Selasa, 13 Januari 2015

Xing-Xing - CERPEN oleh Aula Nurul




Kau pernah mendengar tentang Bruwa dan Ton Iwa? Tentu saja kau harusnya bukan hanya mendengar, kau harus tahu. Mungkin.

**

”Mbak jangan nyalahin saja aja dong! Mbak juga kan Ibu nya!” Suara petasan meledak di luar sana.

”Bagaimana bisa?! Hah!”

Ini benar-benar membuat kepalaku sakit. Kedua ibu tiriku selalu berkicau tiap detik. Mereka kira aku belum pulang dan mereka takut jika Ayah marah. Bagaimana pun aku anak tunggal di keluarga ini.

**

”Xĩngxing duō.” Kata Haikal dalam bahasa mandarin yang artinya bintang begitu banyak. Dia menunjuk satu bintang. ”Mungkin itu Ibumu, atau mungkin bintang yang lain.”

”Aku merindukannya.” Kami memandang bintang dari jalanan ini, jalan yang begitu ramai di pusat kota. ”Entahlah bagaimana Ayahku menikahi dua monster itu.” Aku menghela nafas.

Haikal membelikanku jagung bakar seharga 3000 perak. Dia tersenyum padaku.

” Xĩngxing duō.” Aku memegang dadaku. ”Ibuku selalu bersamaku di sini.”

**

Kedua ibu tiriku dapat di gambarkan sebagai Ton Iwa dimana mereka jahat tapi, mereka juga dapat di katakan sebagai Bruwa yang baik. Entahlah, aku juga sedikit bingung.

”Sayang, kamu udah makan?” Tanya Bunda Irma lembut. ”Kita makan di luar ya?”

”Eh, kita belanja-belanja aja.” Bunda Hesty menyenggol singuk bunda Irma. Mereka memang sekali pun tidak pernah akur tapi mereka perhatian, hanya saja, aku tidak tahu apakah itu suatu ketulusan atau tidak.

Ayah lembur di kantor dan dia memintaku makan malam bersama kedua monster kicau. Rasanya aku benar-benar bosan jika harus menonton teater kicau yang di perankan mereka.

”Kamu banyak-banyak makan sayur.” Bunda Henty mengambilkan sediit sayur untukku. ”Biar kulit kamu sehat.” Ku lihat sayur yang tidak kusuka sudah ada di piringku.

”Lauknya juga sayang.” Bunda Irma tidak mau kalah.

Aku menonton, memperhatikan dua tingkah manusia yang aneh. Harusnya mereka merayu Ayahku, bukan aku.

”Berisik!” lalu aku meninggalkan meja makan.

**

Haikal membelikanku soft drink dan dia tertawa mendengar ceritaku. Katanya, harusnya aku senang, setidaknya lima tahun ini rumahku ramai, tidak seperti kuburan.

”Dulu kamu sering loh ngeluh karena rumah sepi.” Sindirnya, sejak kecil memang kami tumbuh besar bersama. ”Dan sekarang rame juga ngeluh.” dia mengusap kepalaku.

Entahlah, aku pun bingung. Yang di katakan Haikal benar dan tidak ada yang salah. Bagaimana pun aku tidak pernah membenci kedua ibu tiriku, hanya saja aku kesal jika mereka berkicau setiap saat hany karena masalah sepele.

”Kamu mau tau nggak kenapa Ayah kamu menikah dengan mereka?” Tanya Haikal, aku mengangguk. ”Yah, bagaimana pun itu wasiat Ibumu, dan tante Hesty bukanya adik ibumu?” Aku mengangguk lagi.

”Tapi bunda Irma pilihan Ayahku.”

”Terserah kamu tapi, yang kamu jalani lebih baik bukan?” Tanyanya, aku tersenyum. ”Setidaknya mereka bukan sosok ibu tiri dalam kisah cinderella.” Aku tertawa kecil.

**

Pagi ini lagi dan lagi, aku melihat mereka berkicau di meja makan. Entah apa yang mereka katakan pada Ayah, aku tidak begitu peduli. Aku sibuk membenahi poniku dan dasiku. Rasanya akan membuang-buang waktu jika mendengar mereka, aku akan terlambat sekolah.

”Nanti kabarin Chaca ya siapa yang menang.” Kataku lalu pegi meninggalkan meja makan dan langsung meluncur bersama Haikal. Dia tersenyum seolah tahu apa yang terjadi di rumah.

Aku menyayangi Ayah dan dia pasti membuat pilihan yang terbaik. Buktinya saja dia juga menikah dengan dua wanita baik-baik dan tidak menyiksa batinku. Ayah memang segalanya untukku.

Ayah pernah mengatakan bahwa dia akan melakukan apa pun untukku tapi aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin Ayah bahagia bersamaku, itu saja.

**

Ai.” Haikal menggambar bentuk hati pada handphonenya. ” Xĩngxing.” Lalu gambar bintang. ”Cinta kamu adalah bintang kamu.”

”Ada apa?”

”Aku tahu ada kebimbangan dalam hatimu.” Katanya. ”Bintang-bintang itu berkeliling bukan?” Aku menarik nafas sejenak. ”Kamu ingin kedua bundamu tidak berkicau bukan?”

”Tidak.” Jawabku. ”Aku ingin mereka tetap berkicau tapi setidaknya mereka berteman baik. Itu saja.”

**

Bunda Irma memberikanku sebuah gelang perak yang bertuliskan namaku. Tentu saja aku mengucapkan terimakasih padanya tapi, apakah ini sebuah sogokan? Dan beberapa saat kemudian bunda Hesty juga memberikanku sebuah gelang juga. Mengapa mereka tahu saja apa yang kusuka?

”Bunda.”

”Ya.” Jawab mereka bersamaan lalu saling pandang singut.

”Kalian menyogokku atau merayuku selama ini?” Tanyaku, mereka diam. ”Ayolah, aku hanya ingin kejujuran, kumohon, aku hanya ingin tahu.” Mereka diam, saling pandang. ”Jika kalian anggapanku benar, setidaknya kita bisa mendamaikan rumah ini walaupun kalian sebenarnya tidak menyayangiku.”

Bunda Hesty diam, begitu pun dengan bunda Irma. Ya, inilah yang ingin ku tanyakan dari dulu. Mereka memang Ton Iwa jika sedang adu mulut tapi mereka Bruwa jika berbicara padaku. Aku bingung dengan semua ini.

”Ayolah, atau aku akan jarang di rumah, aku akan sering bermain di luar sana.” Ancamku. ”Kalian tahu kan jika Ayah marah seperti apa?”

**

”Bintang itu bukan Ibu kamu Cha tapi, itu hati kamu.” Kata Haikal, aku memandangnya. ”Ibu kamu adalah hati kamu.” Dia mengajakku ke lapangan basket.

Haikal men-drible bola itu dan aku memandangnya. Kurasa aku tahu makna ucapannya dan makna pantulan bola itu. Semua hal tentunya bukan tentang mereka tapi, ini tentang diriku.

”Apakah mereka benar-benar mencintaiku?” Tanyaku, Haikal menangguk. ”Tapi tingkah mereka ke kanak-kanakan?”

”Benarkah?” tanyanya, lalu memberikan tangannya. ”Bisa pergi denganku seharian ini? Keluargaku mengajakmu berlibur dua hari ini.” Jelasnya. ”Aku sudah bicara dengan Ayahmu, dia setuju, dan kedua bundamu tidak akan tahu.”

”Tentu, apa ini undangan dari keluarga kamu? Wah, ternyata kita bukan cuma sepupu deket tapi, udah kayak sodara kandung.” Aku tersenyum. Bagaimana pun, Haikal adalah keponakan Ayahku dan tentu kami harus bersikap sebagai saudara.

**

Berkali-kali handphoneku berdering, tidak bunda Irma dan tidak bunda Hesty selalu menelfon. Ayah sendiri sedang berkunjung ke rumah nenek di luar kota.

Kata Haikal, mereka akan mengkhawatirkanku jika mereka menyayangiku. Tapi, aku tidak yakin mereka khawatir karena takut dengan Ayah atau memang karena memperhatikanku. Entahlah.

”Mereka menghubungiku dan kukatakan tidak tahu.”

”Oke, terserah.”

**

Aku merindukan Ibu kandungku dan aku ingin dia benar-benar kembali. Rasanya ini cukup tidak adil bagi diriku.

”Apa yang kamu  pikirkan? Kedua ibu tirimu?”

”Xĩngxing.” kataku sambil memandang langit. Kedua orang tua Haikal sedang membakar jagung dan aku mencoba menghitung bintang di langit. ”Apa di antara bintang-bintang itu ada ibuku?”

”Nggak Cha,” dia menutup mataku. ”Bayangkan, Ibu kamu ada di semua penglihatan kamu.”

Kulihat lagi handphoneku yang ku-silent dan benar, tentu saja, ada beberapa panggilan dari kedua ibu tiriku. Apa mereka khawatir? Atau mereka takut pada Ayah? Entahlah, aku masih bingung.

”Kamu mau percaya satu hal?” Tanyanya sambil membuka tangannya yang menutupi kedua mataku. ”Percayalah, kedua ibu tirimu menyayangimu hanya saja, mereka terlalu kekanak-kanakan.”

”Bagaimana kamu bisa yakin?”

”Karena mereka menangis. Aku memiliki vidio yang di kirim oleh seseorang di rumahmu.”

Aku mengambil handphone Haikal dan kulihat vidio itu. Aku tertawa. Lucu sekali saat kedua ibu tiriku yang biasanya bertengkar ternyata bisa saling berpelukan dan menangis. Aneh sekali. Benar-benar aneh.

”Mereka nggak jahat dan baik tapi, mereka benar-benar baik.” Haikal menarik handphonenya.

**

Haikal mengantarkanku pulang tepat di depan pintu rumah. Kuharap kedua burng yang hobby berkicau itu bisa bertobat.

”Chaca.” Kedua ibu tiriku langsung berlari dan memelukku ketika melihatku pulang. Aku memang tidak mengetuk pintu dan langsung masuk saja ke rumah. ”Bunda khawatir.” Kata bunda Hesty.

”O,” Kataku singkat lalu menaruh tasku di lantai. ”Tumben nggak berkicau?”

”Cha,” Bunda Irma memelukku lagi.

”Oke, baiklah, ini sudah cukup.” Lalu aku kembali ke kamarku untuk beristirahat.

Aneh, lucu sekali ketika mereka memelukku dengan air mata. Ini benar-benar membuat perutku sakit dan ingin terus tertawa.

TAMAT

Xĩngxing = bintang

Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...