Jumat, 05 Juli 2013

Bab 1 - Useobwa (Senyum) [NOVEL]



Kadang semakin kita menganggap hidup itu sulit maka hidup akan makin sulit. Dan, terus menerus akan sulit. Namun, jika hidup kita anggap mudah maka kita nggak akan pernah mendapatkan tantangan. Entahlah, bagiku, hidup itu membingungkan jika terlalu jadi pemikiranku. Yang aku tahu, kini aku menjalani hidup dengan damai. Damai sekali. Begitu menyenangkan tanpa beban. Dan kuharap, nggak akan pernah ada beban di hidupku.

BAB 1 – Useobwa (Senyum)

Angka-angka diskon itu membuat jantungku berdebar-debar. Aku langsung meluncur ke lantai dua mol ini tempat diskon berlangsung. Namun, aku langsung lemas setelah melihat barang yang di diskonkan adalah barang-barang lama.

Aku turun ke lantai satu dan langsung ke tempat parkir. Pulang.

“Violet, ada apa dengan wajahmu?” tanya Mama, aku diam, “apakah kamu dari mol lagi?” aku mengangguk, “bagaimana kamu ini, kamu berbisnis online shop tapi masih saja berbelanja di mol,”

“Beda Ma, kaki aku kan nggak bisa diem,” kataku menunduk, “tapi tadi ngebetein banget di mol. Huh, udah lah nanti malem aku mau ngilagin betenya ke restoran Jepang aja,”

Mama tersenyum lalu mengusap kepalaku, “baiklah, Mama tidak bisa melarangmu,”

Aku ke kamar. Mencari pakaian paling oke untuk kukenakan nanti malam. Kemarin aku sudah membuat janji dengan Tasya untuk makan malam nanti. Kebetulan Tasya dan aku sama-sama nggak punya pacar jadi nggak akan ada yang mengganggu makan malam kami.

‘Violet, aku diminta Ibuku untuk menanyakan kabarmu’ sebuah pesan meluncur pada layar handphoneku.
‘Baik, katakan pada Ibumu aku baik-baik saja dan terimakasih sudah bertanya’
‘Baiklah, ini hanya sekedar formalitas’
‘Dan aku menbalasnya pun hanya sebagai formalitas’

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Terdengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah. Aku mengintip lewat jendela. Tasya sudah datang. Ia menungguku dan pakaiannya benar-benar terlihat anggun.

“Pakaian kamu membuatku iri, kamu tahu itu,” aku mencubit Tasya, dia tertawa, “apakah kamu membelinya di butik langgananmu?”

“Nggak, ini hadiah. Cantik bukan?” ia memamerkannya, “aku tahu kamu iri kan? Besok kita akan mendatangi perancangnya, kamu bisa memiliki yang sama,”

“Hei, aku nggak suka ada orang yang memiliki gaun sama sepertiku. Nggak suka sama sekali,”

Setelah berpamitan pada Mama, kami meluncur ke salah satu restoran Jepang yang cukup mewah. Sebenarnya, Papa sering mengingatkanku agar nggak terlalu boros saat menggunakan uang tapi, ini adalah kebutuhanku dan Papa masih bisa menyanggupinya jadi aku nggak boleh menyia-nyiakannya sama sekali.

“Kamu tahu harga dua porsi makanan yang akan kita makan nanti?” Tasya tersenyum, “dua porsi makanan itu jika diuangkan bisa untuk membeli sebuah tablet, apakah nggak terlalu sayang?”

“Aku nggak boleh menyia-nyiakan uang yang diberikan Papaku. Bukankah kamu juga seperti itu?” Tasya mengangguk, “lagipula aku penasaran dengan masakan di tempat baru itu. Kudengar, bahan-bahannya langsung dari Jepang,”

“Baiklah-baiklah, setelah makan, apakah sebaiknya kita minum sedikit?” kemudian kami tertawa bersama. Tasya melajukan mobil dengan kecepatan yang sedikit gila.

Sejak kecil, aku memang tumbuh besar bersama Tasya. Ia sahabatku. Ia sudah seperti saudaraku.

Aku dan Tasya, kami memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama suka shopping, sama-sama menyukai barang bermerek mewah, sama-sama menyukai makanan yang nggak pernah kami makan, sama-sama nggak suka terlibat dalam urusan cinta yang terlalu serius, dan masih banyak lagi kesamaan kami.

Namun, kedua orang tua Tasya berbeda dengan kedua orang tuaku. Mama dan Papa nggak pernah membatasi apa yang kubeli sedangkan Tasya sudah di batasi semenjak ia kuliah. Sebenarnya aku kasihan dengannya tapi Tasya juga sudah mulai terbiasa dengan pembatasan itu jadi aku hanya bisa memberikan senyum untuk sahabat tercintaku.

“Wow, makanan ini keren rasanya,” ucap Tasya lirih, “nggak rugi kita kesini,”

“Biasa aja tuh, kalo keren itu di mulut meledak kayak BOM Bali baru keren,” suaraku pun lirih. Kami sama-sama tertawa kecil.

Aku sangat senang menjalani hidupku yang seperti ini. Tanpa di buat pusing oleh siapapun. Benar-benar menyenangkan. Kalaupun aku punya pacar, aku nggak pernah benar-benar serius dalam berpaaran sampai ada rasa cinta karena itu merugikanku. Dan selama ini, aku nggak pernah jatuh cinta dengan pemuda mana pun.

Kalau Tasya, ia sama denganku, jomblo. Namun, ia sudah jatuh cinta pada seorang pemuda yang membuatnya pernah terjatuh. Bisa-bisanya pemuda itu membuat cinta Tasya bertepuk sebelah tangan padahal, menurutku Tasya begitu cantik apalagi di tambah profesi Tasya yang seorang model remaja. Kurasa pemuda itu benar-benar buta.

“Sya, kamu nggak nyari pacar lagi?” Tasya diam mendengar pertanyaanku, “Sya,”

“Cari pacar mah gampang ngedip mata juga dapet tapi aku kan maunya sama Azka. Gimana geh,” keluhnya, “nah kamu, kenapa nggak nerima Rio waktu nembak kamu?”

“Lagi males di ganggu aja. Lagi pengen sendirian tanpa ada yang ganggu. Lagian enakan juga jomblo begini,”

“Atau takut hukum Tuhan yaa kalo pacaran hayo.... takut karma gitu secara.... ah sudahlah,” ia nggak melanjutkan ucapannya walaupun aku mengerti apa yang ada di otaknya.

**

Kampus nggak terlalu ramai siang ini. Anak-anak benar-benar tenang tanpa ada keributan atau gosip-gosip baru. Benar-benar suasana yang tenang.

Aku duduk di kantin sambil meminum sekaleng soft drink. Dari kejauhan, aku melihat beberapa mahasiswa sedang menggoda Tasya dengan manisnya. Mereka benar-benar terpesona akan kecantikan Tasya yang luar biasa.

“Violet, boleh kami berdua duduk disini?” tanya dua orang pemuda. Aku nggak tahu siapa nama mereka tapi aku tahu mereka berdua mahasiswa disini, “sekalian kita ngobrol-ngobrol dan mungkin bisa lebih deket lagi,”

Sorry¸ rasanya aku lebih tenang jika duduk disini sendiri,”

Aku nggak terlalu suka jika ada mahasiswa di kampus ini yang mendekatiku. Bukan karena aku pilih-pilih teman tapi karena aku nggak suka dengan niat mereka. Walaupun mereka cukup tampan tapi, aku nggak ada niatan untuk dekat dengan seorang cowok sekarang ini. Jika suatu hari nanti aku ingin pacaran, aku pasti akan memberi kode tapi, saat ini sendiri terasa lebih tenang. Nggak ada orang yang harus pura-pura kuperhatikan kesehatannya dan pura-pura perhatian akan kegitannya. Aku nggak suka pacaran dalam kepura-puraan walaupun sebelumnya aku selalu pacaran dalam kepura-puraan. Bagaimanapun, aku nggak pernah benar-benar jatuh cinta pada seorang pemuda.

“Violet-Violet-Vio!” Tasya mengomel-ngomel nggak jelas di depan mataku, “Vio dengerin aku nggak sih kamu ini!”

“Dengerin loh, kenapa? Ada cowok yang gangguin kamu? Biarin aja kali kan mereka fans kamu,”

“Ya kamu mah enak Vio bisa nolak dengan halus tapi tegas nah aku, Cuma bisa senyum karena nggak enak kalo nolak mereka deketin aku,”

“Salah siapa coba?”

“Ya salah Azka lah habis nggak nembak-nembak aku padahal kan....”

“Oke stop Tasya stop please,”

Tasya diam kemudian ia mengaduk-aduk handphonenya. Di putar-putar. Di lihat lagi. Kemudian, di putar-putar lagi seperti nggak ada kerjaan. Aku tertawa melihat tingkahnya yang seperti itu. Hanya karena cinta Tasya bisa seperti ini? Kalau aku, aku akan seperti ini jika nggak mendapatkan barang yang kuinginkan.

Kata Mama, seharusnya aku mulai belajar mencintai lawan jenis. Kata Mama juga, aku harus belajar perlahan mengenai takdir yang sudah terjadi. Dan ketika Mama mengingatkan itu, kadang kepalaku sedikit sakit mengingatnya. Mengingat sebuah kejadian yang selama ini selalu kuanggap nggak pernah terjadi. Dan, tentu saja, selalu kuanggap, diriku adalah hidupku tanpa orang lain yang bisa memasuki.

“Oh ya Vio, kemaren Mama aku bilang ada pembukaan butik baru punya temen Mama aku,  besok siang, aku diminta gantiin Mama aku buat dateng kesana, mau ikut nggak?”

“Butik? Tentu, nggak nolak sama sekali, kalo baru buka ada diskonnya kan?”

“Sip kita belanja lagi, oke?” kami kembali tertawa dan wajah buteknya Tasya menghilang-pudar perlahan. Kurasa cintanya di kalahkan oleh shopping.

**

Kak Gilang pulang dari dari Singapura dalam rangka urusan bisnisnya. Mama dan Papa menyambut kepulangan Kak Gilang sore ini.

“Violet cantik,” kata Kak Gilang yang melihatku berdiri mematung. Aku bukan nggak suka Kak Gilang pulang ke rumah hanya saja ekspresi Mama dan Papa terlalu berlebihan untuk kepulangannya. Membuatku iri, “kakak punya oleh-oleh buat kamu,”

“Apa dulu oleh-olehnya?” tanyaku, kemudian kak Gilang mengeluarkan kotak yang berisi sepatu cantik yang kuidam-idamkan selama ini, “oke deh aku maafin tapi lain kali kalo pulang dari luar negeri nggak usah lebay lagi,” aku memeluknya dengan senyum.

“Hah kamu ini, udah 19 tahun juga masih kekanak-kanakan. Inget kamu itu udah.... sorry keceplosan,” kak Gilang tersenyum kecil, “ada titipan juga dari keluarganyanya Erza buat kamu,”

“Kakak, nggak deh,” aku ngambek dan langsung ngeloyor ke kamar. Mama dan Papa hanya diam melihat tingkahku yang selalu nggak suka hal ini diungkit-ungkit selama aku masih menikmati masa remajaku

Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...