BAB 1
Kau tahu ketika orang-orang iri padamu karena kau mendapatkan apa yang
tidak mereka miliki? Jika kau mengetahuinya, apa yang akan kau lakukan?
Kebanyakan orang akan senang, akan bangga tapi, sebagian orang justru
sedih. Apa yang kau miliki, belum tentu mereka miliki tapi, apakah kau sadar
kalau kau tidak memiliki apa yang mereka miliki?
“Dania,” Mom tiba-tiba sudah ada di kamarku, “sudah larut malam, kamu
belum istirahat sejak pulang sekolah tadi,”
Aku hanya mengangkat bahuku lalu membiarkan Mom duduk di ranjangku sambil
mengusap kepalaku lembut. Kata Mom, Aku harus beristirahat atau Aku bisa sakit
tapi, kurasa Aku tidak akan
sakit.
Mom tersenyum padaku seolah ada makna lain di balik senyumnya, “baiklah,”
Mom berdiri lalu mematikan lampu kamarku, “Mama tidak ingin melihatmu sakit,” lanjut Mom berusaha membuatku
memanggilnya Mama.
“Baiklah,” kataku lirih, “Mom, bisakah lampunya dihidupkan?” lalu Mom
menghidupkan lampuku. Aku tidak terbiasa memanggilnya Mama, Aku lebih suka Mom
saja.
Di atas langit-langit kamarku ada bintang-bintang bergaya anak yang baru
masuk taman kanak-kanak, Aku belum sempat membersihkannya ketika bermain-main dengan
adik sepupuku kemarin.
**
“Pagi sayang,” Firas mencium keningku, “maafkan Aku mengenai semalam, Aku
benar-benar sibuk, Aku tidak ada sedikitpun waktu untuk beristirahat,”
“Aku baik-baik saja. Aku tahu kalau kamu tidak menefon, kamu pasti
sibuk,” jelasku, dia tersenyum, “tapi, bukankah pagi ini kamu juga sibuk?”
“Tidak, Aku tidak sibuk untuk pagi ini. Kita bisa ke sekolah bersama dan
Aku akan belajar seperti biasanya, hari ini tidak ada jadwal latihan,”
Firas membukakan pintu mobilnya dengan senyum mengembang tapi, Aku tahu
dia kelelahan. Menjelang turnamen basket, dia benar-benar terlalu memaksakan
diri berlatih padahal turnamen itu masih 3 minggu lagi.
Tangan Firas memegang lembut tanganku sambil matanya fokus ke depan,
menyetir. Aku tidak mengerti dengan pemikiran Firas untuk turnamen nanti yang
jelas, dia terlalu memaksakan diri.
Firas memang kaptennya tapi, bukan berarti dia yang harus mati-matian
berlatih sedangkan yang lain berlatih dengan waktu yang biasa saja. Itu dapat
membuat kesehatannya memburuk bahkan pelajarannya terganggu.
“Aku tahu kamu sedang berpikir panjang melebihi rel, Aku tahu itu,”
“Tidakkah kamu mengerti,” Aku menghela nafas sejenak, “Aku
mengkhawatirkanmu. Turnamen ini bukan segalanya, bukan sesuatu yang harus kamu
kejar begitu rumit,”
Tiba-tiba Firas menghentikan mobil mendadak dan memandangku, “Aku senang
kamu mengkhawatirkanku. Kuharap, akan seperti ini, selamanya,” lalu dia
menyetir kembali.
Firas seorang siswa yang teladan, nilai-nilainya stabil, dia aktif dalam
keorganisasian tapi, belakangan ini dia terlalu fokus pada turnamen. Aku tidak
mengerti apa yang di kejarnya dalam turnamen tersebut yang jelas, bukan hanya
sebuah kemenangan karena sekolah kami memang terbiasa menang.
“Bagaimana kabarmu dan Ibumu?” tanyanya, Aku mengerti maksud pertanyaannya, “Aku tahu,
kamu sulit beradaptasi dengan Ibu barumu,”
“Mom cukup baik dan Aku mengikuti saranmu,” jelasku. Aku dan Mom
sebelumnya tidak pernah saling bicara atau lebih tepatnya Aku tidak ingin
bicara dengan Mom. Namun, sudah 2 bulan ini hubunganku dan Mom mengalami
peningkatan karena Aku sudah berusaha menerimanya sebagai istri Papa.
‘Kamu masih memanggilnya Mom? Kukira kamu memanggilnya Mama atau Ibu,
mungkin,”
“Mama hanya panggilan untuk Ibu kandungku,”
Satpam sekolah menyapa kami ketika Firas membuka kaca mobilnya. Firas
memang disukai semua penghuni sekolah ini, selain dia teladan, dia juga ramah,
dan dia mendapat predikat siswa ter-tampan di sekolah ini.
“Dingin sekali udara di sekolah ini,” kata Firas ketika kami berjalan di
koridor menuju kelas, “kurasa sebentar lagi para penggosip akan memenuhi
madding sekolah kita,”
“Mereka memang terbiasa melakukan itu. Harusnya kamu senang karena mereka
banyak menulis tentangmu, bukankah begitu?”
Firas mengajakku melihat madding sekolah dan disana, ada beberapa puisi
ungkapan cinta untuknya. Aku tersenyum, membaca satu demi satu puisi-puisi
indah yang terpajang dengan jelas.
Sebegitu tampannyakah pacarku sampai setiap hari harus ada
tulisan-tulisan seperti ini? Ini cukup keren, sangat keren karena mereka pintar
bisa membuat puisi seindah ini.
“Ayo,” Firas mengusap kepalaku lembut lalu mencium keningku, “mereka
bodoh sekali menulis ini untukku, jelas-jelas disampingku ada kamu,”
“Mereka pintar, mereka juga keren,” Aku tertawa, “Aku saja tidak pernah
menulis puisi untukmu,” lalu kami berjalan kembali menuju kelas.
Di kelas, para siswi langsung memandangi kedatangan Firas, bukan Aku.
Sedangkan Aku, seperti biasa harus melihat para siswa yang dengan nakal
melirik-lirikku padahal Firas sedang menggandeng tanganku.
“Kamu tahu satu hal kesamaan kita, kita sama-sama memiliki banyak
penggemar di sekolah ini,” bisik Firas, “hanya saja, para cowok itu tidak ada
yang berani menyatakan cinta padamu di madding sekolah,”
“Aku tidak suka di lihat seperti itu. Aku lebih suka mereka
memperlakukanku sama seperti siswi lain tapi, hal itu tidak pernah kudapatkan,”
“Sudahlah, ayo duduk sebentar lagi bel,”
**
Langit-langit kamarku tinggi sekali sampai-sampai Aku harus menyingkirkan
bintang-bintang kertas yang menempel dengan meminta bantuan Caroline,
tetanggaku. Untung saja dia bersedia membantuku atau lebih tepatnya pasti,
pasti bersedia membantu.
“Kelasmu sudah melakukan tugas praktikum dari Bu Lusiana?” tanya Caroline
sambil mencoba menarik bintang-bintang yang menempel erat, “kurasa nilaimu
bagus untuk praktikum itu,”
“Tentu saja, tapi akan berbalik kalau Aku melakukannya sendiri. Yah,
seperti biasa, Firas melakukannya dengan baik,”
“Itulah gunanya tim atau lebih tepatnya pacar,”
Kami sudah bertetangga sejak tahun lalu dan Aku baru tau ketika Aku
pindah kalau ternyata dia satu sekolah denganku. Dia siswi yang tidak terlalu
popular di sekolah jadi, Aku tidak tahu tentangnya. Atau mungkin, Aku kurang
berinteraksi dengan siswi kelas lain?
“Ibumu pergi?”
“Ya, Mom sedang membeli bahan makanan untuk minggu ini,” beritahuku,
“jadi, kali ini tidak ada yang akan membawakan minuman untuk kita,”
“Sayang sakali padahal, Aku menyukai jus buatan Ibumu,”
“Benarkah? Aku lebih menyukai jus buatanku sendiri, rasanya lebih enak,”
“Kudengar dari Ibuku, hubunganmu dan Ibumu mulai berubah membaik,”
“Apa urusanmu menanyakan mengenai ini? Aku tidak suka membahas Mom karena
yaa, Aku belum begitu mengenalnya. Kau tahu bukan, Ibu tiri tentu berbeda, bagaimana
pun berbeda,”
Aku dan Caroline memang bertetangga tapi, kami tidak terlalu dekat. Mom
yang dekat dengannya, bukan Aku. Mungkin karena Mom dan Caroline sama-sama
orang asli sini sedangkan Aku berdarah campuran yang tentunya pemikiran kami
berbeda.
Mom minggu lalu bertanya padaku mengapa Aku tidak pernah belajar bersama
Caroline, tidak pernah ke sekolah bersama Caroline, dan pertanyaan-pertanyaan
lainnya yang pastinya kujawab, ‘sudah ada Firas, untuk apa?’
Mom benar, kami bertetangga, rumah kami bersebelahan, kami satu sekolah
tapi, bukan artinya Aku akan akrab dengan Caroline. Hubungan kami hanya sebatas
teman satu sekolah dan tetangga, tidak lebih kecuali mengenai ketidaksukaanku
padanya.
Kring…kring…kring
Telefon di kamarku berdering.
“Aku akan mengangkatnya untukmu,” ucap Caroline, Aku mengangguk karena
masih sibuk membereskan bintang-bintang keras yang sudah selesai di ambil dari
langit-langit kamarku, “ini Ibumu, maksudku Ibu kandungmu,” beritahunya dan
langsung kuambil telefon itu dari tangannya.
“Mama,” Aku bergitu senang Mama menelefonku, belakangan ini Mama sangat
sibuk jadi dia jarang menghubungiku, “apakah Mama sehat-sehat saja?”
“Oh tentu sayang, bagaimana denganmu?” tanya Mama, kujawab iya, “apakah
istri Papamu juga baik?” tanya Mama lagi, Mama begitu lancer berbicara bahasa
Indonesia walaupun nadanya agak aneh.
“Ya, Mom baik tapi tidak sebaik Mama,” lalu kami bicara panjang lebar
sekitar 1 jam lamanya, “Mama baik-baik saja bukan? Mama sudah bicara denganku
hampir 1 jam.”
“Ya, tentu Mama baik-baik saja. Mama rasa anak Mama yang sibuk,” lalu
Mama menutup telefonnya tanpa mengucapkan sampai bicara esok hari. Mama lucu
sekali, walaupun dia sangat sibuk tapi masih menyempatkan waktunya untuk bicara
denganku.
Semuanya sudah beres ketika Aku sadar Caroline sudah membereskannya
padahal, Aku belum sempat berterimakasih padanya.
Kamarku ini cukup luas tapi sempit jika di bandingkan kamar yang
kutempati saat mengunjungi Mama di Paris. Hanya ada 1 tempat tidur, satu meja
rias, satu meja belajar, satu almari kecil, dan satu kamar mandi yang sempit.
Tapi, Aku sudah memilih dan Aku tidak akan berkata seperti ini di hadapan Papa,
ini akan melukainya.
Di atas meja tertinggal sebuah memo dari Caroline. Dia mengatakan kalau
ada baiknya warna kamarku di ganti. Baiklah, Aku akan menggantinya nanti karena
memang Aku tidak menyukai warna kamarku.
Caroline gadis yang baik dan ramah hanya saja, Aku kurang menyukainya.
Aku tahu dia tidak ada salah padaku tapi, tetap saja Aku kurang menyukainya
karena dia sainganku.
“Dania, Caroline sudah pulang?”
“Seperti yang Mom lihat,”
“Baiklah, apa kamu ingin makan?”
“Tidak, Aku sudah kenyang. Mama menelefonku tadi, akan ada sebuah paket
untukku,”
Mom hanya tersenyum. Aku tahu Mom masih agak canggung untuk bicara denganku
karena, Aku bicara dengannya seolah-olah dia hanya orang tambahan di
keluargaku, bukan seorang Ibu.
Kalau dulu Aku boleh bicara, Aku akan melarang perpisahan Mama dan Papa.
Tapi, saat itu Aku masih kecil dan Aku hanya bisa menangis karena Mama kembali
ke Paris .
Setelah Mama dan Papa berpisah, Papa tetap pada pekerjaannya sebagai
pegawai kantor biasa sedangkan Mama menjadi perancang pakaian terkenal di
Paris. Papa menikah lagi lagi dengan wanita yang lebih muda dari Mama dan
tentunya WNA sedangkan Mama, Mama tidak menikah lagi sampai sekarang.
Aku kasihan pada Mama karena Mama hidup sendirian, tanpaku. Aku bisa saja
ke Paris ,
tinggal bersama Mama tapi, entahlah Aku masih betah di sini. Hanya saat ada
libur saja Aku akan menemui Mama, terbang ke Paris dan menghabiskan waktu bersama Mama.
Liburan kemarin, Aku ke Paris
menemui Mama bersama Firas. Mama senang Aku membawa Firas walaupun saat itu Aku
dan Firas hanya sebatas teman, belum pacaran.
Kalau tidak ada Firas, mungkin Aku tidak bisa ke Paris . Saat itu keuangan Papa tidak mendukung
sama sekali untukku ke Paris .
Aku tidak ingin menggunakan uang tabunganku dari Mama karena Papa akan merasa
bersalah tidak bisa membiayainya jadi, Aku hampir menangis tidak bisa pergi.
Aku diam, menyembunyikan dari Papa kalau Aku sedih. Kukatakan pada Papa
kalau ya, tidak harus ke Paris
setiap liburan. Papa bisa membiayai ongkos pesawat tapi, Papa akan sedih kalau
dia tidak membawakanku uang saku walaupun kalau sudah di Paris, Mama pasti akan
menyelesaikan segalanya. Tapi, Aku tahu perbedaan Papa dan Mama, Aku harus
mengerti.
‘Kamu akan ke Paris tanpa uang dari
Ibu kandungmu,’
‘Itu tidak mungkin. Tabunganku,
semuanya uang Mama. Kalau meminta pada Papa, Papa akan terbebani’
‘Itu mudah. Anggap saja kamu
menemaniku berlibur. Kamu tahu banyak tentang Paris sedangkan Aku, Aku tidak
banyak mengetahuinya. Kamu bisa kan mengajakku
berkeliling Paris ?’
‘Maksudmu?’
‘Ya seperti itu maksudku. Sebagai
imbalannya, Aku akan membawamu ke Paris tanpa membebani Papa kamu,’
Disanalah bantuan datang, Aku ke Paris
bersama Firas. Papa hanya diam tidak banyak bicara apalagi Firas anak bos Papa
di kantor jadi, Papa hanya menitipkanku pada Firas.
‘Mama yakin, dia menyukaimu’
kata Mama ketika Aku sudah di Paris dan membantu Mama bekerja, ‘kalau tidak, untuk apa dia ke Paris? Hanya untuk mengantarkanmu pada Mama?’
‘Dia ingin berlibur walaupun,
selama disini dia belum bersenang-senang sama sekali’
‘Dia tampan, cocok denganmu. Mama
juga menyukainya, dia anak yang baik’
Aku sering menceritakan tentang Firas pada Mama. Dari awal Aku mengenal
Firas, bagaimana kami dekat, bagaimana kami bersahabat, dan hal-hal kecil yang
kami lalui bersama.
‘semua orang mengatakan kalau Aku
dan Firas sempurna tapi, kami tidak sempurna’
‘maksudmu karena Firas takut pada
ketinggian dan takut pada ular?’
‘Bukan, bukan seperti itu.
Sudahlah, Aku disini menghabiskan liburanku untuk bersenang-senang dengan
Mama…… dan, yaa, tentunya Firas juga,’
‘Kamu bisa menemani Firas mengenal Paris asalkan kalian tidak
pulang dalam keadaan mabuk. Mama lebih senang melihat kalian hanya berdua
saja,’
Di Parislah kami akhirnya menjadi sepasang kekasih, di hadapan Mama dia
menyatakan cinta dan Aku tidak dapat menolak sama sekali walaupun anak
laki-laki yang kucintai bukanlah dia.
‘ketika Aku yakin kalau kamu yang
kucintai, Aku akan di sisi kamu, di samping kamu, selama Aku bisa,’ Lalu kami berciuman atas perayaan hari jadi
kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar