Senin, 09 Desember 2013

Doni - Cerpen

Doni
Cerpen Oleh Aula Nurul M

“Doni!” panggil Haris dengan suara lantang, “sob, tunggu dulu jangan lari aja,”

Doni memandang Haris sesaat, ia tersenyum lalu berjalan lagi sambil melihat sekitar. Jalannya terlalu cepat sampai Haris harus sedikit berlari di areal tenang. Ia menghentikan Doni.

“Bukakah kau biasanya berpidato saat siapapun bicara di areal ini? Ketua OSIS,” Doni menekan suaranya, “kau tahu, di sekolah ini yang terbaik bukan kau tapi masih ada Fadil, Ketua Perwakilan Siswa LBS School.

Sejenak, Haris mengambil nafas untuk menghadapi Doni, “baiklah, kalau begitu, kau mau kabur lagi?”

“Kabur?” Doni memandang tanya, “berjalan santai, mensabotase cctv, memanjat pagar bukan kabur, tapi tantangan, oke?” ia tersenyum, “kau mau melapor pada guru dan bicara panjang lebar lalu kau akan membuatku terkena skorsing?

“Terserah tapi, nanti akan ada ulangan Bahasa Jepang,” beritahu Haris, “kau akan mati jika tidak mengikutinya,”

“Aku akan kembali pukul 1 siang, bukankah jam Bahasa Jepang pukul 2? Benar begitu kan, tuan pengatur,” lalu tubuh Doni menghilang bagai ditelan angin.

**

‘Don, nomor 37 jawabannya apa’ pesan terkirim
‘Salah alamat woy nanya, yaudah nomor 1-50 apa jawabannya?’ pesan terkirim
‘aaabc edcab a-d-d-a ccade bbace –cb- sisanya belum Don,’

Ulangan selesai

**

Doni jatuh tersungkur di atas pasir pantai. Wajahnya terasa pedih karena menyentuh pasir secara langsung.

Ia membersihkan wajahnya, memandang seseorang yang telah menjatuhkannya. Sejenak, Doni tersenyum lalu berdiri dan membalas kembali dengan sebuah pukulan keras.

“Kakak kira cukup buat aku kayak gini?” tanya Doni datar, “sudahlah, jika aku melawan kakak maka kakak yang akan terjatuh,”

“Harusnya kau sekolah, ini jam sekolahmu!” nada suara Dylan meninggi, “kau tahu, Ayah bisa marah padamu!”

Doni tertawa kecil. Tawanya seolah sebuah hinaan, “sekolah, untuk apa? Untuk nilai? Bukankah nilai ujianku selalu di atas rata-rata?”

Emosi Dylan memuncak. Ia benar-benar tidak menyangka akan menemukan adiknya di tepi pantai, di jam sekolah seperti ini. Ini untuk pertamakalinya Dylan menemukan kejutan luar biasa.

“Kakak, kau akan melakukan apa? Mengapa kau diam?” Doni mendekat, maju beberapa langkah, matanya mentap tajam kedua bola mata Dylan, “apakah kau akan memukulku lagi? Dylan mundur dua langkah, Doni maju lagi, “kau akan melakukan apa pada adikmu ini?”

Ia hampir saja memberikan sebuah hantaman keras pada wajah Doni tapi, ia menghentikannya, dan pergi dari tempat itu.

**
Aish ini kenapa sinyal error! Aish minta di gantung juga ini operatornya! Ngertiin orang lagi ulangan dikit kenapa!

Doni terus menggerutu. Ia tidak mengerti sama sekali rumus-rumus integral yang ada di depan matanya bahkan, jenis soal yang dilihatnya pun sudah membuatnya mual. Ia juga tidak bisa menjawab asal-asalan karena itu bukan pilihan ganda yang dapat diisi dengan mudah. Ia juga tidak bisa membiarkan kertas itu kosong bersih.

Ayo sinyal! Datanglah-datanglah padaku! Datanglah atau aku akan menggantungmu di neraka!

Adcde acedb
Bbacb bbade
Eedac bccac
Cbace bbeca

Nah kunci apa-apaan ini! Jelas-jelas essay! Maunya apa pula seisi sekolah ini ngajak ribut!

Doni hampir membanting hanphonenya karena teman-temannya justru memberi kunci yang salah. Ia berdoa lagi. Doa yang benar-benar salah atau lebih tepatnya doa untuk meminta dosa.

1-2-3

Akhirnya ada yang ngirim foto. Sip, teman yang baik. Kudoa’kan semoga masuk surga!

Doni buru-buru menyalin tulisan-tulisan yang ada dalam foto tersebut. Ia tersenyum girang dan dalam beberapa menit, kakinya sudah melangkah mengumpulkan lembar jawaban tersebut. Hatinya lega.

“Hei Ver,” sapa Doni ketika keluar kelas dan bertemu Vera, “apakah ujian di kelasmu sukses?”

“Entahlah, aku masih tidak yakin,” jawab Vera lesu, “bagaimana denganmu? Aku yakin, nilaimu pasti bagus, kau kan ahlinya mencari jawaban teman,”

“Itu mudah saja. Untuk apa berpikir sampai memutar otak hanya untuk mengerjakan tugas kalau akhirnya bisa menyelesaikan dalam hitungan kurang dari 10 menit,”

**

Ayah meminum kopinya dengan tenang, damai, dan tanpa kegelisahan. Ayah selalu seperti ini setiap pagi, sebelum ia berangkat ke kantor.

“Dylan, apakah kuliahmu baik-baik saja?” tanya Ayah, Dylan mengangguk, “Ayah harap, kamu bisa seperti Ayah,”

Dylan menemani Ayah di halaman belakang sambil memandangi pohon mangga yang baru berbuah. Dylan dan Ayah memang sangat akrab sejak kecil, terutama setelah Ibu meninggal, ketika Dylan duduk di bangku SMP.

“Dimana adikmu? Apakah dia sudah berangkat ke sekolahnya?”

“Doni ada di kamar, apakah Ayah ingin aku memanggilnya?” tawari Doni, “Ayah tahu, belakangan ini Doni lebih terang-terangan untuk meninggalkan sekolahnya,”

Ayah terdiam. Ayah sudah mendengar itu dari sekolahan.

Doni yang nakal. Doni yang suka cabut jam pelajaran. Doni yang suka memanjat pagar sekolah. Doni yang suka mensabotase cctv sekolah. Tapi, Ayah sudah lelah mendengar semua kabar itu.

Doni sudah tiga kali pindah sekolah karena tersangkut kasus kenakalannya.

“Ayah sudah mengetahuinya tapi, ayah belum pernah memergoki Doni bukan?” Dylan menghela nafas, “Aku melihat Doni cabut sekolah beberapa hari lalu, ia ada di tepi pantai, sendirian, memakai seragam sekolah,”

Mereka tahu kenakalan Doni. Sejak kecil, Doni memang selalu menantang peraturan tapi, mereka tidak tahu kalau Doni selalu mengandalkan contekan dan handphone saat ujian.

“Ayah, apakah sebaiknya Doni di tempatkan di tempat yang ekstrim?”

“Maksudmu?”

“Tempat dimana ia bisa belajar, tempat dimana ia tidak memegang handphone, tempat di mana ia tidak bisa kabur, apakah Ayah bisa mencarikan tempat seperti itu?”

Ayah terdiam, tidak mengeluarkan sepatah katapun.

**

Kali ini, Haris memergoki Doni sedang keliling sekolah untuk menanyakan siapa yang paling cerdas dalam Fisika.

“Mengapa kau suka sekali mencampuri urusanku?” suara datar Doni menunjukkan ketikdaksukaannya pada Haris, “kau bukan Ayahku, mengapa kau selalu berkuasa untuk urusan sekolahku?”

“Ada baiknya kau hentikan ini atau kau akan menyesal,”

“Apa hakmu? Kau hanya ketua OSIS, bukan guru. Kau juga bukan teman atau sahabatku bahkan, kurasa kita tidak saling mengenal,”

Doni melangkah, menjauh dari Haris. Ia tidak ingin mendengarkan pidato Haris yang terlalu panjang sampai membuat asap di telinganya.

Kaki Doni terus melangkah. Ia masih melanjutkan misinya.

“Don, kamu muter-muter gini nyari anak yang bisa bantuin kamu ujian nanti?” tanya Vera ramah, Doni mengangguk, “dari pada muter-muter gini mending buat belajar Don, lebih bermanfaat,” lanjutnya, “ayolah, kembali gih ke kelas kamu!” perintah Vera, Doni kembali ke kelas walaupun tidak untuk belajar.

Ia tidak bisa membantah apa kata Vera. Vera adalah sepupu terbaiknya, sepupu yang cantik dan baik hati. Hanya Vera saja yang dihormatinya, tanpa kecuali.

Kenapa gadis itu harus membuatku terdiam seperti ini? Andaikan saja dia bukan sepupuku, aku akan memarahinya habis-habisan tapi, bagaimanapun ia sepupuku langsung dari keluarga Ibu.

Cadbc cbeec
Bbbde becde
Aadec bbeda
Becaa aaebe

Doni buru-buru menyalin kunci tersebut dalam lembar ujiannya. Matanya semeringah carah. Dalam sekejap mata, ia bisa langsung keluar dari ruangan.

**

Matahari bersinar memasuki kedua bola mata Doni. Ada seseorang yang membuka jendelanya tanpa izin. Ia memandang seseorang yang berdiri di samping ranjangnya.

“Don, Doni,” Ayah masuk ke kamar Doni, “cepatlah, hari ini Ujian Nasional, kau mau nilaimu jelek!”

“Baiklah,” Doni terbangun, “nilaiku harus di atas rata-rata, aku tahu itu, ayah sudah mengatakannya beribu-ribu kali,” tambahnya lalu ia pergi ke kamar mandi.

Para siswa bertebaran di sepanjang koridor menunggu bel masuk untuk memulai ujian. Hari ini adalah hari terakhir Ujian Nasional dengan mata pelajaran Matematika.

“Don, kau tenang sekali,” Vera tersenyum, “padahal, jantungku saja sudah setengah mati,” lanjutnya, “oh ya, kau lihat Haris tidak?”

“Kau menanyakannya pada orang yang salah,” lalu beberap detik kemudian bel berbunyi.

Para siswa berlarian ke ruangan mereka masing-masing begitupun dengan Doni. Dari sekian siswa, kunci ujian beserta paket-paketnya.

Tiga menit, sipp! Atau semenit! Gila ketara! Kalau begitu 15 menit. Oke!

Satu per sau soal diisi Doni tanpa membaca soal satupun. Ia yakin kalau ia akan lulus karena apa yang di dapatnya tidaklah murah. Ia harus mengeluarkan setengah dari uang jajannya sebulan untuk mendapatkan kunci tersebut.

Oke, selesai.

Bel berbunyi. Para siswa berhamburan keluar dengan cerah dan senang. Ini hari terakhir mereka menemui soal UN.

“Don, langsung pulang?” tanya Vera, “kalau aku, aku ingin ke dokter untuk mendinginkan otakku yang dari beberapa hari lalu panas, bagaimana denganmu?”

“Aku akan bersenang-senang dengan teman-teman yang lain,” beritahu Doni seolah ia yakin kalau dirinya akan lulus, “kau mau ikut?”

“Tidak, aku tidak yakin tentang kelulusanku nanti,” Vera tersenyum, “tadi Haris mencarimu, katanya kau salah menulis kunci karena kunci yang tersebar palsu,”

Doni tersenyum, “anak itu hanya ingin membuatku marah saja, sudahlah, jangan bicarakan anak yang tidak ada apa-apanya itu,” katanya, “baiklah, kalau kau tidak mau ikut, terserah,”

Kaki Doni melangkah ke tempat parkir. Ia telah di tunggu oleh teman-temannya untuk melakukan hal gila di jalan seolah kelulusan telah tercapai.

**

“Sudah satu bulan kau hanya bermain-main,” Dylan mengingatkan adiknya, “tidak bisakah kau berpikir untuk kuliahmu nanti?”

“Itu mudah, kau tidak usah mencampuri urusanku,” katanya mengusir Dylan dari kamarnya, “katakan pada Ayah, jangan khawatir,”

Dengan suara lirih, Dylan menutup pintu kamar Doni. Ia tidak bisa marah lagi pada Doni, Ayah telah melarangnya.

Doni berbeda dengannya. Doni akan lebih marah dua kali lipat dari orang yang marah padanya. Emosinya melebihi siapapun di rumah ini.

Yang Ayah inginkan hanya nilai. Nilaiku yang tinggi, itu saja sudah cukup. Semuanya akan sama seperti yang Ayah inginkan.

**

Para siswa LBS School telah berbaris rapi di lapangan upacara. Mereka mengenakan seragam lengkap serta peralatan untuk merayakan kelulusan yang ada di dalam tas mereka.

“Don, kau baru datang?” Haris menyapa Doni yang terlambat datang, “kau tampak sangat senang,”

“Tentu, amplop itu akan tertulis kelulusanku,” ia tersenyum kemenangan, “dan tentu saja, aku tidak akan melihat wajahmu lagi,”

Satu per sau amplop di bagikan pada siswa. Kebanyakan dari mereka langsung berteriak histeris dan memeluk temannya lalu tersenyum cerah. Mereka berlari-larian, meneriakkan kemenangan, dan tertawa bahagia.

Namun, di sudut lain di sekolah, Doni hanya tersenyum kecil. Senyumnya bukan senyum kelicikan seperti biasanya tapi senyum yang begitu aneh.

“Apa yang terjadi denganmu?” tanya Haris, Doni memandangnya penuh senyum, “mengapa kau tersenyum seperti itu padaku? Senyummu menakutkan,”

“Kau benar, kunci itu salah,” Doni memberikan kertas dari amplop miliknya dan ia berjalan keluar sekolah tapi, tiba-tiba ia terjatuh, “a....a...ayah,” kata terakhir Doni sebelum ia pingsan.

Haris dan para siswa lainnya membawa Doni ke poliklinik sekolah. Mereka khawatir pada Doni. Mereka prihatin.

Ayah hanya ingin nilaiku seperti keinginan ayah, itu saja. Ayah ingin nilaiku tidak jelek, itu saja. Bukan tentang diriku tapi, nilaiku. Itu saja. Tidak ada yang lain.

“Kau terbiasa menggunakan kunci saat ulangan, kau mengandalkan hanphonemu, kau benar-benar terjebak,” ucap Haris lirih, “aku sudah mengingatkanmu,”

“Apa kau sekarang sedang berpidato?” Doni tersenyum, “kau benar, teman,” lanjutnya berat. Ia bangun dari ranjang poliklinik dan melangkah keluar. Para siswa lain memandangnya sedih apalagi Doni di kenal ramah walaupun nakal.

Langkah Doni benar-benar tanpa arah dan tujuan. Ia terus saja melangkah keluar sekolah, melewati gerbang sekolah tanpa mengambil motornya yang ada di tempat parkir.

BRAK!
Tubuh Doni terlempat jauh. Sebuah mobil menabraknya tanpa ia bisa menghindar atau lebih tapatnya, ia tidak mau menghindar.

**

Hanya nilai, itu saja. Aku sadar walaupun hanya bisa mendengar. Kurasa, para dokter itu bodoh, Aku bukan koma karena kecelakaan itu.

“Doni, kau bisa mendengar kami? Ayolah, itu tidak masalah, kau hanya perlu bangkit dan belajar dari kesalahan bahwa mengandalkan kunci itu salah besar,” teman-temannya terus berbicara padahal dokter mengatakan kalau Doni sedang koma, “Don, kalau kau tidak bangun maka kau tidak bisa bertobat atas kesalahanmu pada kami,” ancam mereka.

Kalian mempedulikanku? Kurasa hanya kalian yang peduli padaku, tidak ada yang lain. Bahkan, Ayah belum menjengukku setelah satu bulan aku koma.

“Don,” Dylan masuk, ia menyapa adiknya, “hei, perkelahian kita belum selesai, aku ingin memarahimu karena kau tidak lulus hanya karena kunci, ayolah, aku yakin otak aslimu melebihi Einstein,”

Doni tidak terbangun. Ia masih tertidur dalam mimpinya.

**

“Mengapa ayah tidak menemui Doni?!” Dylan marah pada ayahnya, “apakah ayah tidak mempedulikannya?”

“Doni tidak sadarkan diri. Ada atau tidaknya ayah, dia tidak akan tahu,”

“Mengapa ayah seperti ini? Kukira, selama ini ayah terus membelanya karena lebih menyayanginya dari pada aku tapi...”

“Ia mengecewakan ayah, ia sangat membuat noda di atas nama ayah,” ayah berlalu pergi, menghilang dari hadapan Dylan.

**

Berita demi berita muncul di televisi, surat kabar, bahkan menjadi bahan gosip baru untuk infotaiment selebriti. Ayahnya Dylan dan Doni bukan selebriti, ia hanya anggota dewan yang salah langkah.

“Don, kau sudah mendengar berita ayah?” tanya Dylan, “kau harus bangun, ayolah,” Dylan terus bicara pada Doni, berharap adiknya tersadar, “bukankah kau yang memberikan berkas ke KPK? Jadi, ini alasanmu menentang ayah?” lanjutnya, “pantas saja ayah selalu takut akan ucapanmu,”

Apakah kakak tidak bisa diam. Seseorang yang koma juga membutuhkan ketenangan, bukan kebisingan seperti ini.

Dylan menghidupkan televisi dan melihat semua stasiun memunculkan berita ayah, “kau tahu, kau salah telah memanfaatkan kemudahan untuk ujian, kau salah, kau akhirnya terjatuh, seperti ini,” Dylan memegang tangan adiknya, “tapi, apa yang kau lakukan pada ayah, kau lebih pintar dariku,”

Aku tidak pernah ingin menyontek. Aku tidak pernah ingin kabur dari sekolah. Aku tidak pernah ingin membuat ulah di sekolah seperti berkelahi. Aku tidak ingin mengandalkan kunci jawaban tapi, aku hanya marah. Kau harus tahu itu, kakak!

“Don, bangunlah! Kau mau membuat kakakmu ini berjuang sendiri?!” ia menggoyang-goyangkan tubuh Doni, “kau tahu, besok ayah akan resmi menjadi tahanan!”

“Kak Dylan,” Vera masuk perlahan, “jangan memarahinya kak, jangan lakukan itu,” Vera menarik Dylan, menjauh dari tubuh Doni, “Doni hanya terlalu pintar memanfaatkan komunikasi, itu sebabnya dia tidak lulus,” ucap Vera lembut, “mengenai ayah kalian, aku yakin, Doni sudah melewati masa tersulit dua sisi hatinya,”

Mereka duduk di sofa kecil, di samping ranjang Doni yang masih terus terbaring. Hampir setiap hari Dyalan tidur disini dan ia baru menyadari kalau selama ini, ia kurang memiliki waktu untuk berkumpul bersama Doni.

“Ka.... kak...” suara kecil terdengar, “apakah kalian mendengarku?”

“DONI!!!” mereka mendekat pada Doni lalu memeluknya, “kau benar-benar!” Dylan terlihat kesal sekaligus bahagia.

“Vera, Kak Dylan, aku salah, kunci itu membuatku bodoh,” ucap Doni, “aku akan mengulang kelas 3-ku dan belajar, aku janji,”

“Baiklah, kalau begitu kau harus sembuh untuk belajar, oke?” Vera menyemangatinya, Doni tersenyum. Tidak ada yang berani membahas mengenai ayah.

Mereka tersenyum padaku karena aku sembuh? Apakah mereka tidak menangis seperti tadi saat aku koma?

**

Ayah masuk ke dalam tahanan. Sebelum ia di bawa polisi, ayah sempat memandang kedua anaknya tapi tidak berani memeluk mereka.

Ayah merasa malu apalagi, yang melaporkannya tidak lain anaknya sendiri.

‘Ayah salah, ayah tidak akan menyalahkanmu. Kau benar, ayah salah’ ucap Ayah dalam hati, ‘kau anakku yang paling nakal sehingga membuatku masuk tahanan,’

“Apa kau ingin menangis?” canda Dylan, Doni sudah meneteskan air mata, “ayolah, kau melakukannya demi negara dan demi kebenaran, bukankah agama kita mengajarkan itu?”

“Aku tidak menangis, aku hanya terkena debu,” ucap Doni, Dylan langsung memeluknya erat, “ayah tidak ingin memelukku, ayah marah padaku,”

“Ayah juga tidak ingin memelukku, kita sama,” Dylan tersenyum, “ayolah, Ayah tetaplah ayah kita. Ayah pasti mencintai kita. Ayah hanya malu untuk bertemu dengan kita,”

“Baiklah,” Doni tersenyum licik, “kalau begitu, ayo bantu adikmu ini mencari buku-buku teks pelajaran. Aku akan mengulang kelas 3-ku dengan baik, aku janji padamu,” ia sedang memikirkan suatu kesalahan Dyan yang sebentar lagi akan diungkapnya.

TAMAT



Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...