Kamis, 31 Januari 2013

Chaca Sayang Ayah By Sanjaya



Chaca Sayang Ayah!

Dia hanya gadis kecil yang hanya tahu tentang bermain. Dia hanya gadis kecil yang hanya tahu tentang warna langit. Dia hanya gadis kecil yang polos tak berdosa.

”Cacha...” Bunda mendekatinya yang duduk di pojok ruang tamu. ”Ada apa sayang?” Chaca hanya menggeleng.

Bunda tahu apa yang terjadi pada putrinya namun, terkadang dia pun bingung bagaimana untuk menjelaskannya. Dia hanya bisa menghibur gadis kecil itu sampai tertidur lelap dalam sebuah dongeng.

**

”Chaca nggak punya Ayah, Chaca nggak punya Ayah.” olok beberapa orang temannya. ”Chaca nggak punya Ayah,” mereka mengolok sampai Chaca menangis.

Suara olokan itu berhenti ketika seorang guru mendapati Chaca menunduk dalam tangis.

”Sudah-sudah.” Ibu Guru mengajak Chaca untuk ke kantor. ”Chaha....” Kata Bu Guru tapi Chaca tidak bisa menghentikan tangisnya. ”Ibu tahu apa yang terjadi tapi, Chaca jangan nangis lagi yaa....” Bu Guru berusaha menenangkan.

Bu Guru tahu kalau Chaca hanya anak berusia lima tahun dan dia hanya bisa menangis saat hatinya terluka.

”Kata Bunda, Ayah Chaha kerja di luar kota tapi, kenapa Ayah Chaca nggak pernah dateng Bu Guru?” Tanya Chaca bersama isak tangisnya.

”Chaca bilang di dalam hati,” Bu Guru menunjuk dada Chaca. ”Kalau Chaca kangen sama Ayah, nanti malaikat akan menyampaikan itu pada Ayah Chaca.”

**

Kali ini Chaca tidak makan seharian. Dia terlihat murung di kamar sambil memeluk boneka teddy bear miliknya. Chaca menyayangi boneka itu karena Bunda mengatakan bahwa itu hadiah dari Ayah.

”Chaca sayang,” Bunda masuk ke kamar Chaca sambil membawa semangkuk bubur ayam kesukaan Chaca. ”Chaca makan ya, Bunda nggak mau liat putri kesayangan Bunda sakit.” Bunda mengusap kepalanya.

Gadis kecil itu diam dan tidak berbicara. Tiba-tiba, diamnya itu menimbulkan aliran air dari kelopak matanya. Dia meneteskan cairan bening itu.

”Chaca mau ketemu Ayah, Chaca punya Ayah kan Bunda?”

Bunda keluar dari kamar Chaca dan kembali dengan setumpuk album. Dia meminta Chaca untuk menghapus air matanya dan bersama-sama membuka album itu.

”Ini Ayah Chaha.” Bunda menunjukkan sesosok foto laki-laki yang cukup tampan. ”Ayah bekerja di Jepang sayang, Ayah Chaca rajin sekali dalam bekerja, Bunda aja kagum sama Ayah.” Jelas Bunda sambil memeluk Chaca.

Lembaran demi lembaran album di buka oleh Bunda. Chaca menemukan sosok pria yang di carinya, sosok pria yang tampan yang di inginkannya. Namun, seorang anak kecil memang penuh tanya dan kali ini, Chaca ingin tahu keberadaan Ayahnya.

”Bunda, Ayah dimana?” Tanya Chaca. Sejak dia bisa mengingat, dia tidak pernah menemukan sosok pria yang bisa di simpan dalam memory otaknya. ”Kata temen Chaca, Chaca punya ibu tiri, bunda pindah kesini karena ada ibu tiri kan?” Tanya Chaca, Bunda tidak menjawab. ”Chaca pernah nonton film cinderella Bunda,”

Apa yang di katakan Chaca tidak salah. Selama ini sekali pun dia tidak pernah mendengar kabar tentang Ayahnya. Yang Chaca tahu, dia baru saja pindah ke kota baru yang asing baginya, teman-teman yang baru di sekolah. Dia merindukan TK-nya yang lama namun, Chaca hanya anak-anak dan dia akan beradaptasi seiringnya waktu berjalan.

**

”Chaca nggak punya Ayah.” lagi dan lagi mereka mengolok tapi, kali ini Chaca tidak menangis. ”Chaca-Chaca, Ayah kamu meninggal ya?” Tanya temannya. ”Kasian banget,”

Anak kecil memang suka mengolok tanpa berpikir panjang. Namun, olokan mereka itu di anggap sebagai candaaan walaupun pada akhirnya akan ada korban disini.

”Chaca punya Ayah kok, Ayah Chaca lagi kerja di Jepang.” Jelas Chaca sambil menyunggingkan senyumnya.

**

Chaca mulai nafsu makan dan dia bermain lagi seperti biasanya. Dia tidak mempedulikan lagi teman-temannya yang terus mengolok dimana keberadaan Ayahnya. Baginya, Ayah yang ada di hatinya akan datang untuk memarahi teman-temannya yang jahil.

”Chaca,” Bunda masuk ke kamarnya dengan membawa pakaian. ”Bunda beliin Chaca baju baru.” kata Bunda dan langsung mencocokkan baju itu di tubuh Chaca. ”Chaca, hari ini bunda mau ngajak Chaca ketemu Ayah.” Jelas Bunda.

Bagaimana pun, Chaca harus tahu dimana Ayahnya dan bagaimana keadaannya. Bunda tidak ingin gadis kecilnya terus bertanya-tanya dalam hati.

”Ayah Chaca ada di dalam sayang,” Bunda membukakan pintu di ruang rawat rumah sakit Abdul Muluk. ”Itu Ayah Chaca.” Kata Bunda yang mengantarkan Chaca untuk mendekati Ayahnya.

Gadis itu memandang Bundanya dan masih tidak mengerti dengan maksud Bundanya. Apakah benar pria yang terbaring itu Ayahnya? Pria itu begitu kurus dan bentuk tulangnya terlihat, berbeda dengan di foto.

”Enam bulan lalu, Ayah Chaca pulang dari Jepang tapi, Ayah kecelakaan.” Bunda mengangkat tubuh putrinya untuk duduk di sofa kamar rawat itu. ”Jadi, Chaca tau kan kenapa kita pindah ke Jakarta?” Tanya Bunda, Chaca mengangguk. ”Chaca nggak sedih?”

”Nggak,” dia menggeleng dan tersenyum. ”Berarti Chaca punya Ayah, berarti malaikat itu dengerin apa kata Chaca.” Chaca turun dari sofa dan mendekati tubuh Ayahnya. ”Ayah, Chaca udah disini, Ayah bangun dong, Chaca kangen.”Gadis itu menggoyang-goyangkan tubuh Ayahnya namun tidak ada respon sama sekali

Gadis itu mengajak Ayahnya bicara tanpa henti dan tetap tiada respon. Bunda hanya menarik nafas dan berusaha menahan tangisnya. Dia harus berusaha tegar di depan putrinya.

”Bunda, kita nginep di rumah sakit aja ya?” Pinta Chaca tapi Bunda melarang karena Chaca harus sekolah. ”Tapi kan Bunda,” Bunda tetap melarang. ”Pulang sekolah, Bunda anterin Chaca ke rumah sakit ya?” Pintanya, Bunda diam. ”Bunda,”

”Kamu sekolah sayang,”

”Bunda kerja aja, biar Chaca aja yang sama Ayah disini, Chaca mau berdua aja sama Ayah besok-besok.” Kata Chaca dan Bunda mengambil nafas pendek lalu tersenyum bersama hembusan nafasnya.

**

”Chaca-Chaca, katanya Ayah kamu masih ada, mana Ayah kamu?” Tanya temannya. ”Kamu bohong ya Cha?”

”Nggak,  liat aja nanti perpisahan sekolah, Ayah Chaca pasti dateng.” Kata Chaca dengan sungguh. Dia tahu perpisahan taman kanak-kanaknya tinggal beberapa minggu lagi tapi, Chaca yakin dengan kata hatinya.

**

Sepulang sekolah, Bunda mengantar Chaca ke rumah sakit dan di sana Chaca mulai berceloteh menceritakan teman-teman sekolahnya pada Ayah. Walaupun tidak ada respon, dia yakin Ayah mendengar suaranya. Dia ingin Ayah bangun dan memeluknya.

Dia bernyanyi, dia menggambar, dan dia kadang mendongengkan sebuah cerita untuk Ayahnya. Dia tidak lelah bahkan Bunda saja khawatir jika Chaca kelelahan dan jatuh sakit.

”Ayah,” Kata Chaca ketika melihat jari tangan Ayah bergerak. Chaca tidak tahu harus bagaimana tapi, dia terus meminta agar Ayah menggerakkan tangannya. ”Chaca mau nelfon Bunda tapi,... Chaca nggak punya handphone.” Chaca menarik nafas. ”Ayah, Ayah cepet sembuh biar Ayah bisa beliin handphone untuk Chaca, biar Chaca bisa sering nelfon Ayah.”

Dia tidak kenal lelah dan dia yakin suatu hari nanti Ayahnya akan menggendong  tubuhnya. Mereka akan berforo bersama di kebun binatang dan foto itu akan di pajang di kamar.

”Bunda, Ayah jarinya bisa gerak loh.” Beritahu Chaca, Bunda tersenyum.

”Iya sayang, kemarin dokter bilang, Ayah tiba-tiba dapet kekuatan dari putrinya yang cantik.” Kata Bunda. ”Jadi, Chaca nggak sedih lagi kan? Chaca nggak takut di olok-olok lagi kan?” Tanya Bunda, Chaca menjawabnya dengan senyuman.

**

Hari ini perpisahan TK Melati dan Chaca menari tarian khas Lampung di atas panggung. Dia berharap Ayahnya bisa datang. Walaupun Chaca tahu Ayahnya sudah bisa menggerakkan beberapa organ tubuhnya, tapi dokter mengatakan lain padanya. Dia sedikit kesal dengan orang-orang yang berseragam putih itu dan dia masih yakin dengan hadiah dari doa’nya selama ini.

”Chaca, mana Ayah kamu?” Tanya temannya. ”Hu,u Chaca pembohong, Chaca pembohong,” Olok-olok teman-teman Chaca berulang kali dan kali ini Chaca menangis. Dia menangis bukan karena mereka terus mengolok tapi dia takut jika suatu hari nanti tidak memiliki Ayah.

Gadis itu melanjutkan tarian keduanya. Kali ini dia memantapkan hatinya untuk fokus pada tariannya. Dia yakin, suatu hari nanti dia akan mendapatkan apa yang di inginkannya selama ini.

Satu per satu murid TK melati turun dari panggung setelah tarian itu selesai. Chaca menunduk karena dia tidak menemukan Ayah atau pun Bundanya. Dia tidak bermasalah jika Bunda tidak ada, menurutnya Bunda sedang menjaga Ayah. Dan, gadis ini menyusuri anak tangga panggung perlahan tanpa melihat temannya yang sedang mengolok.

”Chaca, sayang,” Kata seorang pria di bawah panggung dengan kursi rodanya.

”Ayah!” Chaca berteriak. ”Bunda,” Dia memeluk Bundanya. ”Ayah,” Lalu Ayahnya yang duduk di kursi roda.

”Putri Ayah sudah besar ternyata.” Dia mencubit lembut pipi putrinya. Chaca ingin menangis bahagia tapi, dia menahan air matanya dan menoleh ke teman-temannya. ”Chaca punya Ayah!” Dia berteriak kencang lagi dan teman-teman Chaca mendekat. ”Kalian mau coklat?” Tawari Ayah Chaca lalu Bunda mengambilkan coklat dari tas.

”Ayah Chaca baik ya.” Lalu mereka bermain bersama. Yah, inilah anak-anak, anak-anak yang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan. Mereka hanya bisa menangis ketika sedih dan hati anak-anak begitu polos untuk merasakan kesedihan.

”Ayah jangan ke Jepang lagi ya....” Kata Chaca, Ayah mengangguk. Dia belum cukup sehat untuk berbicara banyak tapi, dia begitu bahagia melihat senyum putrinya. ”Chaca sayang banget sama Ayah.” lalu Ayah memeluknya lagi dengan lembut.

TAMAT
Oleh : Sanjaya Kusuma Umar
SMAN 13 Bandar Lampung / XI IPA 3

Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...