Selasa, 24 Juli 2018

Teori Pertumbuhan Neo-Klasik


Teori pertumbuhan neo-klasik ini dikemukakan oleh Solow-Swan yang menggunakan unsur perumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi, dan besarnya output yang saling berinteraksi. Solow-Swan menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya substitusi antara kapital dan tenaga kerja.[1]
Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak mencampuri/mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Hal ini membuat teori mereka dan pandangan para ahli lainnya yang sejalan dengan pemikiran mereka dinamakan pemikiran teori neo-klasik. Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga sumber, yaitu akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan peningkatan teknologi. Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan teknik sehingga produktivitasnya per kapita meningkat.[2]
Dalam modal neoklasik sangat memperhatikan faktor kemajuan teknik, yang dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Mutu SDM adalah menyangkul keahlian dan moral. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mendorong terciptanya kreativitas dalam kehidupan masyarakat agar produktivitas per tenaga kerja terus meningkat.[3]




MOHON MAAF jika ada penulisan yang salah dan salah FOOTNOTE dikarenakan keterbatasan saya dalam menulis. Harap maklum.





[1]Robinson Tarigan, Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi Edisi Revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2014),h.52.
[2]Ibid.                                                                                                                     
[3]Ibid. h. 54.

Teori Pertumbuhan Endogen


Teori ini mengatakan bahwa pertumbuhan GNP yang persisten, yang ditentukan oleh sistem yang mengatur proses produksi dan bukan oleh kekuatan-kekuatan di luar sistem.[1] Perilaku aliran modal negara-negara berkembang (dari negara miskin ke negara kaya) turut memicu konsep pertumbuhan endogen (endogenous growth).

Untuk menggambarkan pendekatan pertumbuhan endogen, akan dibahas pertumbuhan endogen Romer.[2] Romer dikenal sebagai pakar pertumbuhan ekonomi dan pernah menjadi salah satu kandidat penerima Nobel di bidang ekonomi. Bidang kajian yang menarik perhatian Romer adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi dengan perspektif yang lebih luas. Romer memasukkan komponen teknologi endogen hasil penelitian dan pengembangan (research & development) dan ilmu pengetahuan ke dalam model pertumbuhannya.[3]

Teori yang dikemukakan oleh Romer menyajikan sebuah kerangka teoritis yang lebih luas dalam menganalisis proses pertumbuhan ekonomi. Teori ini mencoba untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan ekonomi yang berasal dari dalam (endogenous) sistem ekonomi itu sendiri. Kemajuan ternologi dianggap hal yang bersifat endogen, dimana pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari keputusan para pelaku ekonomi dalam berinvestasi dibidang ilmu pengetahuan.[4]

Model Romer ini menganggap ilmu pengetahuan sebagai salah satu bentuk modal. Ilmu pengetahuan merupakan suatu input terpenting dalam proses produksi. Hanya berkat ilmu pengetahuan orang dapat menciptakan metode baru dalam berproduksi sehingga memperoleh keuntungan ekonomis dan ilmu pengetahuan yang ada sekarang tercipta karena adanya inovasi serta perbaikan dimasa lalu.

Lebih jauh lagi, Romer menekankan bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan merupakan faktor penentu cepat atau lambarnya laju perekonomian suatu negara.[5] Teori ini dengan jelas menggambarkan tentang bagaimana akumulasi modal tidak mengalami diminishing returns, namun justru akan mengalami increasing returns dengan adanya spesialisasi dan investasi di bidang SDM dan ilmu pengetahuan.


[1]Ibid. h.169.
[2]Ibid.
[3]Lincolin Arsyad, Op. Cit. h.91
[4]Ibid
[5]Lincolin Arsyad, Loc. Cit, h.93




MOHON MAAF jika ada penulisan yang salah dan salah FOOTNOTE dikarenakan keterbatasan saya dalam menulis. Harap maklum.

Pemikiran Mahzab Historismus


Pola pemikiran mahzab Historismus ini didasarkan atas perspektif sejarah terhadap masalah dan fenomena ekonomi. Gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh penganut mahzab ini tidak lepas dari kondisi sosial-ekonomi masyarakat Jerman pada abad ke-19.[1]

Menurut mahzab ini, fenomena ekonomi hanya dipandang sebagai sebuah “bagian” tertentu dari perjalanan sejarah suatu bangsa. Oleh karena itu, pemikiran ekonomi dan penelitian tentang masalah-masalah ekonomi harus berada dalam konteks perspektif sejarah sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan didasarkan atas realitas di dunia nyata, bukan berdasarkan atas pemikiran yang abstrak dan dengan asumsi-asumsi yang terkadang kurang realistis. Mahzab ini lebih condong pada metode induksi-empiris dalam analisisnya dimana hukum ekonomi harus dianggap sebagai suatu hal yang bersifat relatid karena segala sesuatu itu tergantung pada dimensi ruang dan waktu.

Ada empat prinsip utama dan ajaran dari mahzab ini. Pertama, mahzab Historismus menekankan pendekatan bersifat evolusioner pada ilmu ekonomi. Mahzab ini memusatkan perhatiannya pada pertumbuhan dan pembangunan secara kumulatif. Menurut mahzab ini, sebuah masyarakat akan senantiasa berubah, namun dengan siklus yang konstan. Salah satu pokok pikiran mahzab ini adalah hukum reletivitas dimana suatu tesis ekonomi yang sangat cocok bagi perekonomian suatu negara tertentu, mungkin tidak akan cocok di terapkan di negara lain.[2]

Kedua, mahzab Historismus menekankan pentingnya peranan pemerintah dalam perekonomian. Mahzab ini menekankan tentang adanya semacam “komunalisme ekonomi” dimana organisme sosial yang ada harus dipandang sebagai akumulasi dari setiap unit yang ada di dalamnya dan membentuk sebuah kesatuan yang unik, bukan sebagai unit yang terpisah dan berjalan sendiri.[3]

Ketiga, mahzab Historismus menggunakan pendekatan induktif dalam analisisnya. Pola pendekatan induktif dalam mahzab ini berpangkal tolak dari pengamatan pengkajian yang bersifat khusus, dan dari sinilah kesimpulan umum diambil. Dengan metodologi ini, otomatis hukum ekonomi yang bersifat universal tidaklah berlaku, karena ada batasan ruang dan waktu.[4]

Keempat, mahzab Historismus memberikan dukungannya pada pandangan-pandangan bersifat konservatif. Mahzab ini memandang ekonomi politik bukan hanya menganalisis tentang sebuah motif dibalik setiap tindakan-tindakan ekonomi, namun juga mengukur dan menimbang dorongan moral dari setiap tindakan ekonomi dan konsekuensinya bagi masyarakat. Mahzab ini memandang perlu adanya kebijakan-kebijakan yang mengarah pada perbaikan kondisi pada masyarakat secara umum, karena kebijakan tersebut berpengaruh positif pada: (1) menguatkan rasa nasionalisme dan loyalitas terhadap negara, dan (2) adanya perbaikan kondisi masyarakat, yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas tenaga kerja.[5]

Dalam mahzab ini, terdapat tokoh-tokoh yang memiliki peran penting dengan pemikiran yang berbeda seperti : 

a. Friedrich List
Friedrich List dipandang sebagai pelopor pemikiran ekonomi pada mahzab Historismus. Pemikiran List tertuang secara rinci di dalam bukunya yang berjudul ‘Das Nationale System der Politischen Oekonomieyang terbit tahun 1841 yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul ‘The National System of Political Economy, International Trade, Trade Policy, and German Customs Union’ pada tahun 1856. Dalam buku tersebut, List menunjukkan radikalitasnya dengan menyerang pakar-pakar ekonomi klasik yang dinilainya terlalu bersifat kosmopolit karena mengabaikan peran pemerintah dalam perekonomian.[6]

Menurutnya, sistem liberalisme yang laissez-faire tidak dapat menjamin alokasi sumberdaya secara optimal. Perkembangan ekonomi menurut List tergantung pada peran pemerintah, dunia bisnis, dan lingkungan kebudayaan. Menurutnya, perkembangan ekonomi hanya akan terjadi jika dalam masyarakat ada kebebasam baik dalam berpolitik maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari. List menegaskan bahwa negara harus melindungi kepentingan golongan lemah dalam masyarakat.

List juga menyatakan bahwa perkembangan suatu masyarakat dapat ditinjau secara historis. Menurut List, ada lima tahap perkembangan ekonomi—didasarkan pada cara produksi—suatu masyarakat, yaitu:[7]

1) Tahap berburu atau barbarian, yang merupakan ciri masyarakat primitif dimana pada tahap ini, masyarakat memenuhi kebutuhannya hanya dari alam (ekstraktif)
2) Tahap beternak atau pastoral, dimana pada tahap ini sudah ada kegiatan beternak, namun masih bersifat nomaden.
3) Tahap agraris, di mana pada tahap ini masyarakat mulai menetap dan bertani secara subsisten.
4) Kombinasi antara tahap bertani dan industri manufaktur dan perdagangan, dimana pola-pola industri manufaktur dan perdagangannya masih dalam bentuk yang sederhana.
5) Kombinasi antara tahap bertani dan industri manufaktur dan perdagangan, dimana pola-pola industri manufaktur dan perdagangannya sudah dalam bentuk yang maju.

Menurut List, sistem perdagangan bebas (free trade) hanya cocok diterapkan pada negara-negara yang telah berada pada tahap ke lima pada perkembangan ekonomi masyarakatnya, dimana pola-pola industri manufaktur dan perdagangannya dalam bentuk yang maju.[8] Sebuah negara tidak akan pernah mencapai kemajuan apabila negara tersebut hanya bertumpu pada kekuatan pertanian saja. Yang mampu membawa perekonomian pada tingkat yang lebih tinggi adalah sektor industri. Oleh karena itu, industrialisasi merupakan langkah awal untuk membawa perekonomian ke arah yang lebih maju.

b. Walt Whitman Rostow
Teori yang dikemukakan Walt Whitman Rostow mengatakan bahwa proses pembangunan ekonomi dapat dibedakan ke dalam lima tahap yaitu: masyarakat tradisional (the traditional society), prasyarat untuk lepas landas (the preconditions for take-off), lepas landas (the take-off), menuju kedewasaan (the drive to maturity), dan masa konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption).[9]

Dasar yang ia gunakan tersebut adalah karakteristik perubahan keadaan ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi. Menurut Rostow, pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional karena pembangunan ekonomi dapat pula menyebabkan perubahan orientasi organisasi baik politik, ekonomi, dan sosial. Selain itu, dapat menyebabkan perubahan mengenai pendangan masyarakat tentang jumlah anak dalam keluarga, perubahan dalam investasi, serta perubahan pada sikap dan adat istiadat.

Dalam proses pembangunan ekonomi dimana Rostow mengungkapkan terdapat lima tahap. Pertama, masyarakat tradisional dimana merupakan suatu masyarakat yang strukturnya berkembang dengan fungsi produksi yang terbatas dan terlefleksikan pada skala dan pola perdagangan kecil dan tradisional, tingkat output pertanian dan sklana produktivitasnya yang rendah, ukuran industri manufaktur yang kecil, fluktuasi penduduk yang tidak menentu, dan pendapatan riil yang rendah. Serta, sektor pertanian yang produktivitasnya menyerap lebih dari 75 persen angkatan kerja.[10]

Kedua, tahap prasyarat lepas landas dimana tahap ini adalah suatu masa transisi dimana masyarakat mempersiapkan dirinya untuk mencapai tahap laju pertumbuhan yang berkesinambungan dengan kekuatan sendiri. 

Ketiga, tahap lepas landas dimana pada tahap ini terjadi perubahan yang drastis dalam masyarakat, misalnya terjadi revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi, atau terbukanya pasar-pasar baru. Ciri utama suatu negara sudah mencapai tahap ini adalah berkembangnya satu atau beberapa sektor industri dengan laju pertumbuhan yang sangat tinggi.

Keempat, tahap kedewasaan dimana pada tahap ini masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi modern pada hampir semua kegiatan produksi.

Kelima, tahap konsumsi tinggi dimana perhatian lebih ditekankan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat (demand side), dan bukan lagi masalah produksi. Pada tahap ini, tujuannya adalah untuk memperbesar kekuasaan, menciptakan negara kesejahteraan, dan orientasi bukan pada barang-barang primer.

Menurut teori ini, negara-negara maju seluruhnya telah melampaui tahapan “tinggal landas menuju pertumbuhan ekonomi berkesinambungan yang berlangsung secara otomatis”. Sedangkan negara-negara yang sedang berkembang atau yang masih terbelakang, pada umumnya masih berada dalam tahapan masyarakat tradisional atau tahapan menyusun kerangka dasar tinggal landas.[11]

MOHON MAAF jika ada penulisan yang salah dan salah FOOTNOTE dikarenakan keterbatasan saya dalam menulis. Harap maklum.


[1]Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan Edisi 5 (Yogyakarta: UPP STIM YKPN,2015), h.57
[2]Lincolin Arsyad, Loc. Cit.
[3]Ibid
[4]Lincolin Arsyad, Op. Cit. h.58
[5]Ibid.
[6]Lincolin Arsyad, Op. Cit. h.59
[7]Ibid
[8]Lincolin Arsyad, Loc. Cit.
[9]Ibid, h.62.
[10]Ibid. h.63
[11]Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003), h.129

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...