Senin, 31 Desember 2018

Etika Bisnis Islam


Istilah etika (ethics) berasal dari kata Yunani, yaitu ethos (bentuk tungal), yang berarti adat istiadat (kebiasaan), perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan, watak, sikap, cara berfikir. Bentuk jamak disebut tha etha, yang berarti adat istiadat.[1]
Pengertian etika menurut erimologi dari bahasa yunani adalah “Ethos, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yan merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yan buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pentingnya, yaitu moral atau moralitas untuk penelitian perbuatan yang dilakukan, sedangkan Etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.[2]
Etika merupakan cabang filsafat membahas nilai dan norma, moral yang mengatur interaksi perilaku manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.[3] Etika dalam islam disebut dengan akhlak. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun diambil dari bahasa arab (yang biasa diartikan tabiat, perangai kebiasaan, bahkan agama), namun kata demikian tidak ditemukan dalam Al-qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal, kata tersebut, yaitu khuluq yang tercantum dalam Q.S Al-Qalam Ayat 4 sebagai berikut[4]:
 وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤

Artinya :Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Paradigma etika bisnis islam adalah aqidah islamiyah, menerangkan bahwa islam adalah agama sekaligus ideologi sempurna mengatur segala aspek kehidupan tanpa kecuali, termasuk aspek ekonomi. Islam tidak memisahkan bisnis dengan etika, sebagaimana islam tidak memisahkan bisnis dengan etika, sebagaimana islam tidak memisahkan ilmu dengan etika, politik dengan etika. Islam juga tidak memisahkan agama dengan Negara dan materi dengan spiritual. Paradigma islam ini berbeda dengan paradigm kapitalis, yaitu skulerisme, yaitu pemisah agama dari kehidupan.[5]
Etika membawa manusia bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggung jawabkan.Sedangkan bisnis sebagai suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.[6]


          [1] Madnasir dan Khoirudin, “Etika Bisnis Islam”, ( Bandar Lampung Seksi Penerbit Fakultas Syariah IAIN Radn Intan Lampung, 2011)
[2] Danang Sunyoto, Dasar-dasar Manajemen Pemasaran, (Yogyakarta : CAPS, 2012), h. 26
[3] Veithzal Rivai, Amiur Nuruddin dan Faisar Ananda Arfa, Islamic Business and Economic Ethics, (Jakarta : Bumi Aksara, 2012), h. 100
                [4] Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis Perspektif Islam, (Jakarta : Salemba Empat, 2011),h. 16
        [5]Ibid, h. 35
        [6]Ibid, h. 37




*Sumber Asli: Internet, Google, Semuasemua, jadi kalau ada salah salah harap hubungi saya. Terimakasih.*

E-Commerce


E-Commerce merupakan suatu sistem atau paradigma baru dalam dunia bisnis, yang menggeser paradigma perdagangan tradisional menjadi electronic commerce yaitu dengan memanfaatkan teknologi ICT (Information and Communication Technology), atau dengan katalain teknologi internet. Definisi e-commerce secara umum : “ Proses membeli, menjual, baikdalam bentuk barang, jasa ataupun informasi,yang dilakukan melalui media internet”.[1]
Electronic commerce (EC) merupakan konsep baru yang bisa digambarkansebagai proses jualbeli barang atau jasa dengan menggunakan World Wide Web Internet atau proses jual beli atau pertukaran produk, jasa dan informasi melalui jaringan informasi.[2]E-commerce merupakan transaksi yang dilakukan secara elektronik, salah satu media yang digunakan dalam e-commerce adalah internet.
Menurut Karmawan (Jauhari) e-commerce adalah suatu jenis dari mekanisme bisnis secara elektronik yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis berbasis individu dengan menggunakan internet (teknologi berbasis jaringan digital) sebagai medium pertukaran barang atau jasa baik antara dua buah institusi (business to business) dan konsumen langsung (business to consumer), melewati kendala ruang dan waktu yang selama ini merupakan hal-hal yang dominan.[3]
Banyak orang mengira bahwa e-commerce dengan e-business adalah sama, namun padakenyataannya berbeda. Berikut ini merupakan perbedaan antara e-commerce dengan e-business[4]:


[1]Sri Haryanti, Tri Irianto, “Rancang Bangun Sistem Informasi E-Commerce Untuk UsahaFashionStudi Kasus Omah Mode KudusJournal SpeedSentra Penelitian Engineering dan Edukasi, Vol.3 No.1 (November 2011), h.10
   [2]I Gusti Made Karmawan, “Dampak Peningkatan Kepuasan Pelangan Dalam Proses Bisnis E-Commerce Pada Perusahaan Amazon.com” ComTech, Vol. 5 No.2 ( Desember 2014), h.749
            [3]Jaidan Jauhari, “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) denganmemanfaatkan e-commerceJurnal Sistem Informasi Vol. 2 No.1 (April 2010), h.159-168
        [4]I Gusti Made Karmawan, Op. Cit, h.752

Pengertian Pendapatan


Pengertian Pendapatan Dalam kamus besar bahasa indonesia pendapatan adalah imbalan atau hasil dari kerja (usaha dan sebagainya).[1] Sedangkan dalam Pernyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) Nomor 23 Pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas selama suatu periode jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.[2]


        [1] Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit.h.293
                [2]Dewan Standar Akuntansi Keuangan, Pernyataan Standar Akutansi Keuangan tentangPendapatan No.23 , ( Jakarta : Ikatan Akuntan Indonesia, 2009),h. 3

Sumber Daya Insani


Sumber daya insani ialah manusia sebagai sumber daya penggerak suatu proses produksi, harus mempunyai karakteristik atau sifat-sifat yang diilhami dari shifatul anbiyaa’ atau sifat-sifat nabi yaitu shiddiq (benar), itqan (profesional), fathanah (cerdas), amanah (jujur/terpercaya) dan tabligh (transparan).[1]


[1] Salim Basalamah, Islamic Human Capital Managemen, (Bandung: Pustaka Media, 2015), h.137

Pwngertian Ekonomi


Ekonomi adalah aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Ekonomi secara umum atau secara khusus adalah aturan rumah tangga atau manajemen rumah tangga.[1] Ekonomi juga dikatakan sebagai ilmu yang menerangkan cara-cara menghasilkan, mengedarkan, membagi serta memakai barang dan jasa dalam masyarakat sehingga kebutuhan materi masyarakat dapat terpenuhi sebaik-baiknya. Kegiatan ekonomi dalam masyarakat adalah mengatur urusan harta kekayaan baik yang menyangkut kepemilikkan, pengembangan maupun distribusi.[2]


[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h.
[2] M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafind Persadar, 2007), h.

Pengertian Jual Beli Borongan


Jual beli borongan dalam Islam sering disebut dengan nama Al-Jizāfu, yaitu jual beli sesuatu tanpa harus ditimbang, ditakar ataupun dihitung. Jual beli seperti ini dilakukan dengan cara menaksir jumlah objek transaksi setelah melihat dan menyaksikan objek jual beli secara cermat.[1]
Adapun yang dimaksud dengan jual beli tebasan menurut Abu `Ukkasyah Aris Munandar adalah suatu cara penjualan hasil suatu jenis produk pertanian sebelum produk tersebut dipanen, dimana produk tersebut hasilnya sudah siap dipanen. Pada sistem tebasan biasanya transaksi jual beli sekitar satu minggu sebelum panen, petani bebas memilih kepada siapa komoditinya akan ditebaskan, serta bebas pula untuk tidak menebaskan hasil produksi pertaniannya.[2]
Berdasarakan definisi tersebut di atas dapat dipahami bahwa pengertian jual beli tebasan secara bahasa ada beberapa kata yang berarti sama yaitu tebasan, borongan dan al-jizāfu. Dari istilah tebasan dapat kita pahami sebagai bentuk jual beli dengan melakukan taksiran atau perkiraan terhadap jumlah barang yang akan dibeli sehingga tidak diketahui kuantitas (jumlahnya) secara jelas dan pasti karena tidak dihitung, ditimbang atau ditakar.


[1] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 73.
[2] http://tuntunanislam.com/jual-beli-diperbolehkan/. Diakses pada hari hari sabtu 17 Oktober 2018 pukul 21.27 WIB.



- Mohon maaf dan mohon infokan jika ada salah penulisan baik kata, kalimat, paragraf, maupun referensi/footnote. Karena manusia tak luput dari kesalahan- Terimakasih

Pengertian Jual Beli


Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.[1]
Jual beli merupakan salah satu bidang muamalah yang sering dilakukan, dalam jual beli ada aturan yang harus dipenuhi. Islam datang dengan membawa petunjuk dan rahmat bagi seluruh alam, umat manusia diberikan kebebasan dalam melaukan hubungan diantara sesama. Untuk mencapai kebutuhan hidup yang semakin kompleks, maka dalam pemenuhan kebutuhan ditempuh dengan beberapa cara, diantaranya dengan jual beli. Bahkan menurut Hasbi As-Siddiqy dapat dikatakan bahwa hidup bermasyarakat itu hanya berkisar pada jual beli[2]
Di dalam QS An-Nisa 29 juga disebutkan bahwa jual beli harus dilakukan suka sama suka yang ayatnya berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩ 
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu
Berdasarkan ayat diatas syarat jual beli adalah atas dasar kerelaan. Dalam hidup bermasyarakat, terjadi banyak interaksi baik dalam sosial maupun dalam bidang ekonomi. Allah mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya untuk saling menjaga hubungan dan tidak mengambil harta orang lain dengan cara yang batil. Dalam praktik jual beli maupun perniagaan sekalipun, tidak diperbolehkan melakukannya dengan cara yang zalim. Dengan demikian, diisyaratkan bagi pelaku jual beli, wajib ada kerelaan antara keduanya, sehingga tidak menimbulkan kerugian dimasyarakat yang akan mendatangkan kemaslahatan bersama dan keberkahan dari Allah swt.
Prinsip dasar yang ditetapkan dalam jual beli sama dengan prinsip-prinsip dasar norma-norma Islam yaitu kejujuran, kepercayaan dan kerelaan, prinsip jual beli telah diatur demi menciptakan dan memelihara i’tikad baik dalam suatu transaksi jual beli, seperti takaran yang harus diperhatikan dan kejelasan barang yang diperjualbelikan.[3]
Jual beli berasal dari kata baa’a yang artinya menjual, dan al buyyu yang artinya menukar sesuatu dengan sesuatu.[4] Pengertian jual beli secara bahasa dalam lingkup bahasa Indonesia yaitu, kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan tatacara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang.[5]
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli, sebagian ulama lain memberi pengertian :
a.           Pendapat Hasby Ash-Shidiqy
Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak dengan ada penggantinya dengna cara yang diperbolehkan. Akad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka terjadilah penukaran hak milik secara tetap.[6]
b.       Ulama Hanafiyah
Ia mendefinisikan bahwa jual beli memiliki dua arti yaitu arti khusus dan arti umum. Dimana arti khusus yaitu, jual beli adalah tukar menukar benda dengan dua mata uang (emas dan perak) dan semacamnya, atau tukar menukar barang dengan uang atau semacamnya menurut cara khusus. Arti umumnya yaitu, jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta menurut cara khusus, harta mencakup zat (barang) atau uang.[7]
c.        Pendapat Ibn Qudamah
Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa.
d.      Ulama Syafi’iyah
Menurutnya jual beli sebagai suatu akad yang mengandung tukar menukar harta dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.[8]
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.[9] Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandung hal-hal antara lain:
1) Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
2) Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
3). Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
4) Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memiliki sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.[10]


[1] Ghufron A Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontekstual (Cet.1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.46.
[2] Hasbi As-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Cet. Ke-2; Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h.426.
[3] Muhammad Syarif Chaudrhy, Fundamental of Islamic Economic System, terj. Suheman Rosyid, Sistem Ekonomi Islam : Prinsip Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012), h. 132.
[4] A.W Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.124
[5] Hasby As-Shiddiqy, Fiqh muamalah, (Jakarta: CV. Bumi Aksara, 2006), h.97
[6] Hasby As-Shiddiqy, Fiqh muamalah, (Jakarta: CV. Bumi Aksara, 2006), h.97
[7] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Cet. Ke-1; Jakarta: Amzah,2010), h.175.
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Cet.1; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada; 2002), h. 73.
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Cet.1; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada; 2002), h.68-69.
[10] Asjumuni A. Rahman, Qaidah- qaidah Fiqh (qawa’idul fiqhiyah) (Jakarta: Bulan Bintang 1976), h. 4.



- Mohon Infokan Jika ada salah penulisan baik kata, kalimat, bahasa, pembahasan, atau footnote. Terimakasih-
*manusia tak luput dari kesalahan*

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...