Senin, 01 Juli 2013

Inilah - CERPEN



Inilah
Kutelan ludah dalam-dalam. Itu menyakitiku. Itu menghancurkanku. Tapi aku, aku tetap berdiri, bertahan di atas pijakanku.

Mungkin aku harus ke Venesia, menyewa gondola bersamanya, dan melewati semua jembatan itu. Mungkin saja, kuharap itu akan membuat ini abadi. Akan tetapi, kupikir itu hanya kepercayaan yang tidak nyata.

Pada akhirnya, semua hal akan sama. Nyatanya pun akan sama. Ini yang aku lakukan, berdiri di atas cinta yang mencabik.

“Miki jadian sama Ayu. Lo tau itu kan?” Ucap Zahara padaku. Beritanya mengejutkan tapi, semua orang disekolah tahu siapa Miki. Selalu sama, dia selalu seperti ini sebelumnya.

Aku terkadang heran, mengapa mereka bisa termakan rayuan Miki. Apa karena dia tampan? Dia kaya? Mungkin saja. Tidak ada yang dapat memastikan alasan-alasan mereka.

“Vey, apa nggak sebaiknya lo putusin itu anak? Dia udah keterlaluan.” Zahara memandang iba padaku. “Veya!”

“Nggak tau gua.” Kataku lirih. Zahara benar tapi aku tidak tahu mengapa tidak bisa pergi darinya.

Terkadang. Tidak! Maksudku seringkali aku memprtanyakan ini pada Miki. Berkali-kali dia berpacaran dengan siswi disekolah ini, saat itu juga dia masih pacarku, kekasihku. Aku heran dengannya, jika dia tidak ingin berpisah, harusnya dia tidak selalu menyakitiku seperti ini.

“Sayang....” Dia memegang tanganku lembut. Kami ada di kantin sekolah. “Aku Cuma sayang sama kamu. Cuma kamu yang ada di hati aku. Kamu percaya?”

“Nggak. Aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu.” Aku mulai marah padanya tapi jujur, aku pun tidak ingin kehilangan dia dari hidupku. Aku terlalu mencintainya.

“Oke. Kamu ikut aku.” Dia menarik tanganku. “Hari ini, detik ini juga, aku putusin Ayu!” Dihadapanku, dia bicara pada Ayu. Selalu sama. Selalu seperti ini. Dia selalu mengakui setiap bermain dengan wanita lain dan selalu memutuskan hubungan dengan wanita itu dihadapanku.

Entah apa yang ada di otaknya. Apa yang ada di hatinya pun aku tidak berani memastikan. Namun selalu sama, dia selalu membuatku yakin akan cintanya padaku.

“Libura nanti kita ke Bali, kamu setuju?” Tanyanya padaku. Aku diam. Belum kujawab pertanyaan itu. “Mama-Papa kamu pasti ngizinin.” Tambahnya. Tentu saja ibuku akan memberi izin, Mama sangat mempercayai Miki. Bukan hanya itu, Mama menginginkankan Miki menjadi pendamping hiupku nanti.

Hubunganku dengan Miki pun berawal dari perjodohan kami. Aku mengetahui perjodohan ini sejak duduk di bangku SMP. Saat itu kuanggap masabodo karena aku masih suka bermain-main dengan cinta. Tapi semakin lama aku mengenalnya, aku menyukainya bahkan dapat dikatakan mencintainya.

Kami selalu satu sekolah sejak SD. Aku tahu sifatnya dan aku tahu dia keras. Dapat dikatakan dia tidak pernah bersikap lembut pada siapa pun kecuali wanita.

“Kamu setuju kita ke Bali?” Tanyanya lagi. Dia berharap aku menyetujuinya. Liburan itu masih beberapa bulan dari dia mengajakku. “Setelah pengumuman kelulusan kita, kita akan langsung berangkat ke Bali.”

“Apa kamu yakin lulus?”

“Tentunya. Demi kamu aku harus lulus.” Dia mengusap kepalaku, membuat rambutku berantakan. “Aku ingin setelah lulus, kita menikah.” Ucapnya dan seketika jantungku dag dig dug dibuatnya. Apa dia main-main? Tapi selama ini dia tida pernah bermain-main dengan kata-katanya padaku.

“Aku tahu ini keinginan keluarga kita tapi aku pikir ini terlalu cepet.”

“Aku takut kehilangan kamu Vey. Aku janji nggak akan nyakitin kamu. Cuma kamu yang aku sayang. Cinta, kamu percaya kan?”

“Ya, aku tau kamu sayang sama aku tapi wanita-wanita itu apa?”

“Aku punya alasan sendiri. Pada saatnya akan aku jelaskan sama kamu sayang,” Dia menatapku dengan senyumnya yang menjerat. Oh Tuhan, aku benar-benar mencintainya. “Akan kujelaskan itu di Bali nanti. Kamu percaya sama aku sayang?”

“Selalu. Janji kamu selalu kamu tepati. Sekalipun kamu nggak pernah bohong sama aku.”

“Aku yakin kamu mencintaiku Vey. Aku ingin memiliki kamu selamanya, seutuhnya.” Jelasnya, aku diam masih mencerna situasi ini. “Yang kuinginkan bukan itu Vey. Aku hanya ingin dengan ikatan kita nanti, siapapun nggak akan ngedeketin kamu.”

Belum bsa aku mencernanya lebih banyak. Yang aku tahu, dia hanya menginginkan ikatan pernikahan agar tidak ada yang mendekatiku. Tapi mengapa? Siapa yang akan mendekatiku jika tahu aku pacarnya? Mereka akan berpikir puluhan, mungkin ratusan kali untuk mendekatiku. Mereka tidak ingin berurusan dengan Miki.

GUBRAK! PLAK!

Rasanya aku harus dapat tamparan keras untuk percaya ini.

Undangan pesta ulang tahun itu sebuah kejutan yang membuatku bingung, sangat mengejutkaku.  Oh Tuhan benarkah ini undangan darinya? Semenjak aku bilang bahwa aku mencintai Miki, aku tidak pernah mendapat undangan disetiap pesta ulang tahunnya, dia pun tidak pernah hadir pada pesta ulang tahunku padahal aku mengundangnya. Aku  tidak pernah berbincang lama dengannya walau kami masih segur sama. Ya, kami masih saling tegur sapa selama ini tapi dia menghindar dariku, menghindariku, aku tahu itu.

Ketika itu aku masih duduk dibangku 3SMP. Aku menjalin hubungan cinta dengan Dira, kami pacaran. Yah, aku juga tahu masih ada ikatan perjodohan antara aku dan Miki, tapi pikirku tidak ada salahnya menjalin cinta dengan yang lain. Pada dasarnya, saat itu aku belum mencintai Miki sama sekali.

Dira mencintaiku dengan tulus. Dia tahu perjodohanku dengan Miki tapi, dia tetap bertahan karena pikirnya kami saling mencintai. Namun dia mundur ketika aku bilang, aku mencintai Miki. Dia pergi dariku. Sejak hari itu kamu jarang bertemu. Untungnya kami tidak satu sekolah dan dia dapat melukapanku, aku harap begitu.

“Selamat ulang tahun ya.” Ucapku padanya. Aku datang seorang diri pada mu apesta itu. Tidak ingin kuajak Miki, dia akan kesal atau mungkin saja marah.

“Sendiri aja Vey?”

“Ya, seperti yang lo liat. Oh ya, ini kado buat lo. Semoga lo suka.” Aku memberikan hadiah yang aku bawa untuknya. Kuharap dia akan senang dengan hadiah dariku.

“Kehadiran lo aja udah jadi kado terindah malem ini.” Dira tersenyum padaku. Aku rada dia benar-benar menginginkan kehadiranku pada ulang tahunnya.

“Nggak nyangka lo ngundang gua di pesta ulang tahun lo.”

“Sejak dua tahun lebih kita pisah, gua rasa lo jadi pribadi yang lebik baik, lebih damai.” Katanya menatapku. Jarak kami hanya beberapa centimeter. Aku tidak yakin tapi aku rasa dia menginginkanku lagi.

Teman-temannya, tamu-tamu undangan menjadikan tempat ini penuh dengan wangi farfum macam-macam. Nyanyian-nyanyian itu, musik-musik itu, dan lagu-lagu itu membuat ruangan lebih ramai. Seperti inilah dulu, selalu ramai.

Dira cowok yang tidak pernah menyakitiku, aku yang menyakitinya. Dia bukan orang yang tenang, dia ramai. Dia membuat hidupku penuh keceriaan, penuh tawa dan warna. Sedangkan Miki damai dan tenang didekatku. Oh Tuhan! Mengapa aku membanding-bandingkan mereka?

“Ayok kita nari Vey,” Ajak Dira.

“Dansa?”

“Bukan! Kita nari kayak dulu, sesuka hati kayak anak TK. Ayolah Vey, mengenang masa lalu.”

“Em.... oke.” Kupikir, mengapa tidak? Toh itu menyenangkan untukku.

Aku bersamanya. Buka dansa tapi menari seperti anak kecil, layaknya remaja pada umumnya. Ya! Kami remaja, masih Smu tapi acara pestanya cukup formal. Ah bodo! Toh dia yang mengajakku. Rasanya aku lega-bebas-lepas menari bersamanya

“Untuk lo Vey,” Dira memberikan potongan pertama kue ulang tahunnya padaku. Apakah artinya ini? “Vey, Veya.” Dia berlutut padaku. “Gua harap hati lo bisa terisi dengan kehadiran gua. Izinin gua nulisin nama di atas hati lo Vey,”

“Maaf.... rasanya ini...”

“Sssutt.” Dira berdiri. Memainkan jarinya agar aku diam. “Jangan bilang lo sayang sama Miki. Gua pergi karena gua pikir dia bisa sayang sama lo lebih dari  gua.” Dira menarik nafas beberapa detik, dia menghembuskan perlahan, menatapku tajam penuh harapan. “Dua tahun lebih kita pisah tapi Cuma lo yang gua sayang. Belum ada yang bisa gantiin lo di hati gua Vey,”

Aku tidak mengerti. Semua hening, memandang kami ditengah ruangan. Kupikir semua undangan yang hadir ingin tahu kelanjutannya. Mereka mencoba untuk tenang.

“Gua tau Miki selalu nyakitin lo. Apa lo bertahan karena keluarga? Percayalah Vey, lo bisa bahagia diluar ini.” Suaranya sedikit lirih. Aku yakin para tamu undangan itu tidak medengar. Dia mulai mendekati mataku, merasuki nadi-nadi mataku. Aku menemukan kesungguhan di matanya. “Kita bisa kayak dulu lagi Vey,”

“Itu Cuma cinta monyet.”

“Nggak!” Dia menggelengkan kepalanya. “Gua taku lo bisa lebih ketawa senyum-bahagia disamping gua.” Dia memelukku. Aku membiarkan dia memelukku aku tidak melarang. Setidaknya untuk menghargai kejujurannya. Bukan hanya itu, aku berharap ini terakhir kalinya. Dia akan tersakiti jika seperti ini.

“Ini terlalu mendadak untuk gua denger.”

“Gua coba untuk deket sama lo laghi Vey, dan suatu hari nanti, lo akan tau ketulusan gua. Lo akan menjawabnya Vey.” Katanya lagi, aku hanya tersenyum sesaat. Kurasakan dia masih sama seperti dulu. Hatinya masih untukku tapi aku, aku terlalu mencintai Miki walaupun selalu tersakiti.

Ini salah! Mengapa aku seperti ini? Hah! Aku bersembunyi, diam-diam aku sering pergi bersama Dira tanpa Miki tahu. Apakah aku salah? Tapi ini benar jika aku ingin membalas dendam atas semuanya.

“Seminggu lagi pengumuman. Aku harap kita bisa cepet belibur ke Bali.” Kata Miki bersemangat. Kali ini dia sangat bersemangat, tidak seperti liburan sebelumnya. Ada yang lainkah? “Aku janji nggak akan main-main sama cewek lain lagi, siapapun itu. Cuma kamu yang aku inginkan, cinta.”

“Aki tau itu. Tiga bulan ini aku udah ngeliat semuanya. Aku tau, kamu Cuma main-main aja sama mereka.”

“Aku punya alesan untuk itu sayang.”

“Kamu janji?” Tanyaku.

“Ya. Kapan aku mengingkari ucapanku? Saat selingkuh pun, aku jujur sama kamu sayang.” Dia melingkarkan jari kelingkingnya ke jari kelingkingku. “Semua  akan semakin baik.” Dia mencium keningku dan memelukku erat seakan aku akan pergi jauh darinya.

Liburan bersamanya, hanya berdua. Itu benar-benar menyenangkan untukku. Rasanya aku harus melupakan semua kesalahannya padaku, dia sudah berjanji. Aku yakin dia yang terbaik. Tidak ada alasan lain aku percaya padanya kacuali hatiku menginginkanya.

“Menikahlah denganku Vey,” Katanya. Aku tahu ini akan terjadi. Dia bersemangat ketika ingin belibur bersama. Namun aku tidak tahu harus menjawab apa. Baru saja aku lulus SMU bahkan ijasahku pun belum aku terima. “Vey,” Katanya lagi yang menyadarkanku dalam lamunan. Cincin yang dia berikan, aku taruh di ats meja makan, aku belum meminta dia memakaikannya.

“Aku meminta penjelasan yang kamu janjikan. Kamu sayang aku kan?”

“Aku ngelakuin itu supaya aku yakin sama kamu.” Jelasnya, aku tertunduk. “Bukan seperti yang kamu pikirkan.” Lalu kuangkat kepalaku. “Aku kira kamu ngelajanin ini Cuma karena keluarga.”

“Kalo kami mikir gitu, nggak perlau aku ngejalanin hubungan ini sama kamu. Aku tinggal nunggu keluarga kita nikahin.”

“Itu alasan aku. Kamu marah tapi amarah kamu gitu-gitu aja, kamu Cuma nangis dan setelah itu nerima semuanya seakan kamu terpaksa mencintai aku.”

“Apa kamu kamu, aku nampar kamu? Jambak-jambak cewek-cewek itu?”

“Ya.” Jawabnya.

“Nggak. Aku Cuma butuh hati kamu. Aku juga nggak maksa kamu sayang sama aku.”

“Aku salah udah nyakitin kamu. Cara aku untuk tau sebesar apa cinta kamu ke aku rasanya salah.” Jelasnya. Aku mulai mengerti. Dia tidak pernah berbohong padaku. Dalam siatuasi ini, dia tidak aka mungkin bebohong. Niat berbohong pun tidak mungkin ada dalam otaknya.

“Kamu nggak salah. Kalo kamu nggak ngelakuin itu, aku pun nggak akan tau besarnya rasa sayang aku sama kamu.” Aku tahu dia salah tapi, aku tahu tanpa itu semua mungkin rasa cintaku tidak sebesar ini padanya. “Tapi, aku nggak mau nikah muda. Aku nggak mau punya anak di masa muda aku.”

“Loh, siapa yang mau juga punya anak semuda ini? Aku masih mau nikmatin masa muda aku dan masa pacaran kita.”

“Tapi..... aku.....”

“Vey, kalau kamu mau, kita nggak akan tinggal serumah sebelum kamu selesai kuliah. Aku tau kamu masih butuh orang tua kamu. Kamu kan manja sayang.”

“Tapi...”

“Aku Udah bilang sebelumnya sama kamu cinta, aku ingin orang-orang tahu ikata kita biar nggak ada yang deketin kamu.” Jelasnya lagi. Aku tahu, sebelumnya dia mengatakan ini juga tapi rasanya dia pun tahu kalau orang akan berpikiran ratusan kali untuk hal itu. Mereka tidak ingin berurusan dan membuat masalah dengan seorang Miki.

“Aku tahu itu. Aku pun pernah bilang, hati aku udah kamu milikin sayang.” Kataku. Aku memberikan cincin itu padanya, kukembalikan pada Miki. Dia nampak pucat ketika kukembalikan cincin itu. “Masa iya aku make sendiri? Pakein geh.”

“Vey,” Dia berdiri dari bangkunya. Berjalan kehadapanku. Dia berlutut padaku, memakaikan cincin itu, “I love you, cinta.  Dia memelukku erat dan menciumku.

“Tapi....” Aku merenggangkan pelukannya.

“Kamu masih nggak setuju? Kamu nggak yakin sama aku?”

“Bukan itu maksud aku. Tapi aku mau pestanya meriah dan kita akan lama mempersiapkannya.” Kataku lirih, dia mengusap kepalaku, mengacak-acak rambutku, itu sudah kebiasaannya.

Aku yakin ini keputusan yang tidak salah. Keluargaku akan senang mendengar ini, begitupun keluarganya walaupun rasanya terlalu cepat. Sudah kuyakinkan hatiku, dia akan menjadi cinta terakhirku sampai menutup mata.

“Liburan lo gimana Vey? Menyenagkan? Gua denger-denger lo liburan sama keluarga.” Ucap Dira padaku.

“Ya.” Jawabku berbohong.

“Wah sayang banget kita liburan beda tempat. Gua kangen nggak liat senyum lo Vey.”

“Oh ya?” Aku tersenyum padanya. “Rasanya gua gantungin lo. Lo berharap jawaban dari gua tapi sepanjang kita jalanin ini, gua belum jawab apa-apa.”

“Vey...” Dia memandangku. “Apa udah bisa lo jawab Vey?”

“Tanggak 18  Juli nanti lo akan tau jawaban gua. Lo dateng ya ke rumah gua?” Kataku, dia tersenyum.

“Tanggal 18 Juli kan ulang tahun lo. Lo ngundang gua ke pesta ulang tahun lo? Maafin gua kemaren-kemaren nggak pernah dateng ke pesta ulang tahun lo.” Katanya lagi. Aku tahu itu hari ulang tahunku tapi bukan hanya itu sajam dia akan mendapat jawaban pasti dariku. “Gua tunggu undangan dari lo Vey,”

“Nggak perlu kartu undangan. Gua ngundangn lo secara langsung. Ini undanngan khusus buat lo. Lo dateng ya? Gua harap dengan kehadiran lo nanti, jawaban yang lo minta akan lo dapetin.”

Cintaku disini, dia duduk disampingku, ikatan sudah terjalin. Keluargaku dan keluarganya menjadi satu keluarga. Memang ini penikahan yang terlalu cepat, umur kami masih muda, belum ada 20 thn. Hari ini juga bertepatan dengan hari ulang tahunk. Aku harus yakin! Harus!

“Risih make kabaya. Ish nggak pede loh aku.” Bisikku ke Miki. Aku mengeluh padanya.

“Kamu cantik kok.” Dia tertawa-tawa sendiri. Tawa kecilnya membuatku lebih risih lagi. Sebelumnya tidak pernah kubayangkan diriku akan menikah semuda ini. Ini lucu sekali rasanya. Pasti akan lucu, lebih menyenangkan dan membuatku bahagia.

“Ini jawaban lo Vey?” Tanya Dira. “Gua kira, gua salah liat tulisan-tulisan itu, tulisan di depan tapi ternyata gua nggak salah liat.” Katanya sedikit lesu. “Selamet ya Vey, semoga langgeng dengan pernikahan muda lo.” Katanya lagu sambil tersenyum berat lalu memberi pelukan persahabatan kepada Miki. “Semoga kalian langgeng.” Dia menepuk pundak Miki pelan.

“Maaf, gua jawab dengan cara seperti ini. Ini jawaban gua.” Kataku lalu dia tersenyum lagi. “Kita teman kan?”

“Tentunya. Hadiah ulang tahun lo rasanya jadi hadiah pernikahan kalian. Gua nggak bawa hadiah dobel Vey,” Dia mencium pipiku sebagai ucapan selamat dan selamat tinggal, ini untuk yang terakhir kalinya. “Lo cocok sama dia Vey. Lo cantik dengan kebaya ini.” Dia berjalan, menjauh dari hadapanku, bergabung dengan tamu undangan lain.

Miki, maksudku suamiku, dia tersenyum. Dia tidak marah atau pun cemburu. Mungkin dia perpikir marah atu cemburu tidak penting, tidak menguntunhgkannya, toh aku sudah menjadi miliknya seutuhnya-sepenuhnya.

“Aku kira kemaren-kemaren kamu akan nolak aku dan kembali sama Dira. Aku liat kamu seneng saat jalan sama dia.” Kata miki lirih.

“Kamu tau itu?” Tanyaku padanya, lirih.

“Ya. Semuanya.”

“Kok kamu diem aja?” Tanyaku. Seharusnya dia memukuli Dira. Sebelum ini, cowok-cowok yang mendekatiku pati dapat pukulan keras darinya. Dia biasanya menghajar tapi kali ini tidak sama sekali. Dira baik-baik saja.

“Sebelumnya aku melakukan kekerasan pada setiap cowok yang mendekati kamu karena kamu nggak suka, kamu merasa terganggu.” Dia bicara pelan agar semua tamu tidak mendengar. “Tapi Dira, aku rasa kamu nggak nolak saat dia mencoba ngedeketin hati kamu. Yang aku inginkah hati tulus kamu. Itu pilihan kamu. Kalau tadinya Dira adalah pilihan kamu, aku pun akan senang menerimanya.”

“Harusnya aku memilih dia.” Aku tertawa kecil. Miki pun ikut tertawa lalu dia ingin mengusap kepalaku tapi kuhentikan itu sebelum terjadi. “Ets nggak bisa. Kan nggak lucu di hari bersejarah ini rambut aku berantakan.”

Tidak pernah aku menyangka dia tahu semuanya. Namun aku senang dia tahu akan hal itu, itu menunjukkan dia perhatian padaku. Hari ini pun aku masih tidak menyangka dia berdiri di sampingku sebagai suamiku.

“Kata Mama kamu, dia udah nyiapom rumah buat kita nanti. Saat kita udah siap serumah.” Kataku. “Rasanya hari ini aku mau langsung kesana.”

“Maksud kamu sayang? Kamu ingin melihatnya?”

“Sayang banget rumah nya nggak di tempatin. Nanti banyak di huni setan lagi. Apa kita harus jadi setan itu untuk menempatinya?”

“Maksud kamu?”

“Aku bete dirumah, dimanjain terus sama Mama-Papa. Aku mau hidup mandiri tanpa mereka. Bisa kan rumah itu kita tempatin?”

“Tentunya. Aku akan manjain kamu lebih dari Mama-Papa kamu sayang.” Dia tersenyum bersemangat.

Ini tidak salah. Aku merasa ini yang benar. Dia dan aku akan  baik-baik saja hidup berdua mandiri tanpa orang tua. Aku yakin kami bisa menjalani ini.

“Tapi inget, kita nggak satu kamar. Aku belum mau punya anak dan jadi ibu muda.”

“Siapa juga yang mau jadi bapak-bapak di masa mudanya? Hah setiap pagi akan ada bidadari yang menemin aku sarapan.”

“Salah!” Aku tertawa kecil padanya. “Setiap pagi juga dan setiap hari kamu akan makan masakan bidadari yang cantik itu sayang.”

“Emang kamu bisa masak?”

“Ya belajar dong pelan-pelan. Mulai hari ini kamu nggak boleh makan masakan orang lain kecuali masakan bidadari itu. Enak nggak enak harus dimakan!” Kataku, dia tertawa kecil, kami tertawa bersama. Aku yakin ini akan lebih membahagiakan selanjutnya. Aku akan bersama cintaku selamanya.

Dia mencoba mencium bibirku. “Ssut nggak boleh. Banyak orang disini.”

“Tapi...”

“Banyak anak kecil. Nggak bagus mereka ngeliatnya.” Lalu kami tertawa bersama kembali.


TAMAT

Dibuat jam 6 sore sampai jam 23:52 malem. Hari senin, 16 Maret 2011. Dan di edit nya tgl 17 Maret, keesokan harinya pada jam 8 pagi sampe jam 11:16 siang,


Oleh : Aulanurul

Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...