Mario oh Mario
Cerpen oleh Aula Nurul M
Wanita itu bukan mahluk yang
menyebalkan, bukan mahluk yang selalu mengganggu, dan bukan mahluk yang di
anggap berisik. Wanita itu adalah wanita, sudah takdirnya jika wanita seperti
itu. Kalau tidak menyebalkan, itu bukan wanita. Kalau tidak berisik itu bukan
wanita. Bisa-bisa dunia ini sepi tanpa adanya wanita.
Nggak tau kenapa, di sekolah ini ada
salah satu cowok sinting yang menganggap wanita itu mahluk yang menyebalkan.
Aku pernah mendengarnya dari beberapa teman. Kurasa dia seorang gay atau dia nggak pernah di lahirkan
seorang wanita, tiba-tiba muncul saja di bumi
Tiba-tiba di kelasku masuk seorang
siswi yang kurang kusukai, namanya Nanda, “hei,” sapanya pada beberapa teman.
Tampangnya sok manis dan sok cantik, di tambah sok ramah padahal di kelas ini
hampir 90 persen membencinya. Jelas saja, dia menyebalkan dan sombong tapi,
sudahlah, lebih baik Aku men-deletenya
dari kisah ini.
“Boom boom tak!” seseorang menjitak
kepalaku, cukup sakit, “ada gue tuh di mata lo,” tambahnya. Dia Joshua, teman
baikku sekaligus sahabat baikku. Joshua dan Aku sudah berteman sejak kami SMP
dan di lajutkan lagi sampai SMA ini. Dia dan Aku seperti nggak terpisahkan.
“Josh Josh, lo tau nggak, kemaren kan
gue ketemu si cowok aneh itu, eh dia sinis gitu ke gue. Hidih,” kataku, Joshua
tidak merespon, “Josh!”
“Ada yang mau gue bilangin sama lo,”
kata Joshua lirih lalu dia mengeluarkan handphonenya,
“mantan lo kemaren kecelakaan,”
Mantanku kecelakaan? Waw, kejutan
sekali. Mungkin itu hukuman untuknya karena telah selingkuh. Memang Aku sama
sekali nggak cinta sama dia tapi, tetap saja memalukan jika di selingkuhi
apalagi berita itu menyebar ke seantero sekolah. Di taruh mana mukaku?
“Tapi, kasian juga sih,” kataku, “eh
tapi, sudahlah, pacarnya kan sudah menunggunya di sisinya dan mudah-mudahan aja
mereka langgeng selanggeng-langgengnya.”
“Yaudah santai-santai, senyum yang
manis geh,” Joshua menyubit pipiku, “natal nanti masa iya lo nggak punya
pacar?” Josh memandang, “apa mau pacaran sama gue?”
Ketika jam seni, kelasku di tugasi
untuk menuliskan benda apa saja yang ada di ruang seni sekolah. Yang jelas, ada
banyak alat musi tapi, mana kutahu nama alat musik itu apa. Kalau gitar jelas
Aku tahu tapi kalau yang tradisional-tradisional, Aku nggak tau sama sekali.
Aku kan bukan pecinta seni, Aku pecinta buku. Eh salah, ngawur sekali. Aku suka
seni tapi, jika dalam posisi itu Aku di jadikan objek.
Satu-dua-tiga dan beberapa benda
kuamati tapi, Aku benar-benar bingung nggak ngerti, nggak conect untuk membuat
coretan di buku. Bukan karena Aku bodoh tapi, karena otakku sedikit konslet.
Yap, rasanya begitulah.
“Kay, liat geh Mario tuh,” kata
Cristin sambil menunjuk ke Mario. Yap, itu Mario, si cowok aneh yang mengatakan
kalau wanita itu aneh. Menurutku malah dia yang aneh. Jangan-jangan benar kalau
dia gay, “sayang ya padahal
cakep-cakep tapi ya kok nggak suka sama cewek, haduh. Gue aja mau jadi pacarnya
tapi, ckck,”
“Habis dia nggak deket sama cewek
jenis apapun.”
Entah jin apa yang merasuki otakku,
Aku melangkah berjalan mendekati Mario. Aku penasaran saja sama anak kelas
tetangga yang sendirian memperhatikan barang-barang seni di sini.
“Eh Mario, ngapain disini?” tanyaku,
dia cuek, “yah... kok gue di cuekin, nyedih banget sih, ckck”
Mario masih diam dan tidak bicara. Rasanya
benar kalau ini manusia sangat anti dengan wanita. Lihat saja, jelas-jelas ada
siswi cantik yang mencoba mengajaknya berbincang tapi dia tidak merespon. Awas
saja kalau dia tiba-tiba menyukaiku lalu memohon-mohon cintaku, akan kubuat
sengsara.
“Hm... lo suka seni ya, aduh, gue
malah suka belanja,” kataku ngawur, dia masih cuek. Sumpah, Aku merasa
tertantang untuk membuatnya berbicara, “Mario-Mario, kok lo hebat banget sih
jadi kapten futsal sekolah ini.”
“Kay,” Mario bicara padaku dan dup,
entahlah kok Aku jadi salah tingkah dia bicara padaku, “apa lo nggak bisa
sesekali hening?” hah? Sesekali hening? Memang kapan Aku cerewet di hadapannya,
rasanya nggak pernah, “udah selesai Kay tugas lo?”
“Udah kok,” kataku bohong, “oh iya,
pita suara lo mahal ya kok jarang ngomong sama cewek?” tanyaku, dia tersenyum,
“eh akhirnya Mario senyum padahal gue kira senyum lo lebih mahal lagi,”
Suara riuh gaduh mulai terdengar.
Anak-anak kelasku mulai iseng memainkan alat musik satu per satu lalu mencoba
beberapa pakaian adat satu per satu, benar-benar sinting. Lalu di sini, Aku
masih berdiri bersama Mario sambil memperhatikan sebuah kain yang bernama Tapis
asal daerah Lampung.
Kata orang-orang sih, kain ini
melambangkan sesuatu tapi, kataku kain ini melambangkan kesabaran. Jelas saja,
dari bentuk, cara pembuatan, dan pemakaianya pun pasti harus dengan kesabaran.
“Oh iya Nes, tumben lo negor gue.”
Ucap Mario. Aku terkejut. Memang, Aku tidak pernah menegurnya karena bagiku dia
adalah siswa ganteng tapi aneh, siswa yang cool tapi aneh. Pokoknya aneh,
titik! “seinget gue, lo itu sering ngeliatin gue dengan pandangan nggak suka.”
“Ya iyalah nggak suka, masa iya gue
suka sama lo nanti jadi cinta dong,” ucapku seadanya, “kata orang sih suka sama
cinta beda tapi kata gue sama, tipis perbedaannya.”
“Berisik banget lo Kay,” tuk! Ucapan
Mario membuatku kesal. Benar kata kebanyakan orang kalau Mario itu menganggap
cewek adalah mahluk yang berisik padahal, itu hal yang wajar justru Mario-lah
yang terlihat sangat-tidak-wajar.
Handphoneku bergetar, kulihat
ternyata ada sebuah pesan di WA-ku. Ternyata dari mantanku, aisi, sudahlah tak
penting. Mario masih di sampingku, dia masih saja tenang dan nggak banyak
bicara. Memang, cowok akan lebih cool kalau dia tidak banyak bicara tapi, kok Aku
jadi ngerasa aneh melihat Mario. Wajar saja kalau dia di juluki si ganteng yang
aneh.
“Mario, boleh nanya nggak? Boleh aja
ya?” tanyaku dengan centil sambil menggodanya dan dia tidak merespon ucapanku.
Jelas-jelas yang di sampingnya ini adalah cewek cantik tapi, Aku jadi ngerasa
kalau Mario melihatku sebagai seorang anak kecil yang mengganggunya. Apa boleh
buat, Aku bosan menggoda cowok aneh satu ini. Aku kembali melanjutkan tugasku.
Kakiku melangkah mendekati Cristin
yang sedang berbincang dengan Josh. Mereka menertawakanku karena gagal menggoda
Mario. Jujur, ini untuk pertamakalinya Aku menggoda cowok. Entah karena
penasaran atau entah karena iseng tapi, keduanya sama saja bagiku.
“Ckck, kan itu cowok picek banget.
Cowok-cowok di sekolah ini aja susahnya minta ampun buat ngedeketin lo, lah ini
lo udah ngedeketin tapi itu anak...ckck,” Cristin menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Belum tentu Mario nggak suka sama
cewek. Bisa aja kan ada cewek yang di taksir dia tapi cewek itu udah punya
pacar?” Josh terdengar membela Mario dan Aku jadi sebal dengannya.
Kembali ke kelas, pelajaran
selanjutnya di mulai dan mulailah otakku di peras habis-habisan oleh
Matematika. Rasanya ada asap yang mengepul di atas kepalaku dan lama-lama ingin
meledak.
**
Aku sedang makan siang dengan Mama di
sebuah tempat yang cukup tenang. Aku memesan sebuah masakan Cina sedangkan Mama
memesan sebuah masakan asli Indonesia.
“Ma, nggak ada tempat lain selain
disini ya?” tanyaku, Mama tersenyum. Aku sedikit bosan dengan tempat ini karena
terlalu tenang. Rasanya, tempat ini lebih cocok untuk orang-orang yang sudah
bukan remaja lagi. Kalau Aku boleh memilih, Aku memilih makan di mol saja di
bandingkan disini.
Sedang lahapnya makan, Aku melihat
Mario melintas lalu keluar. Apakah dia makan di tempat ini sendirian? Kulihat
dia keluar tanpa teman dan tanpa jin di sampingnya. Anak itu, ckck benar-benar
menyukai ketenangan.
Karena bosan, Aku berpamitan dengan
Mama untuk pulang duluan. Kakiku langsung menuju tempat parkir dan menyapa
Mario.
“Eh Mario, sendirian aja?” kataku
iseng, “padahal nggak enak lah makan sendirian, ckck kasian,” tambahku.
Sebenarnya Aku ingin membuatnya kesal tapi, dia nggak menunjukkan kekesalan
sama sekali.
“Kay, ke mol yuk,” ajaknya, Aku
bengong sesaat, “gimana?”
“Nggak ah, bete gue ke mol sama lo.
Yang ada gue nyerocos terus tapi sama angin,” kataku, dia memandangku.
Sepertinya dia ingin merefresh otaknya dengan jalan-jalan ke mol seperti yang
sering kulakukan, “lagian lo mudah banget ngajak jalan-jalan ke mol, Josh aja
kadang sampe ngerayu-rayu dulu.”
Mario memandangku, nggak bicara apapun
lagi dan entahlah, Aku langsung saja tersenyum lalu kami menuju mol. Agak aneh
juga sih rasanya ke mol bareng cowok aneh tapi, nggak masalah toh tampangnya
membuatku pede untuk jalan-jalan walaupun, Aku ngerasa agak aneh, aneh, sangat
aneh.
Kami sempat bermain di mol setelah itu
melihat-lihat boneka. Boneka yang kuidam-idamkan minggu lalu sekarang kumiliki
karena Mario membelikannya untukku. Ternyata anak ini baik juga dan ternyata,
diluar sekolah dia tidak terlalu dingin seperti di sekolah. Sesekali dia
membuat lelucon dan sesekali kami saling mengejek.
“Kay....” seseorang menyapaku, dia
mantanku, “kamu kok nggak jenguk Aku Kay?”
“Eh, mantanku tersayang yaa?” tanyaku,
mantanku tersenyum lebar, “Aku kira kamu udah wafat ternyata belum, ckck,” lalu
Aku menarik tangan Mario, “sorry ya
gue sibuk,” kakiku melangkah sambil memandang sinis.
Sesaat Mario sempat memandangku tapi
dia mengerti dengan keadaan, “kesana yuk Kay,” Mario memintaku untuk
membantunya memilihkan jam tangan. Tentu saja Aku senang. Aku sering diminta
kakakku untuk memilihkannya jam tangan sehingga Aku tahu mana jam tangan cowok
yang bagus dan mana yang tidak bagus. Kata kakakku sih, Aku ahli dalam memilih.
Setelah setengah jam lebih, akhirnya
Aku memilih sebuah jam tangan yang kurasa cocok untuk Mario. Pasti dia nggak
akan menyesal karena telah memintaku untuk membantunya memilih.
Entahlah, selama beberapa jam ini kok
Aku ngerasa kalau inilah Mario yang sebenarnya bukan seperti gosip di sekolah.
Aku merasa kalau dia sedikit cuek di sekolah karena dia fokus belajar. Maklum,
dia anak yang tergolong jenius di sekolah dan di banggakan semua guru.
“Kamu tau nggak Kay kenapa kita
disini?”
“Ya jelas takdir lah,” kataku, “eh
bukan tapi, karena gue kasian sama lo soalnya lo kan keliatan bete gitu
mukanya, haha.”
Kami duduk sambil memesan dua mangkuk ice cream rasa coklat. Entah bagaimana
Mario bisa tahu ice cream kesukaanku
tapi, sudahlah yang penting Aku bisa mengklarifikasikan pada otakku kalau Mario
bukan gay.
Mario banyak bercerita padaku
tentangnya yang sudah mengenalku sejak pertamakali Aku menginjakkan kaki di
sekolah. Katanya sih, Aku siswi yang membuatnya penasaran karena terlalu ceria
dan tidak pilih-pilih dalam hal berteman. Katanya juga, walaupun Aku jago
karate tapi Aku terlihat sangat feminim. Wow sekali ucapannya tetangku, apakah
itu sebuah pujian?”
“Dan Aku tau kenapa kamu kalau pacaran
nggak pernah bener-bener sayang,” katanya, loh dari mana dia tahu? “karena kamu
pernah kehilangan pacar kamu untuk ke surga kan?” Tuk! Aku langsung diam, dia
benar, dia nggak salah. Aku takut untuk menyayangi seseorang lagi, kalau pun
pacaran Aku nggak pernah dengan rasa sayang yang mendalam. Aku hanya takut akan
merasakan kehilangan yang mendalam lagi ketika mencintai seseorang.
“Kamu sering mendapatkan kiriman mawar
nggak di rumah kamu dan hampir setiap hari?” tanyanya, Aku mengangguk. Hampir
setiap hari Aku mendapat kiriman mawar putih tanpa pengirim yang jelas. Awalnya
kukira itu dari salah satu cowok yang sedang PDKT denganku tapi, nggak sama
sekali. Aku nggak tau pengirim itu siapa, tujuannya mengirimkan apa, dan bagaimana
bisa tahu bunga kesukaanku, “Aku sayang sama kamu Kay,”
Tuutttt....... denyut nadiku hilang
sesaat seakan ini adalah mimpi. Benarkah Mario mengatakan itu? “Aku mengira
kamu nggak suka bahkan benci sama Aku,” katanya, “tapi, entahlah, di sini lain
Aku merasa ada keyakinan tersendiri.”
Oke. Kuakui Aku pernah
menyukainya tapi, setelah Cristin bilang kalau dia gay, Aku jadi ilfil. Waktu itu Aku kagum, Mario tampak sempurna dan
tampak seperti malaikat tapi, kalau dia gay,
hihi takut ah.
“Tapi, rasanya akan lebih baik kita
berteman.” Ucapnya sambil tersenyum padaku.
“Eh kok kita jadi Aku-Kamu Aku-Kamu
sih? Aneh banget,” kataku, “oh iya, gue pernah bilang sama nyokap gue.
Seandainya pengirim mawar itu adalah seorang cowok yang baik dan keren, gue
janji nggak akan nolak dia kalau dia nembak,” Mario memandangku, “waktu itu sih
gue cuma ngomong asal-asal tapi, udah ada kata janji jadi, rasanya dosa kalau
nggak di tepati.”
“Jadi?”
“Masalahnya elo belum nembak gue geh
jadi ya bingung juga,” kataku, Mario tertawa lalu memelukku. Agak aneh sih
tapi, sudahlah, janji adalah janji dan kalau Aku tahu Mario anaknya seperti
ini, Aku nggak salah kalau Aku pernah suka sama dia.
**
Seisi kelas memandangku, mereka bahkan
mencubit pipiku dan menjambak rambutku, “masih waras,” kata Christin, “masih
waras,” katanya berulang-ulang.
Ada apa? Apa ada yang salah? Apakah
salah kalau Aku berangkat sekolah bersama Mario dan memeluk pinggangnya? Apakah
salah?
“Lo pacaran sama Mario?” tanya Josh, “jawab
Kay,”
“Jawab dulu pertanyaan gue,” Aku
memandang sinis ke Josh, “kenapa lo nggak bilang kalo Mario suka sama gue dari
dulu? Kenapa?”
Josh itu menyebalkan. Aku baru tahu
kalau dia itu menyembunyikan satu rahasia. Josh sudah sejak lama mengetahui
kalau Mario menyukaiku dan dia tidak memberitahuku sama sekali. Menyebalkan
sekali kan?
“Jadi, Mario sama lo pacaran?” tanya
Christin, Aku tersenyum, “wow, jadi dia bukan gay? Jadi, dia naksir lo dari dulu? Wow, sumpah gue iri,” Christin
tertawa, “sip, selamet berarti pemikiran gue selama ini salah.”
Josh masih terdiam merasa bersalah
padaku, “udah nggak pa-pa, gue santai. Lagian karena lo nggak bilang, gue jadi
tau ternyata Mario cuma nunggu gue putus dari pacar gue baru dia mau melangkah.
Wow banget kan?”
“Huih-huih akhirnya,” kami tertawa
bersama merayakan berita baik ini.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar