Jumat, 20 Desember 2013

Pacar Pilihan Mama - CERPEN oleh Aula Nurul

CERPEN

Pacar Pilihan Mama

‘Aku tunggu kamu di taman’ sebuah pesan singkat tertera di handphoneku. Dengan diam-diam, Aku keluar rumah menuju taman belakang kompleks. Aku takut jika Mama tahu dan pastinya, Mama tidak akan mengizinkanku pergi. Kalau pun di izinkan, Mama pasti mengomel seribu bahasa.

Dengan langkah cepat sedikit berlari, akhirnya Aku sampai di taman dan kutemukan sesosok cowok yang sangat kukenal, Adrian namanya. Dia tidak lain adalah kekasihku, pacarku, sekaligus teman satu sekolahku.

“Aku cuma mau ngasih ini ke kamu,” Adrian memberikan sebuah kotak kecil, “kamu terima ya,” Aku menerimanya lalu kubuka kotak kecil itu, isinya sebuah gelang perak yang sangat cantik, “I love you,” Adrian memelukku.

Bibirku tidak bisa berkata apa-apa kecuali tersenyum senang. Bagaimana pun, hadiahnya ini benar-benar mengejutkanku. Dia bisa memberikannya di sekolah, atau dia bisa memberikannya di tempatku kursus bahasa Jerman tapi, inilah Adrian yang kukenal.

“Kalau gitu, kita jalan-jalan gimana?” Ajakku, Adrian menggeleng lalu dia mengecup keningku, “kamu mau kemana?” tanyaku, dia hanya mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Dengan tanda tanya besar, Aku membiarkan Adrian pergi bersama motornya begitu saja.

Sebenarnya, ini agak sedikit aneh tapi, sudahlah, dia memang sering terlihat aneh jika memberiku hadiah. Kata Mama, Adrian anak yang baik hanya saja, Mama kurang menyukainya. Entah apa yang membuat Mama kurang menyukainya tapi, Mama sering berpesan kalau Aku tidak boleh terlalu mencintai Adrian.

Pemikiran Mama seperti pemikiran orang jaman dahulu. Dulu, saat Aku masih duduk di bangku SMP, Mama melarangku pacaran. Ketika Aku pertamakali pacaran, Mama mengomel habis-habisan. Dan ketika Aku pacaran denga Adrian, Mama sedikit membuka hati tapi, selalu mengatakan jangan terlalu cinta. Ini bukan jaman Siti Nurbaya. Aku berhak memilih cintaku, memilih dimana harus menyimpan hatiku.

“Dari mana kamu?” tanya Mama, Aku tidak menjawab, “sudah hampir malam, masuklah, sebentar lagi makan malam.” Kata Mama tanpa banyak bicara padahal biasanya Mama akan bertanya apakah Aku bertemu Adrian, apakah Aku jalan-jalan dengan Adrian, dan kemana Aku pergi dengan Adrian. Selalu seperti itu. Menyebalkan sekali bukan?

**

Kelas terasa agak berbeda. Suara gaduh tidak terdengar lagi, suara teriakan berebut PR pun tidak terdengar sama sekali, ada apa ini?

“Hari ini semua guru libur tah kok kelas ini hening banget?” tanyaku pada teman sebangkuku, dia menggeleng, “kalo gitu kenapa?”

“Finsa,” dia menarik nafas sejenak, “Adrian hari ini nggak sms lo kan?”

“Ya nggak lah, kan gue kemaren udah janjian kalo hari ini nggak berangkat bareng,” jelasku, “kenapa memangnya? Naksir cowok gue yaa?” godaku, Adrian memang cukup terkenal di sekolah. Selain wajahnya yang tampan, dia juga kapten basket sekolah ini.

“Duduk Fin,”

Aku duduk di bangkuku, kulihat seisi kelas melirik padaku. Hm... Apakah ada yang salah denganku? Atau memang penampilanku hari ini aneh?

Seorang guru masuk lalu memberikan sebuah pengumuman kalau hari ini jam belajar mengajar di kosongkan. Aku cukup senang, berarti Aku bisa jalan-jalan ke mol bersama Adrian tapi, kenapa seisi kelasku hening dan tampak galau?

Pak Dodi yang belum sempat menyelesaikan pengumumannya mulai berbicara lagi dan tiba-tiba, telingaku terasa salah mendengar. Apa maksudnya dalam rangka berbela sungkawa? Mendoakan Adrian?

“Kemarin pukul 5 sore pemakaman Adrian,” seseorang menjelaskan padaku sambil menepuk pundakku, dia juga salah satu teman baik Adrian yang satu tim basket, “semuanya ngerahasiain dari lo karena, Adrian nggak mau lo ngeliat saat pemakamannya.”

Kakiku lemas, benar-benar lemas. Rasanya Aku tidak memiliki tenaga untuk berdiri. Kata Rio, Adrian sudah mengidap kanker cukup lama dan dia sudah sangat luar biasa untuk bertahan. Katanya, mundurnya Adrian dari kapten basket 4 bulan lalu bukan karena ingin fokus belajar tapi karena penyakitnya. Kata Rio juga, Mamaku melarangku pacaran dengan Adrian karena Mama takut kalau Aku akan sedih bukan karena tidak menyukai Adrian.

Rio mengantarkanku ke makan Adrian. Tanahnya masih terlihat basah, dia pasti kedinginan di bawah sana. Rio mengatakan, sebelum Adrian pergi, dia meminta kepada keluarganya agar membuatku tidak mengetahui detik-detik kepergiannya.

“Dia gila atau gue yang gila?!” air mataku menetes, “dia atau gue yang sinting?!” air mataku tambah deras, “gue sayang sama dia tapi....” Aku terus mengeluarkan semua isi hatiku. Rasanya Aku tidak percaya kalau dia benar-benar sudah pergi ke surga.

“Dia sayang sama lo Fin. Karena dia sayang sama lo, dia nggak mau lo lebih sedih saat tahu penyakit dia sampai pemakaman dia,”

“Kemaren, jam 5 sore, dia ngasih gelang ke gue. Dia bilang, semuanya akan baik-baik aja.” Dadaku terasa sesak, kemarin Aku merasa Adrian aneh dan aneh tapi hari ini, semua keanehan itu terjawab sudah, “kalau dia bilang baik-baik aja, gue berusaha untuk baik-baik aja,”

5 bulan kemudian

Aku sudah mulai tenang dengan kepergian Adrian. Bagiku, dia adalah cinta terindah yang kukenal dan kutemui. Bagiku, Adrian adalah malaikat yang di hadiahkan Tuhan padaku.

Namun, kepergian Adrian membuatku sulit menerima cinta baru. Bulan lalu, Aku baru saja putus dengan Pisco, anak SMA tetangga yang sedikit pembuat onar di sekolah. Sebelumnya, Aku juga sempat pacaran dengan kakak kelasku, anak kelas XII IPA 1 tapi, dia sadar kalau kami memang tidak cocok apalagi di hatiku masih tertutup.

“Mama mengizinkanmu pacaran tapi, ayolah, bukan seperti ini,” kata Mama yang duduk di samping ranjangku, “pertamakalinya kamu pacaran, Mama tidak melarang tapi, Mama takut kamu salah langkah. Dan ketika kamu pacaran lagi, Mama tidak suka karena pacarmu anak yang nakal,” kata Mama, “dengan Adrian, Mama menyukainya. Dia anak yang ramah, baik, dan sopan tapi, Mama tahu penyakitnya,” Aku memandangi Mama yang sepertinya benar-benar khawatir dengan keadaan hatiku.

“Kalau Mama waktu itu tau penyakit Adrian, kenapa Mama nggak bilang sama Aku? Kenapa Ma?”

“Karena Adrian yang meminta. Dia ingin terlihat sehat di sampingmu dan Mama tidak tega jika harus membuatmu tahu penyakitnya.” Mama memelukku, “ayolah Finsa, janga terus terpuruk. Dia baik-baik saja di sana dan Mama tidak ingin melihatmu pacaran dengan anak yang kurang tahu sopan santun seperti pacarmu waktu itu.”

Mama benar, pacarku yang anak SMA tetangga itu agak tidak sopan. Dia bahkan tidak menyapa Mama ketika bertemu di jalan padahal dia mengenal Mama. Untung saja Aku sudah putus.

Pagi harinya di kelas, Gabriella menyapaku. Dia tampak begitu senang pagi ini, “pokoknya gue seneng, titik, jangan di tanya,” katanya padaku yang kurasa dia ingin senang tanpa ada yang bertanya apa kesenangannya.

“Oke, gue nggak akan nanya tapi, gue pengen seneng kayak lo.”

“Penyakit lo itu kan cuma belum bisa ngebuka hati,” katanya, “Adrian disana pasti sedih ngeliat lo terus mikirin dia,” tambahnya, “udahlah, jalanin aja pelan-pelan nanti ketemu cinta yang lebih baik dari Adrian kok.”

Bel masuk belum berbunyi, Aku ke kantin untuk membeli coklat agar pikiranku tenang. Ketika di kantin, Aku bertemu Rio sedang makan bersama pacaranya. “Hei Fin,” Rio menyapa, “sini gabung sama kita.”

“Iya Fin, galau bener tampang lo,” pacar Rio ikut bicara, “gue yakin pasti bukan karena putus sama pacar lo yang gak jelas itu. Hm.... pasti Adrian lagi kan?” dia memandangku dan Aku mengangguk, “tapi memang cinta Adrian itu bener-bener buat semua orang salut Fin. Lo cewek yang beruntung.”

Aku kembali ke kelas setelah membeli coklat kesukaanku. Di kelas gaduh, persiapan demo seisi kelas mulai tersusun agar ujian Fisika di batalkan hari ini. Ckck, kalau seperti ini, rasanya kelas seperti pasar malam.

‘Finsa bukan?’ sebuah pesan singkat melayang pada handphoneku tapi tidak kubalas, ‘sorry, tadi yang sms nyokap gua,’ pesan keduanya melayang lagi dan Aku merasa sedikit aneh. Sudahlah, itu pasti sms tidak penting.

Sepulang sekolah, Mama sudah menungguku di depan gerbang. Semenjak kepergian Adrian, Mama lebih sering menjemputku. Kata Mama, Mama merindukan Adrian hanya saja tempat terbaik Adrian saat ini adalah di sisi Tuhan bukan di bumi.

“Mama, kita mau kemana? Ini kam jam 3 Ma,”

“Makan siang.” Jelas Mama singkat padahal Aku tahu jelas kalau ini bukan jam makan siang. Mama mengada-ngada atau Mama ingin mencoba masakan baru yang membuatnya terbayang-bayang?

Kami tiba di sebuah rumah makan tradisional. Rumah makan ini cukup sejuk dan benar-benar terasa kesan tradisionalnya. Mama mengajakku mencari sebuah meja nomor 28, sepertinya Mama sudah memesan sebelumnya.

“Maaf jeng terlambat,” kata Mama pada seorang temannya. Aku bersalaman dengan teman Mama lalu duduk lesehan. Kurasa tente ini pernah kutemui sebelumnya saat acara arisan Mama, Aku yakin itu, “mana Tora?”

“Dia sedang mengangkat telefon, mungkin sebentar lagi.”

Beberapa saat kemudian seorang cowok datang lalu ikut duduk bersama. Dia sempat menyalamiku dan menyapaku. Apakah ini sebuah acara makan siang antara teman arisan? Atau teman bisnis?

“Wah, perasaan dulu tante melihat kamu masih kekanak-kanakan. Sekarang rasanya kamu mulai menjadi remaja sesungguhnya.” Ucap teman Mama.

Sebentar-sebentar, kekanak-kanakan? Dari mana tante ini tahu kalau dulu Aku kekanak-kanakan? Aku memang kekanak-kanaka kecuali setelah kepergian Adrian baru Aku tidak seperti itu lagi.

“Mamaku yang tadi sms kamu, maaf ya,” kata Tora sambil memberi tanda agar kami keluar sejenak. Kurasa cowok satu ini bosan dengan pembicaraan dua orang ibu-ibu. Dia bosan, apalagi Aku?

Aku dan Tora izin untuk keluar sejenak, kami berbincang di taman yang terletak di tengah rumah makan ini. Kata Tora, pertemuan hari ini benar-benar mengejutkan. Kalau dia mengatakan mengejutkan, apakah ini rencana yang di buat para Ibu kami?

“Tapi, sudahlah, seenggaknya Aku bisa ketemu kamu lagi,” katanya. Lagi? Maksudnya kami pernah bertemu sebelum ini? “ya, tentu saja, waktu kamu SD, keluarga kita pernah sama-sama camping, pernah sama-sama liburan di puncak.” Jelasnya, Aku tidak ingat sama sekali kalau pernah bertemu dengannya.

“Ya, gue .... em Aku...” kataku bingung harus dengan ‘gue’ atau ‘aku´ karena sejak awal dia menggunakan Aku, jadi mau tidak mau, “ya Aku sih inget sama Ibu kamu tapi, kalau kamu kok rasanya lupa.”

“Waktu kamu nangis gara-gara jatoh dari ayunan, waktu kamu keujanan, siapa yang nolongin kamu?”

“Anak gendut yang rese, suka gangguin, suka godain pula.” Kataku, “eh itu kamu? Kok sekarang kurus? Nggak endut lagi sih?”

Kami banyak berbincang tentang masa-masa kami liburan dahulu. Jika mengingat masa lalu, Aku seolah tidak percaya kalau ini benar-benar Tora gendut yang menyebalkan. Sekarang dia terlihat kurus dan ramah, sopan, bicaranya teratur dan tentu saja berbeda dengan Tora gendut.

“Tapi, kok kamu sekarang sama dulu sama ya?” katanya, “muka masih mirip, ekspresi kaget masih mirip, ckck,” katanya, “Aku kira Mamaku nyuruh Aku pulang ke Indonesia karena mau di kenalin cewek kalem, ternyata cewek yang cingeng waktu itu. Ckck.”

Aku pernah mendengar dari Ibunya Tora kalau Tora menyelesaikan masa-masa SMU nya ketika berusia 15 tahun dan berarti sekrang dia sudah selesai kuliah? Wow! Benarkah ini Tora? Usianya hanya seling 1 tahun denganku dan dia sudah selesai kuliah? Jangan sampai Mama membandingkan-bandingkanku dengannya, bisa tecup Aku.

“Jadi sekarang kamu membantu Ayahmu di kantor?” tanyaku, dia menggeleng, “ingin melanjutkan kuliah lagi” dia menggeleng lagi.

“Tahun ini, Aku ingin menikmati masa-masa kebebasan.” Jelasnya, “belajar membuatku kehilangan waktu bertemu banyak wanita.” Tambahnya lagi.

Hari demi hari mulai kulewati bersama dengan teman lamaku. Dia mengatakan kalau apa yang terjadi adalah takdir Tuhan dan kepergian Adrian bukanlah akhir melainkan awal untuk segalanya.

Semakin hari Aku mengenal Tora, dia mengajarkan banyak hal padaku. Dia mengajarkanku seolah-olah dia lebih dewasa dari pada Aku. Namun, semua ucapannya, semua kata-katanya, semua tindakannya membuat pikiranku lebih terbuka.

“Ini bukan sebuah cerita yang di rancang Ibu kita tapi, mungkin kita yang harus membuat rancangan sendiri,”

“Maksudmu?”

“Entahlah,” dia memegang tanganku dan kami memandangi sawah yang terhampar luas disini. Tora mengajakku berlibur beberapa hari dan Aku menyetujuinya. Bukan hanya kami tapi, keluarga kami juga.

Mama mengatakan kalau Mama tidak akan membuatku hidup seperti Siti Nurbaya tapi, Mama ingin kalau Aku dan Tora menjalin hubugan baik. Tentu saja, Aku sadar kalau Tora akan menjadi teman baikku karena dia ramah dan sopan tapi, Mama menginginkan lebih dari itu.

“Cinta itu sederhana. Selama cinta tidak menyakiti, itu akan menjadi luar biasa.”

“Hanya ada satu cinta yang tanpa menyakiti tapi, cinta itu hanya sebuah malaikat titipan Tuhan. Bukan cinta yang di takdirkan abadi untukku.”

Kami berjalan menuju tengah sawah dan udaranya makin lama makin sejuk. Seandainya saja Tora dulu tidak melanjutkan sekolahnya ke luar negri, kami pasti akan sering berlibur bersama.

“Adrian adalah malaikat yang di titipkan untukmu sementara tapi, kurasa, Aku adalah malaikat yang di takdirkan selamanya hidupmu,” Tora menatapku. Kami saling berpandangan, betatap mata, lalu kedua tangannya memegang tanganku, “dan takdir itu, bukan sekedar takdir tapi, kesempurnaan sebuah takdir.”

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku sudah menyiapkan sebuah cincin pertunangan,” katanya, “cincin itu akan ada di jari manis kamu jika kamu menerima cintaku,” Aku tersenyum lalu memeluknya dengan hangat. Malaikat cintaku yang di titipkan Tuhan untuk sejenak dan malaikat cinta yang di takdirkan Tuhan untuk abadi. Keduanya membuatku mengerti arti cinta, cinta tanpa menyakiti, itulah cinta. Cinta yang di pilihkan Mama untukku adalah cinta pilihan hatiku.

TAMAT




Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...