“Ken!” Deska menelfon Ken, “gue di jendela kamar
elo, buka!”
Ken membukakan jendela kamarnya untuk Deska sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ngapain lo?” tanya Ken santai, “cewek
malem-malem bigini masih keluyuran.”
“Ambilin gue minum gih,” kata Deska setelah masuk
ke kamar Ken, “ambilin!”
Dia melihat wajah Deska yang tampak kesal tapi
tetap lucu dan tetap cerewet. Ken ke dapur untuk mengambil segelas air mineral
untuk Deska yang tidak lain saudara kembarnya.
“Ken,....” Bunda mengejutkan Ken, “jus untuk
siapa?”
“Oh iya,
kenapa gua buatin jus? Air putih mah cukup.” Ucap Ken dalam hati, “oh...
em... buat iseng-iseng,” lalu Ken langsung ngeloyor ke kamar.
Tidak lupa dan tidak akan terlupakan janji Ken
pada saudara kembarnya. Dia berjanji akan membiarkan saudara kembarnya pada
jalan sendiri, pilihannya sendiri, dan apapun yang membuat Deska tenang.
“Ih baek deh sodara kembar gue ini. Lama-lama
makin manis aja,” Deska mencubit Ken seolah-oleh Ken siswa TK yang berusia 5
tahun, “gue nginep di sini ya? Ya Ken, ya ya ya? Please....” pinta Deska dalam arti lain.
“Rumah ini kan rumah lo juga, kenapa izin? O...
Gue ngerti, maksudnya jangan sampe bunda tau?”
“Bunda? Hidih, tante aja kali jangan bunda, mit
amit deh gue.” Ucap Deska kesal mengingat saudara kembarnya sudah mulai dekat
dengan ibu tiri mereka.
Satu tahun lalu, Deska dan Ayahnya masih
tinggal di Semarang kecuali Ken. Ken tinggal di Bandung karena dia sudah yakin
sekolah di sebuah SMU di Bandung.
Deska dan Ayahnya, mereka pindah
setelah Ayah mereka menikah lagi namun, Deska tidak mau satu rumah dengan ibu
tiri mereka. Deska tetap memilih tinggal di Semarang bersama neneknya namun,
pada bulan ke-4 pernikahan ayah mereka, Deska menyusul ke Bandung.
Deska memang di Bandung tapi dia masih
marah pada Ayahnya yang telah menikah lagi. Dia tidak ingin satu rumah dengan
ibu tirinya walaupun jujur, dia merindukan satu rumah dengan Ayah dan saudara
kembarnya. Deska memilih untuk nge-kost
saja dari pada harus satu rumah dengan seorang ibu tiri.
“Ckck, udah ngerjain tugas Kimia lo?”
tanya Ken, mengingat mereka satu sekolah dan satu kelas, “udah apa belum!”
“Belum lah, gue ke sini kan kangen
sama elo, kangen sama Papa tapi males liat tampang tante itu, dih.” Deska
benar-benar tidak suka dengan ibu tirinya, “ngerjain sekarang aja, kita
kerjasama, oke-oke?”
**
Deska mengomel-ngomel di halte bis
karena semua bis penuh, “sial! Bisa telat gue!”
Sebuah sepeda motor berhenti tepat di
depan Deska. Deska tahu betul kalau seseorang di balik helm itu adalah siswa
yang satu sekolah dengannya, sudah terlihat dari seragam yang di kenakan.
“Yhaha ketinggalan bis, jakil aja
non,” goda Zero, “Mau tumpangan? Ooo, tidak bisa, maaf, motor gue haram
hukumnya ngeboncengin cewek yang pernah buat gue kecebur di kolam ikan
sekolah,”
Mata Deska melotot sampai mau keluar
memandangi Zero, “Sial!” batinnya
dalam hati, “siapa juga yang butuh tumpangan dari elo?”
“Serius nggak butuh tumpangan?” tanya
Zero lagi, “bener?”
“Em... eh dari pada gue telat,”
**
Kelas riuh, gaduh dan sudah tampak
seperti suara ibu-ibu yang berebut obral alat rumah tangga. Namun, mereka bukan
ibu-ibu. Mereka siswa SMU, mereka siswa kelas XI IPA 4.
Seperti kebanyakan kelas dan
kebiasaaan para siswa pada umumnya. Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk
buru-buru mencontek tugas teman dari pada nanti akan mendapat nilai kecil.
Ini aneh namun pada kenyataannya
inilah fakta yang tidak bisa di hindari. Tidak ada kata sepakat sebelum ini
untuk beramai-ramai mengerjakan tugas di pagi hari namun, kesepakatan itu
selalu dan selalu terjadi tanpa ucapan melainkan tindakan. Buset dah.
“OMG!
Ckck, nyalin masal” ucap Deska dalam hati, “ada apa yak?” tanyanya pada
seisi kelas namun tidak ada yang mempedulikan Deska, “sibuk semua,”
“Udah ngerjain tugas Kimia lo Ka?” (Deska, di panggil dengan dua huruf akhir)
tanya seorang siswa bernama Neon, siswa yang mendapat peringkat di kelas dan
cukup baik serta ramah, “Ka, udah tugasnya?” tanyanya lagi.
“Udah,” jawab Deska, “eh gue udah belum sih ngerjain tugas Kimia?
Kan tadi melem yang ngerjain tugasnya Ken terus gue malah molor dah,” dia
tertawa-tawa kecil mengingat banyaknya tugas kimia dan dia tidak bisa membayangkan
bagaimana lelahnya Ken mengerjakan dua tugas sekaligus.
Udara pagi masih jernih dan Neon
mengajak Deska untuk berbincang luar kelas dari pada di dalam kelas yang ribut.
Kelas XI IPA 4 memang kelas yang
paling rajin untuk hadir di pagi, bahkan amat pagi hari. Sebenarnya bukan
karena tidak ingin terlambat atau memang ingin rajin tapi, demi mengerjakan
sebuah tugas yang belum di kerjakan.
“Siswi baru di tahun ajaran baru,
siswi baru yang baru dateng pendiem, kalem tapi setelah satu bulan berlalu cerewet,” kata
Neon saat mereka berjalan menyusuri koridor sekolah menuju kantin sekolah, “lo
tau itu siapa?”
“Sial!
Ini anak nyindir gue,” gerutu Deska dalam hati, “haha itu kan gue, bagi gue
itu sebuah pujian,”
Kantin sepi, hanya ada beberapa siswa yang
sarapan di kantin karena tidak sempat sarapan di rumah.
Neon memesan nasi goreng sedangkan
Deska hanya memesan segelas minuman dingin saja. Deska memang tidak sempat
sarapan karena dia menginap di rumahnya bukan di tempat kostnya. Dia tidak mau bertemu ibu tirinya di meja makan atau
memakan masakan ibu tirinya. Dia keluar rumah melalui jendela kamar Ken tanpa
ada seorang pun yang tahu kalau semalam dia menginap di rumah.
“Makan Ka,” Neon menyuruh Deska
memakan nasi goreng yang di pesan. Deska heran ternyata nasi goreng itu bukan
untuk di makan oleh Neon melainkan untuknya, benar-bener membuat Deska merara
aneh, “Lo itu belum sarapan, tampang lo ceria tapi suram gitu,”
“Hah? Emang ada tampang ceria tapi
suram? Aneh-aneh aja loh elo ini, nggak nyambung dah, sumpah aja,”
“Di sambungin pake tali, kalo gak ada
tali pake lem,” suara Neon datar lalu dia memberikan isyarat agar Deska memakan
makanan yang di pesannya, “nanti kita ujian Kimia kan kalo itu perut bunyi bisa
ngeganggu seisi kelas,”
Kepala Deska pusing mendengar setiap
ucapan Neon karena semua ucapan Neon itu seolah-oleh tidak mau di kalahkan.
Kadang, Deska harus diam agar Neon juga diam.
Ketika Deska menjadi siswa baru di SMU
ini, dia tidak memiliki seorang teman atau kenalan seorang pun. Hanya Ken yang
di kenalnya tapi, dia tidak mau seisi sekolah tahu kalau dia saudara kembar
Ken. Dia ingin seisi sekolah mengetahuinya tanpa dia bicara apa-apa atau Ken
yang memberitahu.
Kelas XI IPA 4 adalah kelas yang
tergolong cuek dan saling acuh satu sama lain kecuali saat ujian barulah
kompak. Deska agak sedih dengan keadaan kelas yang seperti itu apalagi dia juga
tidak bisa langsung akrab dengan Ken karena itu akan menimbulkan banyak
pertanyaan.
Neon, cowok satu ini adalah teman
pertama Deska saat menjadi siswa baru. Mereka berkenalan karena kebetulan,
Deska satu bangku dengan Neon. Bukan tidak ada yang menawari Deska untuk duduk
di bangku lain tapi, Deska ingat kata Ken. Di kelas ada 3 bangku kosong, 2
bangku di huni 2 playboy kelas
kacangan dan satu bangku di huni oleh siswa cerdas tapi sedikit pemilih dalam
hal berteman.
Awalnya ada dua cowok yang merayu
Deska untuk duduk satu bangku dengan mereka tapi, dengan senyum manis nan
memikat, Deska menolaknya secara halus. Mereka agak kecewa tapi akhirnya mereka
hanya bisa tersenyum lalu berkenalan dengan Deska dengan alasan siswa baru
harus kenalan.
Ada beberapa siswi juga yang tidak
menyukai Deska karena di anggap sok manis dan sok cantik bahkan ada yang bilang
senyum palsu.
Neon menjitak kepala Deska, “Ka, makan
dulu lo itu, ngelamun mah gak ada abisnya,” katanya yang melihat Deska melamun,
“Bel 5 menit lagi, jarak dari sini ke kalas 3 menit tapi kalo sama ngobrol bisa
sampe 5 menit lebih,”
“Udah kenyang,” kata Deska mengeluh
kekenyangan padahal dia baru makan sedikit, “eh, lo yang mesen makanan berarti
elo yang bayar kan?”
“Iya,” jawab Neon singkat.
**
Kelas hening dan dengan tenangnya
semua siswa melongo pasrah melihat soal-soal Uji Blok Kimia yang tampak seperti
monster mematikan.
Tidak ada yang ribut, mengeluh, atau
sedih. Mereka hanya bisa manatap lembar soal yang penuh dan memandangi lembar
jawaban yang kosong, bersih, dan tanpa noda tinta pena sedikitpun.
“Berarti
hasilnya ini terus di kaliin lagi sama hasil ini baru nanti di akarin,”
ucap Deska dalam hati, dia sudah menyelesaikan 4 dari 8 soal yang di ujikan,”
Deska memang tergolong siswa yang
pintar hanya saja, dia sedikit malas apalagi kalau sudah berhubungan dengan
catat mencatat rumus atau teori. Dia pasti akan mengeluh kalau tangannya bisa-bisa
keram karena harus menulis tangan.
“Ka, lo udah belum?” bisik salah
seorang siswi bernama Triska namun Deska hanya memandang sejenak lalu
menggeleng, “seriusan belum?”
“Udah 5 soal sekarang, belum semua,
lumayan mudah kok soalnya, tuh Neon aja udah selesai,” ucap Deska sedikit
dengan nada yang terdengar guru lalu dia di tegur, “maaf Bu,” kata Deska.
Suasana hening kembali apalagi guru
yang mengawas sangat di kenal killer.
Tidak ada yang berani mencontek buku cetak, buku catatan, apalagi kawan kecuali
ada kesempatan.
Waktu masih tersisa 25 menit dan dia
sudah menyelesaikan semua soal itu. Di pandangnya Ken yang baru mengerjakan 5
soal sambil menguap ngantuk.
“Aduh,
semaleman kan Ken nulisin tugas gue sampe hampir nggak tidur sama sekali.
Kasian, nah gue malah enak-enakan tidur,” ucap Deska dalam hati lalu dia
ingat kalau dia belum menulis namanya dalam lembar jawaban.
Deska mengambil lembar jawaban Ken
diam-diam dan menukarnya dengan lembar jawabannya. Dia telah menuliskan nama
Ken dengan tebal dan untungnya lembar jawaban Ken juga belum di tulis nama.
Ken bingung tapi dia senang-senang
saja toh tidak ada bedanya karena sebenarnya dia bisa mengerjakan hanya saja
dia susah memerangi rasa kantuk yang menyerang.
“Aneh,
ada hubungan apa mereka?” batin Neon sambil memandangi Deska lalu Neon
beranjak dari bangkunya sambil menggelengkan kepalanya dan keluar dari kelas.
Setelah Neon keluar, beberapa saat
kemudian para siswa keluar satu persatu termasuk Deska dan Ken.
“Ken, sorry ya gara-gara semalem jadi lo ngantuk gini. Maaf,” ucap Deska
lirih di depan kelas.
Para siswa yang sudah selesai
mengerjakan soal ulanga diizinkan keluar kelas namun, hanya duduk di depan
kelas, bukan ke kantin atau ke tempat lain.
“Tau mah yang pinter iya jadi batu
idup tadi nggak mau ngasih tau,” ucap Triska agak sewot, “mau naik kelas
sendiri begitulah.”
“Ini
anak nyindir gue? Dih, ampun dah, cuma begini doang diributin,” Deska
berpura-pura tersenyum, “yaa maaf sih Tris, kan yang ngawas susah, coba lo tadi
nanya Neon aja, kan duduknya deketan sama Neon.”
“Hehe,” Triska tersenyum sinis,
sepertinya dia juga tidak menyukai Neon.
Di kelas, banyak siswa yang kesal pada
Neon karena di kenal sebagai cowok yang pelit saat ujian. Memang, wajah Neon
memperlihatkan keramahan tapi, bagi seisi kelas itu adalah wajah yang
benar-benar menghanyutkan.
Awalnya, banyak siswi di kelas yang
menyukai Neon karena selain tampan, dia juga suka tersenyum. Namun, semakin
lama, mereka kesal karena Neon pelit sekali dimintai jawaban.
“Berarti
kalo gue pelit waktu ulangan bakalan dijauhin kayak Neon? Aduh, gue nggak mau
di jauhin tapi, gue juga nggak mau kerjaan gue yang susah-susah gue mikirnya di
copast gitu aja,” Keluh Deska dalam hati, “eh Neon-Neon, tadi lo cepet
banget sih ngerjainnya, otak lo terbuat dari apa yak?” tanya Deska mengalihkan
perhatian.
“Lo lebih cepet dari gue geh Ka, ya
karena lo ngerjain 2 kali jadi agak lama.” Ucap Neon karena dia tahu kalau
Deska juga mengerjakan soal ujian milik Ken.
***
“Papa,” Deska terkejut ketika Ayahnya menunggu
di ruang tamu tempatnya nge-kost,
“ada apa Pa?” dia duduk di samping Ayahnya.
Ayahnya meminta Deska untuk tinggal
bersama namun, Deska masih saja menolak. “Yaudah, Deska mau tinggal sama Papa
tapi, istri baru Papa harus keluar, gimana?” dia memberi penawaran pada
Ayahnya, “nggak mau ya sudah, Deska juga nggak maksa Papa tuh.”
Ayahnya mencoba merayu Deska, dia
terus mengatakan pada Deska, memberi Deska pengertian bahwa ibu tirinya itu
baik dan tidak akan menganggu. Namun, Deska masih pada pendiriannya.
“Deska nggak ngelarang Papa nikah
lagi, Deska ngasih izin tapi Deska tetep nggak setuju untuk nerima wanita itu
di hati Deska. TITIK! Kalau Papa mau Deska pulang kerumah, kumpul sama Papa,
sama Ken, wanita itu harus nggak ada disana, TITIK!”nadanya meninggi dan
langsung pergi meninggalkan ayahnya.
Deska memang amat sangat tidak
menyukai wanita yang sudah menikah dengan Ayahnya. Dia benar-benar tidak
menyukainya apalagi wanita itu adalah sahabat dekat ibunya. Bagi Deska, itu
sebuah penghianatan yang besar.
“Sial! Tiap hari aja kalo gini mah Papa bilang ABC sama gue! Terus aja!
Udah gue bilang kalo mau wanita itu nikah sama Papa, yaudah, yang penting
jangan usik ketenangan gue!”
Deska membanting-banting bantal dan boneka di kamarnya, “gue nggak suka karena tante itu penghianat!”
**
“Nunggu bis neng...” seseorang bicara
pada Deska di halte tapi pandangan Deska malah ke handphonenya tanpa ingin tahu itu siapa, “mau bareng nggak?”
Suara bising kendaraan bermotor
membuat suara itu tidak jelas namun, dapat kupastikan kalau itu adalah Zero. Pasti itu Zero! Pasti!
“Nah kan ngelamun, cepet gih!” cowok
itu menjitak kepala Deska dan Deska langsung memandang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar