Rabu, 06 November 2013

HAM Pada Rezim Soeharto

HAM Pada Rezim Soeharto

Kejatuhan rezin Soeharto pada Mei 1998 telah membuka babak baru perjuangan penegakan HAM di Indonesia setelah terpasung selama hampir 30 tahun. Mementun kejatuhan rezin ototitarian itu memunculkan desakan terbuka dari kekuatan pro demokrasi terhadap rezin sesudahnya untuk melakukan langkah-langkah hukum dan politik yang tegas, jelas, dan terarah bagi perlindungan HAM, khususnya penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu.
Desakan-desakan tersebut direspon cepat oleh Presiden Habibie dengan menguraikan program-program reformasi pemerintahannya pada 25 Mei 1998. Ia mengumumkan prioritas utama pemerintahannya untuk membabat habis korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),1 menciptakan pemerintahan yang bersih, dan mencabut berbagai aturan pembatasan HAM, terutama kebebasan pers, dengan mengeluarkan beberapa peraturan baru tentang pers dan penyiaran radio yang digambarkannya sebagai bagian dari reformasi di bidang informasi.2 Habibie juga mengumumkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 25 Juni 1998 yang ditetapkan sebagai Kepres No. 129 Tahun 1998 pada 15 Agustus 1998.
Politik hukum HAM terus berlanjut dengan diberlakukannya UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai implementasi TAP XVII/MPR/1998. Salah satu substansi penting pada UU ini adalah diberikannya kewenangan subpoena3 kepada Komnas HAM yang memperkuat kewenangan lembaga ini dalam melakukan penyelidikan.
Beberapa waktu kemudian, pemerintahan Gus Dur mengeluarkan UU No. 26 Tahun 20004 tentang pengadilan HAM yang memuat ketentuan prinsip retroaktif sehingga memungkinkan dilakukannya proses hukum terhadap pelanggaran berat HAM masa lalu. Atas dasar itulah pemerintahan Gus Dur membentuk pengadilan HAM ad hoc di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar melalui Keppres No.31 Tahun 2001 untuk mengadili pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok.
Kebijakan hukum HAM pemerintahan era reformasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu merupakan langkah politik hukum HAM yang strategis sekalipun agenda dialami sejumlah negara di Eropa Timur5, Amerika Latin6, dan Asia7.
Pilihan model penyelesaian dengan memaafkan (to pardon) dan melupakan (to forget) apa yang terjadi, lalu melanjutkan hidup dan kehidupan begitu saja, atau menghukum pelaku (to punish), atau mendirikan Komisi Kebenaran, lalu menuntut pelaku utama ke pengadilan, adalah pilihan-pilihan yang muncul diawal reformasi yang menunjukkan adanya dilema.
Bagi kekuatan pro demokrasi, penyelesaian melalui mekanisme hukum dalam bentuk mengadili pelaku merupakan pilihan tepat untuk menghilangkan praktik kekebalan dalam hukum, atau adanya perlakuan istimewa terhadap para pemimpin negara dan aparat negara tingkat tinggi yang melanggar HAM dimasa lalu. Pengadilan juga penting untuk menunjukkan supremasi nilai-nilai, asas-asas, dan norma-norma negara hukum dan demokrasi8. Kegagalan mengadili dapat menyebabkan sinisme dan ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem politik yang sedang dibangun sehingga tidak akan ada konsolidasi demokrasi yang sesungguhnya.9
Wujud politik hukum penyelesaian HAM masa lalu pemerintahan era reformasi pada akhirnya mengambil jalan mengadili dan menyiapkan alternatif KKR, meskipun disadari adanya dilema yang disebut Orentlicher sebagai Hobson’s Choice, yaitu memilih antara kelangsungan hidup pemereintahan baru itu dengan prinsip-prinsip yang melandasi eksistensi dirinya yang harus pula ditegakkan.
Masalah utama yang menghantui gagasan menyelesaikan masa lalu adalah bayang-bayang kegagalan dimana dipertanyakan mengenai penyelesaian HAM melalui prosedural, birokratis, dan normatif, yang menuntut ketersediaan bukti-bukti formal dan meteriil.
Dari pertanyaan-pertanyaan umum yang problematis tersebut, secara hipotesis dapat dinyatakan bahwa tidak bekerjanya hukum HAM beserta istitusinya dalam menyelesaikan pelangaran HAM masa lalu tidak karena problem substansi hukum, prosedural hukum HAM itu sendiri, dan ketidakmandirian aparatur penegak hukum HAM, tetapi karena pengaruh kekuatan politik orde baru yang masih eksis.

Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...