Sabtu, 25 Februari 2012

Satu Jam Menulis Serentak Milad FLP



Bukan Hadiah
oleh : Aula Nurul Ma'rifah



“Tapi Ron, kadang aku berpikir tentang suatu hal.” Ucap Agustine pada Ronald di telfon. “Maksudku bukan kamu tapi, tentang hidupku.” Lanjutnya.

“Ayolah, kamu sahabatku, kamu nggak boleh sedih.”Dia menenangkan Agustine. “Atau aku harus ke Indonesia untuk menghiburmu?” tanya Ronald dan Agustine hanya memberikan suara tawa kecil.


“Ayolah, itu hanya ujian saja.” Ronald atau yangsering di panggil Ron itu mencoba menenangkan sahabatnya. “Oh ya Tin, udah lamaya kita nggak ketemu semenjak sepuluh tahun lalu?”

“Oh ya?” Agustine tertawa. “Tapi kita masih bisa berkomunikasi atau aku harus memaksamu untuk ke Indonesia? Aku yakin, orang tuamu  nggak akan ngizinin.”

“Benarkah?” Ron kembali menguatkan tawanya dalam handphone.

**

Agustine menarik nafas panjang dan meyakinkan hatinya untuk tenang sejenak. Dia tidak ingin marah atau melampiaskan kekesalannya pada siapapun. Itu akan memperburuk keadaan karena posisinya tetap akan di persalahkan.

“Tugas kimia lo udah belum?” tanya Venesa, Agustine mengangguk. “Liat ya,” dia langsung mengambil tugas kimia milik Agustine di tas Agustine.

Venesa sahabat Agustine sejak duduk di bangku SMU. Mereka cukup dekat di sekolah dan cukup akrab. Bagi Agustine, Venesa adalah sahabatnya walaupun sahabat sejatinya tetap Ron seorang.

“Liat Diko nggak Nes?” Tanya Agustine, Venesa diam, dia tidak menjawabnya dan tidak merespon. Dia sibuk menyalin tugas kimia itu. “Hello nona,”

“Eh, em....” Venesa berpikir sejenak. “Diko, Diko di.... di lapangan basket kayaknya.” Jawabnya sejadinya, Agustine tahu kalau sahabatnya itu asal menjawab.

Dia memperhatikan seisi kelasnya dan dia mulai merasa ada yang aneh. Maksudnya bukan aneh karena ada roh-roh yang berkeliaran tapi aneh menurut pemikirannya sendiri dan itu benar-benar di rasa aneh sampai dia keluar kelas untuk menenangkan diri.

Arsyika...” Agustine menyapa anak kelas XI IPA 2 yang berpapasan di koridor sekolah. “Ngapain lo disini?” Tanyanya tapi Arsyika hanya tertawa melihat Agustine. “Ada yang salah tah sama gue? Rambut gue berantakan ya?”

“Nggak kok, lo pasti nyariin Diko.” Arsyika tertawa kecil. “Di kantin kali itu anak, oh ya tumben nggak sama Venesa?”

“Gak masalah kan kalo gue nggak sama Venesa?” Tanya Agustine, Arsyika diam lalu mengajak Agustine menuju kantin sekolah.

Di kantin, tidak ada Diko dan Agustine hanya tersenyum. Dia yakin Diko sedang latihan basket apalagi Diko sedang di timpa masalah alias nilainya hanya pas-pasan dan basket bisa mengurangi stres di otak Diko. Tentu saja, Diko tidak sepintar Agustine tapi, Agustine tidak pernah mempermasalahkannya.

**

“Agustine, ada yang ingin kamu bicarakan?” Tanya Ron, dia terkejut ketika Agustine menghubunginya mendadak. “Ada masalah?”

“Entahlah, aku merasa kamu satu-satunya sahabatku.” Ucap Agustine. “Maksudku, semua hal yang terjadi itu rasanya aneh dan benar-benar aneh. Aku ingin bicara tapi, semua itu sia-sia.” Tambahnya dan Ron berpikir sejenak.

Ron, dia sudah lama tidak bertemu dengan Agustine tapi, dia tetap berhubungan baik dengan sahabatnya itu. Baginya, Agustine yang sekarang tidak jauh beda dengan Agustine yang dulu. Agustine tetap Agustine, tetap menjadi sahabatnya.

“Apa kamu baik-baik saja?” Tanya Ron, Agustine diam. “Sudah seberapa parah?” Agustine tetap diam. “Ayolah, aku ingin ke Indonesia tapi, mungkin kamu harus menjauhkan penyakit itu.”

“Lihatlah nanti, aku belum bisa bicara dengan kedua orang tuaku. Semuanya makin aneh menurutku.”

**


Jujur, Agustine sama sekali tidak menyukaikedatangan Venesa bahkan kedua orang tuanya sudah menganggap Venesa sepertianak sendiri. Terlebih, adiknya juga sangat dekat dengan Venesa. Baginya, itu aneh, seakan-akan Venesa ingin mengambil orang-orang terdekatnya.

“Kak, aku pergi sama kak Nesa ya...” Adiknya berpaitan lalu menghilang dari hadapan Agustine.

Agustine tahu kalau Venesa yatim piatu, dia tinggal bersama paman dan bibinya. Namun, dia juga tidak suka dengan sikap Venesa yang mengikuti gayanya. Dari mulai gaya bicara, berpenampilan, sampai caranya berteman. Bahkan Agustine takut jika Diko akan pergi ke jalan menuju seorang Venesa.

“Tin, Venesa kemana? Bukannya tadi dia di sini?” Tanya ibunda Agustine. “Mama ingin mengajaknya makan siang.”

“Oh,” Kata Agustine singkat lalu ke kamar untuk megambil handphonenya setelah itu dia pergi keluar rumah dan berjalan-jalan.

Entahlah, semuanya terasa meyakinkan. Seseorang pernah mengatakan padanya bahwa dia harus berhati-hati pada Venesa tapi, saat itu dia tidak percaya sama sekali. Orang yang mengatakan itu padanya tidak lain adalah musuh Venesa. Bagi Agustine, orang itu hanya ingin menghancurkan Venesa tapi, semakin lama ada yang mulai di sadarinya.

“A.... ada apa?” Tanya Diko yang terkejut dengan kedatangan Agustine kerumahnya secara tiba-tiba. “Em, kamu ada masalah?”

“Nggak, suka-suka gue ada masalah apa nggak.” Agustine tersenyum kecil lalu duduk di sofa ruang tamu rumah Diko, pacarnya. “Venesa ada di sini kan?” Tanya Agustine masih dengan senyumnya. “Gak masalah kok, hati itu nggak bisa di paksain.” Lalu Agustine mengeluarkan kotak kecil dari tasnya.

Agustine mengembalikan semua hadiah yang di berikan Diko lalu dia pergi dari rumah Diko. Dia sebenarnya sudah tahu sejak lama kalau Diko menghindarinya bukan karena sibuk tapi karena Venesa. Dan hari ini semuanya terbukti karena Diko tidak bisa menyangkal sedikitpun.

“Ron...” Agustine menelfon Ron sambil menangis dan Ron tahu, sahabatnya itu sedang menangis. “Ron, semuanya bener, nggak ada yang salah.” Suara isak tangis Agustine makin jelas. “Ron, aku ngerasa dia akan gantiin aku di semua posisi aku di dunia ini.”

“Agustin, ayolah, bukankah kamu harus tenang dan semangat?” Ron berusaha menenangkan sahabatnya. “Kamu harus menjauhkan penyakit itu dari tubuhmu, ayolah.” Ron tetap berusaha menenangkan Agustine. “Kamu kehilangannya bukan berarti hidupmu juga akan kamu lepaskan begitu saja.”

“Baiklah, ini hanya untukmu, aku nggak ada harapan hidup kecuali karena kamu.”


**

Di sekolah, Venesa masih menyapa Agustine seperti biasa, masih meminta contekan seperti biasa tanpa peduli bahwa dia sudah menyakiti hati sahabatnya sendiri. Bahkan lebih parahnya lagi, Venesa memanggil sayang kepada Diko di depan Agustine.

“Tin, lo nggak kenapa-napa kan?” tanya Arsyika, anak kelas tetangga. “Lo nggak sakit hati kan?”

“Nggak tau gue, Diko memang pacar gue tapi, udahlah, kalo dia memang lebih sayang sama Venesa ya itu takdir Tuhan.” Agustine tersenyum dan Asyika hanya bisa menarik nafas pendek melihat temannya seperti itu padahal dia sudah pernah mengingatkan Agustine sebelumnya. “Tapi, gue tetap nganggep Venesa sahabat gue.”

Lo gila!” Arsyika bicara dengan nada tinggi. “Lo bener-bener gila! Dari keluarga lo, adek lo, temen, sampe pacar lo di ambil sama dia, lo tetep nganggep dia sahabat?”

Agustine diam, suasana ruang seni hening. Dia tidak menangis karena sebelumnya dia sudah menangis habis-habisan sampai dia sakit tapi, Venesa tetap merasa tidak bersalah sama sekali.

“Sebelumnya, ini pernah terjadi sama gue Tin, ya tapi, gue langsung musuin dia dan jauhin dia. Sedangkan lo, lo orang yang paling kuat bertemen sama manusia kayak Venesa.” Arsyika berusaha menyadarkan Agustine agar menjauh dari Venesa tapi, Agustine tetap ingin menganggap Venesa sahabatnya. “Oke, terserah lo, itu hidup lo dan ya, gue cuma bisa ngingetin aja.”

Di rumah, dia melihat kedua orang tuanya menganggap Venesa seperti anaknya sendiri dan adiknya juga menyayangi Venesa seperti kakaknya sendiri. Bahkan ketika dia pulang, tidak ada yang menyadari kedatangannya satu pun, dia seperti orang asing di dalam rumahnya sendiri.

Agustine masuk ke kamarnya dan tidur seharian untuk menenangkan pikirannya. Belakangan ini dia menjadi lebih pendiam tapi, Venesa tetap tidak meminta maaf sama sekali padahal dia bersalah.

“Kak, tidur ya?” Tanya adik Agustine. “Kakak!” dia menjambak rambut Agustine. “Bilangin Mama ya, aku maen sama kak Venesa?”

“Iya,” ucap Agustine singkat. Dia kesal karena adiknya lebih senang dekat Venesa.

Beberapa tahun lalu, Agustine mengenalkan Venesa pada adiknya dan awalnya dia senang-senang saja mereka dekat. Selain itu, Venesa juga pernah mengatakan bahwa dia menginginkan seorang adik karena dia hidup seorang diri.

“Kamu melihat adikmu?” Tanya Ayah Agustine, Agustine hanya berdehem saja. “Dia bersama Venesa?” Agustine mengiyakan. “Padahal ada yang ingin Ayah tanyakan pada Venesa.”

Ketika Ayahnya keluar kamar Agustine, dia melempar bantalnya dan meluapkan kekesalannya. Dia benar-benar kesal karena Venesa telah membuatnya tidak di anggap lagi di rumah.

“Hey nona...” sms dari Ron. “Hey nona.” Dia mengirim sms lagi sampai Agustine membalasnya.

“Ada apa?”

“Apa minggu ini ada waktu? Maksudku, aku ingin berbincang denganmu,” jelasnya, Agustine mengatakan dia ada waktu minggu-minggu ini. Dia bisa berbincang dengan Ron seperti biasanya dnegan handphone agak lama.

**

Agustine berjalan di koridor sekolah sambil bernyanyi sehingga seisi sekolah tahu bahwa dia baik-baik saja dan sama sekali tidak sakit hati kehilangan Diko. Bahkan Agustine masih terlihat dekat seperti sebelumnya dengan Venesa.

“Tin, ke kantin yok?” Ajak Venesa sambil menggandeng Diko. “Mau nggak?” senyum Venesa membuat Agustine kesal karena senyumnya itu sama dengan hinaan.

“Oh, iya gampang.” Agustine mengikuti mereka ke kantin

Saat perjalanan ke kantin, Agustine berpapasan dengan Arsyika dan Arsyika memandang sinis ke Venesa. Agustine mengerti pandangan Arsyika tapi, dia hanya menunggu saat yang tepat untuk menjauhi Venesa. Selain itu, dia harus mencari cara agar keluarganya jauh dari Venesa.

Sepulang sekolah, Agustine menunggu taxi di depan gerbang tapi, tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti tepat di depannya. Dia agak heran dan seseorang keluar lalu menghampirinya.

“Bukankah minggu ini kamu ada waktu?” Tanya seseorang, Agustine mengenalinya dan itu Ron, Ronald sahabatnya. “Kaget? Atau mau teriak?” Ron tersenyum kecil dan memeluk Agustine. “Bukankah kamu belum mengucapkan selamat datang?”

“Ron, sumpah ini kejutan banget.” Agustine tersenyum bahagia atas kedatangan Ron. Dia sama sekali tidak menyangka sahabatnya itu akan ke Indonesia untuk memberinya kejutan.

Ron mengajak Agustine untuk pergi bersamanya. Ron menceritakan perjalanannya ke Indonesia dan keinginannya untuk menghibur Agustine. Namun, Ron tidak memberi tahu kedatangannya kepada kedua orang tua Agustine. Orang yang pertama dia temui setelah tiba di Indonesia adalah Agustine.

“Aku akan cukup lama di Indonesia, mungkin satu atau dua bulan.” Jelas Ron. “Bukankah kewarganegaraanku masih Indonesia?” Tanya Ron, Agustine tertawa kecil. Ron memang masih berkewarganegaraan Indonesia, dia juga setiap tahun kembali ke Indonesia untuk menemui neneknya. Sayang, dia tidak sempat untuk menemui Agustine.

Dia ingat, saat dia kecil, dia begitu dekat dengan keluarga Ron bahkan Ron sudah di anggap kakaknya sendiri. Dan kali ini, dia benar-benar menemukan sosok Ron seperti dulu. Ron tidak berubah, dia masih sama seperti sebelumnya.

“Seorang Agustine, dan seorang yang terlihat sehat sepertimu akan baik-baik saja. Ayolah, kesehatanmu lebih berharga dari pada siapapun untuk saat ini.” Ucap Ron ketika mereka ada di sebuah taman bermain. Taman itu kenangan saat mereka berusia 5 tahun, tempat biasa mereka bermain. “Tujuanku kesini untuk memberimu semangat hidup, walaupun saat kamu pergi jiwa kamu akan ke surga, kamu harus tetap hidup demi aku.” Lanjutnya. “Semua orang pergi dari kamu tapi, aku tetap di sisi kamu, di samping kamu.” Ron tersenyum manis.

“Aku tahu, aku tahu itu, dan aku sangat berterimakasih atas kedatanganmu.” Agustine memeluk Ron erat. “Ini benar-benar sebuah kejutan.” Pelukan itu di rasakan oleh Ron dan dia sedih karena dia tahu, Agustine sedang terluka.

Ron mengajak Agustine ke apartemen miliknya. Dia memang sudah mempersiapkan segalanya untuk kembali ke Indonesia walaupun dia tidak akan lama di Indonesia.

“Aku hampir setiap tahun ke Indonesia, menemui nenekku, sayang sekali, aku tidak bisa bertemu denganmu.” Ron mengusap lembut kepala Agustine. “Tapi, aku akan menebusnya.”

**

Ketika tiba di kelas, Agustine terkejut karena pandangan teman-teman sekelasnya begitu aneh. Mereka tampak memusuhi Agustine.

“Hey, ada apa?” Tanya Agustine ketika masuk ke kelas tapi tidak ada jawaban yang di dapat. “Ada berita duka tah?” tanyanya, sekelas diam tanpa suara.

“Tin!” Arsyika ke kelas Agustine dan mengajak Agustine ke taman sekolah agar mereka bisa bicara berdua.

Dalam pikiran Agustine, dia mulai merasa ada yang salah. Dia takut jika dirinya akan mengalami hal yang sama dengan Arsyika walaupun Arsyika mengalami hal itu ketika SMP dan sekarang semuanya menjadi lebih baik setelah Arsyika menjauh dari Venesa.

“Kemaren, waktu guru meriksa kotak saran sekolah, ada bukti-bukti kelicikan kelas lo soal nilai dan yang ngasih bukti itu tertulis nama lo.” Jelas Arsyika, Agustine terkejut. “Dan sekelas ngira lo yang ngelakuin padahal gue tau itu bukan lo.”

Agustine diam sejenak dan berpikir. Pantas saja ada yang berbisik menjelek-jelekkan namanya dan mengatakan sementang dia pintar sampai menjatuhkan seisi kelas.

“Venesa.” Ucap Agustine. Dia tahu siapa di balik semua ini dan dia menarik nafas sejenak. Dia ingat bahwa semakin dia banyak berpikir maka semua hal akan menjadi buruk. “Bukannya Venesa jatuhin lo karena dia iri kan? Sama halnya dengan gue, dia iri karena gue punya keluarga dan pacar yang sayang sama gue.”

“Ya, bener. Bahkan lo lebih cantik dan pintar darinya, dia pasti sangat iri.” Arsyika menyadari, memang Agustine sejak masuk sekolah ini di kenal sebagai siswa paling cerdas dan cantik serta ramah sedangkan Venesa, walaupun cantik tapi dia bodoh.

“Gue punya satu cara supaya setelah ini dia nggak ganggu kehidupan orang lain lagi.” Agustine menarik nafasnya sejenak dan menghembuskannya perlahan. “Gue akan ngehadiahin dia sebuah keluarga dan bener-bener ngerelain Diko.” Lalu dia meninggalkan Arsyika dan Arsyika terkejut dengan jawaban itu. Dia takut sesuatu buruk akan terjadi pada Agustine.

Di kelas, Agustine memperhatikan Diko. Jujur, dia masih menyayangi Diko namun dia tahu jika cinta tidak dapat di paksakan dan jika Diko benar-benar menyayangi Venesa, dia akan merelakannya secara ikhlas.

“Ko,” Agustine duduk di samping Diko, di kelas. “Lo pastinya udah tau kan soal kotak saran itu?”

“Ya, gua udah tau termasuk tulisan-tulisan di mading.” Kata Diko dengan nada tinggi. “Gua kira lo bener-bener ngerelain gua ternyata, lo nusuk Venesa dari belakang padahal lo sahabatnya.”

“Ya, itu bener banget Ko.” Jelas Agustine berbohong.

Agustine tidak tahu tulisan-tulisan di mading itu tapi, dia berusaha untuk tetap tersenyum. Dan ketika Agustine berjalan di sekitar sekolah, seisi sekolah memandangnya benci tapi, Agustine tetap tersenyum.

Arsyika yang melihat pemandangan itu hanya bisa menarik nafas saja tanpa melakukan apapun. Dia sebenarnya ingin bicara tapi Agustine memohon padanya untuk diam. Agustine ingin Venesa berhenti menyakiti orang lain setelah dirinya.

Sepulang sekolah, Agustine di jemput oleh Ron tapi, dia melihat pemandangan lain. Dia melihat ibunya menjemput Venesa dan dadanya terasa sesak sekali. Dia tidak tahu apa yang di lakukan Venesa sehingga semua itu terjadi.

“Kamu harus makan siang, setelah itu aku akan ke rumahmu untuk mengatakan pada kedua orang tuamu bahwa aku ada di sini.” Jelas Ron sambil mengusap kepala Agustine lembut. “Kamu terlihat pucat. Kamu baik-baik saja?”

“Entahlah, aku belum memeriksakan penyakitku lagi setelah aku tahu tentang penyakit yang bersarang pada tubuhku.” Agustine tetap tersenyum walaupun tubuhnya merasakan sakit. “Tapi, aku lebih baik setelah kamu di sini.”

Setelah makan siang, Ron mengantarkan Agustine kerumahnya tapi, Ron terkejut ketika sampai di rumah Agustine, Ibunda Agustine menampar Agustine. Saat itu Venesa tersenyum kecil ketika sebuah tamparan melayang di pipi Agustine.

“Ma, apa yang terjadi?” Tanya Agustine, Ibunya masih dengan wajah merah marah. “Ma...”

“Tante,” Ron menyapa Ibunda Agustine tapi Ibunda Agustine tidak mempedulikan kedatangan Ron. Dia terlihat marah sekali pada anaknya.

“Mama lebih tidak memiliki anak sepertimu!” Ibunda Agustine menatap Agustine tajam. “Lebih baik Venesa di banding dirimu!”

“Ron!” Agustine menarik tangan Ron dan mengajaknya ke kamarnya. Agustine membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke koper besar, Ron tahu apa yang di lakukan Agustine kali ini. “Aku sudah menyangka semua ini akan terjadi.” Jelas Agustine. “Aku tidak tahu apa yang di lakukan Venesa tapi, aku sudah tahu, aku sudah tahu.” Dia memeluk Ron.

Ron sedih melihat Agustine seperti itu. Sahabatnya itu tidak menangis saat sebuah tampara itu melayang. Tentu saja, Agustine sudah memperkirakan itu. Namun, ketika di pelukan Ron, gadis itu menagis sekuat-kuatnya.

“Kamu bisa tinggal bersamaku bahkan kalau mau, kamu bisa pindah ke luar negri. Keluargaku akan menerimamu.” Pelukan Ron begitu membuat Agustine tenang dan dia benar-benar merasa tenang. “Tapi, aku ingin kamu ke rumah sakit dan membuang semua parasit pada tubuhmu.”

“Aku nggak tau bagaimana cara Venesa membuat orang tuaku menjadi seperti ini. Bahkan apa yang dikatakannya pada orang tuaku pun, aku nggak tau Ron.” Air matanya membasahi seluruh wajahnya. “Tapi, aku memang nggak mau nyari tau Ron, setidaknya, aku tahu masih ada kamu yang masih di sisiku.”

**

Ron dan Agustine tinggal dalam satu apartemen yang sama. Bukan karena mereka pacaran tapi karena mereka bersahabat. Selain itu, Ron ingin melihat sahabatnya itu sembuh.

Ron juga membelikan beberapa barang yang di sukai Agustine sejak kecil termasuk mainan masak-masakan. Dia ingin mengenang masa-masa saat mereka bersama dulu.

“Kamu sarapan dulu.” Ron masuk ke kamar Agustine dengan membawakan roti dan segelas susu untuk Agustine. “Setelah ini, kamuharus ke sekolah.” Agustine menggeleng. “Baiklah, aku akan mengajakmu ke pantai.” Dia mengusap kepala Agustine lembut, gadis yang bersamanya itu terlihat begitu pucat tapi, gadis itu masih berusaha tersenyum untuknya.

“Aku ingin pindah sekolah dan menjauh dari Venesa, aku ingin dia mendapatkan apa yang diinginkannya sehingga setelah aku, tidak ada orang lain yang akan bernasib sama denganku.” Jelas Agustine sambil tersenyum padahal wajahnya sudah pucat sekali.

Agustine, beberapa bulan lalu dokter mengatakan bahwa dia mengidap leukimia stadium lanjut. Namun, Agustine tidak ingin berobat atau memberitahu tentang semua ini kepada kedua orang tuanya. Satu-satunya orang yang tahu selain dirinya dan dokter adalah Ron. Ron tahu sejak awal dan dia benar-benar terkejut dengan berita itu.

“Setelah aku sembuh, aku ingin menghadiahkan keluargaku untuk Venesa.” Beritahu Agustine. “Aku ingin pergi ke kota lain untuk menenangkan diriku.”

“Aku menyayangimu.” Ron memeluk Agustine, dia tahu sahabatnya itu begitu rapuh untuk saat ini. “Aku mencintaimu walaupun kita berpisah 10 tahun lalu.” Tambah Ron jujur. Dia mencintai Agustine sejak lama. Walaupun jarak memisahkan tapi, Ron merasa begitu dekat dengan Agustine. “Aku mencintaimu.” Dia mengulangi kata-katanya lagi dan mencium  kening Agustine.

“Kamu bohong kan?” Tanya Agustine sambil tertawa kecil. “Apa kamu kasihan karena penyakitku?” Tanyanya lagi, Ron menggeleng. “Aku nggak bisa bilang cinta tapi, jujur aku menyayangimu bahkan rasa sayang itu lebih besar di banding dengan perasaanku pada Diko.”

“Kamu harus jujur.” Ron merapikan rambut Agustine yang berantakan. “Dan kamu harus mengatakan bahwa kamu juga mencintaiku setelah kamu mengikuti ucapanku, kamu harus sembuh.”

**

“Kak, kak Agustine kemana?” Tanya adik Agustine pada Venesa. “Kak,”

“Kak Agustine lagi liburan.” Jawab Venesa singkat.

“Kakakmu sudah tidak ada.”  Kata Ibunya datar.

**

Agustine memeriksaan kesehatannya ditemani Ron dan begitu terkejutnya Ron ketika dokter mengatakan tidak ada harapan lagi. Agustine tersenyum mendengar penjelasan itu dan dia tertawa kecil seakan semua masih baik-baik saja.

Ron bener-benar tidak menyangka padahal Agustine terlihat baik-baik saja dan hanya sedikit pucat. Namun, mengapa dokter mengatakan seperti itu? Apa dokter itu salah bicara? Atau bersekongkol dengan Venesa? Tidak, dokter itu berkata yang sebenarnya.

“Udah sih, jangan di pikirin.” Kata Agustine. “Aku aja santai, kenapa kamu khawatir gitu?”

“Agustine.” Suara Ron lirih lalu duduk di bangku yang tersedia di sekitar rumah sakit dan dia menunduk. “Aku nggak percaya.”

“Bisa kamu menemaniku sampai Tuhan memintaku untuk menghadapnya?” tanya Agustine, Ron menarik nafas dan mengiyakannya. “Aku mencintaimu.”

 Hari demi hari keadaan Agustine makin memburuk tapi, dia tidak ingin kembali ke rumah sakit. Dia meminta agar Ron mengiburnya dan mengajaknya untuk bersenang-senang.

Mereka kembali ke masa-masa mereka kecil dan bermain di taman anak-anak. Sesekali, Ron mengajak Agustine ke bukit atau perkebunan teh atau ke beberapa tempat yang udaranya  masih segar. Itu baik untuk kesehatan Agustine dan Ron berharap, Tuhan akan berbaik hati meperpanjang hidup Agustine.

“Aku menyayangimu bahkan sejak kecil, aku menyayangimu.” Jelas Agustine jujur. “Hanya saja, aku nggak berani bilang itu karena kamu jauh.” Tambahnya, wajah Agustine semakin pucat dan membiru. “Kukira aku mencintai Diko tapi, setelah kamu disini, aku sadar kalau yang aku sayangi adalah kamu.”

“Ini sudah satu bulan dan kedua orang tuamu diam saja. Mereka nggak peduli atau....” Kata Ron terhenti.

“Mereka peduli, hanya saja mereka masih memiliki Venesa.”

Ron membiarkan Agustine di pelukannya sampai gadis itu benar-benar tenang. Dia senang Agustine bisa sebentar saja melupakan semua hal yang terjadi belakangan ini. Semua hal buruk yang begitu cepat terjadi.

“Aku mencintaimu, walaupun ada banyak wanita di dunia ini, aku hanya mencintaimu.” Ucap Ron sambil menghirup udara segar di tengah-tengah kebun teh dan Agustine tersenyum padanya.

“Aku ingin beristirahat di rumah sakit.” Ucap Agustine, Ron tersenyum lalu membawa Agustine untuk di rawat di rumah sakit.

Agustine meminta Ron untuk mengambil vidio singkat untuk keluarga dan teman-temannya. Saat itu Ron hanya membawa handphone jadi dia merekam hanya menggunakan handphonenya. Ron menarik nafas panjang sebelum mendengarkan Agustine.

“Ma, aku mencintai Ron, Mama mengenal Ron kan?” Agustine mulai membuka pembicaraan. “Venesa baik kok Ma, baik banget, aku ingin Mama mencintainya seperti Mama mencintaiku.” Lalu Agustine menceritakan apa yang terjadi belakangan ini. Semua hal yang terjadi di sekolah sampai tentang bagaimana Venesa membuat keadaan semakin kacau.

Dia terus bicara sampai air matanya menetes. Ron meminta tolong pada seorang perawat untuk menggantikannya merekam lalu Ron duduk di samping ranjang Agustine di rawat.

Ron mengusap kepala Agustine lembut dan Agustine terus berbicara sambil di rekam oleh perawat. Dia menggam tangan Agustine lembut dan masih mengusap kepalanya.

“Ma, Pa, adek, bukannya Agustine nggak mau ngasih tau sejak awal tapi, sejak awal aku tau penyakit ini, aku sudah mulai kehilangan kalian.” Tambahnya lagi lalu duduk dan memeluk Ron sambil meneteskan air mata. Ron mencium keningnya lalu membiarkan gadis itu terus di pelukannya. “Bisa kamu memberikan rekaman ini besok pada kedua orang tuaku?” Ronmenngiyakannya. “Katakan, aku ingin mereka menganggap Venesa seperti anak mereka. Aku ingin Venesa berhenti menyakiti orang lain. Aku ingin menghadiahkan sebuah keluarga padanya. Bukankah mereka sudah membuangku?” Bisik Agustine pada telinga Ron.

“Ayolah, kamu bisa pergi bersamaku.” Pelukan Ron makin erat, dia takut kehilangan Agustine. “Aku mencintaimu dan ini jujur, aku jujur padamu.”

 “Aku mencintaimu lebih dari siapapun sejak aku mengenalmu sejak kecil.” Suara isak tangis Agustine membuat Ron makin taut. “Maaf, maaf, aku ingin kamu memaafkanku, Tuhan berkata lain untuk semua ini.” Lalu tidak ada lagi suara isak tangis bahkan hembusan nafas Agustine.

“Aku mencintaimu dan aku bahagia, aku disampingmu saat semua orang meninggalkanmu.” Lalu Ron melepas pelukannya dan mencium Agustine. “Aku benar-benar mencintaimu.” Dia mengusap kepala Agustine dengan perasaan sedih dan membiarkan Agustine pergi untuk ke surga.

Beberapa perawat dan dokter ikut menangis melihat detik-detik kepergian Agustine. Mereka mendengar ceita Agustine dan itu benar-benar sebuah kisah yang sangat menyakitkan. Memang, tidak ada harapan lagi untuk kehidupan Agustine, semua hanya menunggu waktu dan sekaranglah waktunya.

**

Ron hadir dalam pemakaman Agustine dan kedua orang tua Agustine tidak bisa menahan air mata mereka termasuk adiknya.

“Tante, ada titipan dari Agustine.” Ron memberikan file rekaman detik-detik kepergian Agustine. “Dia pergi dengan bahagia, setidaknya dia menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya.” Lalu Ron pergi melangkahkan kakinya meninggalkan pemakaman.

Ron kembali ke Amerika dengan sejuta kenangan tentang Agustine. Sepuluh tahun dia berpisah dengan Agustine dan dia bertemu tidak lebih dari dua bulan, setelah itu, dia benar-benar berpisah untuk begitu lama lalu dia akan kembali bertemu Agustine suatu hari nanti setelah surga memanggil namanya.

Ron menarik nafas lega dan dia benar-benar mengikhlaskan kepergian Agustine. Setidaknya, dia sudah bisa membuat Agustine bahagia sebelum Agustine benar-benar pergi.

**

“Pa...” Ibunda Agustine menangis histeris ketika melihat rekaman itu, “Dimana Ron? Mama harus bicara padanya. Agustine membisikkan sesuatu pada Ron di rekaman itu.” Ibundanya menangis.

Venesa langsung di musuhi satu sekolah, dia kehilangan Diko, dia juga menyesal karena dia tidak menyangka Agustine akan pergi dari kehidupan ini yang disebabkan oleh dirinya. Dia menyesali perbuatannyatapi, semua terlambat, Agustine sudah pergi. Dia juga benar-benar di larangmemasuki kehidupan keluarga Agustine lagi, adik Agustine pun menjadi membencinya.

“Pa, Mama harus tahu satu pesan yang dikatakan Agustine pada Ron.”

Mereka menghubungi Ron tapi, Ron tidak berbicara sampai akhirnya mereka mendatangi Ron ke Amerik. Namun sama saja, Ron diam dan tidak memberi tahu pesan terakhir Agustine pada siapapun. Dia ingin Agustinetenang di surga dan dia ingin orang yang mengakibatkan Agustine tidak ada harapan hidup menyesal dan tidak akan pernah bahagia.

“Ron,” Ibunda Ron memohon pada anaknya agar memberitahu apa pesan terakhir Agustine yang suaranya tidak terekam dalam rekaman itu tapi, Ron tetap diam dan dia berjanji tidak akan mengatakannya. Dia tidak ingin jika Venesa mendapat hadiah sebuah keluarga dari Agustine padahal Agustine pergi karena Venesa.

“Maaf, aku mencintai Agustine dan aku memiliki hak untuk diam.” Jelas Ron tegas. “Dia ingin memberikan hadiah pada seseorang tapi, aku juga ingin memberikan hadiah padanya dan hadiah itu adalah aku diam atas pesannya.” Lalu Ron pergi dari hadapan kedua orang tua Agustine.

                                                               TAMAT








Biodata Penulis

Aula Nurul Ma'rifah
25 Juni 1995
SMAN 13 BDL
Bandar Lampung
fb : https://www.facebook.com/aulanurul.marifah

2 komentar:

Afiani Gobel | Pena Cinta mengatakan...

Cerpen yang sangat panjang.. Saya masih perlu banyak belajar menulis cerpen sepanjang ini.. :)

Semangat menulis untuk menuliskan semangat..

FLP Chayoo..!!

LALA 'Aula Nurul M' mengatakan...

terimakasih sudah berkunjung :)
kk juga semangat ^_^
Kk sudah membaca cerpen saya ini?
Jelek yaa kak cerpennya?
atau terlalu kepanjangan untuk sebuah novel?

Bagaimana pendapat kk?
Terimakasih sekali lagi sudah berkunjung :)


FLP KEREN !!!

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...