Kedua bola mata Feroya mengeluarkan cahaya
putih, bersinar, sangat terang, dan tajam. Tampak seperti bintang ditengah
malam. Ia tak melepaskan tatapannya pada seekor tupai yang masuk kekamarnya serta
memecahkan kotak kaca berisi cincin kesayangannya.
“Harus ada bayaran yang setimpal,” ia
mendekati tupai tersebut. Tampak tupai itu mematung kemudian bergetar hebat. Ia
ketakutan. Ia tahu kalau Feroya bukan manusia, “aku akan melakukan sesuatu.”
Ayah yang tahu kalau emosi Feroya sedang
tak terkendali segera berlari menuju kamarnya. Ia memberi tanda pada tupai
tersebut untuk pergi sedang Feroya masih mengeluarkan cahaya putihnya. Cahaya
itu tak juga kunjung padam bahkan ketika Ayah menenangkannya. ‘putri kecilku akan menjadi sangat kejam
jika ia salah langkah’
Kemudian Mama yang mendengar ada keributan
ikut menenangkan Feroya. Tampak tanda-tanda penuaan darinya. Usianya hampir
memasuki kepala empat. Sedangkan suaminya masih tampak muda begitupun dengan
putri kecilnya yang akan tetap muda. Tentu saja, mereka berbeda.
“Sayang, tenangkan dirimu. Lihat Mama,” ia
memegang pipi Feroya, Feroya mulai melunak. Perlahan, cahaya itu padam. Tatapan
mata Feroya berubah normal, “Mama akan membuatkan sesuatu agar kamu lebih
tenang.”
Ayah duduk disamping Feroya. Ia
mengingatkan putrinya agar terus belajar mengontrol emosinya karena jika hal
buruk terjadi, hati Feroya akan terluka.
“Kenapa aku berbeda? Orang-orang
mengatakan kalau aku itu sempurna. Sangat sempurna. Tapi, aku sadar kalau
sejujurnya, aku berbeda dengan mereka. Sampai kapan aku harus menyembunyikan
ini dari orang lain? Terutama, menyembunyikan dari teman-temanku.” Ucapnya
tenang, tanpa amarah ataupun kesedihan.
Mendengar putrinya bicara seperti itu,
Ayah mengerti kalau hidup Feroya lebih berat dibandingkan dirinya yang bertahan
di dunia manusia. Itu karena saat Feroya marah, ia bisa membahayakan dunia
manusia juga membahayakan dunia BE.
“Ayah, orang-orang di BE sama sepertiku dan ayah bukan? Aku ingin tinggal disana. Mungkin
disana, aku bisa jujur dengan identitasku sebenarnya,” ia mengutarakan
keinginannya saat ini tapi Ayah menolak karena tetap saja Feroya berbeda dengan
penduduk di BE. Bukan karena Feroya
lahir dari campuran manusia dan mahluk BE
tapi karena memang Feroya ditakdirkan berbeda oleh alam, “baik, karena dari
semua, hanya aku yang memiliki cahaya putih bukan biru seperti ayah.”
Kaki Feroya melangkah mendekati pintu. Ia
meminta ayahnya keluar agar dapat menenangkan pikiran. Ayah pun keluar kemudian
teringat kejadian beberapa tahun lalu ketika seorang wanita paruh baya
mengendarai sebuah mobil dan bertabrakan dengan motor kesayangan Feroya. Gadis
itu marah. Ia menatap tajam wanita itu kemudian berkedip, seketika wanita itu
kehilangan nyawanya. Dan setelahnya, Feroya menyesal. Ia benar-benar kesulitan
mengontrol emosinya ketika sesuatu yang ia sayangi dirusak.
**
“Feroya! Feroya!” seseorang berlari
mengejar Feroya, “aku hanya ingin mengembalikkan ini. Sampai bertemu dikelas.
Kuharap, kita masih berteman,” cowok itu tak lain mantan pacar Feroya sekaligus
teman sekelas Feroya. Mereka baik-baik saja bahkan putus dengan baik-baik.
Dalam hati kecil Feroya, ia hanya takut ketika ia menjalin hubungan lebih jauh
yang mengakibatkan identitasnya terungkap. Ia takut kehilangan dan ia sangat
membenci kehilangan.
Didalam kelas, Feroya memilih lebih banyak
diam. Sesekali ia memperhatikan mantan pacarnya kemudian berusaha meyakinkan
dirinya kalau semua ini baik-baik saja toh ia belum sempat jatuh cinta. ‘aku gak tau apakah nantinya aku akan hidup
dengan seorang manusia seperti ayah atau hidup dengan mahluk BE. Mengapa aku
berbeda bahkan diantara mahluk sejenisku?’
“Feroya, ada apa?” tanya temannya,
“biasanya seorang Feroya sangat ceria tapi hari ini terasa aneh.”
Tak ada jawaban yang diberikan Feroya. Ia
memilih bisu.
**
Ayah kedatangan seorang tamu yang tampak
jelas kalau matanya sesekali bercahaya biru. Tentu, ia mahluk BE. Kedatangannya membuat istrinya kesal
dan memilih untuk tak menyapa tamu tersebut. Sedangkan Ayah sudah tahu kalau
akan ada saatnya hal seperti ini terjadi.
“Putrimu harus kembali setidaknya ia
pernah menginjakkan kaki di tanah BE.”
Pria itu memberikan beberapa lembaran kertas berisi surat kepemilikan sebuah
rumah kecil di daerah pinggiran BE,
“anak-anak yang terlahir dari percampuran manusia dan mahluk seperti kita
setidaknya harus pernah menginjakkan kaki di BE. Seperti putriku juga dan kini putriku memilih tinggal disana.”
Pikiran ayah bimbang. Siapapun tak ada
yang tahu kalau putrinya berbeda dengan mahluk BE lainnya dan ayah selalu ingin menyembunyikan itu. Ia tahu jika
nyawa Feroya dalam bahaya dan akan menimbulkan pertentangan di BE.
“Pikirkanlah. Jika menolak, prajurit
kerajaan akan menghukum dirimu dan putrimu.” Pria tersebut ingin pamit pergi
tapi tiba-tiba Feroya menampakkan wajahnya. Ia tersenyum menyapa pria tersebut.
Pria tersebut tersenyum dan mengatakan kalau Feroya mirip dengan putrinya yang
jarang menampakkan sinar biru matanya, “percampuran manusia dan mahluk BE memang mengesankan. Datanglah ke BE, banyak anak-anak sepertimu dan kamu
tidak akan dikucilkan.”
“Bailah. Aku akan datang sendiri.”
Mendengar keputusan Feroya, Ayah tak bisa
menghentikannya. Ia tersenyum pada putrinya kemudian setelah pria itu pergi,
ayah memberikan beberapa penjelasan serta penekanan agar Feroya harus
menyembunyikan sinar putihnya apapun yang terjadi.
“Artinya aku gak boleh marah, gak boleh
sedih, gak boleh dendam, gak boleh dengan sengaja mengeluarkannya, dan
sebagainya. Aku ingat itu karena sudah 16 tahun aku menyembunyikan itu.” Feroya
memeluk ayahnya, “aku gak tau semenyeramkan apa BE itu karena mereka akan membunuhku dan ayah kalau aku gak tinggal
disana walau hanya sesaat. Bagaimanapun juga, aku harus menginjakkan kaki
disana lalu aku kembali ke rumah, dan kita akan tetap hidup.”
Senyum ayah mengembang kemudian ayah
meminta agar Feroya memperbaiki cara bicaranya tersebut tapi Feroya menolak,
“Ayah, menurut buku peraturan BE,
anak yang lahir dari darah campuran hanya akan menjadi orang pinggiran di BE. Bukankah itu sangat baik jadi aku
gak perlu banyak berinteraksi dengan orang bahkan bicara sopan.” Mendengarnya,
ayah tetap mengingatkan agar Feroya bicara dengan hormat terhadap para penduduk
BE, “ya, baiklah. Aku mencintaimu,
Ayah.”
Tak menunggu waktu lama, Feroya mengemasi
beberapa barang yang diperlukan kecuali pakaian karena pakaian disana akan
berbeda. Berbeda dengan Ayah, Mama justru mengatakan pada Feroya jika dalam
keadaan bahaya maka Feroya boleh mengeluarkan cahaya putihnya dan melakukan
apapun untuk menyelamatkan dirinya.
“Mama tahu, kamu dapat menghancurkan BE saat emosi kamu berada di titik
tertinggi. Walaupun Mama khawatir tapi Mama senang karena kamu bisa melindungi
dirimu. Dan, berhati-hatilah dengan orang-orang disana, Mama takut jika ada
yang berpura-pura baik kemudian menghancurkanmu.” Ucap Mama begitu khawatir
karena ia tahu ketika identitas Feroya diketahui maka akan ada orang-orang yang
berniat jahat.
“Aku mencintai Mama. Tenang saja, aku akan
baik.”
Ketika Ayah mengatakan akan mengantar
Feroya ke BE, ia menolaknya. Ia tahu
caranya kesana seorang diri. Dengan terpaksa, Ayah membiarkan Feroya pergi
bersama serbuk putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar