Jumat, 30 Oktober 2015

BAB 2 - Penguntit Special "NOVEL"

BAB 2

Seseorang membangunkanku dari tidur nyenyakku. Apakah Aku terlambat bangun? Biasanya tidak ada yang membangunkanku kecuali Aku terlambat bangun dan tentu saja, Firas yang membangunkanku karena setiap pagi dia menjemputku untuk ke sekolah bersama. Bahkan, kami pernah terlambat ke sekolah dan itu karena Aku terlambat bangun apalagi Firas harus membangunkanku lalu menungguku mandi, sarapan, barulah ke sekolah.

“Aku terlambat lagi ya, maaf,” kubuka mataku perlahan, “harusnya kamu ke sekolah duluan, Aku bisa naik bis,”

“Dania,” suaranya seperti suara wanita, “sudah setengah tujuh pagi, Firas menunggumu di depan,”

“Mom? Sejak kapan Mom yang membangunkanku tidur?” kataku singut, “Aku tidak suka Mom yang membangunkanku. Apakah Papa tidak menjelaskan itu pada Mom?” lalu Aku bergegas mandi tanpa memberikan senyum pada Mom.

Aku sudah membuat perjanjian dengan Mom sebelum Mom menikah dengan Papa. Aku meminta Mom tidak mengurusi urusan pribadiku, tidak mencampuri kegiatanku, tidak melakukan hal-hal yang tidak kusukai, dan jangan mengaturku. Tapi, pagi ini Aku tidak suka sama sekali. Ini untuk pertamakalinya Mom membangunkan tidurku di pagi hari, bukan Papa.

“Maaf,” kata Mom setelah Aku keluar dari kamar mandi, “tapi, bukan hal yang baik jika Firas masuk ke kamarmu begitu saja dan membangunkanmu. Bagaimanapun dia anak laki-laki,”

“Apa masalahnya? Dia pacarku, Papa saja tidak pernah bermasalah tentang hal itu,”

“Karena Papa tidak ingin membuatmu kesal tapi, Papa juga khawatir. Mulai hari ini, tidak ada anak laki-laki yang bisa masuk ke kamarmu begitu saja,”

“Dia tidak pernah melakukan apa-apa padaku, dia menjagaku, dan bahkan saat di Paris, hal seperti ini tidak pernah diributkan Mama,” kataku kesal, “Firas anak yang baik, dia-men-ja-ga-ku, jangan mencoba membuat peraturan untukku, Mom bukan Ibu kandungku,”

Aku meminta Mom keluar dari kamarku, Aku ingin memakai seragamku dan Aku sudah kesal dengan tindakan Mom yang keterlaluan.

Di meja makan, Papa menyapaku tapi, Aku hanya diam lalu mencium Papa tanpa sarapan sedikitpun. Aku terbiasa sarapan tapi, kalau suasananya seperti ini ada baiknya Aku tidak sarapan sama sekali. Kalaupun magh-ku akan kambuh, peduli amat, Aku kesal.

Kau tahu, ibu tiri bukanlah ibu kandung jadi wajar jika Aku tidak mau mengikuti apa kata Mom. Mama saja tidak pernah membuat peraturan yang membuatku kesal tapi, Mom yang tidak ada hubungan darah denganku bisa-bisanya membuat peraturan seperti itu.

“Kita terlambat 30 menit ke sekolah dan kamu belum sarapan,”

“Aku tahu, Aku bisa ke UKS jika perutku sakit,” jelasku, “kamu tau apa yang tidak kusukai dari Mom? Tidak membuat kepalaku sakit,”

“Mom benar, tidak baik anak laki-laki datang pagi-pagi lalu masuk ke kamar seorang gadis untuk membangunkannya,” Firas berusaha membela Mom, “lagi pula, Aku selalu ingin tertawa setiap datang kerumahmu dan kamu masih tertidur, saat tidur, kamu benar-benar lucu,”

“Apakah ini pengalihan perhatian? Bagaimanapun, Aku tidak suka ada peraturan baru dirumah,”

Firas tersenyum kemudian tertawa kecil. Dia benar-benar bisa menempatkan dirinya dengan baik bahkan, dia tetap membela Mom dalam keadaan seperti ini dengan tidak mengecilkanku.

Sebelum ke kelas, kami harus berlari 10 kali lapangan dan Aku baik-baik saja, tidak pingsan walaupun belum sarapan. Aku terbiasa olahraga, Aku memang senang berlari, senang melompat dari tebing yang tinggi, senang melakukan hal-hal ekstrim jadi, lari 10 kali lapangan bukanlah masalah.

“Kamu lelah?”

“Harusnya pertanyaan itu yang kulontarkan padamu. Walaupun kamu lebih gila dalam hal olahraga tapi, kamu belum sarapan, kasihan lambungmu,”

“Bicara soal olahraga, bagaimana kalau akhir pecan nanti kamu menemaniku panjat tebing? Maksudku bukan hanya menemani tapi, ikut bermain,”

“Tidak untuk satu itu, Aku takut ketinggian,” katanya tersenyum, “naik pesawat tidak masalah tapi tidak dengan panjat tebing dan melompat, kamu saja,”

Kuakui, Firas memang begitu takut dengan tebing. Kau tahu bukan kalau sesempurna-sempurnanya seseorang, ada pula kekurangannya. Namun di bidang lain, Firas dapat melakukannya dengan baik bahkan lebih baik dari siapapun di sekolah ini.

‘Mama kira akan sulit bagimu mendapatkan anak laki-laki yang mencintaimu dengan tulus tapi, masih ada yang mencintaimu seperti Faris’ ucap Mama ketika Aku ke Paris bersama Firas.

‘Maksud Mama? Bukankah ini sudah sewajarnya?’

‘Kamu terlalu sempurna bagi anak laki-laki. Kamu cantik, sexi, cukup cerdas, kamu bisa melakukan kegiatan anak laki-laki seperti memanjat tebing atau bermain bola kaki, dan masih banyak kesempurnaanmu’

‘Mama memujiku?’

‘Tidak. Bagi Mama itu kekuranganmu karena akan banyak anak laki-laki yang menyukaimu hanya karena kesempurnaan itu bukan karena cinta. Namun, berbeda dengan Firas, dia benar-benar mencintaimu karena dia sama sempurnanya dengan dirimu,’

Apakah ucapan Mama ketika Aku dan Firas ke Paris benar? Penjelasan Mama benar tapi, apakah itu kekuranganku? Apakah itu juga kekurangan Firas?

Kukira, apa yang bisa kulakukan akan membuat orang menyukaiku dengan tulus hati tapi, kesempurnaan itu menjadi kekurangan besar dalam hidupku. Apakah hal itu yang membuat orang yang kusuka tidak memandangku sama sekali? Jika benar, apa yang harus kulakukan?

“Beib, sudah bel istirahat, kamu lapar kan?”

“Kalau kamu mentraktirku makan maka Aku akan lapar,”

“Aku ada latihan basket. Maafkan Aku,” dia mencium keningku, “kamu harus makan atau kamu akan sakit, ingat tadi pagi kamu belum sarapan,” lalu Firas keluar kelas.

Aku tidak dapat mencegahnya latihan karena dia tetap akan pergi walaupun kularang. Padahal, teman satu timnya saja tidak latihan kecuali sepulang sekolah nanti. Aku ingin menemaninya latihan tapi, dia pasti mengusirku karena dia ingin Aku makan, menjaga kesehatanku.

Aku memesan nasi ayam di kantin dan Aku duduk dengan Caroline karena hanya bangku ini yang tersisa. Walaupun Aku tidak ingin tapi, tidak ada pilihan lain.

“Firas kemana Dan?”

“Seperti biasa, mengejar sesuatu yang misterius,” jelasku, “kamu sudah hampir selesai makan ya? Kurasa Aku akan makan sendirian disini setelah kamu pergi,”

Caroline mengerti maksudku. Para siswi tidak ada yang ingin duduk di meja kantin yang sama denganku, mereka sedikit menjaga jarak denganku. Apakah mereka marah karena Aku pacaran dengan Firas? Kurasa mereka cemburu.

“Apakah kecemburuan mereka sebesar itu? Aku hanya berpacaran dengan Firas, itu hal yang wajar,”

“Tidak. Jujur, bukan karena hal itu mereka menjaga jarak denganmu,” beritahu Caroline, “kamu cantik, siswi tercantik di sekolah ini bahkan lebih cantik dari seorang model remaja, mereka canggung jika harus duduk denganmu,”

Aku tersenyum dan tidak bisa bicara apapun setelah Caroline menjelaskannya. Apa yang Caroline katakan rasanya benar padahal, Aku ingin mereka memperlakukanku seperti siswi lainnya.

“Hei Car,” sapa Volan pada Caroline, “kamu sudah selesai makan?” Caroline mengangguk pelan dan seperti biasa, Volan tidak menanyakanku sama sekali, “padahal Aku baru memesan makanan, Aku lebih senang jika makan ditemani kamu,”

Baiklah, Aku disini hanya jadi patung pendengar saja. Jika Volan menyukai Caroline, yasudah toh Aku sudah tidak punya harapan lagi. Aku sudah punya Firas yang mencintaiku dengan tulus dan Volan, terlalu jauh berharap padanya.

Dia menyukai Caroline, setiap pagi dia menjemput Caroline walaupun Caroline sering sekali menolak ajakannya ke sekolah bersama. Di sekolah mereka memang terlihat biasa saja tapi, Aku sering sekali melihat Volan di depan rumah Caroline.

“Lan, Aku ke kelas duluan ya. Oh iya, kamu makan bareng Dania aja, kasian Dania kalau sendirian,” lalu Caroline pergi seolah memberikan sumbangan teman makan padaku. Apakah Aku patut di kasihani oleh Caroline sehingga dia memberikanku sumbangan seperti ini?

Volan memakan perlahan mie ayam yang di pesannya tanpa bicara denganku. Kurasa dia agak kesal karena di tinggal Caroline begitu saja.

“Sejak kapan kamu menyukai Caroline? Aku melihatmu setiap hari di depan rumahnya,”

“Aku lupa sejak kapan,” jawabnya lalu menghentikan makan, “apakah Firas sedang latihan basket?” Aku mengangguk kecil, “dia begitu giat latihan padahal Aku saja tidak terlalu memaksakan diri,”

“Mungkin itu rasa tanggung jawabnya sebagai kapten,” jelasku, “mengapa kamu menyukai Caroline? Bukankah adik kelas kita yang seorang model itu meyukaimu? Dia lebih cantik dari Caroline,”

Volan tertawa kecil, “kamu ini lucu, apakah cinta hanya di pandang dari wajah?” tanyanya, Aku langsung diam, merasa salah bertanya, “Aku hanya bergurau, Aku tahu kamu cantik dan Firas tampan, jangan tersinggung dengan ucapanku,”

Aku tidak tersinggung dengan ucapannya hanya saja, berarti dia tidak memandangku sama sekali karena hal ini? Lalu apa yang di lihatnya dar Caroline? Caroline berkulit sawo matang tapi kulitnya kurang sehat alias tidak begitu lembut karena dia tidak pernah melakukan perawatan di salon, bentuk tubuhnya juga biasa saja, dan kegiatannya pun biasa saja.

“Tadi kamu mengatakan mengenai wajah. Kalau Aku berpacaran dengan Firas karena hal itu, kami sudah pacaran sejak baru kenal tapi, kami tidak pacaran dengan cepat bukan?” kataku lirih karena beberapa siswa-siswi memandangi kami, “kamu mau tahu tidak, Aku berpacaran dengan Firas karena dia bisa bermain basket,”

“Itu bukan suatu kelebihan Dan, bukan,” Volan melanjutkan makan, “anak-anak memandangi kearah kita. Rasanya, Aku tidak pantas duduk disini, dengan siswi secantik dirimu,” Aku tertawa kecil, “apakah ada yang salah dengan ucapanku? Kamu cantik dan Aku ataupun yang lain merasa tidak pantas duduk di dekatmu. Hal itu akan menunjukkan perbedaan besar.

**

Mom di dapur ketika Aku pulang larut malam. Kurasa Mom membuat kue untuk Papa, bukan untukku karena Aku sedang tidak ingin menyentuh makanan Mom.

“Nak Firas,” sapa Papa pada Firas, “apakah kalian dari makan malam?”

“Iya Om,” jelas Firas, “dan tadi Dania menemani saya latihan sebentar, maaf Om,”

“Tidak masalah,” kata Papa, “duduklah,” Papa menyuruh kami duduk, “Dania, apakah kamu marah dengan Ibumu?”

“Kalau yang Papa maksud adalah Mom, Aku tidak marah hanya sedikit tidak suka dengan tindakan Mom, itu saja, sudahlah, jangan di bahas,”

Aku ke kamarku sedangkan Firas berbincang dengan Papa. Aku mengganti seragam sekolahku karena sejak pulang sekolah tadi, Aku hanya menemani Firas latihan tanpa mengganti pakaian.

Di kamarku, ada sekotak coklat dari Mom sebagai permintaan maafnya tapi, Mom tetap membuat peraturan itu. Aku tidak suka dengan tindakan Mom, maka kusingkirkan coklat itu.

Ketika Aku ingin menyingkirkan coklat itu, di atas meja belajarku ada sebuah kotak besar. Itu dari Mama, Mama mengitimkan gaun rancangannya untukku dan gaun itu begitu indah.

Setelah mandi, Aku mengenakan gaun itu dan segera ke ruang tengah. Aku yakin Firas masih berbincang dengan Papa.

“Hei,” kataku memamerkan gaun biruku, “apakah gaun ini cantik?”

“Sangat cantik, apakah Mama kamu membuatkannya lagi untukmu?” Aku mengangguk, “kudengar ini rancangan pertama Mama kamu di bulan ini,”

Papa tidak merespon gaun yang kukenakan. Rasanya Papa masih sulit melihatku menerima hadiah-hadiah dari Mama.

“Pa, ayolah, Mama adalah Ibu kandungku, apakah Aku salah?” tanyaku pada Papa, “Aku tidak ada niat lain, Aku senang dengan pemberian Papa tapi, tetap saja Aku lebih suka dengan pemberian Ibu kandungku karena kami sama-sama wanita,”

“Maafkan Papa tidak bisa membelikan gaun seperti itu,” kata Papa, “gaun itu sangat cantik,”

Ayolah Pa. Papa dan Mama tidak ada bedanya. Aku menyayangi kalian, setidaknya Aku masih disini dan tidak menetap di Paris,”

Papa menarik nafas sejenak lalu menepuk pundak Firas dan meninggalkanku bersama Firas. Aku tidak pernah berpikir tentang materi pada Papa, Papa sudah cukup menyayangiku jadi, Aku tidak meminta lebih. Aku tidak ingin Papa merasa tersaingi oleh Mama karena sebenarnya mereka satu hanya saja mereka terpisah.

Aku pernah berniat pindah ke Paris dan menetap disana setelah liburan kemarin. Hal itu kulakukan karena Mama yang memintanya apalagi Firas juga bersedia melanjutkan pendidikan disana jika Aku disana. Tapi, kalau Aku ke Paris mendadak, Papa akan mengira kalau Aku pindah karena Mama memberikan fasilitas yang lebih di bandingkan Papa.

“Hei cantik, duduklah, jangan terus berdiri dan memamerkan gaun yang indah itu,” lalu Aku duduk di samping Firas dan bersandar di bahunya, “itu hal yang wajar bagi seorang laki-laki, sangat wajar,”

“Maksudmu?”

“Walaupun mereka berpisah tapi, bagaimanapun seorang laki-laki, maksudku seorang Ayah akan berusaha mencari nafkah untuk keluarganya, terutama untuk anaknya. Mungkin Ayahmu merasa kalau Mama kamu lebih mampu,”

‘Tapi, tidak seperti itu. Aku tidak pernah berpikiran seperti itu, kamu tahu itu bukan?”

Perceraian memang buruk tapi lebih buruk jika membahas hak asuh anak dan membagi kasih sayang. Kau pernah merasakannya? Maksudku merasakan rasa sakit yang aneh ketika kedua orang tuamu tidak berkelahi tapi membuatmu bimbang. Seperti yang Aku alami sekarang, seperti itulah..

“Kamu lihat Aku,” pinta Firas, “ada Aku disini, kamu harus tetap tersenyum. Aku tahu, sebentar lagi air matamu menetes tapi, hentikanlah. Dunia masih ingin melihatmu tersenyum,”

Kedua bola mata Firas menandakan keseriusan, dia memberikanku semangat dan melupakan rasa bimbang yang sesak. Mereka berdua orang tuaku jadi, Aku tidak mungkin meninggalkan salah satunya dengan penuh.

I love you,” lalu kami berciuman dan berhenti ketika Mom datang dengan wajah yang tidak kusuka. Mom menyuruhku masuk ke kamar dan sepertinya Firas juga kesal tapi, dia berusaha tetap tersenyum, “sayang, Aku lupa. Mama kamu juga mengirimkan sebuah hadiah untukku, itu juga rancangannya. Bagaimana kalau kita kenakan untuk menghadiri ulang tahun Volan minggu depan?”

“Benarkah? Apakah tidak terlalu mewah? Tapi, baiklah, Aku mencintaimu, sampai bertemu besok pagi,” kucium kedua pipinya lalu dia meninggalkan rumahku setelah berpamitan dengan Mom.

Aku tidak tahu mengapa Mom melarangku berciuman dengan Firas. Apa Mom tidak suka karena takut gaya hidupku akan seperti orang barat? Aku tidak seperti itu, Aku tidak pernah mabuk sama sekali, Aku tidak pernah datang ke diskotik sekalipun karena Firas juga melarangnya. Apa yang salah? Kurasa, Aku lebih nyaman di Paris dengan Mama.

Paris kota yang indah. Setiap hari Aku bisa menemani Mama merancang pakaian, bisa berjalan-jalan di kota yang begitu indah, dan tidak ada yang membuat peraturan yang kubenci. Firas anak yang baik, dia hanya menciumku, tidak lebih, dan dia anak yang bertanggung jawab apalagi dia anak dari pengusaha terkenal. Aku yakin, Firas tidak akan membuat tindakan bodoh untuk mencoreng nama baik keluarga dan perusahaan.

“Mom, cukup membuatku kesal. Mom bukan Mama. Mom hanya istri Papa, itu saja,”

“Tapi Dania,”

“Mom, Mom baru 1 tahun mengenalku dan Mom baru beberapa bulan mengenal Firas. Dia anak yang baik, Papa saja percaya padanya jadi, untuk apa Mom seperti ini?” Aku memandang Mom kesal, “jangan ganggu Aku sampai Aku tenang. Jangan bangunkan Aku besok pagi, biarkan Papa yang membangunkanku atau alaram, atau kalau Firas mau, biarkan dia membangunkanku, jangan ganggu dia Mom,”

“Apakah pantas anak laki-laki berani berciuman di rumah gadisnya sendiri?”

“Apa masalahnya?” lalu Aku menghilang dari hadapan Mom. Jika seperti ini, lama-lama Mom bisa mengatur hidupku dan bertindak seperti Ibu tiri layaknya. Menyebalkan sekali.

**

Lalala….lala….lalalalaaaa
Dering handphoneku terdengar, kuangkat, dari Firas.

“Beib, kamu sudah bangun?”

“Tentu apalagi pagi-pagi kamu menelefon, apakah kamu mengkhawatirkanku? Atau kamu merindukanku?”

“Aku tidak pernah tidak mengkhawatirkanmu barang sedetikpun,” katanya sedikit serak dan terbatuk-batuk, “bisakah kamu ke sekolah sendiri hari ini? Maafkan Aku, Aku tidak rela gadis yang kusayang naik angkutan umum tapi, Aku benar-benar tidak bisa,”

Aku tertawa kecil, “baiklah, Aku mengerti. Kamu belum ke dokter kan?” dia mengiyakannya, “dokter keluargamu tidak memeriksa?” tanyaku padahal, seperti biasa, Firas tidak pernah mau bicara kalau dia sakit, dia akan diam saja, “nanti sepulang sekolah, Aku akan kesana, membawamu kerumah sakit, titik!” lalu kututup telefonnya.

Dia sakit karena lelah, lelah berlatih setiap hari. Aku tidak tahu ada apa dengan kepalanya sehingga mati-matian berlatih padahal, Aku yakin tim sekolah kami pasti menang.

“Dania,” Mom masuk dan meminta maaf padaku, “apakah hari ini Firas tidak menjemputmu?”

“Apakah Mom menguping pembicaraan kami?” Aku berbalik tanya, “Aku akan naik angkutan umum atau taxi,” jelasku, “seandainya Papa mengizinkanku membeli mobil dengan uang Mama pasti Aku tidak perlu mencari angkutan umum,”

“Papa akan membelikannya untukmu,” kata Papa tiba-tiba masuk dan Aku terkejut. Ucapanku barusan tidaklah serius, Aku hanya terbawa emosi karena masih kesal dengan Mom, “Papa rasa uang tabungan Papa cukup,”

Aku mendekat ke Papa, “Aku hanya becanda. Jangan membelikannya untukku Pa. Aku lebih senang di jemput Firas,” jelasku, “kalau Papa membelikannya maka Firas tidak akan menjemputku lagi, Aku mohon Pa,” lalu Papa tersenyum dan mengajak Mom keluar kamarku.

Papa pasti tahu kalau ini hanya emosi sesaatku. Mom benar-benar menyebalkan. Belakangan ini Mom ingin merubahku dan Aku tidak suka bahkan Mom sering mengingatkanku untuk tidak pulang larut malam. Kurasa Mom pelupa, Aku sudah sering mengatakan kalau Aku pulang larut malam karena pergi dengan Firas dan kami tidak melakukan tindakan jauh seperti yang ada di pikiran Mom.

Mom menganggapku seperti anak kecil atau justru menganggapku sebagai wanita murahan? Mom tidak sadar kalau anggapannya seperti itu bisa menimbulkan amarah Mama karena Mama memang selalu mengkhawatirkanku. Aku masih waras, Aku sadar nama baik Papa dan Mama ada di tanganku jadi, Aku tidak akan melakukan tindakan bodoh. Aku gadis berpendidikan, dari keluarga yang berpendidikan, begitupun dengan pacarku.

“Hei Dan,” sapa Caroline ketika Aku keluar rumah, “Firas tidak menjemputmu?”

“Dia sakit jadi, Aku lebih baik naik angkutan umum,”

“Oke, kita berangkat bersama saja,” ajak Caroline.

“Hei,” Volan memanggil kami, “apakah kalian tidak melihatku disini? Dania, kamu mau ke sekolah bersamaku?” tawari Volan, Aku terkejut, “ayolah Caroline, ada Dania, bagaimana?” Caroline melihatku, sejenak dia tersenyum tapi tetap menolak.

Aku menunggu angkutan umum di pinggir jalan bersama Caroline. Seandainya Caroline tidak menolak tawaran Volan, kami tidak harus berdiri disini.

**

‘Bagi Mama, dia anak laki-laki yang baik untukmu. Mama memang belum mengenalnya cukup lama tapi, kedatangannya ke Paris bersamamu dan sikap baiknya pada Mama, Mama sudah dapat menilainya’

‘Aku tahu, dia memang anak yang baik. Papa juga mengatakan seperti itu walaupun, Aku kurang yakin dengan ucapan Papa.’

Bangku sebelahku kosong, tidak ada Firas dan Aku merasa sendiri, kesepian. Anak-anak tidak ada yang mengajakku berbincang atau bergosip, hanya ada beberapa siswa nakal yang menggodaku saja, itupun ada batasnya.

Di sekolah ini, yah, mereka memang sudah seperti ini sejak Aku baru masuk. Aku juga pernah mendapatkan ancaman dari kakak kelas yang centil karena pacarnya melirikku tapi, Aku tidak salah bukan dalam hal ini? Kau tahu, Aku korbannya bukan penjahatnya.

“Dania,” seseorang memanggilku, “Dania, tunggu!” Aku berbalik arah, melihat siapa seseorang yang memanggilku, “apakah kamu ingin pulang?”

“Tentu saja, bel pulang sudah berbunyi,” jelasku datar. Ada apa Volan memanggilku? Ini hal yang aneh dan tidak wajar bahkan otakku rasanya di penuhi banyak pertanyaan, “apakah kamu pulang bersama Caroline?” tanyanya lagi, Aku menggeleng. Sudah kutebak, ini tentang Caroline lagi.

“Kurasa Caroline masih di dalam kelasnya, kamu bisa menemuinya,” kataku sambil melihat jarum jam di tanganku, “baiklah, Aku harus segera membawa Firas ke dokter,” lalu Aku melangkahkan kakiku.

Kembali lagi Aku harus menunggu angkutan umum bersama beberapa siswi lainnya. Kuharap, Aku tidak akan kehabisan nafas karena penuh sesak atau menemui anak laki-laki dari sekolah lain yang nakal.

“Dania,” Volan membuka kaca mobilnya dan memanggilku, “rumah Firas searah dengan jalan kerumahku, masuklah,”

“Tidak, tidak perlu,”

“Ayolah, Firas tidak akan marah hanya karena kamu menumpang. Bukankah itu juga demi kamu sampai kerumahnya?” lalu Aku ikut dengan Volan.

Kurasa Volan gagal mengajak Caroline pulang bersama jadi dia memberi tumpangan untukku. Volan cukup kaya, keluarganya memiliki bisnis property dan dia satu-satunya pewaris tapi tetap saja dia kalah dengan Firas.

Aku tidak tahu mengapa Aku begitu menyukainya sejak duduk di bangku SMP. Dia tidak setampan Firas, dia juga tidak sekaya Firas, dan dia tidak memandangku sama sekali tapi, Aku masih menyukainya sampai detik ini.

Apakah ini yang dinamakan cinta tanpa alasan? Tapi, cinta juga butuh suatu alasan, menurutku seperti itu. Kau tahu jika orang beranggapan cinta tidak butuh alasan tapi, bagaimanapun sebenarnya itulah sebuah alasan bukan?

“Apakah Firas benar-benar sakit parah?”

“Aku tidak tahu. Semalam dia baik-baik saja, Aku cukup mengkhawatirkannya karena kegiatannya akhir-akhir ini,” jelasku, “kamu satu tim bukan dengannya? Mengapa hanya dia yang berlatih keras?”

“Bukankah kamu mengatakan kalau itu tanggung jawabnya sebagai kapten?” dia mengembalikan pertanyaanku, “mungkin dia ingin melakukan hal yang penting setelah turnamen nanti,”

Sepanjang jalan, yang kami bicarakan hanya tentang Firas, tidak lebih. Aku tidak dapat membahas hal lain karena kami tidak punya pembahasan lain selain itu atau dia tidak menginginkan pembicaraan lain.

Aku menyukainya sudah beberapa tahun lalu bahkan, dulu Aku pernah menguntitnya dan kurasa dia tahu tapi, Aku tidak memiliki ruang di hatinya sama sekali. Tidak pernah dan tidak akan pernah.

“Sudah sampai, apa kamu ingin Aku menemanimu masuk?”

“Tidak perlu, Aku sudah terbiasa sendiri kesana, terimakasih atas tumpangannya,” kataku menyungingkan senyum manis dan Volan pergi dari pandanganku.

Rumah Firas begitu megah, seperti istana dan memiliki banyak penjaga di sekitar rumah. Wajar saja, saat kecil, Firas pernah di culik jadi kedua orang tuanya masih takut hal itu terulang kembali padahal Firas sekadang sudah besar.

“Nona,” sapa pelayan yang ada dirumah Firas ketika Aku hendak masuk.

“Firas masih tertidur di kamarnya?” tanyaku, dia mengangguk dan Aku langsung berjalan kearah kamar Firas yang ada di lantai dua.

Sebagai pacar yang baik, Aku harus merawatnya dalam keadaan seperti ini. Aku sudah izin pada Papa kalau hari ini Aku akan merawat Firas yang sedang sakit. Papa menyetujuinya kecuali Mom yang hanya diam saja tidak bicara.

Kamar Firas kosong, tidak ada Firas, apakah dia ada di kamar mandi? “Firas, apakah kamu bersembunyi dariku?” tanyaku, tidak ada yang menjawab dan Aku menunggunya.

Sudah 5 menit Aku menunggu, Firas tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali, “apakah kamu sudah lama disini?” tiba-tiba Firas memelukku dari belakang, “Aku bosan di kamar jadi, Aku berkeliling rumah,” jelasnya dan Aku langsung memeluknya, “ada apa? Apakah kamu begitu khawatir?”

“Tubuh kamu panas, kamu demam,” kataku, “kunci mobilmu ada di laci bukan?” kulepas pelukanku lalu Aku mengambil kunci mobilnya, “ayolah, hari ini Aku jadi supir, Aku akan mengantarkanmu ke dokter,”

“Rumah ini memiliki beberapa supir, kamu tidak perlu melakukannya,” katanya, “tapi, Aku tahu kamu hanya ingin bersamaku,”

Dokter mengatakan Firas baik-baik saja, tidak ada hal buruk yang terjadi kecuali hanya demam karena lelah. Firas diminta untuk beristirahat dirumah dua sampai tiga hari dan jangan ada yang mengganggunya.

“Inilah yang tidak kusukai dari dokter, Aku bosan tertidur,” Firas berusaha manja padaku, “padahal, Aku suka jika setiap hari menghabiskan waktu bersama bidadari cantik,”

“Apakah Aku harus menginap dirumahmu agar kamu tidak mengeluh?”

“Jangan, kalau kamu dirumahku, Aku tahu kamu akan repot dan belajarmu terganggu,” katanya, “Aku menginginkan seorang pacar yang peduli pada pendidikannya, bukankah kamu masa depanku?”

**

Aku terpaksa bangun pagi untuk membuat sarapan karena Aku masih tidak ingin menyentuh masakan Mom.

Kemarin malam, Aku sempat beradu mulut dengan Mom dan Caroline melerai kami. Oke, Caroline tetangga yang baik dan dia selalu di pihak Mom jadi Aku kalah, Aku harus mengakuinya semalam Aku kalah.

“Masakanmu benar-benar membuat Papa ingin terus makan,”

“Mama yang mengajarkanku masak setiap Aku pulang ke Paris tapi, tetap saja masakanku tidak seenak buatan Mama,” jelasku, Papa tersenyum, “yah, kuharap suatu hari nanti masakanku akan seenak buatan Mama,”

“Tentu, kamu memang memiliki bakat seperti Ibumu,” kata Papa, Mom hanya diam tanpa bicara padaku karena Aku yakin Mom tahu, jika Mom bicara maka suasana hatiku akan memburuk.

Aku mengirim pesan pada Caroline kalau pagi ini Aku akan menunggu angkutan umum padanya tapi, ternyata Caroline sedang ke Bandung karena neneknya sakit. Baiklah, jadi Aku sendiri, sendirian saja.

“Mom, Aku berangkat,” kataku lalu menutup pintu.

Di depan rumah ada sebuah mobil yang sangat kukenali, yang jelas bukan mobil Firas. Kemarin Firas menawarkan kalau akan ada supir yang mengantar jemputku tapi, Aku menolaknya.

“Dania,” sapa Volan yang duduk di depan gerbang rumah Caroline, “kamu baru keluar?”

“Ya, oh iya, percuma kamu menunggu Caroline, dia di Bandung dan tidak sekolah hari ini,” beritahuku, “apakah dia tidak memberitahumu?”

Volan tersenyum dan bangun, “Aku tahu, dia sudah memberitahuku tapi, Aku sudah terbiasa datang kesini, bagaimana kalau kita berangkat bersama?” tawarinya, Aku benar-benar terkejut, “kenapa kamu diam saja? Apakah kamu malu karena harus ke sekolah dengan siswa yang biasa-biasa saja?”

“Maksudmu?”

“Aku tahu, kamu lebih cocok satu mobil dengan Firas, Aku mengerti tapi, kita teman bukan?” Aku mengangguk pelan, “kurasa Firas tidak akan cemburu hanya karena hal ini, bagaimanapun Aku kalah jauh darinya,”

Aku menerima tawaran Volan. Dia benar, Firas tidak akan cemburu tapi, dia salah mengenai rasa malu. Aku tidak malu berangkat dengan siapapun jika dia temanku. Aku hanya heran saja karena ini pertamakalinya Volan menawariku berangkat ke sekolah bersama.

“Dania, bukankah ibu kandungmu seorang perancang pakaian terkenal?”

“Iya, ada apa? Apakah kamu ingin membeli pakaian rancangan Ibuku?” tanyaku, dia menggeleng.

Volan merogoh sakunya dan mengeluarkan lollipop rasa coklat lalu di berikan padaku, “mengapa kamu tidak tinggal di Paris? Kukira semua anak akan memilih tinggal bersama Ibu mereka setelah adanya perceraian,”

“Saat itu Mama kembali ke Paris dan Mama menyetujui permintaan Papa untuk merawatku. Tapi, Aku pernah ke Paris dan tinggal satu tahun dengan Mama.  Menyenangkan tinggal bersama Ibu kandung tapi, Papa sakit karena Mama membawaku dan akhirnya Aku kembali lagi,” jelasku rinci, “tapi, Aku masih bisa menetap di Paris. Aku masih memiliki kewarganegaraan ganda sesuai dengan usiaku,”

“Kurasa Ayahmu tidak bisa hidup tanpamu,”

Aku tersenyum tidak bisa menjelaskan mengapa Papa tidak bisa jauh dariku karena Aku sendiri tidak tahu. Yang Aku tahu, Papa akan lemah tanpaku. Kalau Mama, Mama sama lemahnya bahkan sempat pingsan beberapa kali saat harus berpisah denganku ketika kecil tapi, Mama tenang setelah Papa membiarkanku ke Paris setiap ada libur sekolah.

“Volan, apakah kamu benar-benar menyukai Caroline?” tanyaku, Volan hanya tersenyum, “tapi, dia tidak meresponmu sama sekali,”

“Dia?”

“Baiklah, Aku tahu mungkin kamu tersinggung, Aku tidak akan membahas Caroline,”

Di sekolah, beberapa siswa melihat kearahku karena datang bersama Volan. Volan cuek saja dan dia langsung ke kantin karena belum sarapan.

“Boleh Aku ikut denganmu ke kantin? Aku tidak memiliki teman berbincang di kelas, mereka menjaga jarak dariku,” jelasku, “ayolah, Aku hanya duduk saja di kantin, kamu cukup makan dengan baik,”

“Cepatlah, kakimu itu terlalu lambat melangkah,” katanya, Aku tersenyum.

Apakah dengan ini Aku bisa lebih dekat dengan Volan? Apakah Aku bisa berbincang dengannya seperti seorang teman lalu nantinya akan menjadi lebih? Kuharap seperti itu.

Volan memesan bubur ayam dengan sambal yang cukup banyak padahal, ini masih pagi. Dia bisa sakit perut kalau memakannya.

“Aku sudah terbiasa makan-makanan sepedas ini, jangan tunjukkan wajah terkejut seperti itu,” katanya, “keterkejutanmu seperti kekhawatiran, itu mengerikan,” tambahnya, “yah, Aku tahu, kamu gadis yang penuh perhatian pada sesama manusia tapi, tetap saja ini bukan jalur yang seharusnya,”

“Di sekolah ini, mereka temanku tapi mereka bukan seorang teman. Tidak ada yang bisa memperlakukanku seperti seorang teman, mereka hanya tersenyum, menyapa, dan kalau ada yang tidak suka yaa memandang sinis,”

Bubur ayam yang di pesan Volan di lahapnya perlahan. Dia makan dengan gaya yang santai dan cuek, tidak tenang. Mungkin ini yang kusuka darinya tapi, kebanyakan cowok di dunia ini menggunakan cara makan seperti ini bahkan lebih buruk.

“Dania, kamu merasa sepi tidak memiliki teman di sekolah ini?”

“Ya, bukankah itu begitu jelas. Saat Aku menemani Firas latihan basket, kamu dan yang lainnya pun hanya menyapaku sebatas sopan santun saja,” jelasku, “di luar sekolah ini, Aku memiliki banyak teman yang memperlakukanku layaknya teman tapi, Aku juga iri dengan siswa lain yang bisa bergosip pagi-pagi di kelas,”

“Kalau begitu, ayo kita berteman, Aku akan berusaha memperlakukanmu layaknya teman, Aku tidak akan menghindarimu seperti mereka,” ucap Volan, Aku langsung tersenyum cerah, “tapi, kamu tidak malu memiliki teman yang biasa saja seperti ini?”

“Tidak, tentu tidak sama sekali,”

Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...