Selasa, 13 Januari 2015

VIGIA - CERPEN JADULLL tahun 2011, tulisannya kacauuu ^^



Vigia
Kelopak mataku terbuka tapi aku tidak memandang mereka. Pada cermin aku bertanya tentangku, tiada jawaban yang aku dapat.
“Mengapa aku disini?” Tanyaku pada cermin tapi dia membalikkan ucapanku. “Kau diam, aku tahu itu.”
“Makanlah ini.” Kata wanita itu padaku. Aku tidak bicara, ku pandang dia tajam, dan memasuki nadi-nadi matanya. “Kau akan terus disini jika tidak menerimanya.” Katanya lagi, aku menaruh tanganku di lehernya untuk mengancam tapi ini tempatnya. “Tanda tanganilah, kau akan aman.” Aku tetap menolak.
Sebenarnya, aku bisa kabur dari tempat ini. Jendela kamar ini terbuka lebar, pintu-pun tidak terkunci, dan gerbang memberiku jalan untuk lenggang keluar dari bangunan ini. Tapi tidak, bodoh bila aku pergi dengan cara ini. Aku bukan perncuri dan aku keluar harus dengan terhormat.
“Duduklah.” Mereka mengajakku makan di sebuah ruangan dalam bangunan ini. “Sudah kau putuskan?” tanya salah seorang dari mereka, aku menggeleng. “Bicaralah sebelum pemakamanmu.”
“Kau akan membunuhku?” Tanyaku pada pimpinan mereka. “Kau sanggup? Bunuhlah aku sekarang.” Aku tertawa pada mereka dan merekapun tertawa padaku.
“Kau kira kami bodoh membunuhmu begitu saja?” Wanita yang di panggul Elzair menatapku tajam. “Jika ingin membunuhmu, sudah sejak kemarin namamu akan ada di batu nisan.” Dia menawarkanku secangkir minuman alkohol. “Kau yang menentukan takdirmu.” Katanya lagi sambil memandang ke yang lain.
“Hidupku sama saja bukan hidup.” Kataku, mereka memandang. “Besok aku akan ke sekolah. Letakkan kertas itu. Jika aku setuju, akan ku tandatangani.”
Itu menguntungkanku, dunia baru akan ku temui. Sesuatu baru yang menjadikanku lebih nyata dan di atas tingkatan manusia biasa. Akan tetapi, hatiku mengatakan ini salah walaupun ambisiku inginkan aku menjadi luar biasa. Lebih baik aku jadi manusia biasa yang nyata bukan manusia yang luar biasa namun kehidupanku bukan pilihanku.
“Kamu sakit? Aku kerumahmu dan katanya kamu sakit.” Tora memelukku. Aku tahu dia khawatir tapi dia-pun tahu, aku tidak ingin menjawab pertanyaannya. “Aku mengerti maksudmu. Duduklah, sebentar lagi jam di mulai.” Akupun duduk di sampingnya.
“Aku tahu kamu khawatir.” Kataku sambil mengambil buku kimia. “Apa kamu berani terus di sampingku?” Pertanyaanku membuatnya ragu. Dia tahu sedang ada yang aku sembunyikan tapi dia-pun tahu, aku tidak akan memberitahu-nya kali ini.
“Kamu bisa membayangkan jika matahari tidak ada di bumi ini?” Tanyanya, aku menggeleng. “Jika kamu membayangkannya, akulah bumi itu.” Jelasnya, aku tertunduk.
Dia mengajakku makan siang sepulang sekolah. Aku terima ajakannya. Rasanya aku bersalah beberapa minggu ini jarang menemaninya makan.
“Aku tunggu di depan gerbang.” Kataku, dia tersenyum.
Satu persatu siswa pulang. Dimana Tora? Ku rasa tempat parkir sedang bermasalah. Tetap aku menunggunya, belum tentu besok aku bisa bersamanya.
“CA?” Tanya seorang pria paruh baya tapi dia rapi layaknya direktur. Aku memandangnya sinis, dia tahu tentangku. “Masuklah.” Katanya, akupun langsung masuk walaupun aku bisa lari. Ku ulangi, aku bukan pencuri dan aku tidak akan lari.
“Bisakah kamu berkerjasama dengan saya?” Tanya pria setengah baya itu padaku. “Kau menandatangani perjanjian dengan mereka?”
“Saya belum menandatanganinya tapi saya-pun tidak akan bekerjasama dengan anda.” Kataku sambil tersenyum sinis. “Yang anda inginkan adalah program itu?” Tanyaku, dia menggeleng. “Semuanya sama. Ya saya akui, itu-pun menguntungkan saya tapi hidup begitu mudah sama saja bukan hidup.”
“Kau akan mengikuti perlahan.” Katanya lagi.
Aku berada di dalam sebuah ruangan besar, serba putih. Ya semua benda putih dan udara begitu dingin. Dia memberikan tumpukan kertas padaku. Yang ku baca, isinya sama dengan yang di tawarkan padaku sebelumnya.
“Tanda tanganilah. Tidak ada yang di rugikan di antara kita.” Kami saling berpandangan. “Apa keputusanmu?”
“Jika kau ingin membunuhku, ku persilahkan.” Kataku lalu dia marah dan pistolnya sudah ada di depan mataku. “Kau yang takut, bukan aku.” Aku tertawa.
“Bisa saya menjemput CA?” Tanya Elzair yang tiba-tiba datang. “Anda akan merebutnya dengan cara licik seperti ini?” Tanyanya, keduanya saling memandang. “Pulanglah!” Perintah Elzair padaku, aku melangkah bersamanya.
Aku tersenyum-senyum sendiri. Ya, aku tahu ini menyangkut hidupku tapi rasanya lucu memperebutkanku dengan cara seperti ini. Elzair menyelamatkanku dari pria tua itu tapi aku-pun harus menghadapi Elzair nantinya.
“Kau menolongku?” Tanyaku pada Elzair.
“Jalanlah. Gerin menunggumu.” Katanya, aku tersenyum. Dia seperti ibuku atau kakak perempuanku walaupun dia jarang bersikap manis padaku.
Aku masuk ke mobil, ku lihat panggilan tidak terjawab di hanphone-ku. Tora, apa kabarnya dia? Ku tinggalkan dia di sekolah.
’kamu ada masalah sayang’ Pesan masuk dari Tora di handphone-ku.
Sesak dadaku, bukan aku menangisinya dalam hati tapi aku kasihan padanya. Yang aku tahu, dia mencintaiku lebih besar dari pada aku mencintainya. Yang dia tahu, aku hanya siswa SMU biasa. Tidak ingin aku membuatnya sakit hati.
“Kamu akan baik-baik saja.” Kata Gerin, dia sudah ada di dalam mobil menungguku.
“Ya, aku akan baik-baik saja. Tidak akan ada yang membunuhku kecuali diriku sendiri.” Kataku, Gerin mengusap kepalaku. Cowok itu sebenarnya baik hanya saja dia sama sepertiku. Orang menyangkanya mahasiswa biasa tapi nyatanya dia luar biasa.
Gerin, dia selalu bersamaku sejak kecil. Dia, dia dan aku hidup bukan pada dunia nyata tapi hidup pada sketsa-sketsa yang mereka gambarkan. Aku tahu dia tidak ingin disini tapi inilah hidup kami, bukan kami yang melukiskannya. Mengenai cintanya, ya cintanya padaku tidak akan sampai karena hidup kami akan rumit jika saling mencinta.
“Bagaimana hubunganmu dengan Tora? Dia tidak mencurigaimu belakangan ini?” Tanya Gerin sambil membaca dokumen-dokumen ditangannya.
“Kau-pun tahu, sejak awal dia curiga dengan kehidupanku yang penuh misteri.” Jelasku padanya. “Tapi dia-pun tahu dan dia tidak pernah menanyakannya.”
“Kamu benar mencintainya?” Tanya Gerin lagi, aku tidak menjawab lalu kupejamkan mataku.
Aku terbangun ketika terdengar suara biola di kamarku. Kubuka mataku, aku sudah berada di sebuah kamar dan di dekat jendela, Gerin memainkan alat musik itu.
“Kamu sudah bangun?” Tanyanya padaku. Aku tidak menjawab, mataku masih berat untuk benar-benar terbuka. “Maaf aku mengganggumu. Aku kira kamu sudah terbangun tapi ternyata aku salah. Kamu tidak sekolah?”
“Jam berapa ini?” Aku melihat jam di meja. “Masih pukul empat pagi. Mengapa kamu terbangun sepagi ini?”
Dia tidak menjawab dan melanjutkan dengan alat musik itu. Ku lihat dia, rasanya ada yang berbeda. Akankah ada yang ingin dia beritahukan padaku? Mataku masih lelah, ku tenangkan diriku dan ku-minum segelas air putih.
Mengapa dia ke kamarku sepagi ini? Rasanya semalaman dia tidak terlelap jika aku lihat gelembung-gelembung di matanya.
“Elzair di tembak oleh seseorang semalam.” Beritahu Gerin , seketika aku merasa sesak. “Kamu pasti terkejut. Aku-pun tidak tahu tapi ketika aku melihatnya, dia sudah tidak sadarkan diri.” Jelasnya dan dia mengambil sisir lalu membenahi rambutku.
Bagaimana bisa? Bukankah rumah ini, maksudku bangunan ini memiliki sistem pengamanan yang canggih. Rasanya Elzair tidak semudah itu untuk tertembak, aku yakin ada orang yang begitu pintar di balik semua ini.
Perlahan rambutku tertata rapi, dia memang baik padaku dan mungkin orang yang paling aku percaya adalah Gerin. Dia memandangku, dia tahu aku khawatir dengan Elzair walaupun wanita itu tidak perlu di khawatirkan.
“Dia akan baik-baik saja. Mungkin beberapa hari lagi dia akan sadar. Dia berbeda dengan kita yang tidak akan pernah sakit.” Katanya lalu berdiri dan menyuruhku bersiap-siap ke sekolah. “Aku yang akan menjagamu bukan Elzair yang orang mengenalnya, dia kakakmu atau kakak kita.”
“Ya aku tahu itu. Kita bukan saudara tapi orang mengenal kita saudara. Kamu sebagai sepupuku.” Kataku lalu aku mengambil tugas biologiku. “Saat aku mandi, aku minta kamu mengoreksi pekerjaanku.” Jelasku.
“Maksudmu mengoreksi apakah semua jawabanmu benar? Kamu pintar tapi kamu menutupinya. Ya itulah hidup kita.”
Rasanya aku harus menemui takdirku untuk tetap hidup atau aku menyerah dalam semua ini. Kami berdua, ya tapi sebelumnya kami bertiga sampai salah seorang memilih berhenti di kehidupan ini. Hanya aku dan Gerin disini, kami masih kuat menjalaninya walau kadang ada hal-hal tertentu yang kupikir itu buruk untuk kehidupanku. Tapi aku harus menegaskan kembali, hidupku seketsa mereka, bukan aku.
Dia mengantarku sampai gerbang sekolah. Masih pukul enam pagi dan hanya ada beberapa siswa yang datang. Ku ajak Gerin bicara setidaknya sampai aku tidak sendiri di sekolah ini.
“Tugas biologimu benar sekitar 80%. Kamu melakukannya dengan baik. Kamu bisa jadi siswa terpintar jika kamu mau.” Katanya. “Tapi itu akan semakin menyulitkan hidupmu.” Lanjutnya lagi. Kami sama-sama tidak ingin kehidupan kami semakin sulit.
“Kamu akan menjaga Elzair?”
“Tidak.” Jawabnya singkat. “Mengapa harus aku lakukan jika ada orang lain yang bisa menjaganya? Dia bukan seperti kita jadi biarkanlah dia tenang disana. Tanpanya hidup kita-pun sedikit lebih tenang.”
“Baiklah aku mengerti akan hal itu.” Aku tersenyum padanya seakan keadaan Elzair membuat aku dan Gerin bernafas lega walaupun masih ada yang lain. “Kamu menyuntikkan obat itu padaku semalam? Rasanya aku semalam merasakan sakit tapi pagi ini aku merasa lebih segar.”
“Sejak lahir kita bukan manusia yang di takdirkan hidup layaknya manusia-manusia lain. Tanpa obat itu kau dan aku akan merasakan sakit.” Jelasnya padaku. “Walaupun tanpanya kita masih bisa bernafas.” Dia tersenyum lalu merapikan seragam sekolahku. “Masuklah, Tora sudah melambaikan tangannya padamu.”
Aku pergi. Dia sana Tora menungguku. Gerin benar, semua-nya itu tergantung aku menjalani hidup ini. Apa yang aku pilih dan apa yang aku jalani sudah terprogram semuanya dengan detail.
Tidak tahu bagaimana kabarnya Elzair. Aku belum melihat keadaannya sama sekali tapi aku yakin dia baik-baik saja. Wanita yang di tugaskan menjagaku itu tidak akan mudah melepaskan tanganku begitu saja. Dia menjadi hantu-pun akan selalu membayangiku di setiap langkah aku berjalan.
“Siapa dia sayang? Rasanya baru kali ini aku melihatnya?” tanya Tora, aku belum menjawab. Aku masih sibuk melambaikan tanganku pada Gerin. “Kakak kamu kemana? Apa dia sakit?”
“Kakakku ada di rumah. Dia sedang sibuk. Dia sepupuku, kamu mungkin baru melihatnya kali ini tapi dia sering melihat kamu.” Jelasku. “Masuk yuk. Kamu udah sarapan sayang?” tanyaku, dia menggeleng.
Kami disana, di kantin sekolah. Aku tahu dia sedikit marah padaku tapi dia-pun mengerti pasti aku memiliki alasan lain untuk itu. Hampir satu bulan sudah aku jarang bersamanya. Hanya di jam sekolah kami bertemu, di luar itu aku tidak ada waktu untuknya.
Kepalaku terlalu sakit jika aku memutar otak dan aku melihahat apa yang akan terjadi esok. Aku tidak mementingkan cintaku, hatiku, hidupku lebih berarti. Di sini bukan cinta yang aku cari tapi pilihan jalan hidupku untuk bersama siapa.
Aku tahu akan tetap hidup jika satu diantara keduanya kutandatangani. Keduanya sama-sama menguntungkanku tapi setidaknya ku-pakai hatiku kali ini.
“Kamu berpikir tentang ini?” Tanya Gerin padaku. Aku mengambil pena di tas-ku. “Akan aku tandatangani perjanjian itu.” Kataku, dia menggenggam tanganku, mengambil pena itu dariku.
“Perjanjian yang mana?”
“Siapa yang membuatku hidup seperti ini? Ya, itulah jalanku.”
“Elzair akan tersenyum padamu.” Dia mengembalikan penaku .”Kamu tidak akan mengecewakannya.” Dia tersenyum setidaknya pilihanku membuatnya bisa terus disisiku. “Kamu ingin melakukan hal seperti remaja lainya hari ini?” Tanyanya, aku diam tidak menjawab. Aku tidak ingin. Aku tidak mau. Namun, aku-pun tidak menolaknya.
Kami disana, di tempat umum, di sebuah mall. Aku lihat anak-anak seumurku tertawa, berbelanja, dan berjalan bersama kekasih mereka. Tapi aku, aku tidak seperti mereka.
“Kamu iri?” Gerin menawarkan sekaleng minuman bersoda.
“Mengapa aku iri? Hidupku lebih sempurna dari mereka, hanya saja aku tidak bisa bersenang-senang seperti mereka.” Jelasku. “Bukankah kita sama? Garis hidup kita bukan seperti manusia lainnya.” Kuperjelas agar dia tidak banyak bicara.
Gerin menarik tanganku ke dalam tangannya. Kami berjalan melihat kehidupan manusia lain. Akankah satu kali saja aku bisa seperti mereka? Rasanya tidak akan pernah walaupun aku ingin.
“Hidup bergitu sempurna tidak terlalu menyenangkan.” Kataku pelan.
“Pikiran-pikiran bebas itu tidak akan pernah kamu dapati, bagitupun denganku.” Gerin menaruh tangannya di pinggangku. Dia menjagaku saat ini. Maksudku kami saling menjaga.
Setumpuk kertas diberikan Gerin padaku. Aku kira itu tentang kehidupanku tapi bukan. Disana, ya disana gambar-gambar kartun. Apa maksudnya? Aku belum bisa menebaknya. Akankah ini tentangku? Rasanya bukan.
“Kamu tahu?” Tanyanya, aku mengembalikan kertas-kertas itu. “Sama saja, awalnya aku tidak mengerti. Elzair memberikannya padaku. Katanya kamu mengganggap hidupu seperti ini. Benarkah itu?”
“Ya, kamu tahu, aku-pun tahu itu,”
Dia meminta kertas HVS padaku, ku ambil selembar kertas dari tas-ku. Garis-garis itu dia lukiskan. Wajahku mulai terbentuk. Ya, dia melukisku. Dia bisa melalukan segalanya walaupun itu bukan hobby-nya.
“Kamu cantik di lukisan ini.” Ucap Tora yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku. “Rasanya kamu banyak waktu luang.” Lalu dia duduk di antara kami. Gerin tersenyum lalu memperkenalkan namanya pada Tora.
Aku rapikan kertas-kertas itu dan kumasukkan ke dalam tas-ku. Pandangan Tora padaku membuatku takut, seakan dia lelah denganku. Ku-maklumi itu, hidupku saat ini memang bukan untuknya. Masih panjang jalanku untuk menyelesaikan ini, semuanya bukan sekedar untuk cinta.
“Kamu banyak waktu sayang?” Tanyanya padaku, aku menggeleng. “Rasanya cintaku padamu tidak akan selesai.”
“Apakah kehadiranku mengganggu kalian?” Tanya Gerin, aku diam. “Tapi aku akan tetap disisi kekasihmu. Itu tugasku.” Jelasnya lalu Tora berdiri memukul wajah Gerin.
Ketika itu ku diam. Aku tidak khawatir pada keduanya. Gerin tidak akan membalas perlakuan Tora, aku yakin itu karena Tora jatuh jika itu terjadi.
“Kau tidak melawanku?” Tanya Tora pada Gerin. Petugas hanya menonton, aku yang meminta itu. “Apa kau begitu lemah?” Tanya Tora lagi, Gerin tertawa.
“Ya.” Kata Gerin singkat. “Pulanglah, kamu akan bermasalah jika dikeramaian.” Gerin berdiri. Berbisik padaku, aku hanya mengangguk. “Duluan saja.” Katanya lagi sambil memberikan pena padaku. “Berikan ini pada ETA.” Katanya, ya itu nama sebutan untuk pimpinan kami.
“Pergilah jika kau mau. Rasanya aku tahu perjalanan ini.” Kata Tora memandangku kecewa. Kali ini sama, aku tidak bisa menjelaskannya. Sebelumnya, aku-pun tahu dia tidak bisa terus disisiku. Itu membahayakan hidupnya. “Sampai besok disekolah.” Dia pergi dari hadapan kami.
Gerin tersenyum padaku tapi senyumnya seakan bicara bahwa akan ada hal besar lain untukku. Ini tidak akan membuatku lemah. Cintaku akan membawa bencana jika ku-lanjutkan.
“Pada akhirnya kamu bersamaku untuk kesana.” Kataku, Gerin tertawa. “Kamu baik-baik saja?”
“Beberapa menit lagi luka ini akan hilang. Kamu tahu itu, bukan ini yang bisa membuatku terluka tapi diriku sendiri. Kehendakku.”
Kami disana, dirumah sakit bawah tanah, rumah sakit khusus. Kulihat Gerin disampingku, rasanya dia khawatir.
“Kamu mengalami hal yang sama denganku dulu.”
“Ya, aku tahu itu.” Kataku singkat.
“Gunakanlah pena ini.” Dia memberikanku pena berlapis emas dengan ukiran-ukiran penuh makna, aku tidak tahu apa arti ukiran itu.
Elzair disana tidak sadarkan diri. Dia hanya manusia biasa yang bisa sakit dan kapan dia sadar, tidak ada yang tahu. Di pojok ruangan terdapat bunga lili dan Gerin mengganti bunga kamboja.
“Mengapa kau lakukan itu?”
“Agar dia takut mati dan bisa kembali hidup.”
Aku duduk di sofa menunggu pimpinan kami dan Gerin sedang fokus pada pemeriksaan dokumen-dokumennya.
“Anda yakin?” Tanya pria yang sering disebut ETA. “Ada dua pilihan. Bersama kami atau mereka?”
“Yang kau maksud mereka, semua kaki tangan pria tua yang menculikku beberapa waktu lalu itu?” Tanyaku lalu dia menyodorkan beberapa lembar kertas. “Aku membawa pena sendiri.” Aku menulis di atas kertas itu. Tanda tanganku disana, di atas lembaran neraka itu.
“Kau akan aman. Seseorang yang memberikan pena ini akan mempertaruhkan hidupnya untukmu.”
Aku memandang ETA. Kulihat sekeliling, Gerin tidak ada.
“Dia diluar menunggumu.”
Aku tahu setelah ini akan ada hidup yang rumit. Namaku diatas semuanya. Apa yang mereka bilang, apa yang mereka lakukan, aku setuju. Mereka tidak akan melakukan pembunuhan terhadapku tapi mereka bisa menekan batinku. Pemikiranku mereka ikuti, pemikiran mereka ku setujui, dan tindakan mereka atas persetujuanku.
“Kamu sanggup?” Tanya Gerin.
“Aku pintar, kau tahu itu bukan?” Aku tertawa, rasanya aku sedikit sombong tapi itulah fakta yang aku sembunyikan dari banyak orang.
“Tapi tidak ada waktu istirahat untukmu walau satu detik. Hidupmu akan penuh dengan pemikiran-pemikiran tiu, percobaan-percobaan itu, dan tindakan-tindakan itu.”
“Kamu bisa, mengapa aku tidak? Aku tidak akan mati karena apapun kecuali aku yang menginginkannya.”
Gerin mengajakku ke sebuah ruangan. Tempat itu penuh dengan tabung-tabung yang membeku. Tempat apa ini? Rasanya aku untuk pertama kali disini.
“Mereka, tabung-tabung ini akan tumbuh dan hidup seperti kita.” Jelasnya. Aku mengerti akan hal itu. “Kau tahu pria tua yang beberapa waktu lalu membawamu?”
“Maksudmu pria tua yang menculikku, maaf merebutku dari mereka itu? Dengan cara halus yang licik itu?”
“Ya. Dia membuhuh beberapa professor-professor tua itu dan setelahnya dia membunuh dirinya sendiri. Dia manusia biasa dan dengan mudahnya dia bisa mati.” Aku menarik nafas panjang lalu ku-pandnagi tabung-tabung itu. “Dia kecewa tidak mendapatkanmu.” Jelasnya, aku tertawa kecil.
“Hidupnya sia-sia, dia tidak mendapatkanmu dan juga tidak mendapatkanku. Kamu tahu, hanya kamu dan aku yang masih bisa bernafas dari percobaan itu.”
“Kamu benar.” Dia memelukku dan mengajakku keluar dari ruangan penuh tabung itu.
Kami pergi jauh dari rumah sakit khusus itu kembali pada bangunan dimana kami dibesarkan.
“Jika pria tua itu memilih hidup, dia akan mati dimakan usia.”
“Akan lama baginya menunggu percobaan berikutnya berkembang. Itupun belum tentu berhasil.”
“Dia akan mati sebelum itu.” Kata Gerin lalu kami saling memandang dan tertawa kecil seolah ini hanya permainan anak-anak.
Oleh: aula nurul (26 april 2011, hari selasa pukul 21 .47 diketik tapi selesainya pukul 14.00)













Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...