Rabu, 30 Oktober 2013

Haru-haru (Cerpen)


Haru Haru

Ada seseorang yang mengatakan padaku bahwa sebuah hebat dapat gagal dengan mudahnya hanya kurangnya kesabaran.

Aku tidak mengerti arti kesabaran itu sendiri. Bagiku, itu sebuah kata yang benar-benar menyiksa dalam kehidupan nyata. Kau tahu, kesabaran sama saja dengan melukai hati secara perlahan.

“kamu cukup tersenyum ketika orang-orang menjatuhkanmu, ayolah,” Tio menepuk pundakku, ia berusaha menguatkanku, “aku ingin kamu tersenyum seperti sebelumnya,”

Aku memeluk Tio lembut, “pikiranku benar-benar kacau saat ini,” jelasku, ia tetap tersenyum padaku, “kamu tahu, siapapun sulit untuk kupercayai,”

“Kamu nggak mmpercaiku? Apa aku orang lain bagimu?”

“Tio! Ayolah, kamu adikku, maksudku, orang lain selain keluargaku,” air mataku menetes perlahan. Ini untuk pertama kalinya aku menangis di hadapan adikku atau lebih tepatnya saudara kembarku, “semuanya meninggalkanku, lagi, dan lagi,”

**

“Karina! Tio!” Mama berteriak-teriak dari arah dapur, “cepatlah sarapan, kalian bisa terlambat,”

Aku dan Tio berlari ke dapur, mencium pipi Mama lalu meluncur ke sekolah. Tio mengendarai motornya dengan kesetanan.

“Turunlah kak, aku juga hampir terlambat ke sekolahku,” katanya, aku tersenyum lalu membagi uang jajan yang di berikan Mama tadi.

Kami tidak satu sekolah karena nasib kami berbeda. Maksudku, Tio tidak di terima di sekolah ini karena nilai ujian masuknya kurang memenuhi.

Kemudian, setelah Tio menghilang dari pandanganku, aku berjalan melewati koridor sekolah yang makin memuakkan.

Tulisan-tulisan di mading sekolah begitu membuatku muak. Namaku tertulis di sana dengan jelas bahkan di perjelas lagi.

“Karina,” Divo tersenyum padaku, “kamu baik-baik saja?”

“Setidaknya kamu masih mau menegurku, itu saja sudah cukup membuatku baik,” aku memandang Divo beberapa saat, ia terlihat masih menganggapku teman walaupun kami memiliki jarak, “mau ke kelas?” tanyanya, aku mengangguk, “ayo, kita ke kelas bersama,”

“Kumohon, jangan mencoba baik padaku, itu akan membuatmu kesulitan,” pintaku, ia haya diam lalu menjauh dariku. Makin menjauh dan aku merasa benar-benar kehilangannya.

**

Semuanya masih sama selama dua minggu ini, tidak ada yang berubah. Satu pun siswa tidak ada yang menegurku di kelas ini. Mereka menjauhiku. Mereka menghindariku bahkan aku seolah tidak ada di kelas ini.

“Andien, boleh pinjem buku biologinya nggak?” tanyaku, Andien tersenyum lalu meminjamkan catatan biologinya padaku tanpa bicara sepatah katapun.

Andien, sahabatku, sahabat yang selama ini terus di sampingku dan kini ia seperti orang asing di hidupku. Atau lebih tepatnya, aku yang menjadi orang asing di hidupnya.

Satu per satu pergi dari sisiku. Kehidupanku semakin sepi. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali hanya menerima saja keadaan ini.

**

“Ma,” aku memeluk Mama erat, “aku lelah. Benar-benar lelah,” Mama mengusap kepalaku, “bisakah aku menghilang dari kesunyian ini Ma?”

“Kak!” Tio melepaskan pelukanku dari Mama, “mereka bukan sahabat kakak! Mereka bukan temen kakak! Lo tau kan kak!” Tio membentakku. Dia bahkan memanggilku dengan sebutan ‘lo’ begitu kerasnya, “lo harusnya sadar!”

Air mataku menetes. Menetes lagi. Dan lagi.

Kemudian, pipiku di penuhi air yang persis seperti banjir. Mama hanya menundukkan kepalanya, tidak banyak bicara lalu pergi ke kamar. Aku tahu, Mama sama sedihnya denganku bahkan lebih sedih dariku.

“Hanya kamu dan Mama, kita bertiga saling memiliki kan?” kakiku lemas, terjatuh pada lantai, “aku lelah,”

Tio berjongkok, bicara padaku, ia menahan air matanya, “kakak tahu, teman-temanku masih di sampingku dalam keadaan seperti ini, mereka nggak ninggalin aku kak,”

“Maafkan aku,” kataku. Aku ingat, aku pernah marah pada Tio karena berteman dengan teman-temannya yang terlihat berandalan. Aku bahkan melarangnya berteman dengan mereka. Sekarang, aku sadar bahwa penampilan dan perilaku seseorang tidak selalu sama dengan hati mereka, “maafkan aku. Aku bukan kakak yang baik untukmu,”

“Hei, usia kita sama, jangan menjadikanku bebanmu, kak,”

**

Divo pagi ini tersenyum padaku seperti kemarin-kemarin tapi, ia masih menjaga jarak padaku. Kami selesai ketika berita itu sudah di telinganya, ia meninggalkanku.

“Divo,” panggilku lirih, ia sedang melihat papan pengumuman, “jangan tersenyum lagi padaku karena itu membuatku lelah, lelah sekali,”

“Maafkan aku, semua ini.......”

“Sudahlah, jika kamu tetap disisiku, kamu akan di jauhi banyak orang bahkan orang tua kamu akan memarahimu,” lalu kutinggalkan dia di depan papan pengumuman.

Semuanya memandangku berbeda. Dari senyum ceria mereka padaku, kini hanya senyum keterpaksaan. Bahkan, sekolah ini tampak seperti tempat asing bagiku. Semua tempat, semuanya begitu mengerikan untuk kudatangi.

“Tunggu!” Divo mengejarku, “kuharap, kamu nggak berpikir aku meninggalkan kamu,” ia memegang tanganku.

“Kenyataannya, kamu meninggalkanku bukan?” aku melepaskan tangannya dengan kasar. Aku lelah.

**

Mama terus memelukku, mencium pipiku berkali-kali, memelukku lagi, dan terus mencium. Mama tidak ingin jauh dariku tapi, ini sudah menjadi pilihanku.

“Mama akan menyusulmu,” ucap Mama, aku menggeleng, melarang Mama ikut bersamaku.

“Kalau begitu, aku akan ikut bersama kakak, aku akan menjaga kakak,” Tio terlihat begitu bersemangat padahal aku tahu, hatinya sangat sedih.

“Mama, kalau Mama pergi bersamaku, siapa yang akan menjenguk Papa di penjara? Papa akan sendirian, semakin sendirian,” jelasku pada Mama, “aku takut Papa akan lebih sakit lagi jika Mama pergi. Mama tahu bukan, semua ini jebakan untuk Papa dan Mama harus terus disini, menguatkan Papa,” Mama kembali memelukku tapi, Tio melepaskannya.

Wajah Tio terliat ganas kali ini. Ia terlihat marah padaku karena Aku pergi.

“lo tau, lo itu.....” tiba-tiba dia memelukku, “siapa yang jangain kakak disana kak! Siapa?!”

“Kakak bisa jaga diri, ingatlah, aku lahir 15 menit lebih dahulu, bagaimanapun aku lebih tua darimu,” kataku, “yang harus kamu jaga adalah Mama. Kamu disini masih memiliki teman yang setia padamu, kamu masih bisa menjalani semuanya dengan baik-baik saja,” aku mencium keningnya, “jaga Mama ya, kakak janji akan kembali dengan lebih cantik,”

Aku meninggalkan bandara. Meluncur ke negeri yang sangat jauh. Sendirian. Sepi. Namun, itu lebih baik dari pada disini, menyakitkan.



10 tahun kemudian
Mama memelukku dengan senyumnya yang begitu lembut. Bukan, bukan hanya Mama tapi Papa pun memelukku.

“sepuluh tahun berlalu dan kamu sekarang begitu kurus,” Papa memelukku erat, “maafkan Papa sayang,”

“Papa nggak pernah bersalah sama sekali,” aku tersenyum, “mengenai ucapan Papa kalau aku kurus, Papa salah karena ini program dietku,” tambahku, Papa tersenyum.

Sepuluh tahun aku tidak bertemu mereka. Sepuluh tahun aku pergi jauh, sendirian, menjalani hidup dengan sulit.

Papa sudah keluar dari penjara. Papa terbukti tidak bersalah walaupun pembuktian itu di dapat Papa setelah mendekam 2 tahun di penjara.

“Setelah Papa bebas, harusnya kamu kembali sayang, Mama benar-benar tidak tahu mengapa kamu terus disana,” Mama tersenyum padaku, terlihat dari kedua bola mata Mama kalau rindunya benar-benar besar untukku, “Mama yakin, saat itu teman-temanmu bahkan Divo akan kembali disisimu,”

“Aku berterimakasih Papa telah di penjara, setidaknya aku tahu apa arti kesetiaan sebenarnya, kesetiaan teman, sahabat, dan cinta, semua itu dahulu jauh dariku,”

Mama dan Papa menyiapkankan pesta kecil untukku. Hadiah kecil dari mereka yang kuanggap sebagai hadiah terindah menyambut kedatanganku.

**

Tio tidak terlihat dimana-mana. Ia benar-benar melupakan kakaknya ini.

“bukankah bulan lalu kamu sudah bertemu dengan Tio?” tanya Mama, aku mengangguk.

Tio sering mengunjungiku walaupun seringkali aku melarangnya. Ia tidak pernah mendengar laranganku sama sekali. Ia selalu memberikan alasan kalau ia ingin mengecek keadaanku.

“apakah dia nggak ingat kalau ada pesta kecil dirumah?” tanyaku pada Mama, Mama tersenyum, “anak itu,”

Aku tahu, Tio sudah bekerja pada sebuah perusahaan besar dengan posisi sangat spektakuler tapi, bukankah aku lebih penting dari pekerjaannya?

Mama dan Papa menyiapkan pesta kecil di halaman belakang rumah. Hanya ada Aku, Mama, Papa, dan kakek saja. Memang sepi tapi, hatiku begitu ramai dengan  keadaan seperti ini.

“Hei gadis cantik!” Tio datang bersama tunangannya, “kakak berjanji akan pulang dengan lebih cantik tapi, kakak tahu, semalaman Mama dan Papa hanya berharap kakak pulang bersama menetapnya hati kakak dirumah ini,” tambahnya.

Tio, anak ini semakin berani pada kakaknya. Berani-beraninya ia terdengar seperti memberi ceramah singkat padaku.

“Kakak, aku senang kakak kembali,” Tio memelukku, “dan aku nggak akan membuat kakak pergi lagi, nggak ada alasan kakak untuk pergi lagi,”

Adikku benar-benar lebih dewasa dariku. Ia berani-beraninya melarangku.

“Kakak,” tunangan Tio mencium pipiku, “jangan pergi lagi, aku kerepotan karena harus menggantikan posisimu dirumah ini,” katanya tertawa kecil.

Aku tidak akan pergi lagi ke negeri yang jauh. Aku akan disini, menjaga Mama dan Papa. Sudah cukup bagiku belajar banyak hal dari negeri yang jauh.

Setelah ini, aku akan menjalani hidupku dengan baik-baik saja. Hal yang dulu kualami, aku berharap semuanya tidak akan kembali. Setidaknya, jika itu kembali, itu adalah pembelajaran untukku, lagi.

“Karina,” seseorang memanggil namaku. Ia berjalan kearahku, membawa serangkaian bunga, “maaf, aku datang tanpa undangan,”

Aku memandangnya lekat, aku mengenali wajahnya, “Divo...,” ya, dia Divo, cinta masa SMA-ku, cinta masa laluku, cinta yang meninggalkanku ketika aku terjatuh, “baiklah, kamu bisa bergabung,”

“Saat kamu pergi, aku ingin mengejarmu, aku ingin menghentikanmu dan meminta maaf,” jelasnya, “tapi, aku bahkan nggak tau kamu ada di negara mana,”

“Aku sudah memaafkanmu. Semua yang terjadi dulu, itu seperti sebuah hadiah agar aku sadar,” jelasku, “ayo, ikut makan bersama kami,” tawariku, Tio dan tunangannya langsung memandangku tidak setuju, Mama dan Papa juga ikut memandang tidak setuju kalau Divo ada dalam pesta ini, bahkan kakek langsung berhenti makan.

Apa yang terjadi sebelumnya memang begitu menyedihkan tapi, aku tidak ingin berlarut-larut dalam dendam. Setidaknya, saat ini Divo masih menganggapku temannya dan ia tidak memusuhiku.

“Pak.......” Tio terlihat gugup ketika seseorang datang padahal penampilannya tidak menyeramkan bahkan sangat santai, hanya mengenakan kaus dan celana jeans biasa, “Pak Darren, apakah ada hal yang penting? Maaf jika bapak menghubungi saya, handphone saya tertinggal didalam, maaf pak,”

“Ini bukan di kantor, aku hanya lebih tua 4 tahun darimu, jangan terlalu takut padaku seolah aku kakek-kakek galak,” pria itu menepuk bahu Tio, “sudah sampai mana pestanya?”

Aku tersenyum. Darren datang seperti janjinya. Seperti apa yang di katakan sebelumnya. Seperti kenangan saat kami di luar negeri.

Mama dan Papa hanya bingung dengan kedatangan Darren. Darren yang tidak lain bos Tio di kantor, yang tidak lain pewaris sah dari konglomerat negeri ini. Darren yang tidak lain seseorang asing bagi kedua orang tuaku atas kedatangannya.

“Kakek, kakek nggak makan?” Darren menyapa kakekku yang kebetulan sedang tidak berselera makan karena kedatangan Divo. Kakek baru saja sembuh dari sakit struknya dan masih sangat lemah, “ayo kek, saya suapi ya,” tawarinya dengan begitu manis dan lembut. Kakek menyambut Darren dengan senang.

“Maaf, kami tidak tahu harus memanggilmu bagaimana. Apakah Tio melakukan kesalahan di kantor?” tanya Mama pada Darren. Suasana hening sekali setelah kedatangan Darren. Mama dan Papa terlihat serba salah menyapanya.

Setelah Papa keluar dari penjara, Papa tidak lagi bekerja di pemerintahan. Papa mengundurkan diri walaupun sudah terbukti tidak bersalah. Papa hanya ingin hidup tenang tanpa terbebani pekerjaan.

Harusnya, Papa biasa saja saat bertemu Darren. Papa tidak perlu segan walaupun Papa sudah tidak memiliki jabatan di pemerintahan lagi.

“Maaf pak, apakah bapak ingin memecat saya makannya bapak berbaik-baik hati pada saya?” tanya Tio pelan, menjaga kata-katanya, “biasanya, bapak memarahi saya, dan.......”

“Ini bukan kantor, anggap saja kita teman,” Darren memeluk Tio beberapa detik, “apakah pesta ini masih lama?” tanyanya pada kami semua, aku tersenyum.

Aku melihat wajah semua orang disini tampak bingung kecuali Divo. Divo masih sama, ia lebih memilih diam seribu bahasa karena ia sadar kehadirannya tidak di sukai.

“Mama, Papa, Kakek, adikku tersayang, kedatangan Darren hanya ingin memperjelas hubungan kami,” jelasku lalu menggenggam tangan Darren lembut, “maafkan aku nggak bilang semuanya dari awal tapi, aku ingin ini jadi kejutan,”

“Apa?!” Divo terkejut dan ia langsung pergi meninggalkan tempat ini. Ia terlihat kesal sekali.

Kakek mendekat padaku, “kakek sudah menyadarinya. Ketika ayahmu di penjara, keluarga Darren bicara pada kakek kalau mereka akan membantu membuktikan Papamu tidak bersalah,” kakek tersenyum padaku, memeluk Darren, “kakek sangat merestui hubungan kalian,”

Aku dan Darren kenal sepuluh tahun lalu. Ia orang yang membantuku mengenal negeri baru. Ia membantuku beradaptasi dengan tempat baru dan ia membantuku belajar banyak hal bahkan, ia satu-satunya orang yang tidak menjauhiku walaupun tahu kalau ayahku di penjara karena kasus korupsi uang negara.

“Ayah, ayah merahasiakannya dari kami?” tanya Papa dari kakek, kakek hanya tersenyum.

Ayah tahu siapa yang membantunya bebas tapi, ayah tidak pernah tahu kalau ini semua karena Darren.

“Tapi kan kak, saat aku menemui kakak, kakak nggak pernah bercerita,” Tio memandang tanya, “apa yang kakak lakukan?”

“ini kejutan,” kataku.

Ketika keluarga Darren membantu Papa, saat itu aku hanya berteman dengan Darren. Ia benar-benar teman yang baik dan selalu memberiku semangat.

Aku dan Darren menjalin hubungan cinta setelah kami kenal selama 3 tahun dan setelah hubungan kami berjalan 2 tahun, ia kembali ke Indonesia. Kalau di hitung-hitung, kami sudah pacaran hampir 7 tahun. Itu waktu yang cukup lama untuk kusembunyikan dari keluargaku.

“Sebentar, Pak Darren bosku selama beberapa tahun ini tapi, kenapa aku tidak tahu pak?” Tio bertanya sopan pada Darren, “maksudku, setidaknya jangan terlalu sering memarahiku dan membentakku,”

Aku ingat beberapa bulan lalu saat Tio mengunjungiku. Ia bercerita tentang bos-nya yang galak dan sering marah-marah tidak jelas. Andaikan Tio tahu kalau Darren marah-marah karena tidak sanggup jauh dariku pasti dia akan tertawa terbahak-bahak.

“Kamu mau saya pecat!” ancam Darren, “sekali lagi kamu memanggil saya ‘Pak’ di luar kantor maka, kamu akan saya pecat,” Darren menjitak kepala Tio.

Mama dan Papa memandangku penuh tanya kemudian tersenyum. Mereka mendekat padaku.

“anak Papa sudah besar,” Papa memelukku kemudian menepuk pundak Darren, “terimakasih karena kamu telah menjaga Karina selama ini,”

“Oh em...” Darren menggaruk-garuk kepalanya, “sebenernya kebalik om, Karina yang menjagaku disana,” jelasnya, “maaf om, tante, semuanya, maaf karena saya dan Karina merahasiakannya,”

Mama tersenyum, “kalau yang dijadikan kejutan oleh Karina adalah pria sebaik dirimu, untuk apa kami tidak memberi maaf?”

“Om, tante, apakah orang tua saya boleh bergabung disini?” tanya Darren, “mereka sudah menunggu di luar, apakah.........”

“Bos ini galak-galak ternyata bodoh ya,” Tio memarahi Darren, “aku akan menjemput orang tua bos, anak macam apa membiarkan kedua orang tuanya di luar menunggu!”

Aku tersenyum begitupun dengan kedua orang tuaku serta kakek. Tunangan Tio pun terlihat senang karena setidaknya, bebannya akan berkurang setelah aku kembali.

“Aku akan disisimu, selamanya, aku jodohmu,” bisik Darren di telingaku, “kamu hanya milikku,”

TAMAT


*) Haru-Haru : Hari demi hari

 Cerpen oleh Aula Nurul M
Mau copast tolong sertakan linknya kalo gak yaa gue doa'in jelek-jelek loh :D hihi

Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...