Sabtu, 14 Juli 2012

Novel# BAB 1 (Ruh? Aku gila!)


Setiap kali matahari terganti malam, aku ingin tidur nyenyak tanpa berpikir apa-apa lagi, tidak satu pun pikiran atau mimpi. Bukan aku tidak ingin tapi, aku benar-benar tidak menginginkannya. Tidak-sama-sekali.

“Apa kamu pernah berpikir tentang kupu-kupu yang sampai pada nirwana?”

“Apa kamu ingin ke nirwana dan meninggalkan semua keanehan di kehidupan ini?” Aku berbalik tanya padanya, dia hanya memandangku dengan pandangan sedingin es, “atau kamu nggak mau keduanya? Atau ada yang lain?”

“Kamu berpikiran seperti itu? Baiklah.....” dia duduk di atas meja makan, “jika itu yang kamu pikirkan, aku mengerti, tapi, apakah kamu benar-benar serius mengatakannya?”

Ucapannya begitu santai, dia terlihat tanpa beban, tanpa masalah yang mengelilinginya, tanpa bingung atau lebih bingung lagi. Dengan sikapnya yang seperti itu, dia dapat tenang tapi, dia membuatku benar-benar kacau dan dalam kebingungan yang entah ini mimpi atau nyata.

“Hanya kamu yang bisa mendengarkanku, nggak ada yang lain. Aku nggak pernah meminta bantuanmu, aku hanya ingin, setidaknya kamu memandangku sebagai orang yang terlihat di kehidupanmu. Oh.... bukan....bukan....” dia menggoyangkan tangannya seperti orang yang menarikan tarian Bali, sungguh lucu dan tidak terlalu mirip, “bukan terlihat di kehidupanmu, setidaknya di depan matamu, itu udah cukup.”

Kepalaku mulai di buatnya pusing lagi, bicaranya berputar-putar seperti gambaran badai yang entahlah, aku sulit menjelaskannya, yang jelas, ini benar-benar membingungkan.

Dia di sampingku, setiap hari bersamaku dan menggangguku. Ketika aku bertanya apa keinginanya, dia hanya ingin disisiku dan terlihat olehku. Katanya, hanya aku yang bisa memandangnya benar-benar nyata tapi, apa dia akan terus seperti ini?

“Jane!” seseorang berteriak seenaknya dan langsung menghampiriku di meja makan, “dari tadi jerit-jerit nggak ada yang dengerin!” dia tampak kesal.

“Maaf,” kataku dengan wajah sedih, “tapi... sebentar, ada apa sore-sore begini kerumahku?”

“Iseng aja, mampir, atau apa dah apa kek,” jelas Vio yang benar-benar ngelantur, “eh tadi aku mendengarmu bicara dengan seseorang, siapa?” tanyanya, aku diam dan memandang Awan.

“Tadi ada telfon,” jelasku pada Vio. Aku tidak mungkin menjelaskan kalau tadi aku berbincang dengan Awan dan Awan masih disini, duduk di atas meja makan sambil memandangiku dengan wajah kesal. Bagaimana pun, Vio tidak akan bisa memandang, melihat, atau mendengar Awan, hanya aku yang bisa.

















BAB 1

Tidak ada angin yang berhembus sama sekali, ini tampak aneh padahal, sepagi ini biasanya angin akan berhembus perlahan namun membuat tulang beku, sebeku es.

Kayuhan sepedaku kuperlambat padahal, pagi ini aku ingin bersepeda untuk menenangkan semua beban di kepalaku, beban yang benar-benar ringan namun selalu mengganggu. Beban yang benar-benar ringan namun selalu mengusik. Tentu saja, beban itu tidak jauh dari beban hati. Tidak, tidak. Bukan beban hati tapi beban pikiran.

Belakangan ini jantungku terasa aneh, dadaku sesak dan terkadang seperti takut kehilangan seseorang padahal, tidak ada yang pergi dariku. Keluargaku lengkap, teman-temanku lengkap, pacarku pun masih ada, jadi siapa yang membuat jantungku seperti ini? Apakah aku memiliki penyakit jantung? Tidak....tidak, jangan sampai itu terjadi.

La.....la....laa....laa....
Suara dering handphoneku mengganggu saja dan dengan terpaksa aku berhenti mengayuh.

“Sudah pukul 6 pagi, bukankah olahraga pagimu sudah cukup?” tanya Ayah, aku hanya diam dan hening, “atau ada masalah yang terjadi?” tanya Ayah, aku masih hening. Ayah benar-benar tahu kalau aku berolahraga pukul 4 pagi berarti aku ada banyak beban pikiran karena biasanya aku berolahraga pukul 5 pagi.

“Iya, ini Jane mau ke arah rumah.”

“Baiklah, Ayah tidak ingin kamu terlambat ke sekolah.”

Kukayuh lagi sepedaku namun, pandanganku terganggu, benar-benar terganggu. Aku melihat seorang pemuda yang duduk di pinggir jalan sambil memandangiku tajam tapi, pandangannya juga tampak kosong, juga tampak kebingungan. Sulit ku gambarkan, yang jelas, pemuda itu tampak benar-benar aneh dan pandangan matanya mengerikan padahal wajahnya lumayan tampan untuk seseorang yang seperti hantu.

Aku mengerem, menghentikan kayuhanku dan memandangnya, dia balik memandangku. Aneh, aku melihat matanya merah, benar-benar merah seperti seseorang yang habis kecelakaan.

Baiklah, kuabaikan pemuda yang cukup tampan untuk seorang hantu atau jin atau sejenisnya, tapi tetap saja sangat menyeramkan, kukayuh lagi sepedaku tapi, pemuda itu terus memandangiku dan berjalan ke arahku. Jalannya pelan, terlihat seperti orang pincang, tidak...tidak, dia sepertinya tidak pincang tapi seperti orang kehilangan tenaga atau sejenisnya.

Dia perlahan berjalan kearahku dan aku ketakutan, benar-benar takut. Aku takut jika dia orang jahat tapi, entah kenapa kakiku membeku sehingga tidak bisa bergerak untuk mengayuh sepeda.

“Mengapa kamu melihatku?” tanyanya padahal pertanyaan itu harusnya aku yang mengucapkannya, “mengapa kamu memandangiku? Apa aku tampak seperti setan? Atau tampak seperti pemuda jahat?”

Aku memandangnya sejenak, memperhatikan wajahnya yang pucat dan matanya yang merah, benar-benar merah, “maaf, aku nggak bermaksud melihatmu seperti itu. Maaf,” kataku berulang kali memohon maaf agar dia tidak menggangguku. Aku berpikir dia setan, atau preman, atau juga gelandangan yang kelaparan karena wajahnya pucat, seperti tidak makan satu minggu.

“Ini yang kuinginkan, apa kamu benar-benar melihatku dan bicara denganku?” tanyanya dan memandangku tajam, “apa kamu mendengar suaraku?” kuanggukkan kepalaku lagi, “apa wajahku begitu pucat?” lagi dan lagi aku mengangguk, “akhirnya kutemukan seseorang yang dapat memandangku sebagai seorang manusia.”

Entahlah, tiba-tiba tanganku bergerak dan bersalaman dengannya lalu memperkenalkan namaku. Dia tampak kebingungan saat tanganku menyalami tangannya namun, dia akhirnya menyebutkan namanya. Dia Awan, seorang siswa SMU juga namun di Jakarta dan aku Jane, siswi kelas 2 SMU di Bandung.

“Setiap aku bicara, nggak ada yang bisa mendengarkanku bahkan melihatku dan aku nggak bisa menyentuh seorang manusia pun, bahkan hewan, atau tumbuhan kecuali benda mati.” Jelasnya, aku kebingungan, benar-benar bingung lalu dia berjalan ke tengah jalan raya. Kendaraan bermotor masih sepi, tapi ada satu-dua yang lewat dan dia berdiri disana seolah-olah ingin bunuh diri. Entah kenapa, aku tidak menghalangi tindakan bunuh dirinya namun aku menonton.

Ini gila! Ini mimpi! Ini benar-benar gila! Dia di tengah jalan, dua-tiga mobil bahkan truk menabraknya tapi semua menembus badannya. Aku kebingungan dan merasa ini mimpi, mimpi buruk, benar-benar buruk dan aneh. Kembali lagi dia menuju arahku lalu badannya menembus orang-orang, loh? Loh? Tadi dia bisa bersalaman denganku? Dia nyata menyentuhku dan dia bisa bicara denganku.

Aku ketakutan, benar-benar ketakutan dan kurasa dia jin. Tidak, tidak, dia setan. Bukan-bukan, dia-dia arwah penasaran tapi, ini pukul 6 pagi, mana ada setan, jin, dan arwah jam segini? Ini gila!

Rasa takut itu merasuki seluruh darahku dan kurasa darahku membeku, benar-benar sebeku es. Namun, entahlah, aku tidak bisa berlari, yang kulakukan justru tersenyum pada arwah, jin, atau setan aneh itu.

“Kamu nggak terkejut? Ketakutan?” tanyanya, aku sedikit gila! Aku malah menepuk pundaknya lalu aku berjalan bersamanya ke taman. Kami duduk di bangku taman, “hei, apa kamu nggak terkejut?” tanyanya lagi, “hei!”

“Diam, diam sejenak, aku masih bingung, kamu arwah, jin, setan, atau... atau aku gila?” tanyaku, dia menengok kanan-kiri, taman sepi karena ini sudah memasuki pukul 6.15, saatnya orang bekerja dan bersiap ke sekolah, “hei, aku ketakutan!” teriakku.

“Kamu ketakutan?” dia tampak heran, “aku nggak tau kamu takut, kamu terlihat biasa saja, buktinya kamu justru tersenyum. Atau kamu memang gadis gila?”

Kepalaku melayang-layang, sejuta kebingungan melanda. Apa aku mulai gila? Tapi kalau aku gila, aku masih bisa mengingat tentang rumus-rumus logika, bukan rumus logika yang sebenarnya tapi sesuatu yang masih bisa di nilai dari logika. Jadi, aku tidak gila kan? Atau aku setengah gila? Seperempat gila? Hah! Ini seperti penjual dan pembeli di pasar tradisional.

“Kamu heran, aku lebih heran,” pemuda yang bernama Awan itu memandangku, matanya masih merah dan wajahnya masih pucat, pucat sekali. Dia benar-benar mirip seperti seorang pemuda yang menuju kematian namun tidak sampai-sampai pada kematian abadinya, “semua orang, semua mahluk hidup tidak bisa kusentuh, hanya benda mati yang bisa kusentuh tapi, kenapa aku bisa menyentuhmu? Kenapa aku bisa memegang bunga ini saat bersamamu? Ini aneh!” dia memukul sebuah bunga mawar dan tampak sekali, dia bukan bingung tapi kesal.

Kembali lagi pada handphoneku, Ayah mengirim pesan singkat bahwa ini sudah pukul 6.30 dan aku harus segeran pulang lalu bersiap ke sekolah, untung saja sekolahku masuk pukul 7.30 tapi, pulang pukul 16.00, huh.

“Aku ingin pulang, ke sekolah, mungkin kamu akan berkelana sendirian. Aku nggak tau kamu jin, arwah, setan atau yang lain tapi, yang jelas, aku kasihan padamu.”

Kakiku melangkah menuju sepedaku dan aku menggoes sepedaku sambil melambaikan tangan tapi, Awan tidak ada di bangku taman itu. Jadi, dia arwah di pagi hari?

“Aku nggak bisa menghilang seperti hantu, aku bisa pergi jauh dengan berjalan kaki, seperti manusia,” tiba-tiba Awan di sampingku dan kami berbincang lagi, larinya menyamai kayuhan sepedaku. Jadi, apakah sebelum dia mati, dia adalah atlet pelari?

“Oh iya, kamu ingin kemana? Mengikutiku?” tanyaku, dia mengangguk, “hah? Kau akan mengikutiku terus sampai kapan? Sampai aku mati?”

“Hm.... aku hidup, kamu hidup hanya saja, kamu terlihat, aku nggak terlihat.” Keluhnya dan aku jadi kasihan, “maaf, jika kamu keberatan, ya sudah, tapi, aku memaksa untuk di dekatmu. Bukan karena aku ingin mengganggumu tapi untuk mengetahui segala keanehan ini.”

“Baiklah, oh iya, kau bisa menyentuh benda mati tapi, kenapa benda mati bisa menembus tubuhmu?”

“Karena bukan aku yang menyentuhnya melainkan benda itu tapi, aku juga bisa menembus dengan sendirinya, ini agak membingungkan tapi, seperti inilah kehidupan ruh.” Jelasnya, dia memberitahukan kalau dia ruh. Ruh? Kalau dia ruh berarti dia hidup, dia masih memiliki kehidupan, lalu....lalu.... tubuhnya dimana? Tubuhnya yang nyata ada dimana?

Dia terus mengikutiku sampai aku tiba dirumah. Aku memarkirkan sepedaku di halaman depan dan tanpa kuminta, dia masuk ke rumahnya menembus tembok tapi, brak! Dia tidak bisa menembusnya. Hah?! Ini aneh padahal tadi dia bisa menembusnya. Lalu, aku mencoba menabraknya dengan sepeda dan dia terjatuh lalu mengeluh kesakitan.

“Ada apa ini? Mengapa aku seperti nyata? Mengapa aku seperti manusia?” tanyanya padaku tapi aku tidak mempedulikan pertanyaannya. Aku sedikit sebal padanya tapi, aku juga tidak bisa marah padanya, entah, mungkin aku kasihan.

Aku membukakan pintu untuknya dan untuk diriku. Dia masuk, dia iseng lalu dia mencoba menyentuh Ayahku, dia menembus tubuh Ayahku. Heran, benar-benar heran.

Dia mengikutiku saat aku menuju kamarku dan lagi-lagi, kusuruh dia menembus pintu kamarku tapi, dia terjatuh dan mengeluh kesakitan. Otomatis, aku tertawa terbahak-bahak melihatnya.

“Aneh, mengapa setiap di dekatmu seperti ini? Aneh,” katanya kebingungan lalu adikku berlari dan menabraknya tapi tembus. Loh? Loh? Kenapa begini? Apa yang terjadi ini? Benar-benar aneh tapi, entahlah, perutku sakit menahan tawa tapi aku tetap tertawa walaupun tawa kecil.

“Baiklah, kamu berdiri di depan kamarku, aku ingin bersiap-siap ke sekolah.” Kataku tegas seperti menegaskan pada anak kecil, “kamu mengerti?!”

“Iya,” jawabnya pasrah.

Buku sudah, pena, pensil, penggaris, penghapus, handphone, headset sudah lengkap, tinggal berangkat ke sekolah.

Damien sudah menunggu di depan rumah. Dia pasti sudah menunggu lama sekali tapi, rasanya itu sudah kewajibannya.

“Kamu akan meninggalkanku di rumah ini sendiri?” tanya Awan, aku mengangguk, “kamu jahat sekali!” teriaknya seperti anak TK kehilangan permen, dia benar-benar tampak seperti anak kecil kali ini tapi, aku merasa dia lucu, benar-benar lucu.

“Masuklah!” aku membukakan pintu kamarku dan kusuruh dia masuk, “istirahatlah selama aku ke sekolah, atau kamu bisa menonton televisi, atau merenungi nasibmu.” Tambahku, “yang jelas, jangan rusak barang-barang di kamarku selama aku nggak ada di rumah!” aku mengingatkannya sambil menendang kakinya.

Dia tampak kesal tapi lebih tampak pasrah dan menyedihkan, “baiklah,” wajahnya menunduk seolah-olah aku menindasnya, “jangan lama-lama, aku takut jika nanti kamu nggak bisa melihatku lagi dan aku akan kesepian tanpa ada orang yang bisa kuajak bicara.”

Oke ruh yang aneh,  bye bye.”

Entahlah apa dia bisa menonton televisi tapi, dia kan bisa menyentuh benda mati jadi, dia pasti bisa. Yah, kalau tidak bisa, anggap saja dia kupenjara satu hari. Yah, ini lucu tapi dia tidak bisa menembus dinding kamarku dan ini membuatku benar-benar ingin terus tertawa.

“Beb, kamu kenapa?” tanya Damien, “kamu kesel sama siapa? Liat tuh muka aneh kamu.”

“Biasa, mimpi ketemu ruh gila, haha, udahlah sayang, berangkat gih, udah mau bel masuk loh, masa kita mau di hukum?”

Damien langsung membawa motor seperti setan kesurupan, eh? Emang setan bisa kesurupan? Rasanya tidak.

Kami tiba di sekolah dengan selamat padahal kukira, sebelum masuk ke sekolah, aku ke UGD terlebih dahulu tapi, aku aman-aman saja tidak kecelakaan atau terjatuh dari motor.

“Haduh, untung dah selemat sampai sekolah,” Aku tertawa diikuti tawa Damien, “oh iya sayang, kamu percaya ruh nggak sih?”

“Percaya tapi nggak percaya juga, yaa, diantara keduanya lah.” Jawabnya datar, “udah, ke kelas kamu gih, belajar sana jangan keluyuran sampe cabut jam belajar,”

Menyebalkan padahal, jujur, aku tidak pernah cabut jam pelajaran. Aku memang agak berisik di kelas tapi, aku tidak bodoh-bodoh amat, aku masih 10 besar di kelasku walaupun aku juga di nobatkan sebagai siswi perusuh di kelas.

“Hei nona, jam berapa ini?” tanya Vio, teman sekelasku, “biasanya pagi, tumben jam segini, haha, aneh.”

“Ini kan belum bel jadi tak apalah.” Lalu aku duduk di bangkuku dan memainkan game di handphoneku.

Entahlah, kepalaku melayang-layang tidak beraturan. Aku masih memiliki satu pertanyaan apakah aku gila atau memang setengah gila? Apakah Awan yang sebenarnya ruh itu benar-benar ada atau mimpi belaka?

Satu-dua-tiga-empat menit aku melamun memikirkan itu dan timbul rasa khawatir yang amat mendalam. Bukan khawatir pada Awan tapi, khawatir pada otakku yang benar-benar di luar nalar.

“Kenapa jeng?” Vio mengejutkanku. “mikirin siapa hayo? Jangan bilang tadi ribut sama Damien. Haha udah 5 bulan loh kalian itu, ini pertamakalinya pacaran langgeng, pertahanin geh.”

“Emang gue ribut gitu sama Damien? Ye, nggak geh, nggak ya maaf aja ini mah.”

Pelajaran jam pertama, jam kedua, istirahat sambil mendengarkan musik lalu makan di kantin dan mengobrol dengan teman alias bergosip lalu pelajaran jam ketiga, keempat dan sampai bel pulang kepalaku masih tertuju pada ruh yang aneh.

Oh iya, aku lupa kalau Damien akan latihan basket jadi aku tidak pulang bersamanya.

Aku berjalan menuju halte bis dan baik bis menuju ke rumah. Hm, kira-kira tadi pagi itu mimpi atau bukan ya? Jika mimpi alhamdulilah, jika bukan, yah, itu nasib sialku harus menampungnya di rumahku.

Pintu rumah terkunci dan aku lewat pintu samping yang tidak terkunci. Mama menggeleng-gelengkan kepala melihatku yang biasanya santai dan ini justru buru-buru ingin masuk kamar.

Kubuka pintu kamarku dan kulihat Awan sedang menonton televisi. Jadi? Dia bisa menyentuh benda alias remote televisi? Baguslah, walaupun, jujur, jujur agar aneh.

“Kamu udah pulang? Huh, aku hampir gila dikamarmu yang serba bewarna biru penuh hiasan lumba-lumba ini!” keluhnya kesal, “dan kamu tahu, aku nggak bisa keluar kamar kamu sama sekali.”

Aku memandangnya kesal, sukur-sukur kutampung dia hari ini dirumahku, bukannya berterimakasih justru mengomel seperti nenek-nenek yang kembali ke masa bayi.

Remote TV kutarik dari tangannya dan kupukul kepalanya dengan remote, “hei, kamu terlihat lemah dan pucat dan matamu seperti setan, apa kamu benar-benar ruh yang menyedihkan? Tapi, kenapa larimu tadi pagi cepat?”

“Aku bisa berlari cepat tapi, aku lebih lemah dari diriku sebenarnya. Aku seorang kapten basket dan aku suka berolahraga tapi, memegang remote TV saja kurasakan berat sekali, sungguh tersiksa dan pukulanmu ke kepalaku seperti aku di pukul dengan batu besar.” Jelasnya dengan wajah anak TK yang kehabisan coklat.

“Hah! Sudah-sudah! Kamu keluar dari kamarku!” Aku mendorongnya sampai dia menembus tembok dan keluar kamarku. Loh? Kenapa dia bisa menembus tembok saat aku yang mendorongnya tapi, dia tidak bisa masuk sendiri. Kenapa dan kenapa lalu mengapa? Aih! Sudahlah.

Kulihat televisiku yang masih menyala, ternyata dia menonton berita. Hah? Harusnya dia menonton film kartun atau yang lainnya, lah ini? Berita tentang korupsi melulu, kan membosankan sekali.

“Hei!” Aku menjitak kepalanya ketika aku keluar kamar dan menemukannya jongkok di depan pintu kamarku, “hei!” aku menjitaknya lagi. Di rumah ini tidak ada siapa-siapa, Mama dan Ayah serta adikku pergi jadi, aku tidak akan di sangka gila bicara sendirian.

Awan memandangku, kali ini dia lebih pucat lagi tapi, matanya sudah tidak merah dan dia terlihat lebih rapi, tidak seperti setan bermata seram. Ku pukul pundaknya pelan dan dia diam saja lalu dia jatuh.

Ada yang aneh, dia seperti mematung tapi masih memandangku begitu tajam, menakutkan dan benar-benar menyeramkan sekali. Aku menariknya dan tubuh, eh bukan tubuh tapi ruh nya enteng sekali seperti aku menarik bantal.

Kutaruh dia di sofa dan kupandanginya. Dia sepertinya pingsan dengan mata terbuka tapi, kalau aku siram dia dengan air, apa dia akan bangun? Dia kan ruh, memang ada ruh yang pingsan? Aduh, ini membuat kepalaku sakit.

“Hei! Jangan membuatku bingung!” aku memukul kepalanya dan dia mengedipkan mata lalu tampak seperti orang yang baru sadar dari pingsannya, “kamu membuatku takut!”

“Aku selalu seperti ini. Jika keadaan tubuhku di rumah sakit melemah, maka ruh ku juga semakin melemah, seperti itulah.”

Aku mencoba meresapi ucapannya dari awal pertemuan sampai detik ini, “jadi, jadi, tubuhmu dirumah sakit? Kamu koma? Kritis? Sekarat? Atau yang lainnya?” dia mengangguk, “kasihan, kasihan sekali dirimu itu ruh yang manis, hahaha” aku menertawainya tapi, sepertinya dia tidak suka tapi aku tetap tertawa dan akhirnya, dia pun ikut tertawa.

 Novel ini gue buat seminggu sebelum masuk ke tahun ajaran baru, sekitar tanggal 2 Juli 2012 dan selesai saat memasuki tahun ajaran baru. Cepet banget yaa? emang, ini novel paling cepet gue buat. Alesannya, selain ide nya sedikit pasaran, gue juga di buru waktu mau sekolah karena, kls 3 SMA kan sibuk belajar, susah mau buat novel lagi ^_^ 


BAB 2 nya udah selesai tp memang gak di posting ^_^ maaf, 











Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...