Rabu, 30 Oktober 2013

BAB 1 Novel - Useobwa

Kadang semakin kita menganggap hidup itu sulit maka hidup akan makin sulit. Dan, terus menerus akan sulit. Namun, jika hidup kita anggap mudah maka kita nggak akan pernah mendapatkan tantangan. Entahlah, bagiku, hidup itu membingungkan jika terlalu jadi pokok pikiran. Yang aku tahu, kini aku menjalani hidup dengan damai. Damai sekali. Begitu menyenangkan tanpa beban. Dan kuharap, nggak akan pernah ada beban di hidupku

Useobwa (Senyum)
Angka-angka diskon itu membuat mata Violeta berbinar-binar dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia langsung menuju lantai dua mol ini tempat diskon berlangsung. Namun, ia langsung lemas melihat barang yang didiskon adalah barang-barang lama dengan merek biasa.
Ia turun ke lantai satu kemudian pulang.
“Violet, ada apa dengan wajahmu?” Mama terkejut ketika Violet pulang dengan wajah pucat, “apakah kamu dari mol lagi?” ia menangguk mendengar pertanyaan dari Mama, “bagaimana kamu ini, kamu berbisnis online shop tapi masih saja ke mol untuk mengerjar diskon,”
“Aku menyesal Ma. Sudahlah, aku lelah, jangan dibahas lagi,” katanya lirih tanpa semangat, “oh ya, makan malam nanti, aku akan makan malam di luar. Jangan tunggu aku,” kemudian ia menghilang dari pandangan Mama.
Mama hanya tersenyum melihat keseharian Violeta yang selalu menghambur-hamburkan uang. Sebenarnya, Mama sudah melarang Violeta untuk boros namun ada saja cara Violeta untuk membuat Mama diam seribu bahasa.
Di kamar, Violeta memilih-milih dress mana yang akan dipakainya malam ini. Ia nggak mau berpenampilan biasa-biasa saja yang nggak menunjukkan jati dirinya.
Violeta memiliki ruangan besar di dalam kamarnya yang dikhususkan untuk menyimpan pakaian. Pintu rungan itu pun nggak terlalu mencolok karena seseorang akan menganggap itu sebuah lukisan. Ya, kamar Violeta memang nggak terlihat banyak barang karena semua barang-barang terutama yang dikenakannya ada diruangan tersendiri.
‘Violet, aku diminta ibuku untuk menanyakan kabarmu’  sebuah pesan meluncur pada handphone Violeta.
‘Baiklah, katakan pada ibumu bahwa aku baik-baik saja. Sampaikan juga salamku pada ibumu. Terimakasih sudah bertanya’
‘Ini hanya sekedar formalitas,’
‘Dan aku membalasnya pun hanya sebagai formalitas’
Terdengar suara sebuah mobil terhenti di halaman depan. Violeta langsung melirik jam tangannya, ‘pukul tujuh tepat! Oke baiklah’.
Ia keluar dari rumah. Di depan rumah, sahabatnya, Tasya sudah menunggu. Ia memandangi Tasya dari atas sampai bawah. Matanya begitu takjub dengan kecantikan sahabatnya.
“Aku iri,” ucap Violet jujur. Ia benar-benar iri melihat gaun yang dipakai Violeta malam itu, “apakah kamu membelinya di butik langgananmu? Atau kamu memesannya secara khusus?”
“Ini hadiah, kalau kamu mau, besok aku bisa mengantarkanmu pada perancangnya,” Tasya tersenyum kemenangan melihat mimik wajah Violeta yang menunjukkan kekesalannya, “sudahlah, bungkus saja kekesalanmu itu. Ayo! Aku sudah lapar,”
Mereka meluncur ke sebuah restoran Jepang yang cukup mewah. Kebetulan, restoran ini baru beberapa minggu buka jadi mereka ingin mencicipinya sambil menilai rasa masakan di sini.
“Kamu tahu harga dua porsi makanan yang akan kita makan ini?” Tanya Tasya, Violeta tertawa kecil, “dua porsi makanan ini jika diuangkan bisa membeli sebuah tablet. Bukankah itu sayang sekali?”
“Aku nggak boleh menyia-nyiakan uang Papa-ku. Bukankah kamu berpikiran yang sama?” Tasya mematung, “hei, ayolah,” anggukan dari Tasya pun didapatkannya, “baiklah, ayo kita makan,”
“Setelah ini, apakah sebaiknya kita minum sedikit?” kemudian keduanya tertawa kecil bersama lalu mulai melahap makanan yang telah datang beberapa menit lalu.
Sejak kecil, Violeta tumbuh besar bersama Tasya. Mereka memiliki banyak kemiripan. Keduanya seperti anak kembar karena nggak pernah terpisahkan walaupun wajah mereka nggak mirip. Mereka sama-sama cantik dan mempesona setiap pemuda yang melihat. Mereka sama-sama suka shopping, sama-sama pengoleksi barang-barang bermerek mahal, sama-sama suka dengan makanan mahal, dan masih banyak lagi kesamaan meeka. Cantik, pintar, dan kaya, dapat dikatakan bahwa mereka cukup sempurna sebagai seorang wanita.
Namun, ada salah satu yang membedakan mereka yaitu tentang orang tua mereka. Kedua orang tua Tasya berbeda dengan kedua orang tua Violeta. Tasya selalu dibatasi pengelurannya seriap bulan semenjak duduk dibangku kuliah sedangkan Violeta nggak pernah dibatasi apapun itu sampai detik ini.
Tasya sebenarnya sedikit iri dengan Violeta. Setiap bulan ia harus mengatur pengeluarannya sedangkan Violeta nggak pernah mau ambil pusing tentang uang yang dihabiskannya.
“Makanan ini rasanya benar-benar keren. Aku nggak menyesal makan disini,”
“Bagiku ini biasa saja, kalau keren pasti makanan ini akan meledak seperti BOM Bali di mulutku,” Violeta tertawa kecil, “ya kan?”
“Nggak lucu Vio, sumpah,”
“Lalu apa yang lucu? Mendapatkan pacar gitu?”
Tasya diam seribu bahasa. Keduanya sama-sama nggak memiliki pacar. Walaupun banyak mahasiswa di kampus yang mendekati mereka tapi, mereka sangat pemilih dalam hal pacaran. Untuk Violeta sendiri, ia nggak pernah serius dalam berpacaran karena selama berpacaran dengan siapa pun, ia nggak pernah merasakan jatuh cinta. Sedangkan Tasya, ia hanya jatuh cinta pada satu pemuda yang nggak lain teman satu kampusnya namun pemuda itu nggak pernah merespon cintanya sama sekali. Melirik pun hampir nggak.
“Sya, kamu nggak nyari pacar lagi?” tanya Violeta, “Sya,” ia menendang kaki Violeta. Beberapa bulan lalu, Violeta putus dengan pacarnya. Ia berpacaran tanpa sedikit pun rasa cinta, “cari dong Sya,”
“Cari pacar mah gampang ngedip mata juga dapet tapi aku mau berjuang biar bisa dapetin hatinya Azka. Pokoknya harus Azka! Titik! Udah nggak mau lagi pacaran sama yang ini itu biar Azka cemburu karena ujung-ujungnya Azka nggak cemburu,” Tasya mengeluarkan banyak kata-kata dari bibirnya sampai Violeta sedikit pusing, “Lah kamu, kenapa nggak nerima Rio waktu dia nembak kamu?”
“Lagi males aja pacaran. Capek ngasih perhatian palsu sama orang. Lagian... enak jomblo begini nggak ada yang ganggu,”
“Aku tau. Aku tau. Kamu takut hukum Tuhan kan kalau pacaran? Hayo... takut karma gitu secara... ah sudahlah,” ia nggak melanjutkan lagi ucapannya karena itu akan membuat Violeta kehilangan senyum lagi.
**
Kampus nggak terlalu ramai hari ini. Anak-anak pun nggak ada yang bergossip atau melakukan keributan lain. Begitu tenang dan damai.
‘Hidup ini benar-benar indah. Rasanya nyaman sekali jika hidup terus seperti ini. Terus tersenyum tanpa sedikit pun masalah adalah impian semua orang. Aku ingin terus tersenyum. Selamanya. Selama aku hidup bahkan sampai aku disisi Tuhan pun, aku ingin tersenyum’
Violeta sudah menghabiskan sekaleng soft drink yang dibelinya sebelum mencari-cari keberadaan sahabatnya.
Dari kejauhan, ia melihat Tasya sedang digoda para mahasiswa dengan rayuan sejuta maut mereka. Mereka benar-benar terpesona dengan kecantikan Tasya yang luar biasa sedangkan untuk menggoda Violeta, mereka nggak berani karena Violeta sedikit menyeramkan jika digoda atau merasa terganggu.
“Hei Vio,” sapa dua orang mahasiswa yang Violeta tidak ketahui siapa namanya, “duduk disini Vio,” mereka mengajak Violeta duduk dikursi ketika melihat ada kursi kosong, “oh ya Vio, boleh nanya sesuatu nggak?”
Sorry, aku nggak ada waktu untuk bicara dengan kalian kalau itu bukan hal penting tentang mata kuliah,” jelas Violeta dengan lembut, “maaf ya, please jangan marah” Kedua mahasiswa itu perlahan tancap gas meninggalkan Violeta. Walaupun mereka ingin lebih dekat lagi dengannya tapi, mendengar penolakan yang begitu ramah membuat mereka nggak enak hati.
Violeta kurang suka jika ada mahasiswa di kampus yang mendekatinya. Bukan karena ia pilih-pilih teman tapi karena ia nggak suka dengan niat mereka.
Walaupun para mahasiswa yang mendekatinya cukup tampan tapi, bagi Violeta tetap saja niat mereka nggak sesuai dengan isi kepalanya. Baginya, beteman ya beteman, nggak lebih.
Violeta nggak mau lagi pacaran. Ia nggak mau lagi pura-pura perhatian dan pura-pura sayang terhadap kesehatan seseorang yang menjadi pacaran. Ia sudah nggak mau pura-pura lagi. Ia nggak mau membuat orang sakit hati lagi karenanya.
“Hey Vio,” sapa beberapa mahasiswa yang lewat dan Violeta menyambut sapaan mereka dengan senyum hangat.
“Vio!” Tasya menepuk pundak Violeta cukup keras, “bete loh sumpah aja!” kemudian ia duduk disamping Violeta.
“Kenapa? Ada cowok yang gangguin kamu? Biarin aja kali, mereka itu fans kamu,”
“Yah kamu mah enak Vio bisa nolak secara halus terus mereka langsung ngabur. Lah aku? Cuma senyum aja tapi nggak bisa ngusir,” keluhnya, “kenapa jadi orang cantik itu susah ya?” Violeta sedikit menaikkan alisnya, “mengapa wajahmu seperti menghinaku? Kamu sama saja dengan mereka. Semuanya membuatku kesal,”
“Jadi siapa yang salah?”
“Yaa salah Azka lah habis nggak nembak-nembak aku padahal kan udah jelas hati aku cuma buat dia. Coba geh pikirin kalau.........”
“Oke stop! Tasya stop! Please, jangan Azka lagi,”
Violeta benar-benar nggak habis pikir bagaimana isi kepala sahabatnya lebih banyak diisi tentang Azka daripada hal lain yang lebih penting. Ia tahu jika sahabatnya itu sudah cinta mati pada Azka namun tindakan Tasya setiap hari benar-benar membuat kepalanya pusing.
Stop Tasya. Stop ngejer-ngejer Azka dengan ngelakuin banyak hal bodoh,” Violeta memegang erat kedua pundak Tasya, “itu akan membuatmu semakin terpuruk,”
Tasya nggak bicara, ia justru sibuk mengaduk-aduk handphonenya sambil menggerutu. Diputarnya handphone itu, kemudian dimati-hidupkan, dan diputar-putar lagi.
“Oke, baiklah,” Violeta tertawa kecil, “aku akan mendukungmu,”
‘Aku nggak habis pikir bagaimana cinta bisa membuat Tasya seperti ini. Ia selalu memberikan perhatian secara terang-terangan pada Azka dengan tebal muka. Apakah hanya karena cinta Tasya bisa mempermalukan dirinya? Aku benar-benar nggak mengerti tentang itu’
Violeta nggak pernah jatuh cinta pada lawan jenis. Baginya cinta pada lawan jenis nggak lebih penting daripada cintanya pada barang-barang bermerek.
Mama pernah mengatakan padanya agar ia belajar mencintai lawan jenis namun, ia selalu tersenyum mendengarkan perkataan Mama. Bukan ia nggak normal, ia masih perempuan tulen hanya saja cinta memang belum pernah hadir pada hidupnya.
Jika ia selalu mengingat ucapan Mama tentang cinta, ia juga selalu teringat tentang sebuah peristiwa yang telah membuat kepalanya sedikit sakit. Ia selalu menganggap kejadian itu nggak pernah terjadi namun, pada kenyataannya itu pernah terjadi dan menjadi bagian hidupnya tanpa bisa menolak. Akan tetapi, untuk sekarang ini, ia nggak mau memikirkan kejadian yang menyangkut hidupnya, ia hanya ingin tersenyum menjalani hidupnya yang sekarang.
“Oh iya, Vio, kemaren Mama aku bilang ada peresmian butik baru punya temen Mama aku. Besok siang kita ke sana, aku diminta gantiin Mama aku. Mau ikut kan?”
“Tentu saja. Aku nggak akan menolak tentang tawaran seperti ini,” wajah Violet sangat semeringah. Pipinya merona seakan mendapat lotre.
“Sip, kita siap-siap belanja lagi, oke?”
Keduanya benar-benar begitu bahagia dengan yang namanya belanja. Bagi Violeta, ada kalanya cinta Tasya pada Azka dikalahkan oleh shopping.
**
Gilang baru saja pulang dari Singapura dalam rangka perjalanan bisnisnya. Mama dan Papa menyambut kepulangan Gilang dengan hangat sore ini.
“Violet cantik,” ia menggoda adiknya, “kakak punya oleh-oleh loh buat anak manja di rumah ini,”
Violeta kurang suka dengan sambutan kedua orang tuanya yang terlalu berlebihan akan kepulangan Gilang atau lebih jelasnya, ia iri pada kakaknya yang mendapat perhatian lebih seperti ini.
“Ceritanya ada anak manja yang ngambek nih?” goda Gilang lagi, “bener nggak mau oleh-olehnya?”
“Apa dulu oleh-olehnya?” Violeta bertanya dengan sungguh kemudian Gilang mengeluarkan kotak yang berisi sepatu putih cantik yang telah diidam-idamkan Violeta, “oke aku terima hadiahnya tapi lain kali kalau pulang dari luar negeri, nggak usah lebay juga kali sambutannya,”
“Vio...” Mama sedikit memarahi Violeta sedangkan Papa nggak melakukan apapun kecuali menonton tingkah kedua anaknya.
“Heh, kamu ini udah 19 tahun kok masih ngambek kayak anak TK. Inget kamu ini udah........ ups, sorry keceplosan,” Gilang hampir saja menyebutkan sesuatu yang nggak disukai adiknya, “ada titipan nih dari keluarga Erza buat kamu,”
“Kakak!” ia mencubit Gilang, “please, nggak deh,” kemudian Violeta ngeloyor ke kamar. Mama dan Papa hanya tertawa melihat tingkahnya yang benar-benar kekanak-kanakan jika mengungkit sesuatu yang selalu ada dalam pikiran Violeta.
“Liat tuh  Ma, Pa, bilangnya nggak-nggak tapi dibawa juga titipannya Erza. Dasar aneh,” Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya, “mimpi apa dulu bisa punya adik sepertinya,”


Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...