulis haditsnya, contoh : fulan laa yuktab haditsuhu(fulan haditsnya tidak ditulis), laa tahillu riwayatahu(tidak boleh meriwayatkan darinya), fulan dha'if jiddan, wahn bi marattin(orang yang sering melakukan persangkaan).
  4. Lafadz yang menunjukan adanya tuduhan berbuat dusta atau pemalsuan hadits. Contoh fulan muthamun bil kadzb(fulan dituduh berbuat dusta), fulan muthamun bi Al Wadh'i( fulan dituduh membuat hadits palsu), yasriqu Al Hadits(dia mencuri hadits), matruk, atau laisa bi tsiqah.
  5. Lafadz yang menunjukan adanya perbuatan dusta atau yang semacamnya, contoh kadzdzab atau dajjal, wadha'(pemalsu).
  6. Lafadz yang menunjukan adanya mubalaghoh (superlatif)dalam perbuatan dusta, contoh fulan paling pembohong, ilaihi al muntaha bi al kadzb(dia pangkalnya kedustaan) dan lainnya.
3.6. Hukum Tingkatan-tingkatan Tersebut
Hukum tingkatan Al Jarh.
1.      Dua tingkatan yang pertama, maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang tersebut tidak dapat dijadikan hujjah, tapi boleh ditulis sebagai pelajaran saja.
2.      Empat tingkatan terakhir hadits hadits mereka tidak bisa dijadikan hujjah, tidak boleh ditulis, bahkan tidak dapat dijadikan pelajaran dan tidak dianggap sama sekali.


2.3. Tingkatan Penta'dil
Dalam Kitab Taisir 'Ulum Al Hadits li Al Mudtadi'in, Amru Abdul Mun'im Salim, hlm 160-161, menyebutkan penta'dil ada beberapa tingkatan:
1.      Diantara ulama' ada yang mutasahil dalam ta'dil (terlalu mudah member rekomendasi keadilan).
Maka tingkat yang pertama ini tidak diterima bila ia memberikan rekomendasi tsiqah kepada seseorang, kecuali bila ia mengetahui. Diantara ulama' yang mu'tadil dalam ta'dil, yaitu Imam Muhammad bin Ishaq bin Al Huzaimah dan muridnya, Abu Hatim bin Ibnu Hibban juga Ibnu Hibban Al Hakim Ibnu Abdullah, terutama dalam kitab Al Mustadark-nya, Ad Daruquthni, namun beliau lebih baik dari Ibnu Hibban dan Al Baihaqi.
2.      Mutasyadid (terlalu ketat dalam memberikan rekomendasi adil kepada seorang perawi).
Untuk yang kedua ini ta'dilnya dipegang erat-erat, apalagi terhadap perawi yang diperselisihkan. Diantara para ulama' yang mutasyadid adalah Abu Hatim Ar Razi, Al Jauzajani dan An Nasa'i. Dikatakan, Ibnu Ma'in juga.
3.      Mu'tadil(sikap pertengahan).
Untuk tingkatan yang ketiga, perkataan diterima, dan tidak ditolak kecuali bila menyelisihi jumhur. Ulama' yang termasuk mu'tadil adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur'ah Ar Razi, Ibnu Ma'in, Asy Syaikhani dan At Tirmidzi.

2.4. Tingkatan Ta'dil dan Lafadz-lafadznya
Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya Al Jarh wa At Ta'dil menjadi empat tingkatan. Lalu par ulama' telah menambah lagi dengan dua tingkatan, sehingga menjadi enam tingkatan:
  1. Lafadz menggunakan bentuk superlatif(mubalaghah) dalam ketsiqahan atau mengikuti wazan af'al., contoh: Fulanun Asbata An Nas( Fulan adalah manusia yang paling teguh), fulan ilaihi Al Muntaha fi At Tatsabut( fulan yang paling tinggi keteguhannya) dan lainnya.
  2. Lafadz yang menyebutkan salah satu sifat atau dua sifat yang menguatkan ketsiqahannya dan keadilan contoh: tsiqah tsiqah, atau tsiqah tsabit.
  3. Ungkapan yang menunjukan ketsiqahan tanpa adanya penguat contoh: Tsiqah, tsabat, mutqin.
  4. Lafadz yang menunjukan ta'dil tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, contoh: shaduquna(orang yang jujur), ma'mun(terpercaya) laa ba'sa bih(tidal masalah atau tudak ada cacat).
  5. Lafadz yang tidak menunjukan ketsiqahan atau pun selaan Contoh; Fulanun Syaikhun, rawiya 'anhu An Nas(manusia meriwayatkan darinya).
  6. Lafadz yang mendekati adanya jarh contoh:fulan shaleh hadits(lumayan) atau yuktabu haditsuhu(haditsnya dicatat).

2.5. Hukum Tingkatan-tingkatan Tersebut
  1. Untuk tiga tingkatan yang pertama, dapat dijadikan hujjah, meski sebagian dari mereka kekuatannya berbeda dengan yang lainnya.
  2. Untuk tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Meski demikian hadits mereka boleh ditulis untuk dikabarkan dan diuji kedhabitannya.
  3. Tingkatan ke enam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi haditsnya ditulis untuk dijadikan pelajaran , bukan untuk diberitakan, karena ini memperlihatkan ketidakdhabitan mereka.


Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...