Senin, 01 Juli 2013

Arwah Cinta (CERPEN)



Cerpen ini gue buat tahun 2009 jadi wajar yaa kalau jelek dan dialognya aneh. Maklum baru belajar ^^

**
 
Malam itu, tepat pada tanggal 23 juni saat hari ulang tahunku. Aku mendapatkan kejutan istimewa dari teman-temanku. Aku begitu senang sampai satu hal terlupakan. Kekasihku, Veri mengajakku diner di tempat yang kami sukai. Aku tidak sadar bahwa memiliki janji dengan Veri.

Tiba-tiba aku teringat akan janjiku. Aku segera pergi dimana Veri menungguku. Ia tidak ada!!! Aku terlambat datang. Aku melupakan janjiku. Aku merasa sangat bersalah kepada Veri yang telah menungguku. Aku pergi ke rumah Veri. Di depan rumahnya, adik Veri yaitu Rebeca memandang benci kepadaku. Ia menagis dengan menatapku tajam penuh kebencina dan amarah.

“Kak! Kak Veri buat kejutan untuk kakak, tapi…….” Ucap adik Veri yang masih duduk di bangku SMP.
“Kakak ke sini mau minta maaf. Tapi kamu………..”
“Aku benci sama kakak!”
“Kenapa? Kamu mandang benci sama kakak, kamu nangis, memang apa salah kakak?”
“Mama sama Papa…….”
“Kenapa om sama tante?”
“Kak Veri kecelakaan! Sekarang dia di rumah sakit.”

Aku sangat terkejut dan langsung menuju ke rumah sakit bersama Rebeca. Rabeca belum mengetahui keadaan kakaknya, begitupun denganku. Setibanya di sana, kedua orang tua Veri memandangku dengan meneteskan air mata. Aku dan Rebeca masuk ke kamar Veri di rawat. Veri diam dan tidak ada tanda kehidupan. Dokter hanya menggelengkan kepala. Rebeca sangat histeris dan menyalahkanku. Aku tidak bisa menerima semua ini. Veri pergi sebelum ia sempat berkata padaku. Janjiku padanya belum aku tepati, tetapi ia telah pergi.

“Kakak yang salah!”
“Kakak yang buat kan Veri mati!”
“Kakak pembunuh!”

Aku lemas dan tidak bisa berkata. Kepergian Veri untuk selamanya membuat hatiku hancur, terlebih pada hari ulang tahunku. Veri pergi saat dimana hari itu hari yang membahagiakanku.

Saat pemakaman Veri, Rebeca memandang benci kepadaku. Kedua orang tua Veri tidak menyalahkanku seperti halnya Rebeca. Mereka memintaku untuk melupakan Veri selamanya.

Setiap hari aku selalu ke makam Veri. Tiga bulan sudah hatiku begitu hancur. Sekolahku tidak aku pedulikan dan nilaiku menurun drastis. Kedua orang tuaku resah karena aku sudah kelas dua SMU dan tahun mendatang harus menghadapi UN. Mereka sangat sedih melihat keadaanku yang tidak menentu. Setiap hari aku hanya bisa merenungi masa lalu dan tidak lepas dari makam Veri.

“Kamu harus lupain Veri!” seru mama padaku.
“Ma, aku nggak bisa. Aku sayang sama Veri.”
“Veri udah pergi.”
“Tapi ma…..”
“Kalau kamu sayang sama mama, lupain Veri.”
“Aku nggak bisa.”
“Mama nggak mengizinkan kamu ke makam Veri lagi dan kalau kamu masih pergi, berarti kamu nggak sayang sama mama.”
“Ma…….”
“Ini juga demi kebaikan kamu.”

Mama melarangku untuk mengingat Veri. Aku di minta agar mencari kehidupan baru dan menghadapi kenyataan ini. Aku tidak bisa karena aku masih memiliki rasa bersalah kepada Veri. Sampai sekarang Rebeca pun masih menyalahkanku atas kematian Veri.

Sudah seminggu aku tidak ke makam Veri. Rasanya sangat sulit sekali dan membuatku sakit. Mama sedang duduk dengan membaca majalah. Beberapa saat kemudian bel berbunyi.


“Buka sana pintunya.”
“Mama aja ah.”
“Kamu ini kalau di suruh pastinya nggak mau.”
“Mama aja ya?”

Mama akhirnya membukakan pintu. Mama kembali duduk di sampingku tetapi ia tidak bersama siapa pun. Wajah mama sedikit berbeda dengan yang sebelumnya. Mama tidak mengatakan apapun kepadaku tetapi mama langsung pergi dari hadapanku dengan membawa majalahnya. 

Seseorang menghampiriku. Saat aku melihat wajahnya, aku terkejut. Veri! Veri kembali. Ia kini berada tepat di hadapanku. Mungkin ada pesan yang belum ia sampaikan padaku. Wajar mama pergi meninggalkanku. Veri kembali! Veri menemuiku.

Pria itu duduk di sampingku sambil memandnagku. Matanya berbeda dengan Veri. Ia bukan arwah! Ia bukan Veri! Siapa dia? Aku tidak mengenalnya tetapi wajah pria itu dan Veri begitu tidak memiliki perbedaan.

“Kamu kaget?” Tanya pria itu.
“Siapa kamu? Kenapa wajah kamu sama dengan Veri? Siapa? Siapa kamu? Kamu bukan Veri!”
“Aku Joe, saudara kembar Veri.”
“Tapi Veri nggak pernah cerita.”
“Aku sama Veri pisah saat masih kecil. Aku ikut Papa sedangkan Veri ikut mama. Aku tinggal di luar kota dan buaru-baru ini aku pindah ke sini.”
“Kenapa kamu ke sini?”
“Mama bilang kamu sayang benget sama Veri dan aku ingin tahu. Selain itu Rebeca juga benci sama kamu…… aku penasaran. Selain penasaran, aku juga ingin dekat dengan ibu kandung aku.”
“Cuma itu?”
“Kamu ngingetin aku sama…………….”
“Veri! Kamu sadar kalau Veri udah pergi selamanya.”

Aku melihat sosok Veri dalam diri Joe walaupun mata mereka berbeda. Bentuk tubuhnya, tingginya, nada suaranya, dan semuanya begitu menggambarkan diri Veri.

“Bisa pergi sebentar sama aku?” Tanya Joe.
“Ke?”
“Nanti juga tau sendiri”

Sangat mengherankan! Joe mengajakku ke makam Veri. Ia memintaku untuk menagis sepuasnya di hadapan makam Veri. Aku tidak menangis karena aku masih tidak percaya dengan semua ini. Veri, Joe? Mereka sama. Entahlah, aku tidak tahu harus berbuat dan berkata apa.

Entah apa yang terjadi tetapi aku semakin sering pergi dengan Joe. Semenjak ia hadir dalam kehidupanku, aku merasa memiliki semangat hidup. Mungkin tuhan mengirimkan Joe untuk membantuku melupakan Veri. Memang aku belum sempat lagi main kerumah kedua orang tua Veri tetapi aku sedikit mulai ada keberanian untuk menghadapi Rebeca yang sangat membenciku semenjak mengenal Joe.

Semakin lama aku mengenal Joe. Semakin aku merasakan persamaan Joe dengan Veri. Makanan, minuman, dan semuanya yang bersangkutan dengan Joe. Tetapi ada yang berbeda dengan Joe, ia hanya mau makan di urmahnya saja. Entah apa yang terjadi tetapi ia selalu menolak makan di luar rumah. Ada kejanjalan yang sangat aku rasakan, setiap kau makan di rumah Joe, aku tidak pernah merasa kenyang dan justru sangat lapar jika sampai di rumah.

“Joe, makan di luar yuk” ajakku.
“Eh iya. Kamu masih inget sama Veri?” ucap Joe mengalihkan perhatian.s
“Masih.”
“Kamu masih sayang sama dia?”
“Walaupun ada kamu di sini tapi yang aku sayang cuma Veri. Memang kamu sama dia nggak ada perbedaannya tapi aku tetep sayang sama Veri.”
“Kamu ngerasa kalau aku ini Veri?”
“Sedikit tapi……. Biarlah.”
“Gimana kalau aku pergi selamanya seperti halnya Veri……….”
“Pastinya aku sedih tapi jangan sampe’ terjadi.”
“Kamu memang sayang sama Veri tapi jangan terus berlarut dalam kesedihan.”
“Maksud kamu?”
“Maulailah hidup baru. Masih banyak orang yang sayang sama kamu.”
“Contohnya kamu Joe?”
“Nggak. Aku nggak sayang sama kamu tapi Veri yang sayang sama kamu. Aku di sini cuma mau bantuin kamu keluar dari masalah supaya kamu lupain Veri sepenuhnya.”
“Liat aja nanti.”
“Joe, rumah kamu kok sepi banget ya? Serem lagi. Cuma ada kamu di sini?”
“Memang. Masalah ya?”
“Yak an capek bersihin rumah sebesar ini sendiri.”
“Itu urusan aku.”
“Ya. Nggak maslah sih. Bodo ah! Penting nggak.”

Setelah aku dari rumah Joe, aku pulang ke rumahku. Aku merasa ada sedikit kejanggalan dari sikap Joe. Apa dia memiliki perasaan padaku? Oh jangan! Memang ia memiliki persamaan dengan Veri tetapi cintaku dengan Veri lebih besar. Sedikit ada rasa kejanggalan dimana aku merasa bahwa Joe adalah Veri. Hatiku mengatakan bahwa ia Veri tetapi tidak, ia Joe! Aku pualng dan mama sempat menanyakan hal-hal sederhana.

“Dari mana? Bukan dari makam Veri kan?” Tanya mama.
“Bukan Ma, aku baru dari rumah Joe, saudara kembar Veri.”
“Saudara kembar? Mama baru tau.”
“Lho bukannya Mama udah tau. Aku sering pergi sama Joe kan Ma?”
“Mama belum pernah ketemu sama Joe. Mama penasaran. Jangan-jangan kamu suka lagi sama saudara kembarnya Veri?”
“Mama ini.”
“Kapan kalian ketemu?”
“Dia kan ke sini. Yang bukain pintu juga Mama.”
“Kapan?”
“Beberapa hari setelah Mama ngelarang aku ke makam Veri.”
“Waktu itu saat Mama buka pintu nggak ada orang jadi Mama pergi aja.”
“Mama bohong nih.”
“Terserah kamu aja.”
“Ma, aku laper nih.”
“Katanya udah makan malam sama Joe.”
“Tau nih, laper lagi. Aku juga nggak pernah kenyang kalo makan di rumah Joe.”
“Nggak pernah kenyang apa perutnya aja yang mau lagi.”
“Pokoknya gitu deh. Makanan yang masuk itu nggak kerasa kenyagin.”
“Ya udah kalo gitu.”

Aku sedikit heran dengan Mama yang mengatakan bahwa tidak pernah bertemu Joe sebelumnya. Padahal aku ingat bahwa Mama yang membukakan pintu untuk Joe. Mungkin Mama lupa karena banyak pikiran atau karena pekerjaannya yang menumpuk. 

Siang itu aku bersama Joe. Aku di rumah Joe karena ia tidak ingin keluar rumah. Entah kenapa ia sepertinya tidak suka keramaian dan selalu menolak jika aku ajak pergi.

“Joe, boleh nanya?”
“Nanya apa?”
“Kenapa sih kamu jarang banget ke luar rumah?”
“Aku nggak suka keramaian.”
“Kuliah kamu gimana?”
“Itu urusan aku.”
“Di rumah sebesar ini kamu tinggal sendiri. Memang nggak kesepian?”
“Kesepian sih. Rumah ini aku buat untuk seseorang yang akan mendampingi hidup aku.”
“Aku salut sama kamu. Kamu kan masih berstatus mahasiswa tapi udah punya rumah semewah ini.”
“Ini juga butuh usaha.”
“Yang paling hebat itu, kamu bersihin sendiri rumah ini. Aku nggak bisa bayangin.”
“Mau gimana lagi. Mau nggak mau.”
“Tapi nggak mungkin lho bisa sebersih ini. Kamukan cowok.”
“Kenapa?”
“Nggak. Udah lama nih nggak ke rumah om sama tante. Aku juga mau ketemu sama Rebeca. Sekitar dua bulan ini kali ya aku nggak ke sana.”
“Ada apa mau ke sana?”
“Mau main aja. Kamu mau nganterin? Kamu juga kan bagian keluarga itu.”
“Nggak. Aku ada urusan.”
“Beresin rumah?”
“Bukan, tapi…………”
“Sama Mama sendiri aja nggak mau ketemu.”
“Kamu sayang sama Veri?”
“Apaan lagi sih. Kamu nanya itu melulu. Jawabannya IYA.”
“Aku harap kalau aku pergi jangan sedih.”
“Mau pergi?”
“Aku mau pergi jauh.”
“Ke mana?”
“Ke duniaku.”
“Mau kembali sama Papa kamu. Bilang dong. Kalau kamu kurang cocok sama Mama kandung kamu, ya apa salahnya kembali ke Papa kamu. Ya nggak?”
“Kamu jangan sedih aja kalau aku pergi. Takutnya kamu sedih kaya’ saat Veri pergi.”
“Kamu kan perginya nggak selamanya, kita juga masih bisa berkomunikasi kan?”
“Semoga kita……..”
“Ya udah nggak usah dijelasin lagi.”

Entah apa yang berbeda. Semua yang Veri suka sama dengan Joe, yang lebih mengherankan lagi saat kata-kata Joe yang sama dengan Veri, serta cara ia memandangku, dan kehangatan saat aku bersamanya. Aku memang mencintai Veri tetapi Joe………. Ia begitu sama dan sulit untukku membedakan perasaanku pada Veri dengan perasaanku pada Joe. Getaran yang aku rasakan sama. Tidak ada yang berbeda kecuali nama mereka.

Aku pergi ke rumah kedua orang tua Veri. Rebeca mulai sedikit lembut padaku. Mungkin karena waktu yang membuat hati Rebeca sedikit mencair. Kedua orang tua Veri menyambut hangat kedatanganku. Aku sedikit lega walaupun aku memiliki masalah dengan saudara kembar Veri.

“Kak, maafin aku ya?” mohon Rebeca.
“Kakak yang salah kok.”
“Ini semua takdir untuk kak Veri jadi kakak nggak salah.”
“Makasih ya udah mau maafin kakak.”
“Ada apa kamu ke sini?” Tanya ibunya Veri.
“Cuma mau main tante. Kangen udah lama nggak ke sini. Lho, om ke mana?”
“Lagi kerja. Tante seneng kamu sama Rebeca udah baikan.”
“Aku tadinya ke sini mau ngajak Joe.”
“Pacar baru kakak ya?” tanya Rebeca.
“Pacar baru kakak? Dia kan ……….”
“Dia kan apa?” Tanya ibunya Veri.
“Nggak tante.”
“Kakak udah bisa ngelupain kak Veri?”
“Sedikit tapi masih ada ingetnya banyak. Ada yang bilang supaya kakak ngelupain Veri untuk hidup kakak dan akhirnya sedikit-demi sedikit hampir bisa walaupun susah banget.”
“Syukurlah kamu bisa melupakan Veri karena tante nggak mau kamu berlarut-larut dalam kesedihan.”
“Oh….ya, Veri punya saudara kembar?”
“Saudara kembar dari mana? Kakak ngada-ngada  ah…….”
“Nggak. Tante cuma ngelahirin satu anak waktu Veri lahir dan nggak ada kembarannya. Memang kenapa?”
“Cuma pernah ketemu sama yang mirip aja. Siapa tau ada.” Jawabku sedikit heran.

Semakin banyak yang aku bicarakan dengan Rebeca dan Ibunya Veri, aku tidak mendapatkan informasi mengenai Joe. Siapa Joe? Veri tidak memiliki sadara kembar. Joe siapa? Aku sangat tidak mempercayai ini semua. Joe begitu mirip dengan Veri tetapi mereka bukan saudara kembar. Joe membohongiku. Aku tidak menyangka bahwa Joe akan setega ini terhadapku.

Aku langsung pergi ke rumah Joe untuk menanyakan semua hal yang aku apat. Siapa Joe? Dari mana dia? Dan apa maunya sehingga membuat kebohongan besar seperti ini. tanpa membunyikan bel, aku langsung masuk ke rumah Joe yang kebetulan tidak terkunci. Memang saat aku masuk melewati gerbang, taman Joe tidak terawatt tetapi apa peduliku.

Aku perlahan membuka pintu rumah Joe dengan keadaanku yang sangat marah. Kebohongan yang Joe lakukan membuatku sangat membencinya. Namun saat aku masuk, aku lebih terkejut. Aku tidak menyangka dengan apa yang terjadi. Rumah itu begitu kotor dan gelap. Tidak seperti biasanya yang rapid an tertata. Ini seperti rumah yang tidak pernah terwat lama sekali. Baru beberapa hari lalu aku bertemu Joe tetapi rumahnya sudah seperti terjadi peperangan.

Aku mencari Joe kemana-mana tetapi ia tidak ada. Aku perlahan berjalan kea rah kamarnya, siapa tahu ada. Lantainya begitu kotor sehingga aku merasa risih dengan keadaan ini. aku membuka kamar Joe. Dalam kamar itu terdapat foto-foto aku dan Veri yang lalu. Dari awal aku bercinta dengan Veri sampai akhirnya ia pergi. Semua foto-fotoku dengan Veri ada. Aku melihat semua isi kamar Joe dan yang aku dapat sangat di luar dugaanku. Semua hadiah yang aku berikan untuk Veri ada dalam kamar Joe. Apa ini? siapa Joe?

Beberapa saat kemudian Joe masuk kamar itu. Ia berdiri dengan lesu. Ia memandangku dengan misterius seperti akan pergi meninggalkanku. Apa? Apa yang Joe lakukan.

“Joe, jorok banget sih rumah kamu. Kemarin bersih tapi sekarang……..”
“Aku mau pergi.”
“Kalau kamu milih dekat dengan Papa kamu ya sudah.”
“Kamu udah tau kan kalau aku bukan saudara kembar Veri?”
“Kok kamu tau?”
“Karena…….Karena aku………aku……..Aku Veri.”
“Apa? Kamu……..”
“Kamu lupain aku, aku sayang sama kamu tapi kamu lupain aku. Aku mau pergi ke dunia aku.”
“Dunia kamu?”
“Dunia aku bukan yang selama ini kamu fikirkan tapi dunia aku di surga.”
“Kamu………..Kamu…..Veri…….”
“Aku sayang sama kamu tapi aku minta kamu lupain aku.”
“Veri……..aku……..aku……..a…..a…..ku…….”

Seketika Joe atau Veri pergi dari hadapanku. Benar, dia arwah Veri. Ia menyampaikan semua pesannya yang tidak sampai. Aku tidak menyngka tetapi aku bahagia karena Veri menyampaikan pesannya kepadakau dan rela menemuiku. Ia bukan Joe kerena ia adalah Veri. Selama ini kesamaan mereka tidak salah karena mereka satu. Aku masih tidak menyangka dengan kejadian ini. cinta Veri untukku begitu kuat sehingga pengorbanan yang ia berikan di luar dugaanku.

Kalimat terkahir Veri adalah aku harus melupakannya. Sebelumnya Joe pun mengatakan bahwa aku harus melupakan Veri. Kalimat itu seolah dukungan agar aku memulai hidup baru. Setelah kejadian ini hatiku mulai bisa menerima kepergian Veri. Aku yakin bahwa Veri memberikan pasana terbaik untukku dan ia masih mencintaiku sampai kapanpun. Aku yakin walaupun dunia memisahkan tetapi di alam surga cinta kita tetap abadi dan pastinya akan di persatukan. Aku tidak tahu kapan itu akan terjadi tetapi aku yakin akan terjadi.

Semoga cintaku ada di surga dan aku berjanji akan memulai hidup abru tanpa tangisan dan kesedihan yang menggores hatiku.
By: Aula Nurul M. ( 21 Maret 2009 )
(Cintailah seseorang dengan setulus hati dan ikuti takdir yang akan terjadi walaupun terasa berat karena itu yang terbaik)



Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...