KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu’alaikum.wr.wb.
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kami rahmat dan
kemampuan yang memadai, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini . Shalawat
serta salam, kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw yang telah
memperjuangkan agama islam, sehingga kita masih dapat berada pada jalan islam
hingga saat ini.
Hadits bukanlah hal yang mudah untuk dipelajari, namun hal tersebut bukanlah
alasan yang dapat menghalangi kita mempelajari hadits. Oleh karna itu, penulis
menyajikan makalah yang membahas tentang hadits, terkhususnya pada masalah
syarat-syarat periwayat hadits dan proses transformasinya. Penulis sangat
berharap, tulisan ini dapat membantu pembaca untuk memahami hadits. Dengan do’a
penuh cinta, penulis mepersembahkan makalah ini kepada pembaca, semoga saja
dapat menjadi pedoman.
Wassalamu’alaikum.wr.wb.
Bandar Lampung, 7 mei 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
COVER ................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR............................................................................................ 2
DAFTAR ISI............................................................................................................ 3
BAB I
PENDAHULUAN....................................................................................... 4
A. Latar
Belakang............................................................................. ........ 4
B. Rumusan
Masalah........................................................................ ........ 4
C. Tujuan
Penulisan.......................................................................... ........ 4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... ........ 5
A. Syarat-Syarat
Seorang Perawi................................................... ........ 5
B. Tahammul
Al ‘Ada Dan Lambangnya..................................... ........ 8
C. Istilah-Istilah
Dalam Periwayatan Hadis................................... ........ 18
BAB III PENUTUP....................................................................................... ........ 20
A. Kesimpulan................................................................................... ........ 20
B. Saran.............................................................................................. ........ 20
DAFTAR PUSTAKA
21
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
menyampaikan suatu hadits,kebanyakan orang tidak peduli terhadap yang
meriwayatkannya. Yang mereka lihat hanyalah isinya.sedangkan diketahui,bahwa
untuk mencapai isi dari suatu hadits,maka dibutuhkan adanya perawi. Adanya
perawi,belum bisa menjamin bahwa hadits tersebut kualitasnya shahih atau tidak.
Maka dibutuhkan pengetahuan yang mengantarkan kita mengetahui kondisi perawi
tersebut. Maka,diperlukan bagi kita mengetahui syarat-syarat perawi yang
tsiqah. Tidaklah menyampaikan hadits tersebut kepada khalayak,tanpa mengetahui
kondisi hadits tersebut.
Berbicara
tentang hadits, maka tidak ada salahnya kita memandang kebelakang. Melihat
keadaan dan cara seorang murid mengambil hadits dari seorang guru.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa saja syarat-syarat menjadi seorang perawi ?
2.
Apa yang
dimaksud dengan tahammul wa ‘ada hadits dan lambang-lambang yang digunakan ?
3.
Apa saja istilah-istilah yang digunakan dalam
periwayatan hadist ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini
diharapkan :
1.
Mengetahui apa saja syarat-syarat menjadi seorang
perawi ?
2.
Mengetahui apa
yang dimaksud dengan tahammul wa ‘ada hadits dan lambang-lambang yang digunakan
?
3.
Mengetahui apa saja istilah-istilah yang digunakan
dalam periwayatan hadist ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Syarat-Syarat
Menjadi Perowi
Raawi menurut
bahasa berasal dari kata riwaayah yang merupakan bentuk
mashdar dari kata kerja rawaa-yarwii,yang berarti”memindahkan atau
meriwayatkan”. Bentuk plural dari kata raawii adalah ruwaat. Jadi
raawii adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab
apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.
Secara defenisi,kata riwaayah adalah kegiatan penerimaan atau
penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian dari
periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits
dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang
lain,maka dia tidak dapat disebut sebagai seorang yang telah melakukan
periwayatn hadits.
Demikian pula halnya dengan orang menyampaikan hadits yang diterimanya kepada
orang lain,tetapi ketika ia menyampaikan hadits itu, ia tidak menyebutkan
rangkaian para perawinya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan
sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dapat atau tidak diterimanya suatu
hadits ialah kualitas raawii. Tinggi rendahnya sifat adil dan dabith para
perawi menyebabkan kuat lemahnya martabat suatu hadits. Perbedaan cara para
perawi menerim hadits dari guru mereka masing-masing mengakibatkan
munculnnya perbedaan lafadz-lafadz yang dipakai dalam periwayatan hadits. Karna
perbedaan lafadz yang dipakai dalam pennyampaian hadits menyebabkan perbedaan
nilai (kualitas) dari suatu hadits.
Adapun
syarat-syarat untuk menjadi perawi yaitu :
1. Islam
Pada waktu periwayatan
suatu hadist, seorang perowi harus muslim. Menurut ijma’ periwayatan orang
kafir dianggap tidak sah. Terhadap peowi yang seorang fasikh saja kita disuruh
ber-tawaqub, maka terlebih lagi terhadap perowi yang kafir. Dalam kaitannya
dengan masalah ini perhatikan firmn Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 6 sbb :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا
بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِين
Artinya : “hai
orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasikh membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas
perbuatanmu itu”(QS AL-Hujurat :6)
2. Baligh
Yang dimaksud dengan
baligh adalah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist walaupun
penerimaannya itu sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang
artinya :
“hilanglah kewajiban syariat islam dari
tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai
bangun, dan anak-anak sampai ia mimpi “
3. ‘adalah
Yang dimaksud dengan
adalah yaitu suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang sehingga ia tetap
takwa, menjaga kepribadian dan percaya diri sendiri dengan kebenarannya,
menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri
dari hal-hal yang mudah yang tegolong kurang baik, dan selalu menjaga
kepribadiannya.
4. Dhabit
Dhabit
mempunyai dua pengertian yaitu :
a. Dabit
dalam arti kuat hafalan serta daya ingatnya dan bukan pelupa.
b. Dabit
dalam arti dapat memelihara kitab hadist dari gurunya sebaik-baiknya sehingga
tidak mungkin ada perubahan.
Cara
untuk mengetahui ke-dhabitan-an perawi adalah dengan jalan I’tibar
terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberi
keyakinan.
5.
Tidak syadz,
artinya hadits yang diriwayatkan tidak ganjil atau berlawanan dengan hadits
yang lebih kuat serta ayat-ayat Al-Qur’an.
B. Tahhamul wal Ada’ dan Lambang-
lambangnya
1.
Pengertian at-Tahammul wa al-Ada’ al-Hadist
(Transformasi Kitab Hadis)
a.
At-Tahammul al-Hadist.
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud
dengan At-tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru
dengan salah satu cara tertentu . Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih
terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak
yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima
hadits, yang nantinya juga berimplikasi, seperti diungkapkan oleh al Karmani 2
pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai
umur baligh ataukah malah sebaliknya.
b. Al-ada’ al-Hadist
Al-Ada‘
secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
secara terminologis Al-Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan)
hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau
proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena Tidak
semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas
ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan
syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
Ø Ketahanan
ingatan informator (Dlabitur Rawi).
Ø integritas
keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatur
Rawi).
Ø Mengetahui
maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia
meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Ø Sifat adil
ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang
dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu
mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu
konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
2. Syarat-syarat Tahammulul-Hadits.
Adapun syarat-syarat bagi
seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
Ø Penerima
harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
Ø Berakal sempurna.
Ø Tamyis.
Ulama’ hadist memiliki
beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang
bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadistpun masih berbeda pendapat. Ada
yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun,
bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa ulama’ hadist masih
berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist, mayoritas ulama’
hadist menganggap mereka boleh menerima riwayat hadits, sementara yang lain
berpendapat bahwa hadits yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih
mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur
dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadits yang
diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dll, tanpa
membedakan mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang
setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan
oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadits, bahkan beliau
menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun
hadits yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya
(ada’) setelah masuk Islam. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang
dikemukakan oleh para kritikus adalah factor utama bukanlah batasan umur,
melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baliqh.
3. Syarat-syarat Al-Ada’ul-Hadits.
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan
fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits
harus Mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit), serta memilik
integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas
(Tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang
dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu
mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten
dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu,
untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:
Ø Islam
Ø Baligh
Ø Berakal
Ø Takwa
4. Sighat
Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya terhadap Persambungan Sanad.
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan
macam yaitu :
a. Al-Sima’ (mendengar)
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima’
mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut
mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari
gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut :
سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى
قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak
sendirian maka dhamir mutakallim diganti dengan dhamir jamak (نا).
Muhaddits
periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت,
sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak
memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama
digunakan untuk mewartakan hadits yang didengar langsung Hadits yang
diriwayatkan dengan salah satu lafadh diatas menunjukkan pada bersambungnya
sanad.
b. Al-Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
Al-Qira’ah disebut juga al-‘Ardlu
memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik
hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di
depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh
berada pada posisi mendengarkan.
Dalam
situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal
hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada
catatannya atau sebuah kitab yang kredibel.Akan tetapi jika syeikh tidak hafal
hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini
menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.Terkait dengan qira’ah ini
sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang
lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ ynag berpendapat bahwa qira’ah
sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadits adalah al Zuhri, al Bukhari,
mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad
yang muttasil.
c. Al-Ijazah
Yakni
seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau
kitab kepada seseorang atau orang – orang tertentu, sekalipun sang murid tidak
membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti :
(aku
mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku)
Para ulama berbeda
pendapat mengenai penggunaan al-ijazah sebagai cara untuk meriwayatkan hadis.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan menggunakan ijazah
dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan. Bahkan, ada sebagaian ulama yang
mengingkari cara al-ijazah ini.Adapun ulama yang memperbolehkan cara al-ijazah
ini menetapkan syarat bahwa sang guru harus benar – benar mengerti tentang
hadis atau kita yang diijazahkan, dan naskah muridnya harus menyamai dengan
yang asli, sehingga seolah – olah naskah tersebut adalah aslinya selain itu,
guru yang member ijazah itu benar – benar ahli ilmu.
Al-Qadi
Iyad membagi al-ijazah ini menjadi enam macam, sedangkan Ibnu ash-shalah
menambahkan satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Ketujuh macam
al-ijazah tersebut adalah sebagai berikut :
1) seorang
guru mengijazahkan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu sebuah kitab
yang dia sebutkan kepada mereka. Al-ijazah seperti ini diperbolehkan menurut
jumhur.
2) bentuk
ujazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu,
seperti “Aku ijazahakan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu
riwayatkan.”cara seperti ini menurut jumhur juga tergolong yang
diperbolehkan.
3) bentuk
al-ijazah secara umum, seperti ungkapan “aku ijazahakan kepada kaum
muslimin atau kepada orang-orang yang ada(hadir).”
4) bentuk
al-ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang
tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid.
5) bentuk
al-ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada bayi yang
masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.
6) bentuk
al-ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan kepada penerima ijazah,
seperti ungkapan “aku ijazahakan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu
yang akan kudengarkan.”cara seperti ini dianggap batal.
7) bentuk
al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru” Aku ijazahkan kepadamu ijazahku.”
Bentuk ini diperbolehkan.
d. Al-Munawalah
Tindakan
seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan
dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya
Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan
riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi
menjadi beberapa macam :
Ø Guru
mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia
kepada mu”.
Ø Mirip dengan
munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab
ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
Ø Seorang
murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini
adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan
ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan
berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk
meriwayatkan.
e. Al-Mukatabah (menulis).
Yang
dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits baik
ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang
yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain.
Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai
dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah.
Pendapat
yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan
ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika
kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.
f. Al-I’lam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
Al-I’lam
as-Syaikh adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya
bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar,
tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam
bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits
riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya
diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah
satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun
demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini
dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat
singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh
Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.
g. Al-Washiyat.
Al-Washiyat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam
masa-masa sakaratul maut; yaitu washiyat kepada seseorang tentang kitab
tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits
yang diperoleh dengan cara washiyat. Washiyat hadits menurut mereka sama dengan
pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada
muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Sekalipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat
dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam,
sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang
menerima hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus
terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut
diterima dengan washiyat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar
langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya,
dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai dengan
mendengar langsung atau qira’ah.
h. Al-Wijadah
Seorang
rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau
seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak
mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Al-Wijadah juga tidak terlepas
dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para
kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin
meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت
بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber
data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya
dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Dari
beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil
kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits,
maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits
tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits.
Sebagaimana berikut:
1) Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya
adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja
perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2) Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang
meriwayatkan harus menggunakan kata:
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا
فلان قرأة عليه
3) Ketika proses tahamul menggunakan
ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah :
أجازنى فلان, أنبأنى
4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah:
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة,
أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5) Ketika proses tahamul dengan
kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني
حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6) Ketika prosesnya menggunkan
pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian
menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah ( penemuan sebuah manuskrip
atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
C. Istilah-istilah Berkenaan dengan
Periwayatan Hadist
Dalam hadis terkadang mempunyai
sanad yang banyak, dan untuk menghemat penulisannya biasanya tidak ditulis
semua nama-nama perawinya, namun dengan istilah-istilah. Sering kita jumpai
istilah-istilah yang terdapat dalam buku-buku hadits bahwa sebuah hadits
diriwayatkan oleh السبعة , الستة, متفق عليه atau yang lainnya. Istilah-istilah tersebut
seperti :
1.
Akhrajahu al-Sab’ah (أخرجه السبعة)
Istilah
ini umumnya mengiringi matan dari suatu Hadits. Hal tersebut berarti
bahwa Hadits yang disebutkan terdahulu diriwayatkan oleh tujuh Ulama’ atau
Perawi Hadits, yaitu Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Tirmidzi,
Al-Nasa’i, dan Ibn Majjah.
2.
Akhrajahu al-sittah(أخرجه الستة)
Maksud
Istilah ini adalah bahwa matan Hadits yang disebutkan dengannya adalah
diriwayatkan oleh enam orang perawi Hadits, yaitu: Bukhari, Muslim, Abu Daud,
Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, dan Ibn Majjah.
3.
Akhrajahu al-khamsah atau disebut juga Akhrajahu al-Arba’ah wa Ahmad (أخرجه الخمسة)
Maksudnya adalah matan Hadits
yang disebutkan bersamanya diriwayatkan oleh lima orang Imam Hadits, yaitu:
Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, dan Ibn Majjah.
4.
Akhrajahu al-Arba’ah atau Akhrajahu Ahab al-Sunan (أخرجه الأربعة)
Bahwa matan Hadits yang
disebutkan dengannya diriwayatkan oleh empat orang Imam Hadits, yaitu
penyusunan kitab-kitab sunan, yang terdiri atas: Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i,
Ibn Majjah.
5.
Akhrajahu al-Tsalatsah (أخرجه الثلاثة)
Maksudnya, adalah bahwa matan
Hadits yang disebutkan besertanya diriwayatkan oleh tiga orang imam Hadits,
yaitu: Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i.
6.
Muttafaq ‘Alaihi (متفق عليه)
Maksudnya, bahwa matan Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan ketentuan bahwa sanad
terakhirnya, yaitu di tingkat Sahabat, bertemu.
Perbedaannya
dengan Al-Bukhari wa Muslim adalah, bahwa yang disebut terakhir,
matan Haditsnya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi sanad-nya
berbeda pada tingkatan sahabat, yaitu di tingkat sahabat kedua sanad
tersebut tidak bertemu. Istilah yang terakhir ini sama dengan Rawahu
Al-Syaykhan, Akhrajahu Al-Syaykhan, atau Rawahu Bukhari Wa Muslim.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas kami menyimpulkan bahwa :
1. Syarat-syarat
untuk dapat meriwayatkan suatu hadis yaitu islam, baligh, ‘adalah, dhabit, dan
tidak syadz.
2. At-Tahammul adalah
proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan
metode-metode tertentu. Sedangkan al-Adâ adalah adalah proses (untuk)
menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
3.
metode dalam at-tahammul wa al-adâ’ adalah
melalui beberapa jalan yaitu as-Samâ’, al-Qirâ’ah ‘alâ Syaikh,
al-Ijâzah, al-Munâwalah, al-Mukâtabah, I’lâm asy-Syaikh, al-Washiyyah dan
al-Wijâdah.
4.
Istilah-istilah yang digunakan dalam periwayatan hadis
yaitu Akhrajahu al-Sab’ah,Akhrajahu al-sittah, Akhrajahu al-khamsah
atau disebut juga Akhrajahu al-Arba’ah wa Ahmad,Akhrajahu al-Arba’ah atau
Akhrajahu Ahab al-Sunan,Akhrajahu al-Tsalatsah,Muttafaq ‘Alaihi.
B. Saran
Kami
menyusun makalah ini dengan penuh kehati-hatian,dengan penuh harapan agar
sekiranya pembaca dapat mudah memahami,dan menerima pemaparan ataupun
penjelasan kami. Namun sejauh mana kami melangkah dan menatap dalam pembuatan
makalah ini,mungkin ada konsep-konsep ataupun pemaparan kami yang masih kurang
difahami,atau perlu diperbaiki,maka dari itu,kami selaku manusia yang menyadari
diri bahwa tidak ada sesuatupun yang sempurna,dengan penuh kerendahan hati,kami
meminta kepada pembaca sekalian,sekiranya ada tanggapan ataupun saran untuk
kami,demi mewujudkan adanya makalah kami yang lebih baik dihari selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Ajjajj, Muhammad al-Khathib, Ushûl al-Hadîts:
Pokok-pokok Ilmu Hadits , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
·
Azami, M.M. Memahami Ilmu Hadits, Terj. Meth
Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993
·
Mudasir, Ilmu
Hadist, Bandung :CV Pustaka Setia,1999.
·
Nur Sulaiman Muhammad,Antologi Ilmu Hadits,Ciputat:GP
Press,2009.
·
Zainimal, Ulumul
Hadits, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005
Nur Sulaiman Muhammad.Antologi
Ilmu Hadits,Ciputat:GP Press,2009.
Mudasir, Ilmu
Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2005.