Bukan Hadiah
oleh : Aula Nurul Ma'rifah
“Tapi Ron, kadang aku berpikir tentang suatu hal.”
Ucap Agustine pada Ronald di telfon. “Maksudku bukan kamu tapi, tentang
hidupku.” Lanjutnya.
“Ayolah, kamu sahabatku, kamu nggak boleh sedih.”Dia menenangkan Agustine. “Atau aku harus ke Indonesia untuk menghiburmu?”
tanya Ronald dan Agustine hanya memberikan suara tawa kecil.
Agustine, siswi kelas XI IPA 4 SMU Yamato. Diacantik, cerdas, ceria, ramah, dan sedikit cerewet. Dia di kenal sebagai siswiyang memang pada faktanya cerdas hanya saja, dia tidak merasa seperti itukarena hidupnya yang sempurna di anggapnya sebagai kekurangan.
“Ayolah, itu hanya ujian saja.” Ronald atau yangsering di panggil Ron itu mencoba menenangkan sahabatnya. “Oh ya Tin, udah lamaya kita nggak ketemu semenjak sepuluh tahun lalu?”
“Oh ya?” Agustine tertawa. “Tapi kita masih bisa
berkomunikasi atau aku harus memaksamu untuk ke Indonesia? Aku yakin, orang
tuamu nggak akan ngizinin.”
“Benarkah?” Ron kembali menguatkan tawanya dalam handphone.
**
Agustine menarik nafas panjang dan meyakinkan
hatinya untuk tenang sejenak. Dia tidak ingin marah atau melampiaskan
kekesalannya pada siapapun. Itu akan memperburuk keadaan karena posisinya tetap
akan di persalahkan.
“Tugas kimia lo udah belum?” tanya Venesa,
Agustine mengangguk. “Liat ya,” dia langsung mengambil tugas kimia milik
Agustine di tas Agustine.
Venesa sahabat Agustine sejak duduk di bangku SMU.
Mereka cukup dekat di sekolah dan cukup akrab. Bagi Agustine, Venesa adalah
sahabatnya walaupun sahabat sejatinya tetap Ron seorang.
“Liat Diko nggak Nes?” Tanya Agustine, Venesa
diam, dia tidak menjawabnya dan tidak merespon. Dia sibuk menyalin tugas kimia
itu. “Hello nona,”
“Eh, em....” Venesa berpikir sejenak. “Diko, Diko
di.... di lapangan basket kayaknya.” Jawabnya sejadinya, Agustine tahu kalau
sahabatnya itu asal menjawab.
Dia memperhatikan seisi kelasnya dan dia mulai
merasa ada yang aneh. Maksudnya bukan aneh karena ada roh-roh yang berkeliaran
tapi aneh menurut pemikirannya sendiri dan itu benar-benar di rasa aneh sampai
dia keluar kelas untuk menenangkan diri.
“Arsyika...” Agustine menyapa anak kelas XI IPA 2
yang berpapasan di koridor sekolah. “Ngapain lo disini?” Tanyanya tapi Arsyika
hanya tertawa melihat Agustine. “Ada yang salah tah sama gue? Rambut gue
berantakan ya?”
“Nggak kok, lo pasti nyariin Diko.” Arsyika
tertawa kecil. “Di kantin kali itu anak, oh ya tumben nggak sama Venesa?”
“Gak masalah kan kalo gue nggak sama Venesa?”
Tanya Agustine, Arsyika diam lalu mengajak Agustine menuju kantin sekolah.
Di kantin, tidak ada Diko dan Agustine hanya
tersenyum. Dia yakin Diko sedang latihan basket apalagi Diko sedang di timpa
masalah alias nilainya hanya pas-pasan dan basket bisa mengurangi stres di otak
Diko. Tentu saja, Diko tidak sepintar Agustine tapi, Agustine tidak pernah
mempermasalahkannya.
**
“Agustine, ada yang ingin kamu bicarakan?” Tanya
Ron, dia terkejut ketika Agustine menghubunginya mendadak. “Ada masalah?”
“Entahlah, aku merasa kamu satu-satunya
sahabatku.” Ucap Agustine. “Maksudku, semua hal yang terjadi itu rasanya aneh
dan benar-benar aneh. Aku ingin bicara tapi, semua itu sia-sia.” Tambahnya dan
Ron berpikir sejenak.
Ron, dia sudah lama tidak bertemu dengan Agustine
tapi, dia tetap berhubungan baik dengan sahabatnya itu. Baginya, Agustine yang
sekarang tidak jauh beda dengan Agustine yang dulu. Agustine tetap Agustine,
tetap menjadi sahabatnya.
“Apa kamu baik-baik saja?” Tanya Ron, Agustine
diam. “Sudah seberapa parah?” Agustine tetap diam. “Ayolah, aku ingin ke
Indonesia tapi, mungkin kamu harus menjauhkan penyakit itu.”
“Lihatlah nanti, aku belum bisa bicara dengan
kedua orang tuaku. Semuanya makin aneh menurutku.”
**
Agustine duduk di ruang tengah bersama adiknyayang masih duduk di bangku SD. Mereka menonton film kartun. Tiba-tiba Venesadatang dan bergabung bersama mereka.
Jujur, Agustine sama sekali tidak menyukaikedatangan Venesa bahkan kedua orang tuanya sudah menganggap Venesa sepertianak sendiri. Terlebih, adiknya juga sangat dekat dengan Venesa. Baginya, itu
aneh, seakan-akan Venesa ingin mengambil orang-orang terdekatnya.
“Kak, aku pergi sama kak Nesa ya...” Adiknya
berpaitan lalu menghilang dari hadapan Agustine.
Agustine tahu kalau Venesa yatim piatu, dia
tinggal bersama paman dan bibinya. Namun, dia juga tidak suka dengan sikap
Venesa yang mengikuti gayanya. Dari mulai gaya bicara, berpenampilan, sampai
caranya berteman. Bahkan Agustine takut jika Diko akan pergi ke jalan menuju
seorang Venesa.
“Tin, Venesa kemana? Bukannya tadi dia di sini?”
Tanya ibunda Agustine. “Mama ingin mengajaknya makan siang.”
“Oh,” Kata Agustine singkat lalu ke kamar untuk
megambil handphonenya setelah itu dia
pergi keluar rumah dan berjalan-jalan.
Entahlah, semuanya terasa meyakinkan. Seseorang
pernah mengatakan padanya bahwa dia harus berhati-hati pada Venesa tapi, saat
itu dia tidak percaya sama sekali. Orang yang mengatakan itu padanya tidak lain
adalah musuh Venesa. Bagi Agustine, orang itu hanya ingin menghancurkan Venesa
tapi, semakin lama ada yang mulai di sadarinya.
“A.... ada apa?” Tanya Diko yang terkejut dengan
kedatangan Agustine kerumahnya secara tiba-tiba. “Em, kamu ada masalah?”
“Nggak, suka-suka gue ada masalah apa nggak.”
Agustine tersenyum kecil lalu duduk di sofa ruang tamu rumah Diko, pacarnya.
“Venesa ada di sini kan?” Tanya Agustine masih dengan senyumnya. “Gak masalah
kok, hati itu nggak bisa di paksain.” Lalu Agustine mengeluarkan kotak kecil
dari tasnya.
Agustine mengembalikan semua hadiah yang di
berikan Diko lalu dia pergi dari rumah Diko. Dia sebenarnya sudah tahu sejak
lama kalau Diko menghindarinya bukan karena sibuk tapi karena Venesa. Dan hari
ini semuanya terbukti karena Diko tidak bisa menyangkal sedikitpun.
“Ron...” Agustine menelfon Ron sambil menangis dan
Ron tahu, sahabatnya itu sedang menangis. “Ron, semuanya bener, nggak ada yang
salah.” Suara isak tangis Agustine makin jelas. “Ron, aku ngerasa dia akan
gantiin aku di semua posisi aku di dunia ini.”
“Agustin, ayolah, bukankah kamu harus tenang dan
semangat?” Ron berusaha menenangkan sahabatnya. “Kamu harus menjauhkan penyakit
itu dari tubuhmu, ayolah.” Ron tetap berusaha menenangkan Agustine. “Kamu
kehilangannya bukan berarti hidupmu juga akan kamu lepaskan begitu saja.”
“Baiklah, ini hanya untukmu, aku nggak ada harapan
hidup kecuali karena kamu.”
**
Di sekolah, Venesa masih menyapa Agustine seperti
biasa, masih meminta contekan seperti biasa tanpa peduli bahwa dia sudah
menyakiti hati sahabatnya sendiri. Bahkan lebih parahnya lagi, Venesa memanggil
sayang kepada Diko di depan Agustine.
“Tin, lo nggak kenapa-napa kan?” tanya Arsyika,
anak kelas tetangga. “Lo nggak sakit hati kan?”
“Nggak tau gue, Diko memang pacar gue tapi,
udahlah, kalo dia memang lebih sayang sama Venesa ya itu takdir Tuhan.”
Agustine tersenyum dan Asyika hanya bisa menarik nafas pendek melihat temannya
seperti itu padahal dia sudah pernah mengingatkan Agustine sebelumnya. “Tapi,
gue tetap nganggep Venesa sahabat gue.”
“Lo gila!” Arsyika bicara dengan nada tinggi. “Lo
bener-bener gila! Dari keluarga lo, adek lo, temen, sampe pacar lo di ambil
sama dia, lo tetep nganggep dia sahabat?”
Agustine diam, suasana ruang seni hening. Dia
tidak menangis karena sebelumnya dia sudah menangis habis-habisan sampai dia
sakit tapi, Venesa tetap merasa tidak bersalah sama sekali.
“Sebelumnya, ini pernah terjadi sama gue Tin, ya
tapi, gue langsung musuin dia dan jauhin dia. Sedangkan lo, lo orang yang
paling kuat bertemen sama manusia kayak Venesa.” Arsyika berusaha menyadarkan
Agustine agar menjauh dari Venesa tapi, Agustine tetap ingin menganggap Venesa
sahabatnya. “Oke, terserah lo, itu hidup lo dan ya, gue cuma bisa ngingetin
aja.”
Di rumah, dia melihat kedua orang tuanya
menganggap Venesa seperti anaknya sendiri dan adiknya juga menyayangi Venesa
seperti kakaknya sendiri. Bahkan ketika dia pulang, tidak ada yang menyadari
kedatangannya satu pun, dia seperti orang asing di dalam rumahnya sendiri.
Agustine masuk ke kamarnya dan tidur seharian
untuk menenangkan pikirannya. Belakangan ini dia menjadi lebih pendiam tapi,
Venesa tetap tidak meminta maaf sama sekali padahal dia bersalah.
“Kak, tidur ya?” Tanya adik Agustine. “Kakak!” dia
menjambak rambut Agustine. “Bilangin Mama ya, aku maen sama kak Venesa?”
“Iya,” ucap Agustine singkat. Dia kesal karena
adiknya lebih senang dekat Venesa.
Beberapa tahun lalu, Agustine mengenalkan Venesa
pada adiknya dan awalnya dia senang-senang saja mereka dekat. Selain itu,
Venesa juga pernah mengatakan bahwa dia menginginkan seorang adik karena dia
hidup seorang diri.
“Kamu melihat adikmu?” Tanya Ayah Agustine,
Agustine hanya berdehem saja. “Dia bersama Venesa?” Agustine mengiyakan.
“Padahal ada yang ingin Ayah tanyakan pada Venesa.”
Ketika Ayahnya keluar kamar Agustine, dia melempar
bantalnya dan meluapkan kekesalannya. Dia benar-benar kesal karena Venesa telah
membuatnya tidak di anggap lagi di rumah.
“Hey nona...” sms dari Ron. “Hey nona.” Dia
mengirim sms lagi sampai Agustine membalasnya.
“Ada apa?”
“Apa minggu ini ada waktu? Maksudku, aku ingin
berbincang denganmu,” jelasnya, Agustine mengatakan dia ada waktu minggu-minggu
ini. Dia bisa berbincang dengan Ron seperti biasanya dnegan handphone agak
lama.
**
Agustine berjalan di koridor sekolah sambil
bernyanyi sehingga seisi sekolah tahu bahwa dia baik-baik saja dan sama sekali
tidak sakit hati kehilangan Diko. Bahkan Agustine masih terlihat dekat seperti
sebelumnya dengan Venesa.
“Tin, ke kantin yok?” Ajak Venesa sambil
menggandeng Diko. “Mau nggak?” senyum Venesa membuat Agustine kesal karena
senyumnya itu sama dengan hinaan.
“Oh, iya gampang.” Agustine mengikuti mereka ke
kantin
Saat perjalanan ke kantin, Agustine berpapasan
dengan Arsyika dan Arsyika memandang sinis ke Venesa. Agustine mengerti
pandangan Arsyika tapi, dia hanya menunggu saat yang tepat untuk menjauhi
Venesa. Selain itu, dia harus mencari cara agar keluarganya jauh dari Venesa.
Sepulang sekolah, Agustine menunggu taxi di depan
gerbang tapi, tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti tepat di depannya. Dia
agak heran dan seseorang keluar lalu menghampirinya.
“Bukankah minggu ini kamu ada waktu?” Tanya
seseorang, Agustine mengenalinya dan itu Ron, Ronald sahabatnya. “Kaget? Atau
mau teriak?” Ron tersenyum kecil dan memeluk Agustine. “Bukankah kamu belum
mengucapkan selamat datang?”
“Ron, sumpah ini kejutan banget.” Agustine
tersenyum bahagia atas kedatangan Ron. Dia sama sekali tidak menyangka
sahabatnya itu akan ke Indonesia untuk memberinya kejutan.
Ron mengajak Agustine untuk pergi bersamanya. Ron
menceritakan perjalanannya ke Indonesia dan keinginannya untuk menghibur
Agustine. Namun, Ron tidak memberi tahu kedatangannya kepada kedua orang tua
Agustine. Orang yang pertama dia temui setelah tiba di Indonesia adalah
Agustine.
“Aku akan cukup lama di Indonesia, mungkin satu
atau dua bulan.” Jelas Ron. “Bukankah kewarganegaraanku masih Indonesia?” Tanya
Ron, Agustine tertawa kecil. Ron memang masih berkewarganegaraan Indonesia, dia
juga setiap tahun kembali ke Indonesia untuk menemui neneknya. Sayang, dia
tidak sempat untuk menemui Agustine.
Dia ingat, saat dia kecil, dia begitu dekat dengan
keluarga Ron bahkan Ron sudah di anggap kakaknya sendiri. Dan kali ini, dia
benar-benar menemukan sosok Ron seperti dulu. Ron tidak berubah, dia masih sama
seperti sebelumnya.
“Seorang Agustine, dan seorang yang terlihat sehat
sepertimu akan baik-baik saja. Ayolah, kesehatanmu lebih berharga dari pada
siapapun untuk saat ini.” Ucap Ron ketika mereka ada di sebuah taman bermain.
Taman itu kenangan saat mereka berusia 5 tahun, tempat biasa mereka bermain. “Tujuanku
kesini untuk memberimu semangat hidup, walaupun saat kamu pergi jiwa kamu akan ke
surga, kamu harus tetap hidup demi aku.” Lanjutnya. “Semua orang pergi dari
kamu tapi, aku tetap di sisi kamu, di samping kamu.” Ron tersenyum manis.
“Aku tahu, aku tahu itu, dan aku sangat
berterimakasih atas kedatanganmu.” Agustine memeluk Ron erat. “Ini benar-benar
sebuah kejutan.” Pelukan itu di rasakan oleh Ron dan dia sedih karena dia tahu,
Agustine sedang terluka.
Ron mengajak Agustine ke apartemen miliknya. Dia
memang sudah mempersiapkan segalanya untuk kembali ke Indonesia walaupun dia
tidak akan lama di Indonesia.
“Aku hampir setiap tahun ke Indonesia, menemui
nenekku, sayang sekali, aku tidak bisa bertemu denganmu.” Ron mengusap lembut
kepala Agustine. “Tapi, aku akan menebusnya.”
**
Ketika tiba di kelas, Agustine terkejut karena
pandangan teman-teman sekelasnya begitu aneh. Mereka tampak memusuhi Agustine.
“Hey, ada apa?” Tanya Agustine ketika masuk ke
kelas tapi tidak ada jawaban yang di dapat. “Ada berita duka tah?” tanyanya,
sekelas diam tanpa suara.
“Tin!” Arsyika ke kelas Agustine dan mengajak
Agustine ke taman sekolah agar mereka bisa bicara berdua.
Dalam pikiran Agustine, dia mulai merasa ada yang
salah. Dia takut jika dirinya akan mengalami hal yang sama dengan Arsyika
walaupun Arsyika mengalami hal itu ketika SMP dan sekarang semuanya menjadi
lebih baik setelah Arsyika menjauh dari Venesa.
“Kemaren, waktu guru meriksa kotak saran sekolah,
ada bukti-bukti kelicikan kelas lo soal nilai dan yang ngasih bukti itu
tertulis nama lo.” Jelas Arsyika, Agustine terkejut. “Dan sekelas ngira lo yang
ngelakuin padahal gue tau itu bukan lo.”
Agustine diam sejenak dan berpikir. Pantas saja
ada yang berbisik menjelek-jelekkan namanya dan mengatakan sementang dia pintar
sampai menjatuhkan seisi kelas.
“Venesa.” Ucap Agustine. Dia tahu siapa di balik
semua ini dan dia menarik nafas sejenak. Dia ingat bahwa semakin dia banyak
berpikir maka semua hal akan menjadi buruk. “Bukannya Venesa jatuhin lo karena
dia iri kan? Sama halnya dengan gue, dia iri karena gue punya keluarga dan
pacar yang sayang sama gue.”
“Ya, bener. Bahkan lo lebih cantik dan pintar
darinya, dia pasti sangat iri.” Arsyika menyadari, memang Agustine sejak masuk
sekolah ini di kenal sebagai siswa paling cerdas dan cantik serta ramah sedangkan
Venesa, walaupun cantik tapi dia bodoh.
“Gue punya satu cara supaya setelah ini dia nggak
ganggu kehidupan orang lain lagi.” Agustine menarik nafasnya sejenak dan
menghembuskannya perlahan. “Gue akan ngehadiahin dia sebuah keluarga dan
bener-bener ngerelain Diko.” Lalu dia meninggalkan Arsyika dan Arsyika terkejut
dengan jawaban itu. Dia takut sesuatu buruk akan terjadi pada Agustine.
Di kelas, Agustine memperhatikan Diko. Jujur, dia
masih menyayangi Diko namun dia tahu jika cinta tidak dapat di paksakan dan
jika Diko benar-benar menyayangi Venesa, dia akan merelakannya secara ikhlas.
“Ko,” Agustine duduk di samping Diko, di kelas.
“Lo pastinya udah tau kan soal kotak saran itu?”
“Ya, gua udah tau termasuk tulisan-tulisan di
mading.” Kata Diko dengan nada tinggi. “Gua kira lo bener-bener ngerelain gua
ternyata, lo nusuk Venesa dari belakang padahal lo sahabatnya.”
“Ya, itu bener banget Ko.” Jelas Agustine
berbohong.
Agustine tidak tahu tulisan-tulisan di mading itu
tapi, dia berusaha untuk tetap tersenyum. Dan ketika Agustine berjalan di
sekitar sekolah, seisi sekolah memandangnya benci tapi, Agustine tetap
tersenyum.
Arsyika yang melihat pemandangan itu hanya bisa
menarik nafas saja tanpa melakukan apapun. Dia sebenarnya ingin bicara tapi
Agustine memohon padanya untuk diam. Agustine ingin Venesa berhenti menyakiti
orang lain setelah dirinya.
Sepulang sekolah, Agustine di jemput oleh Ron
tapi, dia melihat pemandangan lain. Dia melihat ibunya menjemput Venesa dan
dadanya terasa sesak sekali. Dia tidak tahu apa yang di lakukan Venesa sehingga
semua itu terjadi.
“Kamu harus makan siang, setelah itu aku akan ke
rumahmu untuk mengatakan pada kedua orang tuamu bahwa aku ada di sini.” Jelas
Ron sambil mengusap kepala Agustine lembut. “Kamu terlihat pucat. Kamu
baik-baik saja?”
“Entahlah, aku belum memeriksakan penyakitku lagi
setelah aku tahu tentang penyakit yang bersarang pada tubuhku.” Agustine tetap
tersenyum walaupun tubuhnya merasakan sakit. “Tapi, aku lebih baik setelah kamu
di sini.”
Setelah makan siang, Ron mengantarkan Agustine
kerumahnya tapi, Ron terkejut ketika sampai di rumah Agustine, Ibunda Agustine
menampar Agustine. Saat itu Venesa tersenyum kecil ketika sebuah tamparan
melayang di pipi Agustine.
“Ma, apa yang terjadi?” Tanya Agustine, Ibunya
masih dengan wajah merah marah. “Ma...”
“Tante,” Ron menyapa Ibunda Agustine tapi Ibunda
Agustine tidak mempedulikan kedatangan Ron. Dia terlihat marah sekali pada
anaknya.
“Mama lebih tidak memiliki anak sepertimu!” Ibunda
Agustine menatap Agustine tajam. “Lebih baik Venesa di banding dirimu!”
“Ron!” Agustine menarik tangan Ron dan mengajaknya
ke kamarnya. Agustine membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke koper besar,
Ron tahu apa yang di lakukan Agustine kali ini. “Aku sudah menyangka semua ini
akan terjadi.” Jelas Agustine. “Aku tidak tahu apa yang di lakukan Venesa tapi,
aku sudah tahu, aku sudah tahu.” Dia memeluk Ron.
Ron sedih melihat Agustine seperti itu. Sahabatnya
itu tidak menangis saat sebuah tampara itu melayang. Tentu saja, Agustine sudah
memperkirakan itu. Namun, ketika di pelukan Ron, gadis itu menagis
sekuat-kuatnya.
“Kamu bisa tinggal bersamaku bahkan kalau mau,
kamu bisa pindah ke luar negri. Keluargaku akan menerimamu.” Pelukan Ron begitu
membuat Agustine tenang dan dia benar-benar merasa tenang. “Tapi, aku ingin
kamu ke rumah sakit dan membuang semua parasit pada tubuhmu.”
“Aku nggak tau bagaimana cara Venesa membuat orang
tuaku menjadi seperti ini. Bahkan apa yang dikatakannya pada orang tuaku pun,
aku nggak tau Ron.” Air matanya membasahi seluruh wajahnya. “Tapi, aku memang
nggak mau nyari tau Ron, setidaknya, aku tahu masih ada kamu yang masih di
sisiku.”
**
Ron dan Agustine tinggal dalam satu apartemen yang
sama. Bukan karena mereka pacaran tapi karena mereka bersahabat. Selain itu,
Ron ingin melihat sahabatnya itu sembuh.
Ron juga membelikan beberapa barang yang di sukai
Agustine sejak kecil termasuk mainan masak-masakan. Dia ingin mengenang
masa-masa saat mereka bersama dulu.
“Kamu sarapan dulu.” Ron masuk ke kamar Agustine
dengan membawakan roti dan segelas susu untuk Agustine. “Setelah ini, kamuharus ke sekolah.” Agustine menggeleng. “Baiklah, aku akan mengajakmu ke
pantai.” Dia mengusap kepala Agustine lembut, gadis yang bersamanya itu
terlihat begitu pucat tapi, gadis itu masih berusaha tersenyum untuknya.
“Aku ingin pindah sekolah dan menjauh dari Venesa,
aku ingin dia mendapatkan apa yang diinginkannya sehingga setelah aku, tidak
ada orang lain yang akan bernasib sama denganku.” Jelas Agustine sambil tersenyum
padahal wajahnya sudah pucat sekali.
Agustine, beberapa bulan lalu dokter mengatakan
bahwa dia mengidap leukimia stadium lanjut. Namun, Agustine tidak ingin berobat
atau memberitahu tentang semua ini kepada kedua orang tuanya. Satu-satunya
orang yang tahu selain dirinya dan dokter adalah Ron. Ron tahu sejak awal dan
dia benar-benar terkejut dengan berita itu.
“Setelah aku sembuh, aku ingin menghadiahkan
keluargaku untuk Venesa.” Beritahu Agustine. “Aku ingin pergi ke kota lain
untuk menenangkan diriku.”
“Aku menyayangimu.” Ron memeluk Agustine, dia tahu
sahabatnya itu begitu rapuh untuk saat ini. “Aku mencintaimu walaupun kita berpisah
10 tahun lalu.” Tambah Ron jujur. Dia mencintai Agustine sejak lama. Walaupun
jarak memisahkan tapi, Ron merasa begitu dekat dengan Agustine. “Aku
mencintaimu.” Dia mengulangi kata-katanya lagi dan mencium kening Agustine.
“Kamu bohong kan?” Tanya Agustine sambil tertawa
kecil. “Apa kamu kasihan karena penyakitku?” Tanyanya lagi, Ron menggeleng. “Aku
nggak bisa bilang cinta tapi, jujur aku menyayangimu bahkan rasa sayang itu
lebih besar di banding dengan perasaanku pada Diko.”
“Kamu harus jujur.” Ron merapikan rambut Agustine
yang berantakan. “Dan kamu harus mengatakan bahwa kamu juga mencintaiku setelah
kamu mengikuti ucapanku, kamu harus sembuh.”
**
“Kak, kak Agustine kemana?” Tanya adik Agustine
pada Venesa. “Kak,”
“Kak Agustine lagi liburan.” Jawab Venesa singkat.
“Kakakmu sudah tidak ada.” Kata Ibunya datar.
**
Agustine memeriksaan kesehatannya ditemani Ron dan
begitu terkejutnya Ron ketika dokter mengatakan tidak ada harapan lagi.
Agustine tersenyum mendengar penjelasan itu dan dia tertawa kecil seakan semua
masih baik-baik saja.
Ron bener-benar tidak menyangka padahal Agustine
terlihat baik-baik saja dan hanya sedikit pucat. Namun, mengapa dokter
mengatakan seperti itu? Apa dokter itu salah bicara? Atau bersekongkol dengan
Venesa? Tidak, dokter itu berkata yang sebenarnya.
“Udah sih, jangan di pikirin.” Kata Agustine. “Aku
aja santai, kenapa kamu khawatir gitu?”
“Agustine.” Suara Ron lirih lalu duduk di bangku
yang tersedia di sekitar rumah sakit dan dia menunduk. “Aku nggak percaya.”
“Bisa kamu menemaniku sampai Tuhan memintaku untuk
menghadapnya?” tanya Agustine, Ron menarik nafas dan mengiyakannya. “Aku
mencintaimu.”
Hari demi
hari keadaan Agustine makin memburuk tapi, dia tidak ingin kembali ke rumah
sakit. Dia meminta agar Ron mengiburnya dan mengajaknya untuk bersenang-senang.
Mereka kembali ke masa-masa mereka kecil dan
bermain di taman anak-anak. Sesekali, Ron mengajak Agustine ke bukit atau
perkebunan teh atau ke beberapa tempat yang udaranya masih segar. Itu baik untuk kesehatan
Agustine dan Ron berharap, Tuhan akan berbaik hati meperpanjang hidup Agustine.
“Aku menyayangimu bahkan sejak kecil, aku
menyayangimu.” Jelas Agustine jujur. “Hanya saja, aku nggak berani bilang itu
karena kamu jauh.” Tambahnya, wajah Agustine semakin pucat dan membiru. “Kukira
aku mencintai Diko tapi, setelah kamu disini, aku sadar kalau yang aku sayangi
adalah kamu.”
“Ini sudah satu bulan dan kedua orang tuamu diam
saja. Mereka nggak peduli atau....” Kata Ron terhenti.
“Mereka peduli, hanya saja mereka masih memiliki
Venesa.”
Ron membiarkan Agustine di pelukannya sampai gadis
itu benar-benar tenang. Dia senang Agustine bisa sebentar saja melupakan semua
hal yang terjadi belakangan ini. Semua hal buruk yang begitu cepat terjadi.
“Aku mencintaimu, walaupun ada banyak wanita di
dunia ini, aku hanya mencintaimu.” Ucap Ron sambil menghirup udara segar di
tengah-tengah kebun teh dan Agustine tersenyum padanya.
“Aku ingin beristirahat di rumah sakit.” Ucap
Agustine, Ron tersenyum lalu membawa Agustine untuk di rawat di rumah sakit.
Agustine meminta Ron untuk mengambil vidio singkat
untuk keluarga dan teman-temannya. Saat itu Ron hanya membawa handphone jadi dia merekam hanya
menggunakan handphonenya. Ron menarik
nafas panjang sebelum mendengarkan Agustine.
“Ma, aku mencintai Ron, Mama mengenal Ron kan?”
Agustine mulai membuka pembicaraan. “Venesa baik kok Ma, baik banget, aku ingin
Mama mencintainya seperti Mama mencintaiku.” Lalu Agustine menceritakan apa
yang terjadi belakangan ini. Semua hal yang terjadi di sekolah sampai tentang
bagaimana Venesa membuat keadaan semakin kacau.
Dia terus bicara sampai air matanya menetes. Ron
meminta tolong pada seorang perawat untuk menggantikannya merekam lalu Ron
duduk di samping ranjang Agustine di rawat.
Ron mengusap kepala Agustine lembut dan Agustine
terus berbicara sambil di rekam oleh perawat. Dia menggam tangan Agustine lembut
dan masih mengusap kepalanya.
“Ma, Pa, adek, bukannya Agustine nggak mau ngasih
tau sejak awal tapi, sejak awal aku tau penyakit ini, aku sudah mulai
kehilangan kalian.” Tambahnya lagi lalu duduk dan memeluk Ron sambil meneteskan
air mata. Ron mencium keningnya lalu membiarkan gadis itu terus di pelukannya.
“Bisa kamu memberikan rekaman ini besok pada kedua orang tuaku?” Ronmenngiyakannya. “Katakan, aku ingin mereka menganggap Venesa seperti anak
mereka. Aku ingin Venesa berhenti menyakiti orang lain. Aku ingin menghadiahkan
sebuah keluarga padanya. Bukankah mereka sudah membuangku?” Bisik Agustine pada
telinga Ron.
“Ayolah, kamu bisa pergi bersamaku.” Pelukan Ron
makin erat, dia takut kehilangan Agustine. “Aku mencintaimu dan ini jujur, aku
jujur padamu.”
“Aku
mencintaimu lebih dari siapapun sejak aku mengenalmu sejak kecil.” Suara isak
tangis Agustine membuat Ron makin taut. “Maaf, maaf, aku ingin kamu
memaafkanku, Tuhan berkata lain untuk semua ini.” Lalu tidak ada lagi suara
isak tangis bahkan hembusan nafas Agustine.
“Aku mencintaimu dan aku bahagia, aku disampingmu
saat semua orang meninggalkanmu.” Lalu Ron melepas pelukannya dan mencium
Agustine. “Aku benar-benar mencintaimu.” Dia mengusap kepala Agustine dengan
perasaan sedih dan membiarkan Agustine pergi untuk ke surga.
Beberapa perawat dan dokter ikut menangis melihat
detik-detik kepergian Agustine. Mereka mendengar ceita Agustine dan itu
benar-benar sebuah kisah yang sangat menyakitkan. Memang, tidak ada harapan
lagi untuk kehidupan Agustine, semua hanya menunggu waktu dan sekaranglah
waktunya.
**
Ron hadir dalam pemakaman Agustine dan kedua orang
tua Agustine tidak bisa menahan air mata mereka termasuk adiknya.
“Tante, ada titipan dari Agustine.” Ron memberikan
file rekaman detik-detik kepergian Agustine. “Dia pergi dengan bahagia,
setidaknya dia menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya.” Lalu Ron
pergi melangkahkan kakinya meninggalkan pemakaman.
Ron kembali ke Amerika dengan sejuta kenangan
tentang Agustine. Sepuluh tahun dia berpisah dengan Agustine dan dia bertemu
tidak lebih dari dua bulan, setelah itu, dia benar-benar berpisah untuk begitu
lama lalu dia akan kembali bertemu Agustine suatu hari nanti setelah surga
memanggil namanya.
Ron menarik nafas lega dan dia benar-benar
mengikhlaskan kepergian Agustine. Setidaknya, dia sudah bisa membuat Agustine
bahagia sebelum Agustine benar-benar pergi.
**
“Pa...” Ibunda Agustine menangis histeris ketika
melihat rekaman itu, “Dimana Ron? Mama harus bicara padanya. Agustine membisikkan
sesuatu pada Ron di rekaman itu.” Ibundanya menangis.
Venesa langsung di musuhi satu sekolah, dia
kehilangan Diko, dia juga menyesal karena dia tidak menyangka Agustine akan
pergi dari kehidupan ini yang disebabkan oleh dirinya. Dia menyesali perbuatannyatapi, semua terlambat, Agustine sudah pergi. Dia juga benar-benar di larangmemasuki kehidupan keluarga Agustine lagi, adik Agustine pun menjadi
membencinya.
“Pa, Mama harus tahu satu pesan yang dikatakan
Agustine pada Ron.”
Mereka menghubungi Ron tapi, Ron tidak berbicara
sampai akhirnya mereka mendatangi Ron ke Amerik. Namun sama saja, Ron diam dan
tidak memberi tahu pesan terakhir Agustine pada siapapun. Dia ingin Agustinetenang di surga dan dia ingin orang yang mengakibatkan Agustine tidak ada
harapan hidup menyesal dan tidak akan pernah bahagia.
“Ron,” Ibunda Ron memohon pada anaknya agar
memberitahu apa pesan terakhir Agustine yang suaranya tidak terekam dalam
rekaman itu tapi, Ron tetap diam dan dia berjanji tidak akan mengatakannya. Dia
tidak ingin jika Venesa mendapat hadiah sebuah keluarga dari Agustine padahal
Agustine pergi karena Venesa.
“Maaf, aku mencintai Agustine dan aku memiliki hak
untuk diam.” Jelas Ron tegas. “Dia ingin memberikan hadiah pada seseorang tapi,
aku juga ingin memberikan hadiah padanya dan hadiah itu adalah aku diam atas
pesannya.” Lalu Ron pergi dari hadapan kedua orang tua Agustine.
TAMAT