1. BARTER
a. Pengertian
Barter
Barter adalah kegiatan tukar-menukar barang atau jasa yang terjadi tanpa perantaraan uang. Tahap selanjutnya menghadapkan manusia
pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri
mereka mencari dari orang yang mau menukarkan barang yang dimilikinya dengan
barang lain yang dibutuhkannya. Akibatnya barter, yaitu barang ditukar dengan barang. Pada masa ini timbul benda-benda yang
selalu dipakai dalam pertukaran. Kesulitan yang dialami oleh manusia dalam
barter adalah kesulitan mempertemukan orang-orang yang saling membutuhkan dalam
waktu bersamaan. Kesulitan itu telah mendorong manusia untuk menciptakan
kemudahan dalam hal pertukaran, dengan menetapkan benda-benda tertentu sebagai
alat tukar. Sampai sekarang barter masih dipergunakaan pada saat terjadi krisis
ekonomi di mana nilai mata uang mengalami devaluasi akibat hiperinflasi.
b.
System
Barter
Sistem barter merupakan
sejenis bentuk perniagaan yang
tidak menggunakan sebarang bentuk perantara pertukaran, di mana barangan atau perkhidmatan ditukar
dengan barangan dan/atau perkhidmatan lain. Ia boleh jadi dibuat antara dua
atau beberapa pihak.
Melalui sistem ini
mereka terpaksa membuat pilihan sesama mereka untuk mendapatkan barang
perantaraan yang dapat membawa manfaat bersama antara mereka. Oleh sebab itu,
barang-barang yang digunakan sebagai alat perantaraan itu berbeza mengikut
suasana dan zaman. maka jelaslah di sini bahawa pertukaran adalah tidak
mustahil tanpawang dan
tidak hairanlah manusia boleh menjalankan kegiatan perdagangan dengan sistem
pertukaran barter.
c.
Kelemahan Barter
Dalam ekonomi moden,
kehendak manusia adalah pelbagai dan kegiatan manusia adalah luas termasuk di
dalam dan di luar negara. Oleh itu, sistem barter mempunyai
banyak kelemahan jika dipraktikkan dalam masyarakat moden. Antara
kelemahan-kelemahannya ialah:
1. Penemuan kehendak beregu
Kedua-dua pihak A dan B
harus mempunyai kehendak yang saling menggenapkan sebelum pertukaran boleh
dilakukan. Pihak A harus dapat menawarkan barang X yang dikehendaki oleh B dan
pada masa sama pihak A juga harus mempunyai keinginan kepada barang Y yang
ditawarkan oleh B. Kadangkala proses pemadanan kehendak yang sesuai mengambil
masa yang lama sebeluum proses pertukaran boleh dilakukan. Masalah penemuan
kehendak bergu ini merupakan masalah paling utama dalam sistem pertukaran
barter.
2. Masalah membahagi
Komoditi yang ditukarkan
mungkin besar dan sukar dibahagikan kepada unit-unit kecil semasa membuat
pertukaran dengan barang lain yang bernilai kecil. Contohnya, sekiranya satu
pihak yang menginginkan sebahagian daging kerbau sahaja
dan menawarkan seekor ayam sebagai
pertukaran, sudah tentu pemilik kerbau tidak akan menyembelih seekorkerbau hanya
untuk tujuan pertukaran dengan seekor ayam sahaja.
3. Masalah simpanan nilai
Oleh kerana sebahagian
besar barangandalam masyarakat primitif itu merupakan hasil pertanian yang
mudah rosak dan tidak tahan lama, maka pertukaran yang melibatkan barangan yang
tidak tahan lama adalah tidak sesuai untuk ditukarkan, kecuali ia hendak
digunakan dengan segera. Akan tetapi, pertukaran selalunya berasaskan barangan
lebihan yang tidak akan digunakan dengan segera. Memang ternyatalah bahawa
kebanyakan pihak tidak ingin melangsungkan pertukaran untuk memperoleh barangan
lain yang tidak tahan lama dan tidak mempunyai ciri simpanan nilai.
4. Barang tidak tahan lama
Barang yang tidak tahan
lama atau tidak mempunyai simpanan nilai yang cepat rosak seperti ikan dan
sayur perlu ditukarkan dengan segera. Jika tidak, ia akan rosak dan ini akan
merugikan pemilik kerana nilai barang tersebut akan berkurangan.
Walaupun terdapat
beberapa kelemahan, harus diakui bahawa ekonomi yang menggunakan sistem barter
atau pertukaran secara langsung itu merupakan satu sistem yang lebih baik
daripada sistem sebelumnya, iaitu sistem mampu diri. Sistem barter membolehkan
pengeluaran ditingkatkan sebab terdapat kemungkinan pertukaran. Kemungkinan
pertukaran telah menggalakkan unit-unit ekonomi menghasilkan pengeluaran yang
melebihi keperluannya sendiri. Pertukaran juga membolehkan unit-unit ekonomi
menikmati barangan yang sebelumnya tidak pernah dinikmati. Walaupun terdapat
kemungkinan pertukaran, proses pertukaran itu tidak sempurna. Banyak pertukaran
tidak dapat dijalankan kerana masalah-masalah tersebut dan juga masalah-masalah
lain seperti tidak mempunyai sistem penilaian am dan wujudnya kos dalam
ekonomi. Oleh itu, pertukaran di bawah sistem barter adalah terhad. Sebahagian
masalah itu berpunca daripada kekangan bahawa barangan itu harus ditukarkan
satu demi satu dan secara langsung.
2.
SEWA (AL-UJRAH)
1) Pengertian Ijarah
Menurut
etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).([1] Ijarah merupakan salah satu bentuk
kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa,
kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.([2] Demikian pula artinya menurut terminologi syara’
Ada
yang menterjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa
(upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang
menterjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Jadi ijarah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah
atas benda.
Jumhur
ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh
disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang
menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur
untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi
bendanya. Namun sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an
dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi
kaperluan hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat
mereka gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.([3]
2)
Berakhirnya Akad ijarah
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir apabila:
a. Tenggang waktu yang disepakati
dalam akad ijarah telah berakhir.
b. Menurut ulama Hanafiyah,
wafatnya seorang yang berakad, karena kad ijarah, menurut mereka, tidak boleh
diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarahtidak batal dengan
wafatnya salah seorang berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh
diwariskan dan ijaraha sama denganjual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak
yang berakad.
c. Objek hilang atau musnah,
seperti rumah terbakar.
d.
Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti
rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad
iajarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad ijarah itu,
menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah
tempatnya penyewa, misalnya, seorang digaji untuk menggali sumur disuatu desa,
sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu pindah kedesa lain. Akan tetapi,
menurut jumhur ulama, uzur yamng boleh mebatalkan akad ijarah itu hanyalah
apabila objeknya mengandung cacat atau manfaatnya yang dituju dalam akad itu
hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.
3) Macam-Macam Ijarah Dan Aplikasinya
1. Ijarah Al-Muntahiya Bit Tamlik atau Aplikasi Ijarah di
Lembaga Keuangan Syariah
a.
Pengertian
al-ijarah muntahiya bit tamlik
Adalah sejenis
perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang
diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan si penyewa. Sifat pemindahan
kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.
b.
Bentuk
al-ijarah muntahiya bit tamlik
Al-ijarah muntahiya
bit tamlik memiliki banyak bentuk, bergantung pada apa yang disepakati kedua
pihka yang berkontrak. Misalnya, ijarah dan janji menjual; nilai sewa yang
mereka tentukan dalam ijarah; harga barang dalam transaksi jual; dan kapan
kepemilikan dipindahkan.
c.
Aplikasi
dalam Perbankan
Bank-bank Islam yang
yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk
operating lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya, bank-bank
tersebut lebih banyak menggunakan ijarah muntahiya bit tamlik karena lebih
sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk
mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
d.
Manfaat
dan Risiko yang Harus Diantisipasi
Manfaat ari transaksi
ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok. Adapun
risiko yang mungkin terjadi dalam ijarah adalah sebagai berikut:
a. Nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja
b. Rusak: aset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya
pemeliharaan bertambah, terutama bila disebutkan dalam kontrak bahwa
pemeliharaan harus dilakukan oleh bank.
c. Berhenti: nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak
mau membeli aset tersebut. akibatnya, bank harus menghitung kembali keuntungan
dan mengembalikan sebagian kepada nasabah.
3. JASA
(FEE-BASED SERVICE)
1.
Macam-Macam Jasa (Fee)
a. Wakalah
Secara
etimologi, wakalah memiliki beberapa pengertian yang diantaranya adalah:
(al-hifzh) yang berarti perlindungan, atau (al-kifayah) yang berarti
pencukupan, atau (al-dhamah) tanggungan, atau (al-tafwidh) berarti
pendelegasian yang diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan.
Sedangkan
secara terminologi, wakalah berarti mewakilkan atau menyerahkan sesuatu
pekerjaan atau urusan kepada orang lain agar bertindak atas nama orang yang
mewakilkan dalam masalah dan waktu yang ditentukan.
Rukun
dan Syarat Wakalah
a. Rukun Wakalah
1. Muwakil (orang yang mewakilkan/pemberi kuasa).
2. Wakil (yang mewakili/penerima kuasa).
3. Muwakkal fih/taukil (obyek yang
diwakilkan/dikuasakan).
4. Shighat (ijab dan qabul).
b. Syarat-syarat Wakalah
1. Orang yang mewakilkan ialah dia pemilik barang atau di
bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang
mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, wakalah tersebut batal. Anak kecil yang
dapat membedakan baik dan buruk dapat (boleh) mewakilkan tindakan-tindakan yang
bermanfaat mahdhah, seperti perwakilan untuk menerima hibah, sedekah, dan
wasiat.
2. Orang yang mewakili hendaknya orang yang sudah baligh
dan berakal sehat. Bila seorang wakil itu idiot, gila, atau belum dewasa, maka
perwakilan batal. Menurut Hanafiyah, anak kecil yang sudah dapat membedakan
yang baik dan buruk sah untuk menjadi wakil, alasannya ialah bahwa Amar bin
Sayyidah Ummuh Salah mengawinkan ibunya kepada Rasulullah saw., saat itu
Amar merupakan anak kecil yang masih belum baligh.
3. Syarat-syarat obyek yang diwakilkan ialah:
a. Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada
orang lain untuk mengerjakannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan
sholat, puasa, dan membaca ayat al-Qur’an, karena hal ini tidak bisa diwakilkan.
b. Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil itu,
maka batal mewakilkan sesuatu yang akan dibeli.
c. Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu
yang masih samar, seperti seseorang berkata: “Aku jadikan engkau sebagai
wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku”.
4. Shighat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol
keridhoannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.
Berakhirnya Wakalah
Akad wakalah berakhir
jika terjadi salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
a. Matinya salah seorang dari yang berakad karena salah
satu syarat sah akad adalah orang yang berakad masih hidup.
b. Bila salah seorang yang berakad gila, karena syarat
sah akad salah satunya orang yang berakad mempunyai akal.
c. Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud, karena jika
telah berhenti, dalam keadaan seperti ini wakalah tidak berfungsi lagi.
d. Pemutusan oleh yang mewakilkan terhadap wakil meskipun
wakil belum mengetahui (pendapat Syafi’i dan Hambali). Menurut Madzab Hanafi
wakil wajib mengetahui putusan yang mewakilkan. Sebelum ia mengetahui hal itu,
tindakannya itu tak ubah seperti sebelum diputuskan, untuk segala hukumnya.
e. Wakil memutuskan sendiri, menurut Madzab Hanafi tidak
perlu orang yang mewakilkan mengetahui pemutusan dirinya atau tidak perlu
kehadirannya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
B.
KAFALAH
Secara etimologi, Alkafalah berarti aldhaman (jaminan), hamalah(beban), za’amah (tanggungan).
Sedangkan secara
terminologi, yang dimaksud dengan al-kafalahadalah jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti
mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Rukun dan Syarat
Kafalah
Menurut
Madzhab Hanafi, rukun kafalah yaitu, ijab dan kabul. Sedangkan menurut para
ulama yang lain, rukun dan syarat kafalah adalah sebagai berikut:
a.
Dhamin,
kafil, atau za’im, yaitu
orang yang menjamin, syaratnya ialah sudah baligh, berakal, tidak dicegah
membelanjakan hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
b.
madmun
lah disebut
juga mafkul lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya
ialah dikenal oleh peminjam karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal
ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
c.
Madmun
‘anhu atau mafkul
‘anhu adalah orang yang berutang.
d.
Madmun
bih atau mafkul
bih adalah utang, barang atau orang. Disyaratkan mafkul dapat
diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.
e.
Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak
digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.
Pelaksanaan Kafalah
Kafalah
dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk:
a.
Munjaz
(tanjiz) ialah
tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang berkata “ saya tanggung
si fulan dan saya jamin si fulan sekarang”.
b.
Mu’allaq
(ta’liq) adalah menjamin
sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, seperti seseorang berkata, “jika
kamu mengutangkan pada anakku, maka aku yang akan membayarnya”.
c.
Mu’aqqat
(taukit) adalah
tanggapan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu, seperti ucapan
seseorang, “bila ditagih pada bulan Ramadhan, maka aku yang menanggung
utangmu”.
C.
HAWALAH
Secara
etimologi, yang dimaksud dengan hawalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya
memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan hawalah secara etimologi ialah:
أَلنَّقْلُ
مِنْ مَحَلٍّ إِلَى مَحَلِّ
Sedangkan
secara terminologi, pengertian hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang
berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Misalnya: A memberi
pinjaman kepada B, sedangkan B masih mempunyai piutang kepada C. Begitu B tidak
mampu membayar utangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban utang tersebut pada
C. Dengan demikian, C yang harus bayar utang B kepada A, sedangkan utang
C sebelumnya pada B dianggap selesai.
Rukun
dan Syarat Hawalah
a. Rukun Hawalah
1) Muhil (orang yang memindahkan tanggungan hutangnya).
2) Muhal alaih (pihak yang dibebani pemindahan tanggungan
utang atau dibebani membayar hutang oleh muhil).
3) Muhtal (orang yang piutangnya dipindahkan).
4) Hutang muhil kepada muhtal.
5) Hutang muhal alaih kepada muhil.
b. Syarat Hawalah
1) Orang yang menanggung harus memberitahukan kepada
orang yang menghutangi
(berpiutang).
2) Waktu menanggungnya harus positif.
4) Kerelaan muhil.
5) Menerimanya muhtal untuk dipindahkan pembayaran
utangnya kepadanya ke orang lain.
6) Persesuaian tanggungan muhil dan tanggungan muhal
alaih, dalam jenis, macam dan batas waktu pembayaran.
D.
RAHN
Sedangkan
secara terminologi, al-rahn adalah menahan salah satu harta
milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang
ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan utang atau gadai.
Rukun dan Syarat Rahn
a. Rukun Rahn
1. Pelaku akad, yaitu rahin (yang
menyerahkan barang), dan murtahin (penerima barang);
2. Objek akad, yaitu marhun (barang
jaminan) danmarhun bih (pembiayaan); dan
b. Syarat Rahn
1. Kedua belah pihak adalah orang yang sah melakukan
tindakan hukum seperti dalam jual beli. Dengan demikian, tidak sah orang gila
atau anak kecil melakukan peggadaian.
2. Barang yang digadaikan adalah sesuatu yang segera
dapat diterima/dikuasai oleh yang menerima gadai, bukan barang yang masih dalam
penguasaan orang lain.
3.
Memenuhi
ketentuan administrasi apabila aqad dilakukan dengan pegadaian yang dikelola
oleh pemerintah.
E.
QARDH
Qardh
secara etimologi adalah pinjaman. Secara terminologi muamalah adalah memiliki
sesuatu (hasil pinjaman) yang dikembalikan (pinjaman tersebut) sebagai
penggantinya dengan nilai yang sama. Secara teknis qardh adalah akad pemberian
pinjaman dari seseorang/lembaga keuangan syariah kepada orang lain/nasabah yang
dipergunakan untuk keperluan mendesak. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam
jumlah yang sama dan dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan besama)
dan pembayarannya bisa dilakukan secara angsuran atau sekaligus.
Rukun
dan Syarat Qardh
a. Rukun Qardh
1. Pelaku akad, yaitu muqridh (pemberi
pinjaman), pihak yang memiliki dana, dan muqtaridh (peminjam),
pihak yang membutuhkan dana;
2. Objek akad, yaitu qardh (dana),
3. Tujuan, yaitu ‘iwad atau countervalue berupa
pinjaman tanpa imbalan (pinjaman Rp X,- dikembalikan Rp X,-); dan
b. Syarat Qardh
1) Syarat Muqrid
2) Muqridh harus seorang Ahliyat at-Tabarru’ (layak
bersosial), maksudnya orang yang mempunyai kecakapan dalam menggunakan hartanya
secara mutlak menurut pandangan syariat.
3) Tidak adanya paksaan (Ikhtiyar), seorang muqridh dalam
memberikan bantuan hutang harus didasarkan atas keinginannya sendiri dan tidak
ada paksaan dari pihak lain.
4) Muqtaridh haruslah orang yang Ahliyah mu’amalah,
artinya orang tersebut harus baligh, berakal waras, dan tidak mahjur (bukan
orang yang oleh syariat tidak diperkenankan mengatur sendiri hartanya karena
faktor-faktor tertentu).
5) Objek akad adalah setiap barang yang boleh dijadikan
obyek jual beli, boleh pula dijadikan obyek akad qardh.
6) Shighat berupa ucapan serah terima harus jelas dan
bisa dimengerti oleh kedua belah pihak, sehingga tidak menimbulkan kesalah
pahaman dikemudian hari.
Aplikasi Qardh dalam
Perbankan
a. Sebagai produk pelengkap nasabah yang telah terbukti
loyalitas dan bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa
yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah
uang yang dipinjamnya itu.
b. Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat,
sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam
bentuk deposito.
c.
Sebagai
produk untuk menyumbang usaha kecil/mikro atau membantu sektor sosial. Guna
memenuhi skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu al-qardh
al-hasan.
4. WADI’AH
a. Pengertian Wadi’ah
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu.
Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah,
karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah,
Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendakinya.
Menurut
bahasa wadiah artinya yaitu meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakan
sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan menurut istilah
wadiah artinya yaitu memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga
hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang
semakna dengan itu.
Rukun Dan
Syarat Wadiah
Rukun dan Syarat Wadi’ah adalah
(1) Rukun wadi’ah terdiri atas: a. muwaddi’/penitip;
b. mustauda’/penerima titipan c. wadi’ah bih/harta titipan; dan d.
akad. (2) Akad dapat dinyatakan denganlisan, tulisan, atau isyarat. (3) Para
pihak yang melakukan akad wadi’ah harus memiliki kecakapan
hukum. (4) Harta wadi’ah harus dapat dikuasai dan
diserahterimakan. (5) Muwaddi’ dan mustaudi’ dapat
membatalkan akad wadi’ah sesuai kesepakatan.
APLIKASI DALAM PERBANKAN
Keynes mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang karena : Transaksi,
Cadangan dan Investasi, sehingga perbankan menyesuaikannya dengan giro,
deposito dan tabungan. Sementara itu pada bank syariah dalam penghimpunan
dananya selain bersumber dari modal dasar juga melalui produk tunggal yaitu
wadi`ah (tabungan) namun dalam prakteknya setiap bank berbeda, ada yang seperti
giro ada yang seperti deposito. Dilihat dari sunber modal yang
terbesar selain modal dasar tadi maka wadi`ah dapat dibagi kedalam, Wadi`ah
Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya
termasuk kedalam TITIPAN yang sifatnya biasa.
Menurut Antonio kedua simpanan ini
mempunyai karakteristik yakni harta/uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan,
pihak bank boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa
ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan
dengan giro dan tabungan
Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI), seperti halnya wadi`ah yang terbagi atas dua jenis, maka titipan investasi inipun terbagi atas dua bahagian juga yaitu : General Investment(investasi umum) dan Special Investment (investasi khusus).
Kedua jenis investasi ini mempunyai perbedaan yang terletak pada Shahib Al-Malnya dalam praktek penginvestasiannya.
Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI), seperti halnya wadi`ah yang terbagi atas dua jenis, maka titipan investasi inipun terbagi atas dua bahagian juga yaitu : General Investment(investasi umum) dan Special Investment (investasi khusus).
Kedua jenis investasi ini mempunyai perbedaan yang terletak pada Shahib Al-Malnya dalam praktek penginvestasiannya.
Sesuai dengan pembagian wadi’ah di
atas, maka wadi’ah yad al- amanah, pihak yang menerima titipan
tidak boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang ditipkan, tetapi
harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat
membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan demikian si
penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan dia
dibebankan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan.
Sehingga skemanya sebagai berikut:1
Adapun wadi’ah dalam bentuk yad
adh-dhamanahpihak bank dapat memanfaatkan danmenggunakan titipan tersebut,
sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi
milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian).
Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap
titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima titipan yang telah
menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam
insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya
tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan
umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
a. Bersifa ttitipan,
b. Titipan bisa diambil kapan saja (on
call), dan
c. Tidak ada imbalan yang disyaratkan,
kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat
sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah Bersifat simpanan
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah Bersifat simpanan
d. Simpanan bias diambil kapan saja (on
call) atau berdasarkan kesepakatan,
e. Tidak ada imbalan yang disyaratkan,
kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat
sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar