Kamis, 05 April 2012

BAB 1 di NOVEL

Keterengan :
Novel ini belum ada judul,
penggunaan garis miringnya belum semuanya karena gua capek ngeditnya wah, masih UTS geh, menyusul ngeditnya ^_^





BAB 1

My life is so perfect. I do not mean perfect but close to perfect. Family, love, friends, and life there is no overload my brain. Everything is casual and fun. [1]

“Aku inginkamu melihatku di setiap alam bawah sadarmu.” Ucap Hasya ketika di telfon. “Mungkin aku nggak bisa melihat senyummu di sana tapi, di pikiranku, semua itu tergambar jelas.”

I want you here, in front of my eyes, smiled at me, and it definitely makes me happy.” [2] Aku menarik nafas sejenak. “Kadang aku berpikir mengapa hubungan kita mendekati sempurna dan aku juga ingin sesekali kita ribut seperti pasangan lain.”

Hasya terdengar seperti tertawa kecil mendengar ucapanku. Baiklah, benar, aku merindukannya, aku menginginkan dia ada di depan mataku dan bicara padaku. Namun, aku tahu dia tidak di sini.

“Tapi terkadang timbul sebuah pertanyaan, apa kamu benar-benar menuliskan nama aku di hati kamu?” Tanya Hasya, aku tidak menjawab. “Baiklah, mungkin kamu belum berani untuk mengatakan sesuatu tentang cinta.”

Cinta, aku tidak tahu ini cintaatau bukan. Bagiku, hidupku baik-baik saja bahkan tidak ada kecurigaan atau kecemburuan. Aneh sekali padahal Hasya ada di luar kota dan kata kebanyakan orang, cemburu tanda cinta.

Hasya, dia pacarku sekaligus tunanganku. Mungkin terdengar sedikit aneh jika anak SMU seumuranku sudah bertunangan tapi, sebelum SMU, aku memang sudah bertunangan sejak kecil. Maksudku ketika aku kecil, aku di jodohkan dengan Hasya.

Pertama kali aku mengenal Hasya adalah saat aku berusia 8 tahun. Mama dan Papa mengenalkannya padaku. Sejak saat itu kami berteman dekat tapi, aku tahu kalau kami di jodohkan ketika aku berusia 14 tahun.

Awalnya aku terkejut ketika di jodohkan tapi, Hasya baik dan aku juga mengenalnya dengan baik selama bertahun-tahun. Tanpa penolakan dariku atau dari Hasya, kami menerima perjodohan ini toh sejak awal Hasya juga sudah perhatian padaku.


Sebelum aku menerima perjodohan ini, Mama mengatakan semuanya bisa di batalkan jika aku atau Hasya menolak tapi, tidak ada yang menolak di antara kami. Entahlah padahal saat itu aku benar-benar tidak mengerti tentang cinta bahkan aku kurang peduli tentang perasaan seorang cowok padaku. Mungkin ini aneh tapi, aku belum merasakan yang namanya cinta sama sekali.

Kata Hasya, bukan aku belum bisa merasakan cinta tapi belum merasakan sedih karena cinta. Aku mengerti maksudnya, maksudnya, aku sudah memiliki cinta yang di sampingku tapi aku belum merasakan sakit karena cinta.

“Zena, kamu belum tidur sayang?” Mama masuk ke kamarku lalu duduk di ranjangku. “Apa yang tadi menelfonmu Hasya?”

“Iya Ma, Mama mau telfonan juga dengan Hasya?” Tanyaku, Mama menggeleng.

“Nggak.” Mama mengusap kepalaku. “Apa kamu mencintainya?” Tanya Mama, aku hanya tersenyum penuh misteri. “Mama berharap akan seperti itu.”

Mama benar, Mama tidak salah mempertanyakan itu. Kalau Hasya, dia bicara pada Mama dan Papaku serta Mama dan Papanya kalau dia mencintaiku tapi, aku tidak mengatakan seperti itu. Mereka tahu kalau aku belum sepenuhnya mengerti cinta jadi mereka memakluminya.

“Jangan tidur terlalu malam, besok kamu sekolah.”  Kata Mama lalu mencium keningku dan meninggalkan kamarku dengan menutup pintu kamar perlahan.

**
Life with no problems, everything is fine, almost perfect, but there is one thing, one thing I want. I want to occasionally have problems in my heart and feel the pain of love. Once in my life[5]

“Zen, mau kemana?” tanya Aldo, teman satu sekolah dan anak kelas tetangga. “Kantin kan? Bareng sekalian.” Kami berjalan bersama.

Aldo atau biasa di panggil Al, dia teman baikku di SMU dan dia salah satu cowok yang mendapatkan banyak prestasi belajar di sekolah. Selain dia baik, dia juga di kenal ramah dan sedikit humoris walaupun aku merasa, dia tidak humoris sama sekali.

“Fisika kemaren gimana Zen?” tanyanya, aku hanya mengangkat pundakku.

Kami sama-sama mengikuti olimpiade fisika tapi, aku keluar untuk olimpiade tahun ini karena kondisi tubuhku sedang di landa penyakit-penyakit ringan tapi berulang. Ini aneh, memang aneh, tapi setidaknya, jika aku mundur, peluang untuk yang lain terbuka. Bukankah itu menguntungkan?

“Zen, gimana?” Tanyanya lagi. “Atau berita tentang lo ngundurin diri bener?”

“Ya begitulah Al, lagian gua nggak pinter-pinter amat di fisika, masih banyak yang lebih pinter dari gue.”

“Berarti gua bakalan jarang maen ke rumah lo buat belajar.” Jelasnya tapi aku mengatakan bahwa dia bisa sesekali kerumahku jika ingin belajar bersama dan tentunya, aku tidak aka menolak.

Dia memesan nasi goreng ketika di kantin dan segelas jus jambu. Katanya, sekarang sedang musim demam berdarah jadi dia memakan makanan yang mengandung jambu. Aneh sekali, agak membingungkan.

“Zen, nggak mesen apa-apa?” Tanyanya, aku tersenyum. “Bilang aja minta bayarin. Bayar sendiri geh.”

“Pelit, yaudah jus jeruk aja dah.” Kataku kesal lalu memainkan handphoneku dan sudah ada pesan masuk dari Hasya.

Kata Hasya, bulan depan orang tuanya akan kerumahku dan dia menitipkan sesuatu untukku. Kuharap dia akan menghadiahkanku sesuatu yang kusuka, menyenangkan sekali tapi, mengapa hanya orang tuanya? Mengapa Hasya juga tidak ikut.

Aku udah kelas 3, kamu ngerti kan?” Hasya mengirim sms lagi dan aku tersenyum tanpa membalas sms itu. Aku tahu, dia sudah kelas 3 SMU, beda denganku yang baru kelas 1 jadi dia tentu saja lebih sibuk dari pada aku.

“Sms dari siapa Zen?” Tanya Al, aku hanya tersenyum. “Atau senyum karena bisa satu meja di kantin sama gua?”

“Nggak banget dah.” Aku tertawa lalu langsung menyeruput jus jeruk yang sudah tersedia dimejaku beberapa detik lalu. “Oh iya Al, masa ulangan Fisika gue cuma dapet 80? Bete bener lah,”

“Malu-maluin gua aja lo ini.” Ucap Al agak menyindir. “Nggak biasa-biasanya ulangan fisika lo cuma segitu, ada masalah tah?” Tanyanya, aku menggeleng. “Galau?” Aku menggeleng lagi. “Begadang?” Aku menggangguk lalu dia tertawa. Memang, sehari sebelum ulangan, aku begadang dan paginya, aku masih mengantuk.

Aku begadang bukan karena sedih atau banyak pikiran tapi, aku membaca sebuah novel yang di kirimkan Hasya beberapa hari lalu. Dan, ketika ujian Fisika, aku mengantuk bahkan aku kesulitan membaca soal-soal itu. Sudahlah, itu sudah terjadi, walaupun menjengkelkan, itu tetap terjadi.

“Udah nggak usah di pikirin.” Kata Al, “Makan nih.” Dia menawariku nasi gorengnya. “Apa mau gua suapin?” katanya sambil mengejek. “Galau tah cuma gara-gara nilai yang pas-pasan?” Tanyanya, aku mengangguk.

Al berdiri dari tempatnya duduk dan pergi entah kemana padahal makanannya belum habis ditambah belum di bayar. Jangan katakan jika aku yang membayarnya.

“Nih…” Dia memberiku secangkir coklat hangat. “Biar pikiran lo lebih tenang, kasian gua liat muka lo aneh begitu.”

Al benar, aku pusing sekali tapi, ini juga bukan masalah besar. Ini hanya masalah biasa yang mudah terselesaikan. Entahlah, aku belum pernah menemui masalah besar dalam hidupku atau masalah yang membuatku begitu sakit di dada lalu menangis. Memang, aku pernah menangis tapi, itu hanya karena aku jatuh dari sepeda bukan karena masalah yang menyangkut hati.

“Malah ngelamun!” Al menjitak kepalaku.

“Emang gue ngelamun tah Al?” tanyaku, Al malah membisu dan melanjutkan makannya yang belum selesai. “Aneh,” kataku singkat.

Al makan sambil tersenyum-senyum padaku. Rasanya dia benar-benar mengejekku karena nilai ulanganku di bawah nilainya. Sial sekali, untung aku tidak satu kelas dengan Al dan jika satu kelas, aku akan kesal dengan senyumnya yang seperti ini.

Selesai makan, Al mengantarkanku ke kelas. Katanya, dia ingin sekalian mampir ke kelasku untuk menemui Niko, sahabat baiknya. Terserah, setidaknya aku ada teman untuk kembali ke kelas.

**

Mama menungguku di teras rumah seperti biasa. Entahlah, semenjak SMU, Mama sangat memperhatikanku dan terlalu banyak bertanya tentang kegiatanku padahal sebelumnya tidak sama sekali.

Thanks ya Nik udah mau nganterin.” Kataku pada Niko, teman sekelasku.

“Harusnya sih sama Aldo aja.” Niko tersenyum lalu mengedipkan matanya. “Zena, Zena, lo suka kan sama Aldo?”

“Buat gosip aja lo ini, udah pulang sana.” Kataku mengusir. “Tau gini naik bis aja gua tadi!”

Niko langsung pergi setelah kuusir. Aish menyebalkan sekali cowok yang bernama Niko, setiap hari berkata yang tidak-tidak padaku. Namun, aku juga tidak bisa marah karena dia berhak berpendapat.

“Padahal ada yang ingin Mama bicarakan pada Niko.” Kata Mama ketika aku mencium pipinya. “Oh iya, apa yang di katakan Niko tadi?”

“Nggak tau Ma, sepupu yang aneh dia itu.” Jelasku dan Mama tersenyum lalu menyuruhku duduk di sampingnya. Selain teman sekalas, Niko juga sepupuku walaupun aku tidak pernah berharap seperti itu.

Mama merapikan rambutku dan memeriksa handphoneku seperti biasa. Kalau ini memang rutinitas Mama dan Papa setiap hari yaitu memeriksa isi handphoneku. Pemeriksaan ini sudah terjadi sejak pertama kali aku memegang handphone.

“Kamu sedih?” Tanya Mama, aku menggeleng. “Semalam kamu begadang lagi?” aku mengangguk dan Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tadi pagi Hasya menelfon, dia menanyakan kabar tunangannya.”

“Tadi pagi juga dia udah nelfon geh, pake acara nelfon Mama, cari perhatian sih dia itu.” Kataku kesal lalu langung masuk kamar.

Aku kesal karena Hasya menelfon Mama pagi-pagi karena itu akan membuat Mama memberi pertanyaan ini-itu padaku. Aish tapi, aku cukup senang juga karena dia dekat dengan keluargaku.

Sesampainya di kamar, aku merapikan tasku dan membuka laptopku untuk menyelesaikan tugas sejarah. Aku heran dengan tugasku, mengapa aku tertarik sekali menyelesaikan tugas ini padahal tugasnya di kumpul 2 minggu lagi. Aneh,

Selesai mengerjakan tugas sejarah, aku merebahkan tubuhku dan menutup mata. Berharap menemukan sebuah cerita dalam hayalanku seperti di film spongebob.

Kamu udah pulang kan? Kamu lagi belajar atau santai?” sms Hasya, aku mengerti, maksudnya, dia ingin menelfonku. Aku membalasnya dan kukatakan bahwa tugasku sudah selesai. “I want to hear a voice that kept calling me”[6]

“Kamu nggak les hari ini?” Tanyaku, katanya dia sedang libur les hari ini. “Ada yang aneh, rasanya benar-benar aneh, ada yang kamu rahasiakan?”

“Banyak yang kurahasiakan tapi, aku tidak bisa menyebutkannya satu per satu.” Jelasnya, aku diam membisu sambil mencerna ucapannya. “Semua rahasia tidak penting karena tidak ada yang menyangkut sebuah nama di hatiku.”

Kami berbincang di telfon sampai aku tidak sadar bahwa pembicaraan kami sudah 2jam lebih padahal yang kami bicarakan tidak begitu penting. Aneh sekali, aku memang terbiasa nyaman saat bicara dengannya.

“Bukahkah kedua orang tua kamu akan ke Lampung bulan depan?” Tanyaku, Hasya mengiyakannya. “Bukahkah mereka akan menemui nenekmu? Mereka hanya 2 hari jadi rasanya tidak mungkin aku bisa bertemu mereka.”

“Kamu harus datang ke tempat nenekku, dia merindukanmu, percayalah.” Suara Hasya begitu lembut. “Bukankah nenekku lebih menyukaimu dari pada aku?”

“Tentu, dia lebih menyayangiku dari pada kamu.” Aku tertawa kecil dan kurasa Hasya tidak akan kesal dengan hal ini.

They welcomed my presence in their family, they liked me from the beginning, they thought I was part of their family.[7]

It's fun. My life was nearly perfect. I dunno, I think that love in my heart is HASYA, nothing else. I loved it, his attention to me, and felt all the more perfect. I began to believe that love should not be tested with a cry. However, I also want to cry because of a love. I want to feel hurt. [8]

“Sayang, kamu kok diem? Ada yang sedang kamu pikirkan?” Tanyanya dan aku langsung tersadar dari pikiranku yang lain. “Apa yang sedang kamu pikirkan?” Tanyanya lagi, aku hanya terbatuk. “Tentang Al?”

“Nggak kok, ih kan itu cuma gosip di sekolah aja loh sayang.” Aku menjelaskan dan Hasya tertawa.

“Twitter kamu penuh dengan omongan temen-temen kamu.” Kata Hasya sambil mengejek dengan tawa yang tertahan. “Tapi, aku percaya dengan apa yang kamu pikirkan. Apapun yang membuatmu bahagia, itu harus kamu lakukan.”


Setelah aku berbincang di telfon dengan Hasya, aku keluar kamar dan makan malam. Mama sudah memanggilku dari tadi dan Hasya memakluminya.

Ketika aku sampai di meja makan, sudah ada Niko, sepupuku. Dia kerumah untuk mengambil titipan Mama untuk Ibunya.

“Numpang makan malem sekalian, lo nggak keberatan kan?” Niko terlihat cengengesan. Aku benar-benar kesal dengan sepupuku yang satu ini. Selain dia kurang peduli denganku, dia juga kadang kelewat peduli, aku agak heran dengannya. “Ngapa lo ngeliatin gua? Alergi makan deket gua tah?”

“Iya Nik, alergi banget gue.” Kataku dan langsung duduk. “Nik, lo udah ngerjain tugas kimia belum?” tanyaku, dia menggeleng. “Jangan lupa kerjain biar besok pagi lo nggak nyontek sama gue.”

“Terserah.” Katanya singkat lalu malahap makanan dengan cara yang aneh.

Niko, dia sepupuku yang paling menyebalkan. Namun, Mama pernah bilang kalau akau tidak boleh membencinya karena dia nakal, membuat masalah, dan hal-hal lainnya memiliki sebab tertentu. Tentu saja, aku tidak akan pernah membencinya tapi aku hanya kesal.

Selesai makan, Niko menarik tanganku. Dia mengajakku bicara di teras depan sebelum dia pulang.

“Antara kita berdua aja ini Zen yang tau, lo jujur, lo suka kan sama Al?” Tanya Niko, aku langsung menjitak kepalanya. “Serius ini, perjodohan itu nggak enak, gua juga nggak mau liat sodara gua nggak ngerasain namanya jatuh cinta.”

“Iya, lo tau banget gue itu bingung tentang hati gue mengenai cinta tapi, bukan gini lah.” Jelasku. “Gue sama Al itu temen baik, sama kayak yang lainnya, kayak gitu kok di permasalahin.”

“Serius? Siapa tau Al emang suka sama lo kan seru.” Niko nyengir tidak mengenakkan. “Iya kan?” Aku hanya tertawa. “Ya terserah tapi, seenggaknya lo jangan nerima gini aja, siapa tau Hasya bukan yang terbaik.”

“Terserah dah, sana pulang!” Aku mengusir Niko dan dia pergi denga senyum penuh gangguan.





Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...