Kadang semakin kita
menganggap hidup itu sulit maka hidup akan makin sulit. Dan, terus menerus akan
sulit. Namun, jika hidup kita anggap mudah maka kita nggak akan pernah
mendapatkan tantangan. Entahlah, bagiku, hidup itu membingungkan jika terlalu
jadi pokok pikiran. Yang aku tahu, kini aku menjalani
hidup dengan damai. Damai sekali. Begitu menyenangkan tanpa beban. Dan kuharap,
nggak akan pernah ada beban di hidupku
Useobwa
(Senyum)
Angka-angka diskon itu membuat mata Violeta
berbinar-binar dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia langsung
menuju lantai dua mol ini tempat diskon berlangsung. Namun, ia langsung lemas
melihat barang yang didiskon adalah barang-barang lama dengan merek biasa.
Ia turun ke lantai satu kemudian pulang.
“Violet, ada apa dengan wajahmu?” Mama terkejut
ketika Violet pulang dengan wajah pucat, “apakah kamu dari mol lagi?” ia
menangguk mendengar pertanyaan dari Mama, “bagaimana kamu ini, kamu berbisnis online shop tapi masih saja ke mol untuk
mengerjar diskon,”
“Aku menyesal Ma. Sudahlah, aku lelah, jangan
dibahas lagi,” katanya lirih tanpa semangat, “oh ya, makan malam nanti, aku
akan makan malam di luar. Jangan tunggu aku,” kemudian ia menghilang dari
pandangan Mama.
Mama hanya tersenyum melihat keseharian Violeta
yang selalu menghambur-hamburkan uang. Sebenarnya, Mama sudah melarang Violeta
untuk boros namun ada saja cara Violeta untuk membuat Mama diam seribu bahasa.
Di kamar, Violeta memilih-milih dress mana yang akan dipakainya malam
ini. Ia nggak mau berpenampilan biasa-biasa saja yang nggak menunjukkan jati
dirinya.
Violeta memiliki ruangan besar di dalam kamarnya yang
dikhususkan untuk menyimpan pakaian. Pintu rungan itu pun nggak terlalu
mencolok karena seseorang akan menganggap itu sebuah lukisan. Ya, kamar Violeta
memang nggak terlihat banyak barang karena semua barang-barang terutama yang
dikenakannya ada diruangan tersendiri.
‘Violet,
aku diminta ibuku untuk menanyakan kabarmu’
sebuah pesan meluncur pada handphone Violeta.
‘Baiklah,
katakan pada ibumu bahwa aku baik-baik saja. Sampaikan juga salamku pada ibumu.
Terimakasih sudah bertanya’
‘Ini
hanya sekedar formalitas,’
‘Dan aku
membalasnya pun hanya sebagai formalitas’
Terdengar suara sebuah mobil terhenti di halaman
depan. Violeta langsung melirik jam tangannya, ‘pukul tujuh tepat! Oke baiklah’.
Ia keluar dari rumah. Di depan rumah, sahabatnya,
Tasya sudah menunggu. Ia memandangi Tasya dari atas sampai bawah. Matanya
begitu takjub dengan kecantikan sahabatnya.
“Aku iri,” ucap Violet jujur. Ia benar-benar iri
melihat gaun yang dipakai Violeta malam itu, “apakah kamu membelinya di butik
langgananmu? Atau kamu memesannya secara khusus?”
“Ini hadiah, kalau kamu mau, besok aku bisa
mengantarkanmu pada perancangnya,” Tasya tersenyum kemenangan melihat mimik
wajah Violeta yang menunjukkan kekesalannya, “sudahlah, bungkus saja
kekesalanmu itu. Ayo! Aku sudah lapar,”
Mereka meluncur ke sebuah restoran Jepang yang
cukup mewah. Kebetulan, restoran ini baru beberapa minggu buka jadi mereka
ingin mencicipinya sambil menilai rasa masakan di sini.
“Kamu tahu harga dua porsi makanan yang akan kita
makan ini?” Tanya Tasya, Violeta tertawa kecil, “dua porsi makanan ini jika
diuangkan bisa membeli sebuah tablet. Bukankah itu sayang sekali?”
“Aku nggak boleh menyia-nyiakan uang Papa-ku.
Bukankah kamu berpikiran yang sama?” Tasya mematung, “hei, ayolah,” anggukan
dari Tasya pun didapatkannya, “baiklah, ayo kita makan,”
“Setelah ini, apakah sebaiknya kita minum
sedikit?” kemudian keduanya tertawa kecil bersama lalu mulai melahap makanan
yang telah datang beberapa menit lalu.
Sejak kecil, Violeta tumbuh besar bersama Tasya. Mereka
memiliki banyak kemiripan. Keduanya seperti anak kembar karena nggak pernah
terpisahkan walaupun wajah mereka nggak mirip. Mereka sama-sama cantik dan mempesona
setiap pemuda yang melihat. Mereka sama-sama suka shopping, sama-sama pengoleksi barang-barang bermerek mahal,
sama-sama suka dengan makanan mahal, dan masih banyak lagi kesamaan meeka. Cantik,
pintar, dan kaya, dapat dikatakan bahwa mereka cukup sempurna sebagai seorang
wanita.
Namun, ada salah satu yang membedakan mereka yaitu
tentang orang tua mereka. Kedua orang tua Tasya berbeda dengan kedua orang tua
Violeta. Tasya selalu dibatasi pengelurannya seriap bulan semenjak duduk
dibangku kuliah sedangkan Violeta nggak pernah dibatasi apapun itu sampai detik
ini.
Tasya sebenarnya sedikit iri dengan Violeta.
Setiap bulan ia harus mengatur pengeluarannya sedangkan Violeta nggak pernah
mau ambil pusing tentang uang yang dihabiskannya.
“Makanan ini rasanya benar-benar keren. Aku nggak
menyesal makan disini,”
“Bagiku ini biasa saja, kalau keren pasti makanan
ini akan meledak seperti BOM Bali di mulutku,” Violeta tertawa kecil, “ya kan?”
“Nggak lucu Vio, sumpah,”
“Lalu apa yang lucu? Mendapatkan pacar gitu?”
Tasya diam seribu bahasa. Keduanya sama-sama nggak
memiliki pacar. Walaupun banyak mahasiswa di kampus yang mendekati mereka tapi,
mereka sangat pemilih dalam hal pacaran. Untuk Violeta sendiri, ia nggak pernah
serius dalam berpacaran karena selama berpacaran dengan siapa pun, ia nggak
pernah merasakan jatuh cinta. Sedangkan Tasya, ia hanya jatuh cinta pada satu
pemuda yang nggak lain teman satu kampusnya namun pemuda itu nggak pernah
merespon cintanya sama sekali. Melirik pun hampir nggak.
“Sya, kamu nggak nyari pacar lagi?” tanya Violeta,
“Sya,” ia menendang kaki Violeta. Beberapa bulan lalu, Violeta putus dengan
pacarnya. Ia berpacaran tanpa sedikit pun rasa cinta, “cari dong Sya,”
“Cari pacar mah gampang ngedip mata juga dapet
tapi aku mau berjuang biar bisa dapetin hatinya Azka. Pokoknya harus Azka!
Titik! Udah nggak mau lagi pacaran sama yang ini itu biar Azka cemburu karena
ujung-ujungnya Azka nggak cemburu,” Tasya mengeluarkan banyak kata-kata dari
bibirnya sampai Violeta sedikit pusing, “Lah kamu, kenapa nggak nerima Rio
waktu dia nembak kamu?”
“Lagi males aja pacaran. Capek ngasih perhatian
palsu sama orang. Lagian... enak jomblo begini nggak ada yang ganggu,”
“Aku tau. Aku tau. Kamu takut hukum Tuhan kan
kalau pacaran? Hayo... takut karma gitu secara... ah sudahlah,” ia nggak
melanjutkan lagi ucapannya karena itu akan membuat Violeta kehilangan senyum
lagi.
**
Kampus nggak terlalu ramai hari ini. Anak-anak pun
nggak ada yang bergossip atau melakukan keributan lain. Begitu tenang dan
damai.
‘Hidup
ini benar-benar indah. Rasanya nyaman sekali jika hidup terus seperti ini.
Terus tersenyum tanpa sedikit pun masalah adalah impian semua orang. Aku ingin
terus tersenyum. Selamanya. Selama aku hidup bahkan sampai aku disisi Tuhan
pun, aku ingin tersenyum’
Violeta sudah menghabiskan sekaleng soft drink yang dibelinya sebelum
mencari-cari keberadaan sahabatnya.
Dari kejauhan, ia melihat Tasya sedang digoda para
mahasiswa dengan rayuan sejuta maut mereka. Mereka benar-benar terpesona dengan
kecantikan Tasya yang luar biasa sedangkan untuk menggoda Violeta, mereka nggak
berani karena Violeta sedikit menyeramkan jika digoda atau merasa terganggu.
“Hei Vio,” sapa dua orang mahasiswa yang Violeta
tidak ketahui siapa namanya, “duduk disini Vio,” mereka mengajak Violeta duduk
dikursi ketika melihat ada kursi kosong, “oh ya Vio, boleh nanya sesuatu
nggak?”
“Sorry,
aku nggak ada waktu untuk bicara dengan kalian kalau itu bukan hal penting
tentang mata kuliah,” jelas Violeta dengan lembut, “maaf ya, please jangan marah” Kedua mahasiswa itu
perlahan tancap gas meninggalkan Violeta. Walaupun mereka ingin lebih dekat
lagi dengannya tapi, mendengar penolakan yang begitu ramah membuat mereka nggak
enak hati.
Violeta kurang suka jika ada mahasiswa di kampus
yang mendekatinya. Bukan karena ia pilih-pilih teman tapi karena ia nggak suka
dengan niat mereka.
Walaupun para mahasiswa yang mendekatinya cukup
tampan tapi, bagi Violeta tetap saja niat mereka nggak sesuai dengan isi
kepalanya. Baginya, beteman ya beteman, nggak lebih.
Violeta nggak mau lagi pacaran. Ia nggak mau lagi
pura-pura perhatian dan pura-pura sayang terhadap kesehatan seseorang yang
menjadi pacaran. Ia sudah nggak mau pura-pura lagi. Ia nggak mau membuat orang
sakit hati lagi karenanya.
“Hey Vio,” sapa beberapa mahasiswa yang lewat dan
Violeta menyambut sapaan mereka dengan senyum hangat.
“Vio!” Tasya menepuk pundak Violeta cukup keras,
“bete loh sumpah aja!” kemudian ia duduk disamping Violeta.
“Kenapa? Ada cowok yang gangguin kamu? Biarin aja
kali, mereka itu fans kamu,”
“Yah kamu mah enak Vio bisa nolak secara halus
terus mereka langsung ngabur. Lah aku? Cuma senyum aja tapi nggak bisa ngusir,”
keluhnya, “kenapa jadi orang cantik itu susah ya?” Violeta sedikit menaikkan
alisnya, “mengapa wajahmu seperti menghinaku? Kamu sama saja dengan mereka.
Semuanya membuatku kesal,”
“Jadi siapa yang salah?”
“Yaa salah Azka lah habis nggak nembak-nembak aku
padahal kan udah jelas hati aku cuma buat dia. Coba geh pikirin kalau.........”
“Oke stop! Tasya
stop! Please, jangan Azka lagi,”
Violeta benar-benar nggak habis pikir bagaimana
isi kepala sahabatnya lebih banyak diisi tentang Azka daripada hal lain yang
lebih penting. Ia tahu jika sahabatnya itu sudah cinta mati pada Azka namun
tindakan Tasya setiap hari benar-benar membuat kepalanya pusing.
“Stop Tasya.
Stop ngejer-ngejer Azka dengan
ngelakuin banyak hal bodoh,” Violeta memegang erat kedua pundak Tasya, “itu
akan membuatmu semakin terpuruk,”
Tasya nggak bicara, ia justru sibuk mengaduk-aduk handphonenya sambil menggerutu.
Diputarnya handphone itu, kemudian
dimati-hidupkan, dan diputar-putar lagi.
“Oke, baiklah,” Violeta tertawa kecil, “aku akan
mendukungmu,”
‘Aku
nggak habis pikir bagaimana cinta bisa membuat Tasya seperti ini. Ia selalu
memberikan perhatian secara terang-terangan pada Azka dengan tebal muka. Apakah
hanya karena cinta Tasya bisa mempermalukan dirinya? Aku benar-benar nggak
mengerti tentang itu’
Violeta nggak pernah jatuh cinta pada lawan jenis.
Baginya cinta pada lawan jenis nggak lebih penting daripada cintanya pada
barang-barang bermerek.
Mama pernah mengatakan padanya agar ia belajar
mencintai lawan jenis namun, ia selalu tersenyum mendengarkan perkataan Mama.
Bukan ia nggak normal, ia masih perempuan tulen hanya saja cinta memang belum
pernah hadir pada hidupnya.
Jika ia selalu mengingat ucapan Mama tentang
cinta, ia juga selalu teringat tentang sebuah peristiwa yang telah membuat
kepalanya sedikit sakit. Ia selalu menganggap kejadian itu nggak pernah terjadi
namun, pada kenyataannya itu pernah terjadi dan menjadi bagian hidupnya tanpa
bisa menolak. Akan tetapi, untuk sekarang ini, ia nggak mau memikirkan kejadian
yang menyangkut hidupnya, ia hanya ingin tersenyum menjalani hidupnya yang
sekarang.
“Oh iya, Vio, kemaren Mama aku bilang ada
peresmian butik baru punya temen Mama aku. Besok siang kita ke sana, aku
diminta gantiin Mama aku. Mau ikut kan?”
“Tentu saja. Aku nggak akan menolak tentang
tawaran seperti ini,” wajah Violet sangat semeringah. Pipinya merona seakan
mendapat lotre.
“Sip, kita siap-siap belanja lagi, oke?”
Keduanya benar-benar begitu bahagia dengan yang
namanya belanja. Bagi Violeta, ada kalanya cinta Tasya pada Azka dikalahkan
oleh shopping.
**
Gilang baru saja pulang dari Singapura dalam
rangka perjalanan bisnisnya. Mama dan Papa menyambut kepulangan Gilang dengan
hangat sore ini.
“Violet cantik,” ia menggoda adiknya, “kakak punya
oleh-oleh loh buat anak manja di rumah ini,”
Violeta kurang suka dengan sambutan kedua orang
tuanya yang terlalu berlebihan akan kepulangan Gilang atau lebih jelasnya, ia
iri pada kakaknya yang mendapat perhatian lebih seperti ini.
“Ceritanya ada anak manja yang ngambek nih?” goda
Gilang lagi, “bener nggak mau oleh-olehnya?”
“Apa dulu oleh-olehnya?” Violeta bertanya dengan
sungguh kemudian Gilang mengeluarkan kotak yang berisi sepatu putih cantik yang
telah diidam-idamkan Violeta, “oke aku terima hadiahnya tapi lain kali kalau
pulang dari luar negeri, nggak usah lebay
juga kali sambutannya,”
“Vio...” Mama sedikit memarahi Violeta sedangkan
Papa nggak melakukan apapun kecuali menonton tingkah kedua anaknya.
“Heh, kamu ini udah 19 tahun kok masih ngambek
kayak anak TK. Inget kamu ini udah........ ups, sorry keceplosan,” Gilang hampir saja menyebutkan sesuatu yang
nggak disukai adiknya, “ada titipan nih dari keluarga Erza buat kamu,”
“Kakak!” ia mencubit Gilang, “please, nggak deh,” kemudian Violeta ngeloyor ke kamar. Mama dan
Papa hanya tertawa melihat tingkahnya yang benar-benar kekanak-kanakan jika
mengungkit sesuatu yang selalu ada dalam pikiran Violeta.
“Liat tuh
Ma, Pa, bilangnya nggak-nggak tapi dibawa juga titipannya Erza. Dasar
aneh,” Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya, “mimpi apa dulu bisa punya adik
sepertinya,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar