Minggu, 28 Oktober 2012

Mario Oh Mario (CERPEN)


Wanita itu bukan mahluk yang menyebalkan, bukan mahluk yang selalu mengganggu, dan bukan mahluk yang di anggap berisik. Wanita itu adalah wanita, sudah takdirnya jika wanita seperti itu. Kalau tidak menyebalkan, itu bukan wanita. Kalau tidak berisik itu bukan wanita. Bisa-bisa dunia ini sepi tanpa adanya wanita.

Nggak tau kenapa, di sekolah ini ada salah satu cowok sinting yang menganggap wanita itu mahluk yang menyebalkan. Aku pernah mendengarnya dari beberapa teman. Kurasa dia seorang gay atau dia nggak pernah di lahirkan seorang wanita, tiba-tiba muncul saja di bumi

Tiba-tiba di kelasku masuk seorang siswi yang kurang kusukai, namanya Nanda, “hei,” sapanya pada beberapa teman. Tampangnya sok manis dan sok cantik, di tambah sok ramah padahal di kelas ini hampir 90 persen membencinya. Jelas saja, dia menyebalkan dan sombong tapi, sudahlah, lebih baik Aku men-deletenya dari kisah ini.

“Boom boom tak!” seseorang menjitak kepalaku, cukup sakit, “ada gue tuh di mata lo,” tambahnya. Dia Joshua, temanbaikku sekaligus sahabat baikku. Joshua dan Aku sudah berteman sejak kami SMP dan di lajutkan lagi sampai SMA ini. Dia dan Aku seperti nggak terpisahkan.

“Josh Josh, lo tau nggak, kemaren kan gue ketemu si cowok aneh itu, eh dia sinis gitu ke gue. Hidih,” kataku, Joshua tidak merespon, “Josh!”

“Ada yang mau gue bilangin sama lo,” kata Joshua lirih lalu dia mengeluarkan handphonenya, “mantan lo kemaren kecelakaan,”

Mantanku kecelakaan? Waw, kejutan sekali. Mungkin itu hukuman untuknya karena telah selingkuh. Memang Aku sama sekali nggak cinta sama dia tapi, tetap saja memalukan jika di selingkuhi apalagi berita itu menyebar ke seantero sekolah. Di taruh mana mukaku?

“Tapi, kasian juga sih,” kataku, “eh tapi, sudahlah, pacarnya kan sudah menunggunya di sisinya dan mudah-mudahan aja mereka langgeng selanggeng-langgengnya.”

“Yaudah santai-santai, senyum yang manis geh,” Joshua menyubit pipiku, “natal nanti masa iya lo nggak punya pacar?” Josh memandang, “apa mau pacaran sama gue?”

Ketika jam seni, kelasku di tugasi untuk menuliskan benda apa saja yang ada di ruang seni sekolah. Yang jelas, ada banyak alat musi tapi, mana kutahu nama alat musik itu apa. Kalau gitar jelas Aku tahu tapi kalau yang tradisional-tradisional, Aku nggak tau sama sekali. Aku kan bukan pecinta seni, Aku pecinta buku. Eh salah, ngawur sekali. Aku suka seni tapi, jika dalam posisi itu Aku di jadikan objek.

Satu-dua-tiga dan beberapa benda kuamati tapi, Aku benar-benar bingung nggak ngerti, nggak conect untuk membuat coretan di buku. Bukan karena Aku bodoh tapi, karena otakku sedikit konslet. Yap, rasanya begitulah.

“Kay, liat geh Mario tuh,” kata Cristin sambil menunjuk ke Mario. Yap, itu Mario, si cowok aneh yang mengatakan kalau wanita itu aneh. Menurutku malah dia yang aneh. Jangan-jangan benar kalau dia gay, “sayang ya padahal cakep-cakep tapi ya kok nggak suka sama cewek, haduh. Gue aja mau jadi pacarnya tapi, ckck,”

“Habis dia nggak deket sama cewek jenis apapun.”

Entah jin apa yang merasuki otakku, Aku melangkah berjalan mendekati Mario. Aku penasaran saja sama anak kelas tetangga yang sendirian memperhatikan barang-barang seni di sini.

“Eh Mario, ngapain disini?” tanyaku, dia cuek, “yah... kok gue di cuekin, nyedih banget sih, ckck”

Mario masih diam dan tidak bicara. Rasanya benar kalau ini manusia sangat anti dengan wanita. Lihat saja, jelas-jelas ada siswi cantik yang mencoba mengajaknya berbincang tapi dia tidak merespon. Awas saja kalau dia tiba-tiba menyukaiku lalu memohon-mohon cintaku, akan kubuat sengsara.

“Hm... lo suka seni ya, aduh, gue malah suka belanja,” kataku ngawur, dia masih cuek. Sumpah, Aku merasa tertantang untuk membuatnya berbicara, “Mario-Mario, kok lo hebat banget sih jadi kapten futsal sekolah ini.”

“Kay,” Mario bicara padaku dan dup, entahlah kok Aku jadi salah tingkah dia bicara padaku, “apa lo nggak bisa sesekali hening?” hah? Sesekali hening? Memang kapan Aku cerewet di hadapannya, rasanya nggak pernah, “udah selesai Kay tugas lo?”

“Udah kok,” kataku bohong, “oh iya, pita suara lo mahal ya kok jarang ngomong sama cewek?” tanyaku, dia tersenyum, “eh akhirnya Mario senyum padahal gue kira senyum lo lebih mahal lagi,”

Suara riuh gaduh mulai terdengar. Anak-anak kelasku mulai iseng memainkan alat musik satu per satu lalu mencoba beberapa pakaian adat satu per satu, benar-benar sinting. Lalu di sini, Aku masih berdiri bersama Mario sambil memperhatikan sebuah kain yang bernama Tapis asal daerah Lampung.

Kata orang-orang sih, kain ini melambangkan sesuatu tapi, kataku kain ini melambangkan kesabaran. Jelas saja, dari bentuk, cara pembuatan, dan pemakaianya pun pasti harus dengan kesabaran.

“Oh iya Nes, tumben lo . . . .. . . . . BERSAMBUNG

Pacar Pilihan Mama (CERPEN)




‘Aku tunggu kamu di taman’ sebuah pesan singkat tertera di handphoneku. Dengan diam-diam, Aku keluar rumah menuju taman belakang kompleks. Aku takut jika Mama tahu dan pastinya, Mama tidak akan mengizinkanku pergi. Kalau pun di izinkan, Mama pasti mengomel seribu bahasa.

Dengan langkah cepat sedikit berlari, akhirnya Aku sampai di taman dan kutemukan sesosok cowok yang sangat kukenal, Adrian namanya. Dia tidak lain adalah kekasihku, pacarku, sekaligus teman satusekolahku.

“Aku cuma mau ngasih ini ke kamu,” Adrian memberikan sebuah kotak kecil, “kamu terima ya,” Aku menerimanya lalu kubuka kotak kecil itu, isinya sebuah gelang perak yang sangat cantik, “I love you,” Adrian memelukku.

Bibirku tidak bisa berkata apa-apa kecuali tersenyum senang. Bagaimana pun, hadiahnya ini benar-benar mengejutkanku. Dia bisa memberikannya di sekolah, atau dia bisa memberikannya di tempatku kursus bahasa Jerman tapi, inilah Adrian yang kukenal.

“Kalau gitu, kita jalan-jalan gimana?” Ajakku, Adrian menggeleng lalu dia mengecup keningku, “kamu mau kemana?”tanyaku, dia hanya mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Dengan tanda tanya besar, Aku membiarkan Adrian pergi bersama motornya begitu saja.

Sebenarnya, ini agak sedikit aneh tapi, sudahlah, dia memang sering terlihat aneh jika memberiku hadiah. Kata Mama, Adrian anak yang baik hanya saja, Mama kurang menyukainya. Entah apa yang membuat Mama kurang menyukainya tapi, Mama sering berpesan kalau Aku tidak boleh terlalu mencintai Adrian.

Pemikiran Mama seperti pemikiran orang jaman dahulu. Dulu, saat Aku masih duduk di bangku SMP, Mama melarangkupacaran. Ketika Aku pertamakali pacaran, Mama mengomel habis-habisan. Dan ketika Aku pacaran denga Adrian, Mama sedikit membuka hati tapi, selalu mengatakan jangan terlalu cinta. Ini bukan jaman Siti Nurbaya. Aku berhak memilih cintaku, memilih dimana harus menyimpan hatiku.

“Dari mana kamu?” tanya Mama, Aku tidak menjawab, “sudah hampir malam, masuklah, sebentar lagi makan malam.” Kata Mama tanpa banyak bicara padahal biasanya Mama akan bertanya apakah Aku bertemu Adrian, apakah Aku jalan-jalan dengan Adrian, dan kemana Aku pergi dengan Adrian. Selalu seperti itu. Menyebalkan sekali bukan?

**

Kelas terasa agak berbeda. Suara gaduh tidak terdengar lagi, suara teriakan berebut PR pun tidak terdengar sama sekali, ada apa ini?

“Hari ini semua guru libur tah kok kelas ini hening banget?” tanyaku pada teman sebangkuku, dia menggeleng, “kalo gitu kenapa?”

“Finsa,” dia menarik nafas sejenak, “Adrian hari ini nggak sms lo kan?”


“Duduk Fin,”

Aku duduk di bangkuku, kulihat seisi kelas melirik padaku. Hm... Apakah ada yang salah denganku? Atau memangpenampilanku hari ini aneh?

Seorang guru masuk lalu memberikan sebuah pengumuman kalau hari ini jam belajar mengajar di kosongkan. Aku cukup senang, berarti Aku bisa jalan-jalan ke mol bersama Adrian tapi, kenapa seisi kelasku hening dan tampak galau?

Pak Dodi yang belum sempat menyelesaikan pengumumannya mulai berbicara lagi dan tiba-tiba, telingaku terasa salah mendengar. Apa maksudnya dalam rangka berbela sungkawa? Mendoakan Adrian?

“Kemarin pukul 5 sore pemakaman Adrian,” seseorang menjelaskan padaku sambil menepuk pundakku, dia juga salah satu teman baik Adrian yang satu tim basket, “semuanya ngerahasiain dari lo karena, Adrian nggak mau lo ngeliat saat pemakamannya.”


Rio mengantarkanku ke makan Adrian. Tanahnya masih terlihat basah, dia pasti kedinginan di bawah sana. Rio mengatakan, sebelum Adrian pergi, dia meminta kepada keluarganya agar membuatku tidak mengetahui detik-detik kepergiannya.

“Dia gila atau gue yang gila?!” air mataku menetes, “dia atau gue yang sinting?!” air mataku tambah deras, “gue sayang sama dia tapi....” Aku terus mengeluarkan semua isi hatiku. Rasanya Aku tidak percaya kalau dia benar-benar sudah pergi ke surga.

“Dia sayang sama lo Fin. Karena dia sayang sama lo, dia nggak mau lo lebih sedih saat tahu penyakit dia sampai pemakaman dia,”

“Kemaren, jam 5 sore, dia ngasih gelang ke gue. Dia bilang, semuanya akan baik-baik aja.” Dadaku terasa sesak, kemarin Aku merasa Adrian aneh dan aneh tapi hari ini, semua keanehan itu terjawab sudah, “kalau dia bilang baik-baik aja, gue berusaha untuk baik-baik aja,”


Aku sudah mulai tenang dengan kepergian Adrian. Bagiku, dia adalah cinta terindah yang kukenal dan kutemui. Bagiku, Adrian adalah malaikat yang di hadiahkan Tuhan padaku.

Namun, kepergian Adrian membuatku sulit menerima cinta baru. Bulan lalu, Aku baru saja putus dengan Pisco, anak SMA tetangga yang sedikit pembuat onar di sekolah. Sebelumnya, Aku juga sempat pacaran dengan kakak kelasku, anak kelas XII IPA 1 tapi, dia sadar kalau kami memang tidak cocok apalagi di hatiku masih tertutup.
 
BERSAMBUNG

Pacar Pilihan Mama (CERPEN)



Pacar Pilihan Mama

‘Aku tunggu kamu di taman’ sebuah pesan singkat tertera di handphoneku. Dengan diam-diam, Aku keluar rumah menuju taman belakang kompleks. Aku takut jika Mama tahu dan pastinya, Mama tidak akan mengizinkanku pergi. Kalau pun di izinkan, Mama pasti mengomel seribu bahasa.

Dengan langkah cepat sedikit berlari, akhirnya Aku sampai di taman dan kutemukan sesosok cowok yang sangat kukenal, Adrian namanya. Dia tidak lain adalah kekasihku, pacarku, sekaligus teman satu sekolahku.

“Aku cuma mau ngasih ini ke kamu,” Adrian memberikan sebuah kotak kecil, “kamu terima ya,” Aku menerimanya lalu kubuka kotak kecil itu, isinya sebuah gelang perak yang sangat cantik, “I love you,” Adrian memelukku.

Bibirku tidak bisa berkata apa-apa kecuali tersenyum senang. Bagaimana pun, hadiahnya ini benar-benar mengejutkanku. Dia bisa memberikannya di sekolah, atau dia bisa memberikannya di tempatku kursus bahasa Jerman tapi, inilah Adrian yang kukenal.

“Kalau gitu, kita jalan-jalan gimana?” Ajakku, Adrian menggeleng lalu dia mengecup keningku, “kamu mau kemana?” tanyaku, dia hanya mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Dengan tanda tanya besar, Aku membiarkan Adrian pergi bersama motornya begitu saja.

Sebenarnya, ini agak sedikit aneh tapi, sudahlah, dia memang sering terlihat aneh jika memberiku hadiah. Kata Mama, Adrian anak yang baik hanya saja, Mama kurang menyukainya. Entah apa yang membuat Mama kurang menyukainya tapi, Mama sering berpesan kalau Aku tidak boleh terlalu mencintai Adrian.

Pemikiran Mama seperti pemikiran orang jaman dahulu. Dulu, saat Aku masih duduk di bangku SMP, Mama melarangku pacaran. Ketika Aku pertamakali pacaran, Mama mengomel habis-habisan. Dan ketika Aku pacaran denga Adrian, Mama sedikit membuka hati tapi, selalu mengatakan jangan terlalu cinta. Ini bukan jaman Siti Nurbaya. Aku berhak memilih cintaku, memilih dimana harus menyimpan hatiku.

“Dari mana kamu?” tanya Mama, Aku tidak menjawab, “sudah hampir malam, masuklah, sebentar lagi makan malam.” Kata Mama tanpa banyak bicara padahal biasanya Mama akan bertanya apakah Aku bertemu Adrian, apakah Aku jalan-jalan dengan Adrian, dan kemana Aku pergi dengan Adrian. Selalu seperti itu. Menyebalkan sekali bukan?

**

Kelas terasa agak berbeda. Suara gaduh tidak terdengar lagi, suara teriakan berebut PR pun tidak terdengar sama sekali, ada apa ini?

“Hari ini semua guru libur tah kok kelas ini hening banget?” tanyaku pada teman sebangkuku, dia menggeleng, “kalo gitu kenapa?”

“Finsa,” dia menarik nafas sejenak, “Adrian hari ini nggak sms lo kan?”

“Ya nggak lah, kan gue kemaren udah janjian kalo hari ini nggak berangkat bareng,” jelasku, “kenapa memangnya? Naksir cowok gue yaa?” godaku, Adrian memang cukup terkenal di sekolah. Selain wajahnya yang tampan, dia juga kapten basket sekolah ini.

“Duduk Fin,”

Aku duduk di bangkuku, kulihat seisi kelas melirik padaku. Hm... Apakah ada yang salah denganku? Atau memang penampilanku hari ini aneh?

Seorang guru masuk lalu memberikan sebuah pengumuman kalau hari ini jam belajar mengajar di kosongkan. Aku cukup senang, berarti Aku bisa jalan-jalan ke mol bersama Adrian tapi, kenapa seisi kelasku hening dan tampak galau?

Pak Dodi yang belum sempat menyelesaikan pengumumannya mulai berbicara lagi dan tiba-tiba, telingaku terasa salah mendengar. Apa maksudnya dalam rangka berbela sungkawa? Mendoakan Adrian?

“Kemarin pukul 5 sore pemakaman Adrian,” seseorang menjelaskan padaku sambil menepuk pundakku, dia juga salah satu teman baik Adrian yang satu tim basket, “semuanya ngerahasiain dari lo karena, Adrian nggak mau lo ngeliat saat pemakamannya.”

Kakiku lemas, benar-benar lemas. Rasanya Aku tidak memiliki tenaga untuk berdiri. Kata Rio, Adrian sudah mengidap kanker cukup lama dan dia sudah sangat luar biasa untuk bertahan. Katanya, mundurnya Adrian dari kapten basket 4 bulan lalu bukan karena ingin fokus belajar tapi karena penyakitnya. Kata Rio juga, Mamaku melarangku pacaran dengan Adrian karena Mama takut kalau Aku akan sedih bukan karena tidak menyukai Adrian.

Rio mengantarkanku ke makan Adrian. Tanahnya masih terlihat basah, dia pasti kedinginan di bawah sana. Rio mengatakan, sebelum Adrian pergi, dia meminta kepada keluarganya agar membuatku tidak mengetahui detik-detik kepergiannya.

“Dia gila atau gue yang gila?!” air mataku menetes, “dia atau gue yang sinting?!” air mataku tambah deras, “gue sayang sama dia tapi....” Aku terus mengeluarkan semua isi hatiku. Rasanya Aku tidak percaya kalau dia benar-benar sudah pergi ke surga.

“Dia sayang sama lo Fin. Karena dia sayang sama lo, dia nggak mau lo lebih sedih saat tahu penyakit dia sampai pemakaman dia,”

“Kemaren, jam 5 sore, dia ngasih gelang ke gue. Dia bilang, semuanya akan baik-baik aja.” Dadaku terasa sesak, kemarin Aku merasa Adrian aneh dan aneh tapi hari ini, semua keanehan itu terjawab sudah, “kalau dia bilang baik-baik aja, gue berusaha untuk baik-baik aja,”

5 bulan kemudian

Aku sudah mulai tenang dengan kepergian Adrian. Bagiku, dia adalah cinta terindah yang kukenal dan kutemui. Bagiku, Adrian adalah malaikat yang di hadiahkan Tuhan padaku.

Namun, kepergian Adrian membuatku sulit menerima cinta baru. Bulan lalu, Aku baru saja putus dengan Pisco, anak SMA tetangga yang sedikit pembuat onar di sekolah. Sebelumnya, Aku juga sempat pacaran dengan kakak kelasku, anak kelas XII IPA 1 tapi, dia sadar kalau kami memang tidak cocok apalagi di hatiku masih tertutup.
 
BERSAMBUNG

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...