Arthur
Oleh Aula Nurul M (Cerpen yang ditulis sekitar dibawah tahun 2014-an)
“Hei, kapan
giliranmu?” tanya Arthur si pohon yang berusia 18 tahun, “kurasa sebentar lagi
giliranmu lalu giliranku.”
“Mereka sudah
menebang pohon yang di sebelah barat, kurasa sebentar lagi memang giliran
kita,” jawab si pohon satunya yang masih sangat kecil, “kau enak sudah bisa
hidup 18 tahun, Aku baru 5 tahun dan nyawaku harus begitu saja melayang!” dia
tampak kesal.
Sudah 3 bulan
belakangan ini, hutan di datangi tamu tak di undang yang membuat penghuninya
kalang kabut tapi tidak bisa lari. Mereka datang tanpa sebuah undangan seperti
jalangkung.
“Hei, Arthur!”
sebuah pohon tua berusia sekitar 87 tahun memanggil dengan suara serak, “apakah
mereka akan kemari esok?”
“Aku tidak tahu, kau
tanya saja pada mereka yang tidak berperasaan itu,” Arthur menghela nafas, “Hei
kau,” Arthur memanggil pohon kecil yang berada di bawahnya, “mengapa kau tidur
di siang hari seperti ini?”
“Aku ingin menunggu
ajalku saja, bukankah kita akan sama-sama di bantai dan di jual?” pohon kecil
itu terlihat sedih, “Aku harus berpisah dengan kalian, Aku tidak terlalu sedih
tapi, Aku sedih karena para manusia yang tidak bersalah juga akan terkena
imbasnya.”
“Tidak bersalah
bagaimana?” si pohon tua bicara dengan suara paraunya, “mereka juga tidak bisa
menghentikan, biarkan saja mereka merasakan amarah alam. Apa peduli kita jika
mereka tidak peduli sama sekali?”
Satu per satu pohon
di hutan sebelah barat mulai hilang tanpa jejak. Para penghuni hutan kehilanga
habitat mereka dan persediaan makananpun menjadi kacau bahkan para semut pun
menjadi korbannya.
Tidak ada berita
baik atau buruk, yang ada hanya berita duka setiap jam nya. Arthur, si pohon
yang biasanya ceria pun menjadi ketakutan dan serba salah. Dia tidak tahu harus
berbuat apa yang dia tahu, hidupnya akan terancam juga.
**
Hari mulai menjadi
gelap, matahari sudah melambai-lambai dan di bawah rembulan, Arthur berdoa pada
Tuhan agar besok tidak akan menjadi lebih buruk dari hari ini.
“Tuhan, jika memang
mereka senang dengan kepergian kami maka, kami pun akan senang setelah
kepergian mereka,” doa Arthur.
“Bicara apa Kau ini
nak,” kata si pohon tua yang mendengar doa Arthur, “apa maksudmu mereka pergi?”
“Jika kita di
bantai, mereka sama saja membantai diri mereka sendiri. Bukankah bencana alam
dapat dihindari karena kita? Kalau tidak ada kita, siapa yang bisa membantu
mencegahnya?”
“Benar Kau nak, para
manusia tidak berperasaan itu bodoh sekali.”
Perlahan mata Arthur
mulai mengantuk dan dia tertidur lelap. Dalam mimpinya, Arthur bertemu malaikat
cantik yang mengajaknya berjalan-jalan di langit. Langit sangat indah, lebih
tenang, lebih damai, dan terasa begitu menyenangkan, berbeda dengan keadaan
hutan belakangan ini.
“Nantinya kau akan
tinggal disini, harusnya kau senang,” malaikat itu tersenyum pada Arthur, “benarkan
ucapanku?”
“Tapi, kurasa para
manusia masih membutuhkanku walaupun.....” dia terhenti sejenak, “yah, tempat
ini menyenangkan tapi, Aku merasa mereka masih membutuhkanku...”
“Kau
bersungguh-sungguh?”
“Entahlah tapi,
mereka juga tidak menginginkanku kokoh di atas tanah itu.”
**
Mentari pagi
menyinari, Arthur terbangun dan dia sudah melihat pemandangan tak menyenangkan.
Dari jarak 100m terlihat penebangan liar terjadi lagi, para burung beterbangan
takut, para gajah pun berlarian, dan para binatang-binatang lainnya shock mendalam.
“Mereka bisa lari
tapi kita tidak,” kata pepohonan kecil, “Arthur, kami takut,” pohon-pohon itu
melihat Arthur dengan wajah memelas, “lakukanlah sesuatu!”
“Untuk apa kalian
sedih? Kita dapat ke surga dan disana, tidak ada yang mengganggu kita!” si
pohon tua sudah bosan dengan keadaan hutan yang makin memburuk.
“Aku punya ide!”
Arthur bersemangat.
**
Di televisi puluhan
stasiun televisi menayangkan berita heboh, ratusan binatang buas menyerang
kota, burung-burung hutan beterbangan ke kota, dan hewan-hawan lainnya merusak
kota. Semua itu menjadi berita paling heboh dan meresahkan warga.
Kejadian yang aneh
tersebut menyebabkan tanda tanya besar dan akhirnya, terkuaklah penebangan
hutan secara liar. Polisi menangkap semua penebang liar dan sebagian hutan
terselamatkan.
“Arthur, idemu
sangat bagus.”
“Tentu tapi, kasihan
teman-teman kita yang sudah ke surga,” Arthur terlihat sedih, “Aku tidak bisa
berbuat apa-apa selain ini untuk mereka,”
“Sudahlah Arthur,
sekarang, tugas kita menjaga hutan ini untuk para manusia yang masih peduli
pada kita, oke?” mereka tersenyum pada Arthur, Arthur menghela nafas sejenak
dan dia berteriak senang, “nah gitu dong!”
“Tanpa kita, banyak
bencana yang akan timbul. Setidaknya, kita pahlawan di alam.” Wajah ceria
Arthur kembali lagi.
TAMAT