Rabu, 25 Juli 2012

Sisa Foto Liburan 2011 #desember

 Semua Foto disini, nggak ada foto gue, ini foto2 kakak kelas yang kebanyakan ngeselin, foto gue entar di postingan berikutnya, seenggaknya buat kenang-kenangan yang gue simpen di blog

 Yang kemeja coklat namanya,Oresta. Nah Kak Orez ini sekarang rambutnya di amputasi alias botak. Terus kalo yang kemeja kotak-kotak namanya Ijal, entah sekarang apa kabarnya ini orang, jarang liat. Eh bukan jarang liat, gue yang gak liat kali



Dua orang ini mirip ya padahal nggak kembar. Mereka lagi foto di depan bis yang ngebawa kita-orang semua.


Nah ini kumpulan cewek-cewek alumni XII IPA 2. Wah pasti pinter-pinter, ^_^ Ada Imel - Dewi DKK dan cowok yang kayak jin mampang di belakang itu, entah siapa.


Tau nih orang sok ngebatik padahal mah gaya doang, ckck. Ini waktu kita-orang lagi di pabrik batik daerah Yogyakarta


tampang ngantuk gini 3 kakak kelas gua. ckck, ini waktu di, dimana yak? Aduh lupa yang jelas daerah Jawa dan tempatnya bagus banget. Mungkin Jati Jajar, seinget gue sih gitu :)



no coment


lucu



Ini Waktu di candi..... hayo candi apa? Yaa pasti pada tau dong dari bentuknya ini, hmm... nggak lain dan nggak bukan, ini adalah candi borobudur ^_^ 



Candi borobudur



Sabtu, 14 Juli 2012

Novel# BAB 1 (Ruh? Aku gila!)


Setiap kali matahari terganti malam, aku ingin tidur nyenyak tanpa berpikir apa-apa lagi, tidak satu pun pikiran atau mimpi. Bukan aku tidak ingin tapi, aku benar-benar tidak menginginkannya. Tidak-sama-sekali.

“Apa kamu pernah berpikir tentang kupu-kupu yang sampai pada nirwana?”

“Apa kamu ingin ke nirwana dan meninggalkan semua keanehan di kehidupan ini?” Aku berbalik tanya padanya, dia hanya memandangku dengan pandangan sedingin es, “atau kamu nggak mau keduanya? Atau ada yang lain?”

“Kamu berpikiran seperti itu? Baiklah.....” dia duduk di atas meja makan, “jika itu yang kamu pikirkan, aku mengerti, tapi, apakah kamu benar-benar serius mengatakannya?”

Ucapannya begitu santai, dia terlihat tanpa beban, tanpa masalah yang mengelilinginya, tanpa bingung atau lebih bingung lagi. Dengan sikapnya yang seperti itu, dia dapat tenang tapi, dia membuatku benar-benar kacau dan dalam kebingungan yang entah ini mimpi atau nyata.

“Hanya kamu yang bisa mendengarkanku, nggak ada yang lain. Aku nggak pernah meminta bantuanmu, aku hanya ingin, setidaknya kamu memandangku sebagai orang yang terlihat di kehidupanmu. Oh.... bukan....bukan....” dia menggoyangkan tangannya seperti orang yang menarikan tarian Bali, sungguh lucu dan tidak terlalu mirip, “bukan terlihat di kehidupanmu, setidaknya di depan matamu, itu udah cukup.”

Kepalaku mulai di buatnya pusing lagi, bicaranya berputar-putar seperti gambaran badai yang entahlah, aku sulit menjelaskannya, yang jelas, ini benar-benar membingungkan.

Dia di sampingku, setiap hari bersamaku dan menggangguku. Ketika aku bertanya apa keinginanya, dia hanya ingin disisiku dan terlihat olehku. Katanya, hanya aku yang bisa memandangnya benar-benar nyata tapi, apa dia akan terus seperti ini?

“Jane!” seseorang berteriak seenaknya dan langsung menghampiriku di meja makan, “dari tadi jerit-jerit nggak ada yang dengerin!” dia tampak kesal.

“Maaf,” kataku dengan wajah sedih, “tapi... sebentar, ada apa sore-sore begini kerumahku?”

“Iseng aja, mampir, atau apa dah apa kek,” jelas Vio yang benar-benar ngelantur, “eh tadi aku mendengarmu bicara dengan seseorang, siapa?” tanyanya, aku diam dan memandang Awan.

“Tadi ada telfon,” jelasku pada Vio. Aku tidak mungkin menjelaskan kalau tadi aku berbincang dengan Awan dan Awan masih disini, duduk di atas meja makan sambil memandangiku dengan wajah kesal. Bagaimana pun, Vio tidak akan bisa memandang, melihat, atau mendengar Awan, hanya aku yang bisa.

















BAB 1

Tidak ada angin yang berhembus sama sekali, ini tampak aneh padahal, sepagi ini biasanya angin akan berhembus perlahan namun membuat tulang beku, sebeku es.

Kayuhan sepedaku kuperlambat padahal, pagi ini aku ingin bersepeda untuk menenangkan semua beban di kepalaku, beban yang benar-benar ringan namun selalu mengganggu. Beban yang benar-benar ringan namun selalu mengusik. Tentu saja, beban itu tidak jauh dari beban hati. Tidak, tidak. Bukan beban hati tapi beban pikiran.

Belakangan ini jantungku terasa aneh, dadaku sesak dan terkadang seperti takut kehilangan seseorang padahal, tidak ada yang pergi dariku. Keluargaku lengkap, teman-temanku lengkap, pacarku pun masih ada, jadi siapa yang membuat jantungku seperti ini? Apakah aku memiliki penyakit jantung? Tidak....tidak, jangan sampai itu terjadi.

La.....la....laa....laa....
Suara dering handphoneku mengganggu saja dan dengan terpaksa aku berhenti mengayuh.

“Sudah pukul 6 pagi, bukankah olahraga pagimu sudah cukup?” tanya Ayah, aku hanya diam dan hening, “atau ada masalah yang terjadi?” tanya Ayah, aku masih hening. Ayah benar-benar tahu kalau aku berolahraga pukul 4 pagi berarti aku ada banyak beban pikiran karena biasanya aku berolahraga pukul 5 pagi.

“Iya, ini Jane mau ke arah rumah.”

“Baiklah, Ayah tidak ingin kamu terlambat ke sekolah.”

Kukayuh lagi sepedaku namun, pandanganku terganggu, benar-benar terganggu. Aku melihat seorang pemuda yang duduk di pinggir jalan sambil memandangiku tajam tapi, pandangannya juga tampak kosong, juga tampak kebingungan. Sulit ku gambarkan, yang jelas, pemuda itu tampak benar-benar aneh dan pandangan matanya mengerikan padahal wajahnya lumayan tampan untuk seseorang yang seperti hantu.

Aku mengerem, menghentikan kayuhanku dan memandangnya, dia balik memandangku. Aneh, aku melihat matanya merah, benar-benar merah seperti seseorang yang habis kecelakaan.

Baiklah, kuabaikan pemuda yang cukup tampan untuk seorang hantu atau jin atau sejenisnya, tapi tetap saja sangat menyeramkan, kukayuh lagi sepedaku tapi, pemuda itu terus memandangiku dan berjalan ke arahku. Jalannya pelan, terlihat seperti orang pincang, tidak...tidak, dia sepertinya tidak pincang tapi seperti orang kehilangan tenaga atau sejenisnya.

Dia perlahan berjalan kearahku dan aku ketakutan, benar-benar takut. Aku takut jika dia orang jahat tapi, entah kenapa kakiku membeku sehingga tidak bisa bergerak untuk mengayuh sepeda.

“Mengapa kamu melihatku?” tanyanya padahal pertanyaan itu harusnya aku yang mengucapkannya, “mengapa kamu memandangiku? Apa aku tampak seperti setan? Atau tampak seperti pemuda jahat?”

Aku memandangnya sejenak, memperhatikan wajahnya yang pucat dan matanya yang merah, benar-benar merah, “maaf, aku nggak bermaksud melihatmu seperti itu. Maaf,” kataku berulang kali memohon maaf agar dia tidak menggangguku. Aku berpikir dia setan, atau preman, atau juga gelandangan yang kelaparan karena wajahnya pucat, seperti tidak makan satu minggu.

“Ini yang kuinginkan, apa kamu benar-benar melihatku dan bicara denganku?” tanyanya dan memandangku tajam, “apa kamu mendengar suaraku?” kuanggukkan kepalaku lagi, “apa wajahku begitu pucat?” lagi dan lagi aku mengangguk, “akhirnya kutemukan seseorang yang dapat memandangku sebagai seorang manusia.”

Entahlah, tiba-tiba tanganku bergerak dan bersalaman dengannya lalu memperkenalkan namaku. Dia tampak kebingungan saat tanganku menyalami tangannya namun, dia akhirnya menyebutkan namanya. Dia Awan, seorang siswa SMU juga namun di Jakarta dan aku Jane, siswi kelas 2 SMU di Bandung.

“Setiap aku bicara, nggak ada yang bisa mendengarkanku bahkan melihatku dan aku nggak bisa menyentuh seorang manusia pun, bahkan hewan, atau tumbuhan kecuali benda mati.” Jelasnya, aku kebingungan, benar-benar bingung lalu dia berjalan ke tengah jalan raya. Kendaraan bermotor masih sepi, tapi ada satu-dua yang lewat dan dia berdiri disana seolah-olah ingin bunuh diri. Entah kenapa, aku tidak menghalangi tindakan bunuh dirinya namun aku menonton.

Ini gila! Ini mimpi! Ini benar-benar gila! Dia di tengah jalan, dua-tiga mobil bahkan truk menabraknya tapi semua menembus badannya. Aku kebingungan dan merasa ini mimpi, mimpi buruk, benar-benar buruk dan aneh. Kembali lagi dia menuju arahku lalu badannya menembus orang-orang, loh? Loh? Tadi dia bisa bersalaman denganku? Dia nyata menyentuhku dan dia bisa bicara denganku.

Aku ketakutan, benar-benar ketakutan dan kurasa dia jin. Tidak, tidak, dia setan. Bukan-bukan, dia-dia arwah penasaran tapi, ini pukul 6 pagi, mana ada setan, jin, dan arwah jam segini? Ini gila!

Rasa takut itu merasuki seluruh darahku dan kurasa darahku membeku, benar-benar sebeku es. Namun, entahlah, aku tidak bisa berlari, yang kulakukan justru tersenyum pada arwah, jin, atau setan aneh itu.

“Kamu nggak terkejut? Ketakutan?” tanyanya, aku sedikit gila! Aku malah menepuk pundaknya lalu aku berjalan bersamanya ke taman. Kami duduk di bangku taman, “hei, apa kamu nggak terkejut?” tanyanya lagi, “hei!”

“Diam, diam sejenak, aku masih bingung, kamu arwah, jin, setan, atau... atau aku gila?” tanyaku, dia menengok kanan-kiri, taman sepi karena ini sudah memasuki pukul 6.15, saatnya orang bekerja dan bersiap ke sekolah, “hei, aku ketakutan!” teriakku.

“Kamu ketakutan?” dia tampak heran, “aku nggak tau kamu takut, kamu terlihat biasa saja, buktinya kamu justru tersenyum. Atau kamu memang gadis gila?”

Kepalaku melayang-layang, sejuta kebingungan melanda. Apa aku mulai gila? Tapi kalau aku gila, aku masih bisa mengingat tentang rumus-rumus logika, bukan rumus logika yang sebenarnya tapi sesuatu yang masih bisa di nilai dari logika. Jadi, aku tidak gila kan? Atau aku setengah gila? Seperempat gila? Hah! Ini seperti penjual dan pembeli di pasar tradisional.

“Kamu heran, aku lebih heran,” pemuda yang bernama Awan itu memandangku, matanya masih merah dan wajahnya masih pucat, pucat sekali. Dia benar-benar mirip seperti seorang pemuda yang menuju kematian namun tidak sampai-sampai pada kematian abadinya, “semua orang, semua mahluk hidup tidak bisa kusentuh, hanya benda mati yang bisa kusentuh tapi, kenapa aku bisa menyentuhmu? Kenapa aku bisa memegang bunga ini saat bersamamu? Ini aneh!” dia memukul sebuah bunga mawar dan tampak sekali, dia bukan bingung tapi kesal.

Kembali lagi pada handphoneku, Ayah mengirim pesan singkat bahwa ini sudah pukul 6.30 dan aku harus segeran pulang lalu bersiap ke sekolah, untung saja sekolahku masuk pukul 7.30 tapi, pulang pukul 16.00, huh.

“Aku ingin pulang, ke sekolah, mungkin kamu akan berkelana sendirian. Aku nggak tau kamu jin, arwah, setan atau yang lain tapi, yang jelas, aku kasihan padamu.”

Kakiku melangkah menuju sepedaku dan aku menggoes sepedaku sambil melambaikan tangan tapi, Awan tidak ada di bangku taman itu. Jadi, dia arwah di pagi hari?

“Aku nggak bisa menghilang seperti hantu, aku bisa pergi jauh dengan berjalan kaki, seperti manusia,” tiba-tiba Awan di sampingku dan kami berbincang lagi, larinya menyamai kayuhan sepedaku. Jadi, apakah sebelum dia mati, dia adalah atlet pelari?

“Oh iya, kamu ingin kemana? Mengikutiku?” tanyaku, dia mengangguk, “hah? Kau akan mengikutiku terus sampai kapan? Sampai aku mati?”

“Hm.... aku hidup, kamu hidup hanya saja, kamu terlihat, aku nggak terlihat.” Keluhnya dan aku jadi kasihan, “maaf, jika kamu keberatan, ya sudah, tapi, aku memaksa untuk di dekatmu. Bukan karena aku ingin mengganggumu tapi untuk mengetahui segala keanehan ini.”

“Baiklah, oh iya, kau bisa menyentuh benda mati tapi, kenapa benda mati bisa menembus tubuhmu?”

“Karena bukan aku yang menyentuhnya melainkan benda itu tapi, aku juga bisa menembus dengan sendirinya, ini agak membingungkan tapi, seperti inilah kehidupan ruh.” Jelasnya, dia memberitahukan kalau dia ruh. Ruh? Kalau dia ruh berarti dia hidup, dia masih memiliki kehidupan, lalu....lalu.... tubuhnya dimana? Tubuhnya yang nyata ada dimana?

Dia terus mengikutiku sampai aku tiba dirumah. Aku memarkirkan sepedaku di halaman depan dan tanpa kuminta, dia masuk ke rumahnya menembus tembok tapi, brak! Dia tidak bisa menembusnya. Hah?! Ini aneh padahal tadi dia bisa menembusnya. Lalu, aku mencoba menabraknya dengan sepeda dan dia terjatuh lalu mengeluh kesakitan.

“Ada apa ini? Mengapa aku seperti nyata? Mengapa aku seperti manusia?” tanyanya padaku tapi aku tidak mempedulikan pertanyaannya. Aku sedikit sebal padanya tapi, aku juga tidak bisa marah padanya, entah, mungkin aku kasihan.

Aku membukakan pintu untuknya dan untuk diriku. Dia masuk, dia iseng lalu dia mencoba menyentuh Ayahku, dia menembus tubuh Ayahku. Heran, benar-benar heran.

Dia mengikutiku saat aku menuju kamarku dan lagi-lagi, kusuruh dia menembus pintu kamarku tapi, dia terjatuh dan mengeluh kesakitan. Otomatis, aku tertawa terbahak-bahak melihatnya.

“Aneh, mengapa setiap di dekatmu seperti ini? Aneh,” katanya kebingungan lalu adikku berlari dan menabraknya tapi tembus. Loh? Loh? Kenapa begini? Apa yang terjadi ini? Benar-benar aneh tapi, entahlah, perutku sakit menahan tawa tapi aku tetap tertawa walaupun tawa kecil.

“Baiklah, kamu berdiri di depan kamarku, aku ingin bersiap-siap ke sekolah.” Kataku tegas seperti menegaskan pada anak kecil, “kamu mengerti?!”

“Iya,” jawabnya pasrah.

Buku sudah, pena, pensil, penggaris, penghapus, handphone, headset sudah lengkap, tinggal berangkat ke sekolah.

Damien sudah menunggu di depan rumah. Dia pasti sudah menunggu lama sekali tapi, rasanya itu sudah kewajibannya.

“Kamu akan meninggalkanku di rumah ini sendiri?” tanya Awan, aku mengangguk, “kamu jahat sekali!” teriaknya seperti anak TK kehilangan permen, dia benar-benar tampak seperti anak kecil kali ini tapi, aku merasa dia lucu, benar-benar lucu.

“Masuklah!” aku membukakan pintu kamarku dan kusuruh dia masuk, “istirahatlah selama aku ke sekolah, atau kamu bisa menonton televisi, atau merenungi nasibmu.” Tambahku, “yang jelas, jangan rusak barang-barang di kamarku selama aku nggak ada di rumah!” aku mengingatkannya sambil menendang kakinya.

Dia tampak kesal tapi lebih tampak pasrah dan menyedihkan, “baiklah,” wajahnya menunduk seolah-olah aku menindasnya, “jangan lama-lama, aku takut jika nanti kamu nggak bisa melihatku lagi dan aku akan kesepian tanpa ada orang yang bisa kuajak bicara.”

Oke ruh yang aneh,  bye bye.”

Entahlah apa dia bisa menonton televisi tapi, dia kan bisa menyentuh benda mati jadi, dia pasti bisa. Yah, kalau tidak bisa, anggap saja dia kupenjara satu hari. Yah, ini lucu tapi dia tidak bisa menembus dinding kamarku dan ini membuatku benar-benar ingin terus tertawa.

“Beb, kamu kenapa?” tanya Damien, “kamu kesel sama siapa? Liat tuh muka aneh kamu.”

“Biasa, mimpi ketemu ruh gila, haha, udahlah sayang, berangkat gih, udah mau bel masuk loh, masa kita mau di hukum?”

Damien langsung membawa motor seperti setan kesurupan, eh? Emang setan bisa kesurupan? Rasanya tidak.

Kami tiba di sekolah dengan selamat padahal kukira, sebelum masuk ke sekolah, aku ke UGD terlebih dahulu tapi, aku aman-aman saja tidak kecelakaan atau terjatuh dari motor.

“Haduh, untung dah selemat sampai sekolah,” Aku tertawa diikuti tawa Damien, “oh iya sayang, kamu percaya ruh nggak sih?”

“Percaya tapi nggak percaya juga, yaa, diantara keduanya lah.” Jawabnya datar, “udah, ke kelas kamu gih, belajar sana jangan keluyuran sampe cabut jam belajar,”

Menyebalkan padahal, jujur, aku tidak pernah cabut jam pelajaran. Aku memang agak berisik di kelas tapi, aku tidak bodoh-bodoh amat, aku masih 10 besar di kelasku walaupun aku juga di nobatkan sebagai siswi perusuh di kelas.

“Hei nona, jam berapa ini?” tanya Vio, teman sekelasku, “biasanya pagi, tumben jam segini, haha, aneh.”

“Ini kan belum bel jadi tak apalah.” Lalu aku duduk di bangkuku dan memainkan game di handphoneku.

Entahlah, kepalaku melayang-layang tidak beraturan. Aku masih memiliki satu pertanyaan apakah aku gila atau memang setengah gila? Apakah Awan yang sebenarnya ruh itu benar-benar ada atau mimpi belaka?

Satu-dua-tiga-empat menit aku melamun memikirkan itu dan timbul rasa khawatir yang amat mendalam. Bukan khawatir pada Awan tapi, khawatir pada otakku yang benar-benar di luar nalar.

“Kenapa jeng?” Vio mengejutkanku. “mikirin siapa hayo? Jangan bilang tadi ribut sama Damien. Haha udah 5 bulan loh kalian itu, ini pertamakalinya pacaran langgeng, pertahanin geh.”

“Emang gue ribut gitu sama Damien? Ye, nggak geh, nggak ya maaf aja ini mah.”

Pelajaran jam pertama, jam kedua, istirahat sambil mendengarkan musik lalu makan di kantin dan mengobrol dengan teman alias bergosip lalu pelajaran jam ketiga, keempat dan sampai bel pulang kepalaku masih tertuju pada ruh yang aneh.

Oh iya, aku lupa kalau Damien akan latihan basket jadi aku tidak pulang bersamanya.

Aku berjalan menuju halte bis dan baik bis menuju ke rumah. Hm, kira-kira tadi pagi itu mimpi atau bukan ya? Jika mimpi alhamdulilah, jika bukan, yah, itu nasib sialku harus menampungnya di rumahku.

Pintu rumah terkunci dan aku lewat pintu samping yang tidak terkunci. Mama menggeleng-gelengkan kepala melihatku yang biasanya santai dan ini justru buru-buru ingin masuk kamar.

Kubuka pintu kamarku dan kulihat Awan sedang menonton televisi. Jadi? Dia bisa menyentuh benda alias remote televisi? Baguslah, walaupun, jujur, jujur agar aneh.

“Kamu udah pulang? Huh, aku hampir gila dikamarmu yang serba bewarna biru penuh hiasan lumba-lumba ini!” keluhnya kesal, “dan kamu tahu, aku nggak bisa keluar kamar kamu sama sekali.”

Aku memandangnya kesal, sukur-sukur kutampung dia hari ini dirumahku, bukannya berterimakasih justru mengomel seperti nenek-nenek yang kembali ke masa bayi.

Remote TV kutarik dari tangannya dan kupukul kepalanya dengan remote, “hei, kamu terlihat lemah dan pucat dan matamu seperti setan, apa kamu benar-benar ruh yang menyedihkan? Tapi, kenapa larimu tadi pagi cepat?”

“Aku bisa berlari cepat tapi, aku lebih lemah dari diriku sebenarnya. Aku seorang kapten basket dan aku suka berolahraga tapi, memegang remote TV saja kurasakan berat sekali, sungguh tersiksa dan pukulanmu ke kepalaku seperti aku di pukul dengan batu besar.” Jelasnya dengan wajah anak TK yang kehabisan coklat.

“Hah! Sudah-sudah! Kamu keluar dari kamarku!” Aku mendorongnya sampai dia menembus tembok dan keluar kamarku. Loh? Kenapa dia bisa menembus tembok saat aku yang mendorongnya tapi, dia tidak bisa masuk sendiri. Kenapa dan kenapa lalu mengapa? Aih! Sudahlah.

Kulihat televisiku yang masih menyala, ternyata dia menonton berita. Hah? Harusnya dia menonton film kartun atau yang lainnya, lah ini? Berita tentang korupsi melulu, kan membosankan sekali.

“Hei!” Aku menjitak kepalanya ketika aku keluar kamar dan menemukannya jongkok di depan pintu kamarku, “hei!” aku menjitaknya lagi. Di rumah ini tidak ada siapa-siapa, Mama dan Ayah serta adikku pergi jadi, aku tidak akan di sangka gila bicara sendirian.

Awan memandangku, kali ini dia lebih pucat lagi tapi, matanya sudah tidak merah dan dia terlihat lebih rapi, tidak seperti setan bermata seram. Ku pukul pundaknya pelan dan dia diam saja lalu dia jatuh.

Ada yang aneh, dia seperti mematung tapi masih memandangku begitu tajam, menakutkan dan benar-benar menyeramkan sekali. Aku menariknya dan tubuh, eh bukan tubuh tapi ruh nya enteng sekali seperti aku menarik bantal.

Kutaruh dia di sofa dan kupandanginya. Dia sepertinya pingsan dengan mata terbuka tapi, kalau aku siram dia dengan air, apa dia akan bangun? Dia kan ruh, memang ada ruh yang pingsan? Aduh, ini membuat kepalaku sakit.

“Hei! Jangan membuatku bingung!” aku memukul kepalanya dan dia mengedipkan mata lalu tampak seperti orang yang baru sadar dari pingsannya, “kamu membuatku takut!”

“Aku selalu seperti ini. Jika keadaan tubuhku di rumah sakit melemah, maka ruh ku juga semakin melemah, seperti itulah.”

Aku mencoba meresapi ucapannya dari awal pertemuan sampai detik ini, “jadi, jadi, tubuhmu dirumah sakit? Kamu koma? Kritis? Sekarat? Atau yang lainnya?” dia mengangguk, “kasihan, kasihan sekali dirimu itu ruh yang manis, hahaha” aku menertawainya tapi, sepertinya dia tidak suka tapi aku tetap tertawa dan akhirnya, dia pun ikut tertawa.

 Novel ini gue buat seminggu sebelum masuk ke tahun ajaran baru, sekitar tanggal 2 Juli 2012 dan selesai saat memasuki tahun ajaran baru. Cepet banget yaa? emang, ini novel paling cepet gue buat. Alesannya, selain ide nya sedikit pasaran, gue juga di buru waktu mau sekolah karena, kls 3 SMA kan sibuk belajar, susah mau buat novel lagi ^_^ 


BAB 2 nya udah selesai tp memang gak di posting ^_^ maaf, 











Novel # Bab 1 (blm ada judul)

BAB 1
My life is so perfect. I do not mean perfect but close to perfect. Family, love, friends, and life there is no overload my brain. Everything is casual and fun. [1]

“Aku ingin kamu melihatku di setiap alam bawah sadarmu.” Ucap Hasya ketika di telfon. “Mungkin aku nggak bisa melihat senyummu di sana tapi, di pikiranku, semua itu tergambar jelas.”

“I want you here, in front of my eyes, smiled at me, and it definitely makes me happy.” [2] Aku menarik nafas sejenak. “Kadang aku berpikir mengapa hubungan kita mendekati sempurna dan aku juga ingin sesekali kita ribut seperti pasangan lain.”

Hasya terdengar seperti tertawa kecil mendengar ucapanku. Baiklah, benar, aku merindukannya, aku menginginkan dia ada di depan mataku dan bicara padaku. Namun, aku tahu dia tidak di sini.

“Tapi terkadang timbul sebuah pertanyaan, apa kamu benar-benar menuliskan nama aku di hati kamu?” Tanya Hasya, aku tidak menjawab. “Baiklah, mungkin kamu belum berani untuk mengatakan sesuatu tentang cinta.”

Cinta, aku tidak tahu ini cinta atau bukan. Bagiku, hidupku baik-baik saja bahkan tidak ada kecurigaan atau kecemburuan. Aneh sekali padahal Hasya ada di luar kota dan kata kebanyakan orang, cemburu tanda cinta.

Hasya, dia pacarku sekaligus tunanganku. Mungkin terdengar sedikit aneh jika anak SMU seumuranku sudah bertunangan tapi, sebelum SMU, aku memang sudah bertunangan sejak kecil. Maksudku ketika aku kecil, aku di jodohkan dengan Hasya.

Pertama kali aku mengenal Hasya adalah saat aku berusia 8 tahun. Mama dan Papa mengenalkannya padaku. Sejak saat itu kami berteman dekat tapi, aku tahu kalau kami di jodohkan ketika aku berusia 14 tahun.

Awalnya aku terkejut ketika di jodohkan tapi, Hasya baik dan aku juga mengenalnya dengan baik selama bertahun-tahun. Tanpa penolakan dariku atau dari Hasya, kami menerima perjodohan ini toh sejak awal Hasya juga sudah perhatian padaku.

“I love you, nothing else, only you, only you is written on my heart”[3] Hasya mengirim sms padaku. “Believe me, I'm far from you but, in my mind there's only you”"[4] Dia mengirim sms sampai dua kali padaku dan aku hanya tersenyum tanpa membalas smsnya.

Sebelum aku menerima perjodohan ini, Mama mengatakan semuanya bisa di batalkan jika aku atau Hasya menolak tapi, tidak ada yang menolak di antara kami. Entahlah padahal saat itu aku benar-benar tidak mengerti tentang cinta bahkan aku kurang peduli tentang perasaan seorang cowok padaku. Mungkin ini aneh tapi, aku belum merasakan yang namanya cinta sama sekali.

Kata Hasya, bukan aku belum bisa merasakan cinta tapi belum merasakan sedih karena cinta. Aku mengerti maksudnya, maksudnya, aku sudah memiliki cinta yang di sampingku tapi aku belum merasakan sakit karena cinta.

“Zena, kamu belum tidur sayang?” Mama masuk ke kamarku lalu duduk di ranjangku. “Apa yang tadi menelfonmu Hasya?”

“Iya Ma, Mama mau telfonan juga dengan Hasya?” Tanyaku, Mama menggeleng.

“Nggak.” Mama mengusap kepalaku. “Apa kamu mencintainya?” Tanya Mama, aku hanya tersenyum penuh misteri. “Mama berharap akan seperti itu.”

Mama benar, Mama tidak salah mempertanyakan itu. Kalau Hasya, dia bicara pada Mama dan Papaku serta Mama dan Papanya kalau dia mencintaiku tapi, aku tidak mengatakan seperti itu. Mereka tahu kalau aku belum sepenuhnya mengerti cinta jadi mereka memakluminya.

“Jangan tidur terlalu malam, besok kamu sekolah.”  Kata Mama lalu mencium keningku dan meninggalkan kamarku dengan menutup pintu kamar perlahan.

**
Life with no problems, everything is fine, almost perfect, but there is one thing, one thing I want. I want to occasionally have problems in my heart and feel the pain of love. Once in my life[5]

“Zen, mau kemana?” tanya Aldo, teman satu sekolah dan anak kelas tetangga. “Kantin kan? Bareng sekalian.” Kami berjalan bersama.

Aldo atau biasa di panggil Al, dia teman baikku di SMU dan dia salah satu cowok yang mendapatkan banyak prestasi belajar di sekolah. Selain dia baik, dia juga di kenal ramah dan sedikit humoris walaupun aku merasa, dia tidak humoris sama sekali.

“Fisika kemaren gimana Zen?” tanyanya, aku hanya mengangkat pundakku.

Kami sama-sama mengikuti olimpiade fisika tapi, aku keluar untuk olimpiade tahun ini karena kondisi tubuhku sedang di landa penyakit-penyakit ringan tapi berulang. Ini aneh, memang aneh, tapi setidaknya, jika aku mundur, peluang untuk yang lain terbuka. Bukankah itu menguntungkan?

“Zen, gimana?” Tanyanya lagi. “Atau berita tentang lo ngundurin diri bener?”

“Ya begitulah Al, lagian gua nggak pinter-pinter amat di fisika, masih banyak yang lebih pinter dari gue.”

“Berarti gua bakalan jarang maen ke rumah lo buat belajar.” Jelasnya tapi aku mengatakan bahwa dia bisa sesekali kerumahku jika ingin belajar bersama dan tentunya, aku tidak aka menolak.

Dia memesan nasi goreng ketika di kantin dan segelas jus jambu. Katanya, sekarang sedang musim demam berdarah jadi dia memakan makanan yang mengandung jambu. Aneh sekali, agak membingungkan.

“Zen, nggak mesen apa-apa?” Tanyanya, aku tersenyum. “Bilang aja minta bayarin. Bayar sendiri geh.”

“Pelit, yaudah jus jeruk aja dah.” Kataku kesal lalu memainkan handphoneku dan sudah ada pesan masuk dari Hasya.

Kata Hasya, bulan depan orang tuanya akan kerumahku dan dia menitipkan sesuatu untukku. Kuharap dia akan menghadiahkanku sesuatu yang kusuka, menyenangkan sekali tapi, mengapa hanya orang tuanya? Mengapa Hasya juga tidak ikut.

“Aku udah kelas 3, kamu ngerti kan?” Hasya mengirim sms lagi dan aku tersenyum tanpa membalas sms itu. Aku tahu, dia sudah kelas 3 SMU, beda denganku yang baru kelas 1 jadi dia tentu saja lebih sibuk dari pada aku.

“Sms dari siapa Zen?” Tanya Al, aku hanya tersenyum. “Atau senyum karena bisa satu meja di kantin sama gua?”

“Nggak banget dah.” Aku tertawa lalu langsung menyeruput jus jeruk yang sudah tersedia di mejaku beberapa detik lalu. “Oh iya Al, masa ulangan Fisika gue cuma dapet 80? Bete bener lah,”

“Malu-maluin gua aja lo ini.” Ucap Al agak menyindir. “Nggak biasa-biasanya ulangan fisika lo cuma segitu, ada masalah tah?” Tanyanya, aku menggeleng. “Galau?” Aku menggeleng lagi. “Begadang?” Aku menggangguk lalu dia tertawa. Memang, sehari sebelum ulangan, aku begadang dan paginya, aku masih mengantuk.

Aku begadang bukan karena sedih atau banyak pikiran tapi, aku membaca sebuah novel yang di kirimkan Hasya beberapa hari lalu. Dan, ketika ujian Fisika, aku mengantuk bahkan aku kesulitan membaca soal-soal itu. Sudahlah, itu sudah terjadi, walaupun menjengkelkan, itu tetap terjadi.

“Udah nggak usah di pikirin.” Kata Al, “Makan nih.” Dia menawariku nasi gorengnya. “Apa mau gua suapin?” katanya sambil mengejek. “Galau tah cuma gara-gara nilai yang pas-pasan?” Tanyanya, aku mengangguk.

Al berdiri dari tempatnya duduk dan pergi entah kemana padahal makanannya belum habis ditambah belum di bayar. Jangan katakan jika aku yang membayarnya.

“Nih…” Dia memberiku secangkir coklat hangat. “Biar pikiran lo lebih tenang, kasian gua liat muka lo aneh begitu.”

Al benar, aku pusing sekali tapi, ini juga bukan masalah besar. Ini hanya masalah biasa yang mudah terselesaikan. Entahlah, aku belum pernah menemui masalah besar dalam hidupku atau masalah yang membuatku begitu sakit di dada lalu menangis. Memang, aku pernah menangis tapi, itu hanya karena aku jatuh dari sepeda bukan karena masalah yang menyangkut hati.

“Malah ngelamun!” Al menjitak kepalaku.

“Emang gue ngelamun tah Al?” tanyaku, Al malah membisu dan melanjutkan makannya yang belum selesai. “Aneh,” kataku singkat.

Al makan sambil tersenyum-senyum padaku. Rasanya dia benar-benar mengejekku karena nilai ulanganku di bawah nilainya. Sial sekali, untung aku tidak satu kelas dengan Al dan jika satu kelas, aku akan kesal dengan senyumnya yang seperti ini.

Selesai makan, Al mengantarkanku ke kelas. Katanya, dia ingin sekalian mampir ke kelasku untuk menemui Niko, sahabat baiknya. Terserah, setidaknya aku ada teman untuk kembali ke kelas.

**

Mama menungguku di teras rumah seperti biasa. Entahlah, semenjak SMU, Mama sangat memperhatikanku dan terlalu banyak bertanya tentang kegiatanku padahal sebelumnya tidak sama sekali.

CERPEN - Creative Student


Creative Student

Asidosis loh Ndu yang pH nya tinggi itu.” Viola berusaha membela apa yang menurutnya benar. “Loe geh Ndu yang salah.”

“Nona cantik, Asidosis itu rendah, yang tinggi alkalosis.” Jelas Vandu sambil menunjukkan penjelasan itu di buku Kimianya. “Baru kemaren belajar tentang larutan penyangga. Kan pikunan!” Vandu menjitak pelan kepala Viola.

“Oh iya deng.” Viola tersenyum malu.

Mereka ke kantin sekolah sambil membicarakan ujian kimia yang berlangsung kemarin. Keduanya memang seringkali berbeda pendapat mengenai pelajaran tapi, keduanya pun kadang tidak mau mengalah walaupun tahu itu salah.

“Sekolah kita nggak ada sampah plastik ya Ndu?” Tanya Viona, Vandu hanya tersenyum.

Bagaimana tidak, kantin di larang untuk menjual snack yang bungkusnya dapat mengotori area sekolah bahkan permen pun di larang. OMG! Namun, sampah dedauan cukup banyak karena sekolah mereka memang mengutamakan kebersihan udara di lingkungan sekolah agar siswa nyaman.

“Sampah daun di sekolah kita kalo nggak di bakar, ya di jadiin kompos, itu-itu aja. Parahnya mah kalo di bakar.” Ucap Viola sambil berpikir. “Padahal masih ada cara lain biar asap dari pembakaran itu nggak berkondensasi sama udara bebas.” Dia mulai berpikir panjang lagi, tahun lalu, Viola dan kelasnyalah yang mengusulkan untuk memisahkan sampah organik dengan non-organik. Tentu saja ide itu di sambut hangat walaupun 90 persen sampah di sekolah ini adalah sampah organik.

Kali ini, berbeda dengan ide sebelumnya. Dalam otak Viola ada sebuah ide dimana sampah-sampah itu tidak saja menguntungkan sekolah mereka tapi, bisa menguntungka sebuah perkebunan yang terletak tidak jauh dari mereka. Hal ini juga bisa menguntungkan masyarakat banyak dimana udara bersih tidak makin kotor tiap harinya.

“Nah, gue mau usul dah sama kepsek kita. Ya semua di mulai dari sekolah kan Ndu?” Viola memandang Vandu dan cowok yang tidak lain adalah sahabat Viola itu sangat senang dengan pemikiran Viola. “Ndu, kok senyum-senyum aja sih?”

“Karena loe cantik.” Ucap Vandu. “Nggak deng, karena gue ngerasa aneh sama loe. Kadang loe itu terkesan cuek, kadang peduli banget sama lingkungan.” Dia tertawa kecil dan Viola hanya menarik nafas pendek lalu menghembuskannya perlahan.

**

Teknologi pembakaran, cukup efisien untuk sampah kering, untuk sampah basah akan menghasilkan asap tebal dan waktu pembakaran yang lama, sehingga menimbulkan cemaran asap yang cukup mengganggu kesehatan. Dan masih banyak cara lain untuk mengolah sampah yang kadang mencemari udara bebas.

Namun, Viola memiliki ide lain dari sebelumnya. Dia ingin sekolahnya memiliki siswa-siswi yang kreatif. Walaupun ide itu bukan hasil penemuan siswa tapi, setidaknya itu adalah ide siswa untuk mencoba penemuan itu.

“Emang mau di gimanaan Vi?” Tanya teman-teman sekelas Viola. “Kan biasanya di jadiin kompos doang, atau kerajinan pake daun kering de el el.”

“Pernah denger asap cair nggak?” Tanya Viola, teman-temannya mengangguk. “Kita coba aja ngajak seisi sekolah kita buat ngolah sampah jadi asap cair. Nah kegunaannya banyak kan asap cair itu?”

Sekelas hening, mereka tahu tentang asap cair dan bagaimana pengolahannya tapi, mereka tidak pernah berpikir untuk mencobanya di sekolah. Dan kali ini, mereka terkejut dengan ajakan Viola.

“Gue ikut Vi.” Vandu menganggkat tangannya dan Viola masih berdiri di depan kelas. “Kelas kita kan harus jadi kelas paling kompak untuk tahun ini, kelas paling the best untuk segala hal.”

“Gue ikut.” Kata beberapa siswa yang lain. “Demi kelas kita, okelah.” Sambung beberapa siswa yang biasanya cuek.

Viola dan anak-anak sekelasnya mendiskusikan ide mereka beberapa minggu. Mereka mencari info-info dari internet dan beberapa orang yang mereka wawancarai. Ini membuahkan hasil dan mereka beniat untuk mengajukan proposal ke kepala sekolah.

“Viola pinter, Viola cantik.” Vandu mengusap kepala Viola saat seisi kelas sedang berdiskusi di rumah Vandu. “Kalo proposal kan untuk para pejabat sekolah, kalo ini buat kita.” Vandu menunjukkan hasil kerja mereka selama sebulan ini yang di rangkum dalam beberapa puluh lembar 

*) Ini bukan cerpen bersambung hanya blm di posting semuanya aja ^^

oleh : Aula Nurul M

lanjutannya ada kok next time, biar ada yang penasaran ^_^ 


CERPEN # Layang-Layang


Layang-Layang

Kau pernah melihat layangan? Layangan itu sebuah benda aneh yang bisa terbang di udara. Bukan, bukan itu yang kumaksud tapi lebih mengenai benang pada layangan itu.

Layangan bisa terbang tinggi ke angkasa tanpa benang karena angin bisa mengendalikannya tapi, manusia tentu ingin mengendalikan layangan itu. Tarik-ulur, begitulah anak-anak sering mengatakannya saat bermain layang-layang.

Jika musim angin tiba, di pedesaan, perkotaan, dimana-mana bermain layangan. Bahkan kadang juga di jadikan sebuah perlombaan internasional yang menantang. Begitu unik dan keren bukan? Maksudnya, yang kumaksud unik adalah tentang pengendalian layang-layang itu. Ta-rik, u-lur, seakan dua kata yang mudah di ucapkan padahal banyak juga yang tidak bisa memainkannya.

“Salsa,” seseorang memukul pundakku dan bicara sedikit keras, “Salsa!” katanya lagi, “ngelamun?” Aku memandangnya dan Aku mengenalinya, benar-benar kenal, “jangan kamu pikir kalau yang ada di matamu adalah hantu dari tempat ini,” tambahnya sambil memandang sekitar.

Udara berhembus, mengayunkan nada-nada indah yang di hasilkan dari ributnya ilalang. Kurasa, ilalang-ilalang itu sedang berdemo seperti para manusia yang suka berdemo di jalan raya atau di depan gedung wakil rakyat. Ya, seperti itulah menurutku.

“Kupikir, dengan kubawa kamu ke tempat ini, kamu akan lebih tenang,” dia tersenyum, “ayolah, jangan membuat sebuah lingkaran di atas langit yang akan menjatuhkanmu dalam kebimbangan.”

Kutatap dia, ucapannya mengandung penuh arti. Sebuah lingkaran di atas langit yang akan menjatuhkanmu dalam kebimbangan. Kalimat itu benar-benar memiliki sebuah arti, arti yang benar-benar kumengerti namun sulit kujelaskan.

“Apa lingkaran itu bisa membuatku terjatuh dalam kebimbangan?” Aku memandang tanya, dia justru tersenyum damai lalu memandangi pepohonan.

Kami ada di atas bukit, memandangi perkebunan milik penduduk desa ini. Udara yang sejuk, jernih, hening, damai, dan tentu saja tanpa polusi yang berlebihan. Disini memang lebih menenangkan, menyenangkan, dan benar-benar, maksudku sangat benar-benar harus membuatku tenang. Akan tetapi tidak, Aku masih kurang tenang.

“Jika manusia jaman dahulu nggak mencoba mengelilingi bumi, maka nggak akan tahu kalau bumi itu bulat. Bukankah sebelumnya itu menjadi sebuah kebingungan? Sama artinya dengan sebuah kebimbangan,” ucapan Vino benar-benar mengandung arti lain di dalamnya, “tapi, segala pemikiran yang baik, hasilnya pun akan baik. Itu sama dengan lingkaran di depan matamu, tergantung bagaimana kamu memikirkannya.”

Lingkaran itu. Dia pasti mengerti tentang lingkaran yang selalu mengusik kepalaku.

Dari atas sini, di bawah sana ada sekelompok anak yang bermain layang-layang sambil berlari. Ada beberapa juga yang mengejar layangan dengan riang gembira padahal kalau di pikir-pikir, layangan seperti itu pasti bisa dengan mudah mereka beli lagi. Namun, hal itu adalah pemikiran orang dewasa, anak-anak mengejarnya hanya karena mengejar suatu kepuasan batin, kesenangan hati.

“Jika boleh meminta satu permohonan pada Tuhan, aku akan meminta menjadi anak-anak lagi,” Vino bicara lirih, “benarkan?”

“Aku nggak mau jadi anak-anak lagi, kalau aku jadi anak-anak lagi, dunia nggak akan berputar.”

“Terus? Apa itu penting?” dia tertawa cekikikan dan tawanya yang persis seperti kuntilanak itu benar-benar mengganggu.

Masih kulihat anak-anak itu bermain dan layang-layang itu ke angkasa.  Rasanya, Aku ingin bisa bermain layang-layang itu dalam kehidupan sebenarnya. Atau, lebih tepatnya ini bukan tentang layang-layang lagi.

**

“Test test test, huoooo!” Jesika berteriak-teriak ketika memasuki pintu kelas, “ish kan, mana tugas?! Mana tugas?!” dia berkeliling kelas, “mana!”

Cewek satu ini sudah seperti ini setiap hari, setiap pagi, bahkan setiap ada tugas. Dia akan berkeliling kelas untuk mengetahui siapa yang sudah mengerjakan tugas dari guru dan tidak salah lagi, dia menyalinnya. Dasar kebiasaan.

“Salsa, nyontek tugas elo sih,” kata Jesika manis, “ya ya ya?”

“Belum gue Jes,” jawabku jujur, “kan kata ibu itu buat di pelajarin aja itu soal untuk di tes nanti,”

“Yah Sa, lo kan tau otak gue gimana,” Jesika mengeluh lalu berkeliling lagi dan menghampiri Tio, “Nah, pasti lo udah ngerjain nih!” kata Jesika yakin dan Tio langsung memberikan buku tugasnya begitu saja.


Jumlah halaman cerpen aslinya ada 10 halaman, ini nggak lengkap, lengkapnya next time ^_^

CERPEN = blm ada judul

Belum ada judul soalnya gue belum dapet judul yang pas :)



“Gua FRUSTASI! Aaaaa!” Leona ngomel-ngomel di kelas sambil nari-nari yang setengahnya udah mirip sama orang gila, “apa liat-liat?! Hah!” dia memarahi Arya, teman sekelasnya, “nggak suka?!”

Arya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan temannya yang agak aneh, “dimana-mana orang frustasi itu marah-marah doang, nah elo, udah marah sambil ketawa, mana nari-nari gak jelas, gila”

Leona langsung nyelengos pergi saat Arya sudah mulai dengan ceramah panjangnya. Dia berkeliling kelas dan menyanyi, “gue frustasi, gue pusing, gue frus....frus....frustasi, ada yang mau ikut frustasi?”

Seisi kelas hanya bisa menggelengkan kepala mereka namun tidak berani berbicara pada Leona. Jika mereka bicara, Leona bisa saja sedih bahkan menangis. Mereka tahu sekali sifat dan sikap Leona saat seperti ini. Leona sedang sedih namun, Leona tidak ingin orang-orang melihatnya menangis. Dia hanya bisa melampiaskannya dengan tertawa dan marah, bukan menangis walaupun banyak orang yang tahu kalau hatinya sedang sedih.

“Leon, lo sakit?” tanya Maya, teman baik Leona, “Leon,” katanya lagi sambil menepuk pundak Leona, “nilai ujian elo kecil? Atau idola elo maen filmnya jelek?”

Leona memandang sinis Maya, “apa?!” suaranya meninggi, “aaaa! Gue pusing! Gue pusing! Gue pusing!” Leona duduk di bangkunya sambil menyandarkan kepalanya di meja dan menutup wajahnya dengan tas, “jangan ganggu gue, gue lagi nggak mau di ganggu!”


Kelas bising namun, suara Leona tetap mengalahkan kebisingan kelas. Walaupun dia menutupi wajahnya tapi-tapi-tapi, suaranya tetap seperti suara monster yang sedang marah.

Beberapa saat kemudian, Arya datang dan menjitak kepala Leona, “diem dulu lo itu, berisik!” dia memarahi Leona dan Leona langsung berdiri lalu menginjak kaki Arya, “Nih, makan, coklat kan punya zat yang bisa buat orang tenang.” Arya memberikannya coklat dan Leona menerimanya namun, dia tidak bisa tenang, “bisa gila gua punya temen kayak gini.”

Bel istirahat berbunyi, siswa-siswi SMU SAN-E bertaburan keluar kelas termasuk Leona, dia tersenyum-senyum sambil mengeluh.

“Sumpah, seumur hidup gua, orang galau, frustasi, pusing, campur aduk itu sedih atau marah. Anah ini, udah marah terus ketawa-ketawa, gila kali itu anak,” ucap Intan yang memperhatikan tingkah Leona di kelas,

“Gitu-gitu dia baek, pasti dia kayak gitu ada masalah.” Ucap Arya membela Leona.

Di sekolah, terutama di kelas, mereka tidak pernah tahu alasan di saat Leona sedih, pusing, galau, atau lain sebagainya. Dia memang memiliki banyak teman baik di sekolah, dia mudah beradaptasi dengan siapapun tapi, dia tidak pernah bercerita tentang masalah pribadinya di sekolah.

**

Lia sudah menunggu Leona pulang sekolah, dia menunggu di kamar Leona. Ibu Leona sudah mengatakan kalau lebih baik Lia tidak menunggu Leona karena, Leona hari ini agak sedikit aneh.

Pintu terbuka dengan keras, Leona langsung melempar tasnya ke meja dan mengomel-ngomel tidak jelas. Dia terkejut ketika meilihat sahabatnya, Lia sudah di kamarnya tapi, kemudian dia tidak terkejut lagi. Hal itu sudah biasa.

“Galau neng?” goda Lia, “ciee mah, sama siapa? Cerita geh,”

Rambut Leona berantakan, dia memberantaki rambutnya di sekolah dengan sesuka hati, “ya ampun, tampang lo masih cantik sih tapi kayak orang gila, akakak.”

“Ish kan! Huh, bete gue di sekolah, coba aja kita satu sekolah pasti berkurang dah bete gue.”

“Kenapa sih Leon? Jarang-jarang seorang Leona galau begini, ini ketiga kalinya Leona galau selama hidupnya.” Lia mengingat waktu Leona galau-frustasi-pusing-gila menjadi satu, “yang pertama waktu elo sakit cacar, waktu itu lo ngamuk-ngamuk nggak jelas. Yang kedua waktu ortu lo nyuruh lo sekolah di luar kota terus akhirnya gak jadi gara-gara lo nangis seharian. Yang ketiga.... nah ini agaknya nih, cowok yaa?”


Leona memandang sahabatnya kesal, “cowok? Hah sejak kapan gue mikirin cowok? Cowok itu ada di kamus gue dalam urusan ke sekian kali.”

Benar, Leona memang menyekiankan tentang cowok. Baginya, yang pertama adalah dirinya, yang kedua dirinya, ketiga dirinya, keempat dirinya, kelima dirinya, keenam baru keluarga dan sisanya sahabat lalu untuk cowok, Leona lupa ada di urutan mana hal tersebut.

Sahabatnya ini ingat betul kalau Leona memang cukup cuek terhadap cowok walaupun, teman Leona kebanyakan cowok. Yah, dahulu, Leona adalah cewek yang sedikit tomboy walaupun, wajah wanitanya tetap tampak begitu manis.

“Yah Leon, waktu lo putus sama Kevin, lo biasa aja karena lo kan nggak ada hati. Terus waktu putus sama Alvi, sama aja. Cuma 2 cowok itu yang ada di hidup lo. Masa iya sih antara Kevin sama Alvi? Gak mungkin dah, nggak mungkin banget.”

Leona memeluk bonekanya lalu tersenyum dan berbisik pada Lia, “jangan bilang-bilang sama temen-temen GNA yaa ^_^” pinta Leona. GNA adalah nama SMP mereka sebelum ini, “kalo pada tau, mati gue, malu wah taro mana,”

“Bentar-benar, temen-temen di sekolah lo pada tau?” tanya Lia, Leona menggeleng, “temen sekelas lo gimana?” Leona mengangguk, “OMG! Dari SMP kelas 1 sampe sekarang kan kalian emang deket, nggak nyangka loh.”

“Tapi kan..... “ ucap Leona tapi dia tidak berani bicara lagi.

“Tapi kenapa? Apa karena dia temen baik Kevin? Atau karena dia temen baeknya first love elo?” tanya Lia, Leona menggeleng. “Terus kenapa?”

“Ish, Kevin mah cuma iseng aja, kalo first love gue mah udah jadi temen baek, ini beda loh....” Leona ingin lebih menjelaskan tapi, sudahlah, dia berpikir untuk lain kali saja.

Mereka berbincang di kamar, Lia sudah tahu dengan jelas kalau Leona sangat susah bicara tentang masalah hatinya. Bahkan, dia yang sahabatnya sendiri saja tidak mengerti siapa yang ada di hati Leona. Bukan hanya dia, ibunda Leona pun tidak mengerti. Yang orang-orang tahu, Leona akan marah dan tertawa-tawa saat sedih maupun kesal.

**

“Tugas matematika udah Leon?” tanya Miko, teman sekelas Leona. Dia juga teman Leona di GNA, teman kursus bahasa Prancis Leona sewaktu SD, dan teman baik Leona sampai sekarang, “udah belum Leon?” tanyanya lagi tapi Leona cuek dan langsung nyelengos pergi.

Miko mendekati Leona dan bertanya ada apa dengan Leona tapi, Leona cuek dan masa bodo amat. Seisi kelas memandangi mereka dan satu persatu siswa keluar kelas, membiarkan keduanya belajar bersama.

“Udah tinggal jadian aja susah amat.” Kata Arya asal jeplak tapi sebenarnya itulah yang ingin di ungkapkan Miko, “udah putus noh Leon sama Alvi,”

“Maksud amat sih! Ish!” Leona kesal lalu keluar kelas namun langsung di kejar oleh Arya, buka Miko. “Ish, bodo amat!”

Leon dan Arya berteman baik bahkan mereka bertetanggaan. Terlebih, mereka memiliki hubungan saudara walaupun cukup jauh.

“Sepupu jauh gua itu emang aneh tapi, semua orang juga tau dia itu kelewat baek.” Ucap Arya pada Miko, “mudah-mudahan aja otak dia nggak geser lagi biar nggak marah-marah tiap detik.”

“Tugas lo mana bro?” ujar Miko, mengalihkan pembicaraan.

-

Di koridor sekolah, Leona bertemu dengan Alvi. Dia masih bisa menyapa Alvi karena bagaimanapun, mereka masih berteman baik. Masa lalu adalah masa lalu, toh dulu juga mereka sama-sama tahu kalau itu hanya untuk sebuah status.

“Cie Leon, sejak kapan ada hati sama cowok?” goda Alvi, “sesuatu,” tampang Alvi seolah mengejek.

“Gosip wah itu. Sok tau aja lo ini, haha kenapa Vi?”

“Dari dulu lo sama Miko kan emang udah cocok, lo aja yang nggak sadar.”

Saat mereka berbincang, Maya datang menghampiri dan mengajak duduk di bangku, di koridor sekolah, “cie mantan yang perhatian,”

Mereka bertiga berbincang di sana, membicarakan beberapa hal yang menarik. Dari mulai pelajaran sampai berita terbaru tentang sekolah mereka dan-dan-dan sampai gosip mengenai Leona dan Miko.

“AJ, (mengeja dalam bahasa ing)” kata Leona lirih tapi mereka tidak mendengar, “eh-eh liat noh ada Kevin, si playboy gila.” Ucap Leon dan dia langsung pergi lalu berjalan-jalan di sepanjang sekolah.

Kepala Leona melayang-layang melihat seisi sekolahan yang begitu ramai. Dia tidak tahu mengapa sekolah setiap hari harus ramai kecuali hari libur. Haha itu pertanyaan bodoh saat Leona sedang stres.

“Coba geh gini aja,” Miko membantu Sansa memasang sebuah pengumuman di mading sekolah, “nah, gini,”

Sansa, siswi kelas XI IPA 5, siswi yang tingkahnya cerewet, agak gila,sedikit mirip dengan Leona hanya saja, dia tidak sebaik Leona. Ada kabar yang terdengar kalau Sansa menyukai Miko. Memang kabar itu tidak terlalu ramai tapi, kabar itu sampai telinga Leona.

“Leona?” ucap Sansa dan Leona hanya menarik nafas singkat lalu membaca pengumuman di mading, “anak band sekolah kita ngadain acara nih, boleh ngundang anak band sekolah laen, lo mau ikut Leon?”

“Apa? Gue? O,” lalu Leona nyelengos pergi begitu saja sambil melirik sinis ke Miko.

‘OMG! Kemaren cewek yang namanya Nikita sekarang malah si Sansa menel itu. Dih ampun dah.’

Leona kembali ke kelas, di kelas, dia langsung di marahi teman-temannya karena sudah lama di tunggu.

“Aduh Leon, sini-sini,” Intan menarik tangan Leon dan mengajak Leon untuk makan kue bersama, “ini kue buatan Maya dan kita nunggu elo buat makan bareng-bareng.” Jelas Intan. Tentu saja, di kelas XI IPA 4 ini, mereka tidak bisa melakukan hal yang berhubungan dengan kelas tanpa kehadiran Leona. Leona sangat baik terutama untuk teman-teman sekelasnya, walaupun dia marah, dia tetap baik.

“Coba di makan sini, aa” Arya memasukkan paksa kue tersebut ke dalam mulut Leon, “oh iya Miko kemana?”

“Kok nanya gue, emang dia siapa gue?”

“Cieee......” kata seisi kelas tapi, Leona tetap cuek dan santai sambil diam-diam menghabiskan kue tersebut.

“Kan-kan kue nya di abisin Leon, dasar!” Intan menjambak rambut Leona pela, “mau enak sendiri, dateng juga barusan.”

“Yah.... kan, kan gue masih laper.”

**

“AJ,” ucap Leona lirih saat melihat handphonenya, “huh, dimana sih lo ini kak?” katanya sendirian. Leona ada di samping kelasnya, sendirian sambil memandagi handphonenya.

“Leon,” Miko menghampirinya lalu duduk di samping Leona, “galau?” tanyanya santai sambil memainkan handphone juga.

“Nggak, ngapain? Galau karena elo gitu? nggak dah, biasa saja.” Jelas Leon sebelum Miko bertanya lebih banyak, “ada apa lo kesini?”

Miko tidak bicara, dia diam saja sambil mengotak-atik hp-nya. Sesekali Miko tertawa kecil melihat wajah Leona yang cemberut tidak jelas. Namun, sesekali juga Miko menghiburnya walaupun gagal.

Tidak ada yang mendekati mereka walaupun ada beberapa anak yang juga duduk di samping kelas. Mereka membiarkan Leona dan Miko bicara berdua saja.

“Kata Arya, kalo lo marah, nggak ada yang bisa nenangin elo kecuali lo tenang sendiri.”

“Alah, ngada-ngada aja Arya itu. Heran gua sama itu anak, kerjaannya ngada-ngada aja tiap hari.” Jelas Leona walaupun sebenarnya, Arya tidak seperti dalam ucapannya. A




Lanjutannya ada di gue ^_^ nggak gue posting semuanya ^_^

komentari yaa, lanjutannya next time :) 

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...