Minggu, 14 Desember 2014

Mungkin benar atau entahlah, ada kalanya gue merasa entalah mungkin gue sedikit jahat atau entahlah yang jelas kadang dalam hati gue bilang 'entar juga saat lo gagal atau jatuh atau frustasi baru lo sadar dan gue gak akan ada disana'.
Yaa, sedikit kejam emang tp entahlah, ada seseuatu yang dirasa sulit untuk dipahami bahkan sekalipun paham, ada masanya untuk menolak paham.
Dibilang gue gak ikhlas? Tentu tidakkkk! Why? Karena gue gak ada
hak untuk bilang ikhlas. Buka

Selasa, 09 Desember 2014

Senang Senan Senang

Gue gak paham lah tadi pagi sama yang diomongin Yunda sama Kakak, mereka bilang abcd panjang lebar panjang kisah tapi gue kira kacek-kacek doang mau buat gue seneng.

Eh tapi mlm ini kakak (Dinda) ngasih kabar kalau itu beneran. Gue jelas gak percaya biasanya kan mereka kacek-kacek doang. Sampe gue telfon Yunda, eh kata Yunda beneran. Masih gak percaya.

Terus ngebahas sama kakak, sama Yunda lagi. Dan hasilnya, itu beneran.

Yaelah seneng kan gue tiba-tiba lagi sakit, eh langsung demamnya turun dadakan. Sesuatu banget sih ini ^^

Pokoknya makasih sama Yunda sama Kakak buat hari ini, kalian makin cantik loh kalau begini :)

Maaf, (CERPEN)




“Aku bukan Circe yang akan merubahnya menjadi monster karena dia bukan Scylla. Bukan. Baik Airin atau El, keduanya gak ada yang bertolak belakang,” ucapku lirih, Kevin terlihat seolah tak senang dengan hal ini, “kenapa? Hei, ada apa?”

Sebuah bola tiba-tiba meluncur tepat didepan mataku sebelum Kevin sempat menjawab, “seharusnya El gak usah bermain basket jika..., sudahlah,” ia mengusap kepalaku dan kembali ke lapangan. Sedangkan aku, hanya bisa memberi semangat.

Jika Kevin mengatakan waktu yang kumiliki sebelum ini terbuang sia-sia, aku tak merasa seperti itu. Apa yang kulakukan sebelumnya, bukan berarti ada hal lebih yang ingin kudapatkan. Kevin mengatakan aku terlalu munafik untuk menyangkalnya dan benar, aku akan menjadi orang munafik untuk satu hal ini.

**

“El sedang sakit, kurasa seperti itu,”

“Siapa yang memberitahumu? Kami bahkan gak mengetahuinya. Bagaimana bisa?” ia melemparkan banyak pertanyaan padaku seperti pemburu berita, “kamu paranormal?”

Aku tersenyum, memintanya untuk diam dan melanjutkan latihan atau aku akan mendoakannya agar tak menjadi kapten basket lagi.

“Paranormal, ckck,”

Jika saja Kevin tahu mengapa aku bisa menebaknya. Jika saja Kevin tahu apa alasan El tidak datang latihan. Namun, kurasa, Kevin tahu semuanya termasuk alasan El masuk tim basket.

“Apa-apaan ini? Dimana El?” tanya Maura yang baru saja tiba, “dimana El?” tanyanya lagi seolah aku anak kembar siam yang tak terpisahkan dengan El, “ups, gue lupa kalau El sudah sama Airin. Maaf,”

Tanpa basa-basi, aku menjambak kecil rambutnya. Maura pun membalasnya. Kami saling membalas kemudian tersenyum melihat tim basket sekolah kami sedang berlatih.

Rama melambaikan tangannya pada kami. Tidak. Ia hanya melambaikan tangan pada Maura, pacar kesayangannya. Dengan semangat 45, Maura seolah memberikan efek tersendiri bagi Rama, “Rama mengatakan kalau El akan dikeluarkan dari tim basket, mengerikan sekali,” ucapnya, aku mengangguk setuju, “koran sekolah pasti akan heboh. Gue harus dapetin edisi itu,”

“Hei! Kenapa kalian seperti itu pada El. Kalaupun benar ia berasa di tim basket hanya karena permintaan Airin, bisakah sedikit lebih sopan ketika mengeluarkannya?”

Aku tak terima El akan dikeluarkan dari tim basket sekolah apalagi para pemburu berita sangat menantikan hal tersebut. Ia akan jatuh dalam satu hari.
 
“Lo memihak El? Lo siapanya El sehingga melakukan itu? Bukankah itu akan menyakiti perasaan Kevin?”

“Hei!” aku mencubit tangannya, “kenapa membawa-bawa Kevin!” aku pun pergi begitu saja dengan Maura yang terus memanggil-manggilku, “diamlah!” aku berlari kecil-kecil tak ingin terlibat lebih jauh lagi dengan celoteh Maura.

**
Kedua bola mata Airin sibuk memilih pakaian yang akan ia kenakan saat menonton pertandingan basket melawan sekolah tetangga. Ia memintaku untuk memilihkannya dan entahlah, ini untuk pertamakalinya aku mengatakan ‘terserah’ padanya.

“Lo masih sayang sama El?” tanyanya, aku mencoba tertawa kecil, “jangan sembunyikan sesuatu.”

“Dulu iya, sekarang gak geh. Kan kan, gue sukanya sama Kevin,” kataku, Airin terlihat percaya, “kenapa? Lo cemburu dulu gue deket sama El?”

Kepala Airin mengangguk kecil, aku memandang tanya padanya, “dulu, lo lebih perhatian sama dia dalam hal apapun. Dan, kalian sering keliatan berdua.”

“Yaelah Rin, itu karena gue curhat aja sih sama dia. Ciee yang cemburu berarti cinta dong ya,”

Airin tampak malu. Ia melanjutkan memilih pakaiannya lagi. Sedangkan aku, entahlah, rasanya ada yang mengganjal dengan ucapanku. Rasanya jujur pada Airin akan membawa dampak buruk bagi pertemanan kami.
**
“Apa-apaan ini?” Kevin menggeledah isi tasku, “kenapa kamu selucu ini?” kemudian ia mencubit kedua pipiku, “apakah kamu akan terus membohongi  seisi sekolah kalau kamu menyukaiku?” aku tersenyum tenang.

Jujur, ada rasa malu ketika Kevin menemukan banyak vitamin dan obat alergi disana. Itu bukan milikku tapi itu sesuatu yang dulu selalu tersimpan manis dalam tas sekolahku untuk jaga-jaga jika El sakit. Aku tak bisa mengelak, Kevin benar, aku terlalu munafik untuk mengakui perasaanku sendiri.

“Kenapa kamu gak pacaran dengan Tito yang jelas menyukaimu?” ia mulai memojokkanku, “kenapa kamu mengatakan kepada semua orang kalau kamu menyukaiku?”

“Entahlah, aku gak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Pokoknya cup gak bisa aku jelaskan,” aku tertawa kecil, Kevin tersenyum aneh, “ih! Kenapa seperti itu? Kamu mengejekku?”
**
“Edit berita itu! Edit atau gue akan....” aku berpikir sesaat apa yang akan kugunakan untuk mengancam mereka, “gue akan nangis seharian disini,”

“Gue penanggungjawab koran sekolah, menurut gue, gak ada yang salah dalam berita yang akan terbit besok. Koran sekolah gak pernah menerbitkan berita gosip, gak ada yang salah,” Tito menjelaskannya padaku, “jangan membawa perasaan pribadi untuk menghentikan edisi besok,”

“Lalu apa yang lo lakukan ini bukan atas dasar perasaan pribadi?” tanyaku, ia tersenyum dengan mengatakan jika ini memang kebenaran yang harus tertulis dikoran sekolah.

Baiklah. Aku salah. Benar jika aku gak boleh menghentikan atau meminta berita yang akan terbit besok dirubah. Itu benar-benar terlihat menyedihkan.

“Seharusnya Airin yang datang, bukan lo,” Tito menepuk pundakku, “keluarlah dari ruangan ini, ini bukan tempat yang bisa sembarangan orang datangi.”

Kakiku melangkah begitu saja. Aku tak dapat berbuat banyak atau aku akan menjadi gadis yang benar-benar terlihat menyedihkan.

“Kenapa keluar dari ruangan itu? Apa karena...” Airin memandang tak percaya, “apa karena El? Apa karena besok nama El akan menjadi tercemar?”

“El? Ada apa dengan El?” aku berbalik tanya seolah tak tahu apapun, “gue kesana karena mau ketemu fans gue, kenapa? Ciee, lo takut ya gue ada apa-apa sama El?”
**
Nama El benar-benar terlihat buruk. Sangat tertulis jelas alasan mengapa ia dikeluarkan dari tim basket sekolah. El telah dianggap mengotori tim basket sekolah. Aku benar-benar merasa tak percaya berita itu tertulis jelas pada koran sekolah edisi minggu ini.

“El, lo baik-baik aja kan?” 

El tak menjawab. Ia berjalan dengan ekspresi datar. Aku tahu bagaimana marahnya ia ketika berita itu keluar tapi aku sangat tahu kalau El tak akan bisa memukul atau menghajar orang-orang yang terlibat dalam penerbitan koran tersebut.

“Hibur dia,” Maura tiba-tiba disampingku, “bukannya dulu ada seseorang yang terus menjadi malaikatnya?”

“Atau bawakan makanan kesukannya seperti dulu,” Rama menambahi.

Kini dikanan maupun kiriku terdapat dua jin yang terus membuat kepalaku pusing.

“Biasanya lo paling ahli untuk membuat suasana hati El tenang,” Rama menepuk pundakku, “apa ada penyesalan?” aku tersenyum saja.

Baik Maura maupun Rama benar. Aku sudah terlalu biasa untuk disekitar El dan menjauh darinya terasa sangat sulit. Aku bahkan dapat mengira-ngira bagaimana suasana hati El sehingga aku dapat mengatur pembicaraanku. Namun, itu semua hanya dulu. Aku tak ingin terlihat didepan Airin kalau aku menyukai El. Aku hanya teman baik El, hanya itu. Dan aku sendiri yang membuat El dan Airin menjadi sepasang kekasih jadi aku harus bersikap seolah tak ada perasaan apapun.

“Gue kesel banget sama El tapi saat seperti ini, gue kasian. Setelah gue pikir-pikir, lo orang paling tepat untuk menghibur El tapi, lo beneran suka sama Kevin kan?” aku diam, “jangan bilang karena lo gak enak sama Airin jadi ngalihin perhatian? Hei!” Maura mulai kesal, “lo gak nangis kan dirumah?”

“Ya gak lah,” jawabku karena memang aku tidak menangis dirumah, aku menangis ditempat lain, “Kevin mana ya, kangen nih gak liat dia dari tadi.”

“Muka lo bete akut. Ada yang janggal,” Rama memandang wajahku diikuti Maura, “aneh.”
**
Aku meletakkan obat alergi dimeja El setelah tadi beberaa menit yang lalu kulihat El memakan udang dikantin. Aku yakin tubuhnya akan gatal-gatal. Namun, beberapa detik kemudian, aku mengambil lagi obat itu. El sudah memiliki Airin yang akan merawatnya dan membawanya ke poliklinik sekolah.

“Ckck,” Kevin tiba-tiba muncul, ia melirik obat alergi ditanganku, “ayo, ikut,”

Ia membawaku ke mading sekolah dan menunjukkan sebuah lomba menyanyi. Aku menggeleng karena sudah lama aku tak berlatih.

“Itu karena dulu waktumu banyak dihabiskan bersama El. Perhatianmu pada El lebih dari sekedar teman. Kini, sadarlah, sadar,”

“Hei! Aku gak tidur! Baiklah, aku akan mengikuti kompetisi itu tapi bagaimana kalau aku kalah? Itu memalukan. Apa yang harus kulakukan jika aku kalah?”

Kevin mengangkat tangannya dan memberikan jari kelingkingnya, “kalau kamu kalah, mintalah apapun dariku tapi kalau kamu menang, gunakan uang itu untuk berlibur dan ajak aku.”

Aku tertawa tapi aku suka tantangannya. Bagaimanapun, menyanyi merupakan hal yang kusukai.
**
“Belakangan ini, kita seakan jauh,” El bicara padaku diruang seni sekolah, “Airin mengatakan kalau..., lo pernah ada perasaan sama gue,”

Aku tersenyum, mengangguk kecil, mengiyakannya, “ya, itu dulu. Hanya perasaan sesaat. Gue Cuma gak mau Airin salah paham aja,” aku melangkah, mendekati sebuah piano yang ada disana, “ayahku sering sekali memainkan alat musik ini kemudian ia memintaku bernyanyi,” celotehku, “belakangan, gue sedikit lupa tentang itu.”

El memandangku. Aku tahu, ia tak mengerti kemana arah pembicaraanku. Ia terlihat bingung karena ia jelas tak tahu apa yang kusukai.

“Lo baik-baik aja kan?”

Tanyanya, aku tersenyum kemudian terlihat Airin berdiri didepan pintu ruang musik. Ia memandangku lesu kemudian melangkah pergi. El menyadarinya, ia bingung dengan keadaan itu. 

Kuminta El untuk mengejar Airin tapi ia merasa kalau tidak ada yang salah dalam hal ini, “Airin tahu kita teman baik,”

Ya, tentu saja. Hanya teman baik.
**
Kevin menjitak kepalaku ketika aku salah memilih lagu, “ini untuk perlombaan bukan untuk menyatakan isi hatimu,” 

“El hanya seorang anak dari keluarga yang berantakan. Ayahnya tak pernah menyayanginya sungguh-sungguh dan ibunya seolah tak peduli. Sedangkan kakaknya, mereka tampak seperti orang asing. Kurasa, aku  menyukainya hanya karena rasa kasihan.”

“Pikiranmu mulai jernih,”

**

Aku tak mengerti, belakangan kelas terasa sedikit tak nyaman semenjak El dan Airin resmi berpacaran. Jujur, aku tak suka melihat itu apalagi saat mereka saling melempar senyum padahal aku sendiri yang membuat itu terjadi.

“Mata pelajaran yang gak wajib mending masuk ke kelas Kevin atau yang lain,” bisik Maura, idenya terdengar bagus, “eh, El tuh....,” Maura memberitahu jika El sedang memperhatikan kami, “aneh, jangan bilang El pernah ada rasa sama lo?”

Kuikuti saran Maura. Aku mengambil jadwal dikelas lain saat mata pelajaran tak wajib. Dan, aku masuk ke kelas Kevin yang disambut oleh teman-temannya dengan tampang bertanya-tanya. Kevin yang tahu alasanku tak bertanya lagi, ia justru protes karena baginya itu seperti sebuah pelarian.

“Kamu punya pacar? Kalau kamu ribut dengan pacarmu karena ini, aku akan menjelaskannya,”

“Pertanyaanmu itu menggelikan, apa kita harus pacaran dulu?” godanya, aku tertawa kecil kemudian ia menyuruhku untuk memperhatikan pelajaran.
**

Aku makan siang dikantin bersama Kevin dan Maura, tidak dengan El seperti sebelum-sebelumnya. Mereka mengatakan agar aku benar-benar mengganti jadwal pelajaranku agar hatiku dapat tertata lagi.

“Itu seperti melarikan diri,” akuiku, “memalukan bukan?”

“Akan lebih memalukan jika seperti ini,” Kevin tiba-tiba mencium pipiku yang langsung membuat seisi kantin menoleh bahkan beberapa ada yang mengambil gambar kami, “ini akan menjadi berita hangat di media sosial,”

Kukepalkan tanganku. Rasanya aku ingin marah dan menamparnya tapi Maura mengatakan tidak. Aku melirik sisi lain kantin, El dan Airin juga ada disini, melihatnya. Dengan berat, aku mencoba tersenyum seolah senang.

“Kevin, kenapa lo nekat? Jangan-jangan cewek yang pernah lo ceritain ke gue itu...,” Maura melirikku, “wow, hebat!”

“Apa? Gue? Kenapa dengan gue?” tanyaku, “jangan menyebarkan issue disekolah ini.”

**

Airin mendatangi rumahku. Ia tamu yang baik sehingga aku pun ramah padanya. Namun, ia hanya baik beberapa saat.

“Lo tau obat alergi El yang bahkan gue gak tau dan El gak ngasih tau. Lo tau makanan kesukaannya yang bahkan El gak pernah bilang ke gue. Dan lo....,” Airin memandangku tajam, “kenapa lo lebih tau banyak dari gue?”

“Mungkin gue calon reporter, yaa, reporter manis,” ucapku sembari melempar canda, “kenapa? Apa ada yang salah?”

Please, jauhi El. Jangan membayanginya bahkan saat lo gak disamping dia,”

Aku mengangguk walaupun aku tak mengerti maksud perkataannya. Aku tak pernah membayangi El bahkan aku menghindari dan menjauhi El. Apa lagi yang salah?

“Kejutan,” Maura tiba-tiba masuk begitu saja dengan membawa banyak balon diikuti Kevin dibelakangnya, “Airin?” ia terkejut melihat Airin, Airin tersenyum menyapa, “baiklah, lupakan, pegang ini,” Maura memintaku memegang puluhan balon.

Kevin berjalan mendekatiku. Ia tersenyum membawa beberapa tangkai bunga di tangannya. Satu per satu, ia membuang bunga itu. Dan terakhir, tersisa satu mawar putih yang ia berikan padaku. Aku tersenyum, “ini dimulai dengan baik selama satu bulan,” kemudian, aku memeluknya.

“Kalian pacaran?” tanya Airin, aku diam, sedangkan Kevin langsung mengiyakannya padahal kami belum pacaran. Kevin hanya membantuku untuk melupakan El selama satu bulan ini dan itu cukup berhasil, “maaf, gue ganggu acara kalian,” Airin pun pamitan pulang.

**

Tangan Kevin membersihkan sisa ice cream yang ada dibibirku. Ia bahkan menyuapiku walaupun aku menolaknya. Dan saat seperti ini, aku teringat El dimana kami pernah makan ice cream bersama. Yang membedakan, saat itu El hanya terus makan saja sampai habis tanpa bicara apapun.

“Aku-kamu. Sejak pertama kali kita kenal, kita menggunakan bahasa cantik itu seolah kita pacaran,”

“Itu karena, sudahlah, jangan mengingatkanku lagi,” pintaku, “diam saja, diam,”

Kevin mengusap kepalaku lembut, “berapa banyak kamu akan membayarku agar aku diam?”

Aku langsung menutup mulutnya dengan memberikan ice cream banyak dimulutnya. Ia pun diam tapi tetap tersenyum padaku, senyum manis. Benar-benar senyum manis. Entahlah, ini rumit dijelaskan tapi aku suka senyumnya seperti ini.

**

“Lo mulai suka sama Kevin? Iya kan? Iya kan iya?” Maura memojokkanku, “udah gue bilang perasaan lo ke El itu Cuma rasa kasian aja karena gak ada yang merhatiin dia. Dan kalau Kevin, itu baru bener-bener yang bener,” ucapnya berputar-putar, “terus kapan kalian jadian?”

“Kevin aja gak nembak,”

“Jadi, lo berharap?” Maura terkejut, bukan seperti itu maksudku tapi jujur, ada perasaan aneh ketika aku disamping Kevin bahkan detak jantungku terasa aneh untuk pertamakalinya. Ah! Ini benar-benar rumit.

Maura langsung merapikan rambutku ketika ia tahu kalau nanti malam aku dan Kevin akan pergi. Sebenarnya, ini bukan kencan atau semacamnya tapi ini sebagai tugas sekolah. Kami harus mencari informasi mengenai kegiatan anak-anak jalanan ketika malam hari.

“Tetap saja harus cantik,” ia juga memilihkan pakaian yang manis namun tidak terlalu terbuka karena jalanan dimalam hari bisa menyeramkan, “gue dukung kalian jadian pokoknya,”

**

El menemuiku di ruang seni sekolah ketika aku berlatih untuk perlombaan. Ia menanyakan sejak kapan aku suka menyanyi dan sejak kapan aku ingin mengikuti perlombaan ini. Tentu saja, aku menjawab semuanya dengan jujur.

“Gue baru tau itu, denger-denger, lomba ini bisa duet kan? Apa lo sama Kevin?” 

“Anak-anak bilang suara Kevin luar biasa cuma terlalu sempurna banget kan kalau ada gue eh ada Kevin, pasangan lain bisa iri, ya kan? Disekolah ini aja banyak yang iri kok,” ucapku pede, “tapi, ide lo bagus juga,”

Tangan El mengambil sesuatu dari saku pakaiannya. Ia meminum obat alergi, aku tersenyum, “belakangan gue terpaksa bawa obat sendiri semenjak gak ada lo,” terangnya, aku tak tahu harus mengatakan apa, “ada yang terasa menghilang,”

Tiba-tiba Kevin masuk ke ruang seni, ia terkejut mendapatiku bersama El. Kemudian, Kevin duduk disamping El menanyakan keberadaannya diruang seni yang tak seperti biasanya.

“Soal basket, maaf, itu keputusan pelatih,” ucap Kevin bijak, “mungkin itu keputusan yang terbaik untuk tim basket sekolah.”

“Apa kalian bermusuhan setelah salah satu dikeluarkan? Tentu saja itu sulit tapi bisakah jangan menggangguku latihan?” pintaku, Kevin tak menggubris, “hei, kamu mau kugantung?”

“Kalian terlihat sangat cocok,” kemudian El pergi setelah mengatakannya.

**

Mataku terbelalak ketika melihat berkas pendaftaran kalau aku akan berduet dengan Kevin sedangkan setahuku, aku melakukan ini seorang diri. Saat seperti ini, Kevin justru tersenyum-senyum sendiri padahal tinggal 15 menit lagi kami tampil. 

“Kalau salah satu gak ada dianggap gugur, kita lakukan saja,”

“Apa?!” aku langsung menginjak kakinya, “bagaimana bisa? Kamu mau mati?” aku memandangnya kesal tapi ia langsung mencubit pipiku dan tersenyum. Hal itu membuatku luluh, “baiklah, apa yang harus kita nyanyikan?”

Kevin mengingatkanku bahwa sebelumnya aku pernah membuat lagu bersamanya. Aku ingat itu tapi, lagu itu sedikit tak kusukai, “kenapa? Apa kamu gak suka karena kamu menyukaiku?”

JLEB! Aku terpaksa mengiyakan hal itu daripada ia panjang lebar bertanya.

**

Maura memelukku setelah aku turun dari panggung, “lagu tadi itu, kalian berdua,” ia langsung melirik Kevin, “coba Rama gitu juga ya dulu,” Rama langsung membuang muka, “kalian pasti menang,” ia ingin memeluk Kevin tapi Rama melarangnya dan entahlah, aku juga tak suka ia melakukan itu. 

Dan tarrrra, ketika pengumuman, baikalah kami memang tak mendapat juara pertama tapi kami mendapat juara Favorite dari penonton. Mau tak mau, kami naik keatas panggung.

“Apa kamu ingin menjawabnya?” Kevin memandangku, “lagu itu untukmu, kenapa kamu gak mengerti juga sejak lama?”

Aku tersenyum malu. Penonton menyoraki kami, “kamu menolakku?” tanyanya, aku menggeleng. Ia tak banyak bicara lagi dan langsung mencium keningku.

**

Aku masuk ke kelas saat mata pelajarab wajib, El berdiri didepan kelas. Ia langsung menarikku, “jadi sebelum itu kalian belum jadian?” tanyanya, aku mengangguk, “kenapa Kevin bilang lo pacarnya? Kenapa lo juga gak nyangkal?”

“Memang ada yang salah ya?” tanyaku padahal jujur, aku tahu maksudnya.

Lagu yang semalam itu merupakan pengungkapan hati Kevin. Namun bukan itu saja, didalamnya terlihat jelas kalau sebelumnya Kevin tahu aku menyukai orang lain. Dan, itu El.

“Kenapa lo gak bilang dari dulu? Kenapa?” El memegang tanganku erat. Ia menatap mataku lekat dan tak melepaskannya, “seharusnya, hari itu, lo gak buat gue deket sama Airin,”

“Lepas!” Kevin langsung melepaskan tangan El dariku, dan BUKKK! Ia memukul wajah El tanpa basa-basi, “jangan menyentuhnya atau...,” aku menarik tangan Kevin, “kamu baik-baik aja kan?” aku mengangguk.

**

Airin menemuiku. Ia terlihat sedih ketika didepan mataku, “apa lo ribut sama El?” ia menggeleng, “kenapa?”
“El, sejak awal sayang sama lo. Dia jadiin gue pelarian aja saat lo bilang suka sama Kevin. Dan, lo ngalah buat gue kan?” Airin menangis, aku tak tahu harus berkata apa, “gue seolah pengganggu diantara kalian. Kalau gue gak bilang suka sama El, kalian berdua pasti udah...” aku memintanya berhenti bicara.
“Jangan katakan lagi, gue takut goyah. Gimana-gimana, Kevin udah disisi gue. Dan bagi gue, Kevin yang terbaik. Maaf, jangan katakan hal apapun lagi,”
Aku meninggalkannya namun ketika aku melangkah, El sudah ada disana. Tiba-tiba ia memelukku dan Airin melihat itu semua. Aku menjadi serba salah. Tepat saat itu Maura dan Rama melihatnya. Mereka pun tak bisa berbuat banyak.
“Lepas!” pintaku, El tak melepasnya, “kenapa El? Kenapa? Ada apa ini?”
“Gue terlambat, itu aja, maaf,” kemudian ia melepaskan pelukannya. Aku mengerti perasaannya tapi jujur, walaupun masih ada sedikit rasa sayangku padanya namun hatiku sudah menuliskan nama Kevin. Dan aku tak ingin lebih menyakiti Airin.
Maura tersenyum melihat itu begitupun Rama. Sedangkan aku, entahlah, aku merasa ini keputusan tepat tapi apakah El akan baik-baik saja?
“Kevin dateng,” Maura berbisik, aku pun langsung berlari kecil-kecil menghampiri Kevin. Aku mengambil coklat ditangannya yang pasti untukku. 
“Aku melihat El barusan, dia sedikit aneh,” Kevin melihat wajahku, “aku mengerti, tapi dalam hal ini, Airin yang sangat terluka,”

“Apa kamu ingin menenangkan Airin? Seperti itu? Lakukan saja,” aku meninggalkannya tapi ia langsung mengejar dan menggandeng tanganku.

 **

El berjalan seorang diri di koridor sekolah, aku ingin menghampirinya tapi tiba-tiba Maura muncul dan menggelengkan kepalanya.

Aku benar-benar tak mengerti, disisi El ada Airin yang jelas mencintainya tapi ia seolah tak memiliki itu. Dan disamping El, ia masih memiliki teman tapi ia menjauh sejak ia dikeluarkan dari tim basket sekolah secara tidak hormat.

“Jangan bilang lo masih ada rasa sama El?” Maura melotot tajam, “itu akan sangat kejam bagi Kevin,” terlihat sekali jika Maura tak suka dengan pikiranku tapi jujur, rasanya Maura benar jika aku belum bisa sepenuhnya melupakan El.

“Gue munafik kalau gak ngakuin itu tapi, entahlah, ini rumit,” ucapku lirih, “rasanya menyakitkan melihat El seperti itu,”

“Apa seperti itu?” tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang, Kevin, “aku akan menjadi orang kejam kali ini,” Kevin menarik tanganku. Aku tak tahu ia akan membawaku kemana.

Dan, ia membawaku ke ruang redaksi. Ia memperlihatkan semua berita yang tidak jadi diterbitkan dan itu semua tentang El. Aku diam. Aku tahu itu. Ada apa dengan Kevin memperlihatkan semua itu?

“Berhentilah atau aku akan menggantungmu,” ancamnya kemudian mengusap kepalaku, “perlahan, kamu akan melupakannya,” ia tersenyum. Mungkin Kevin sedikit kejam tapi akan lebih kejam jika aku berlari pada El.

“Akan sulit mendapatkan maaf dari kamu kalau aku pergi, benar kan?”

Kevin tak menjawab, ia hanya tersenyum kecil.

Kami tak tahu apa yang akan terjadi besok atau satu detik setelah ini tapi aku tak ingin setelah ini membuat keputusan salah dan membuat diriku dalam posisi harus meminta maaf.

Maaf,




TAMAT




Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...