Haru Haru
Ada seseorang yang mengatakan padaku bahwa sebuah hebat dapat gagal dengan mudahnya hanya
kurangnya kesabaran.
Aku tidak mengerti arti kesabaran itu sendiri.
Bagiku, itu sebuah kata yang benar-benar menyiksa dalam kehidupan nyata. Kau
tahu, kesabaran sama saja dengan melukai hati secara perlahan.
“kamu cukup tersenyum ketika orang-orang
menjatuhkanmu, ayolah,” Tio menepuk pundakku, ia berusaha menguatkanku, “aku
ingin kamu tersenyum seperti sebelumnya,”
Aku memeluk Tio lembut, “pikiranku benar-benar
kacau saat ini,” jelasku, ia tetap tersenyum padaku, “kamu tahu, siapapun sulit
untuk kupercayai,”
“Kamu nggak mmpercaiku? Apa aku orang lain
bagimu?”
“Tio! Ayolah, kamu adikku, maksudku, orang lain
selain keluargaku,” air mataku menetes perlahan. Ini untuk pertama kalinya aku
menangis di hadapan adikku atau lebih tepatnya saudara kembarku, “semuanya
meninggalkanku, lagi, dan lagi,”
**
“Karina! Tio!” Mama berteriak-teriak dari arah
dapur, “cepatlah sarapan, kalian bisa terlambat,”
Aku dan Tio berlari ke dapur, mencium pipi Mama
lalu meluncur ke sekolah. Tio mengendarai motornya dengan kesetanan.
“Turunlah kak, aku juga hampir terlambat ke
sekolahku,” katanya, aku tersenyum lalu membagi uang jajan yang di berikan Mama
tadi.
Kami tidak satu sekolah karena nasib kami berbeda.
Maksudku, Tio tidak di terima di sekolah ini karena nilai ujian masuknya kurang
memenuhi.
Kemudian, setelah Tio menghilang dari pandanganku,
aku berjalan melewati koridor sekolah yang makin memuakkan.
Tulisan-tulisan di mading sekolah begitu membuatku muak. Namaku tertulis di sana
dengan jelas bahkan di perjelas lagi.
“Karina,” Divo tersenyum padaku, “kamu baik-baik
saja?”
“Setidaknya kamu masih mau menegurku, itu saja
sudah cukup membuatku baik,” aku memandang Divo beberapa saat, ia terlihat
masih menganggapku teman walaupun kami memiliki jarak, “mau ke kelas?”
tanyanya, aku mengangguk, “ayo, kita ke kelas bersama,”
“Kumohon, jangan mencoba baik padaku, itu akan
membuatmu kesulitan,” pintaku, ia haya diam lalu menjauh dariku. Makin menjauh
dan aku merasa benar-benar kehilangannya.
**
Semuanya masih sama selama dua minggu ini, tidak
ada yang berubah. Satu pun siswa tidak ada yang menegurku di kelas ini. Mereka
menjauhiku. Mereka menghindariku bahkan aku seolah tidak ada di kelas ini.
“Andien, boleh pinjem buku biologinya nggak?”
tanyaku, Andien tersenyum lalu meminjamkan catatan biologinya padaku tanpa
bicara sepatah katapun.
Andien, sahabatku, sahabat yang selama ini terus
di sampingku dan kini ia seperti orang asing di hidupku. Atau lebih tepatnya,
aku yang menjadi orang asing di hidupnya.
Satu per satu pergi dari sisiku. Kehidupanku
semakin sepi. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali hanya menerima saja keadaan
ini.
**
“Ma,” aku memeluk Mama erat, “aku lelah. Benar-benar
lelah,” Mama mengusap kepalaku, “bisakah aku menghilang dari kesunyian ini Ma?”
“Kak!” Tio melepaskan pelukanku dari Mama, “mereka
bukan sahabat kakak! Mereka bukan temen kakak! Lo tau kan kak!” Tio
membentakku. Dia bahkan memanggilku dengan sebutan ‘lo’ begitu kerasnya, “lo harusnya sadar!”
Air mataku menetes. Menetes lagi. Dan lagi.
Kemudian, pipiku di penuhi air yang persis seperti
banjir. Mama hanya menundukkan kepalanya, tidak banyak bicara lalu pergi ke
kamar. Aku tahu, Mama sama sedihnya denganku bahkan lebih sedih dariku.
“Hanya kamu dan Mama, kita bertiga saling memiliki
kan?” kakiku lemas, terjatuh pada lantai, “aku lelah,”
Tio berjongkok, bicara padaku, ia menahan air
matanya, “kakak tahu, teman-temanku masih di sampingku dalam keadaan seperti
ini, mereka nggak ninggalin aku kak,”
“Maafkan aku,” kataku. Aku ingat, aku pernah marah
pada Tio karena berteman dengan teman-temannya yang terlihat berandalan. Aku
bahkan melarangnya berteman dengan mereka. Sekarang, aku sadar bahwa penampilan
dan perilaku seseorang tidak selalu sama dengan hati mereka, “maafkan aku. Aku
bukan kakak yang baik untukmu,”
“Hei, usia kita sama, jangan menjadikanku bebanmu,
kak,”
**
Divo pagi ini tersenyum padaku seperti
kemarin-kemarin tapi, ia masih menjaga jarak padaku. Kami selesai ketika berita
itu sudah di telinganya, ia meninggalkanku.
“Divo,” panggilku lirih, ia sedang melihat papan
pengumuman, “jangan tersenyum lagi padaku karena itu membuatku lelah, lelah
sekali,”
“Maafkan aku, semua ini.......”
“Sudahlah, jika kamu tetap disisiku, kamu akan di
jauhi banyak orang bahkan orang tua kamu akan memarahimu,” lalu kutinggalkan
dia di depan papan pengumuman.
Semuanya memandangku berbeda. Dari senyum ceria
mereka padaku, kini hanya senyum keterpaksaan. Bahkan, sekolah ini tampak
seperti tempat asing bagiku. Semua tempat, semuanya begitu mengerikan untuk
kudatangi.
“Tunggu!” Divo mengejarku, “kuharap, kamu nggak
berpikir aku meninggalkan kamu,” ia memegang tanganku.
“Kenyataannya, kamu meninggalkanku bukan?” aku
melepaskan tangannya dengan kasar. Aku lelah.
**
Mama terus memelukku, mencium pipiku berkali-kali,
memelukku lagi, dan terus mencium. Mama tidak ingin jauh dariku tapi, ini sudah
menjadi pilihanku.
“Mama akan menyusulmu,” ucap Mama, aku menggeleng,
melarang Mama ikut bersamaku.
“Kalau begitu, aku akan ikut bersama kakak, aku
akan menjaga kakak,” Tio terlihat begitu bersemangat padahal aku tahu, hatinya
sangat sedih.
“Mama, kalau Mama pergi bersamaku, siapa yang akan
menjenguk Papa di penjara? Papa akan sendirian, semakin sendirian,” jelasku
pada Mama, “aku takut Papa akan lebih sakit lagi jika Mama pergi. Mama tahu
bukan, semua ini jebakan untuk Papa dan Mama harus terus disini, menguatkan
Papa,” Mama kembali memelukku tapi, Tio melepaskannya.
Wajah Tio terliat ganas kali ini. Ia terlihat
marah padaku karena Aku pergi.
“lo tau, lo itu.....” tiba-tiba dia memelukku,
“siapa yang jangain kakak disana kak! Siapa?!”
“Kakak bisa jaga diri, ingatlah, aku lahir 15
menit lebih dahulu, bagaimanapun aku lebih tua darimu,” kataku, “yang harus
kamu jaga adalah Mama. Kamu disini masih memiliki teman yang setia padamu, kamu
masih bisa menjalani semuanya dengan baik-baik saja,” aku mencium keningnya,
“jaga Mama ya, kakak janji akan kembali dengan lebih cantik,”
Aku meninggalkan bandara. Meluncur ke negeri yang
sangat jauh. Sendirian. Sepi. Namun, itu lebih baik dari pada disini,
menyakitkan.
10 tahun
kemudian
Mama memelukku dengan senyumnya yang begitu
lembut. Bukan, bukan hanya Mama tapi Papa pun memelukku.
“sepuluh tahun berlalu dan kamu sekarang begitu
kurus,” Papa memelukku erat, “maafkan Papa sayang,”
“Papa nggak pernah bersalah sama sekali,” aku
tersenyum, “mengenai ucapan Papa kalau aku kurus, Papa salah karena ini program
dietku,” tambahku, Papa tersenyum.
Sepuluh tahun aku tidak bertemu mereka. Sepuluh
tahun aku pergi jauh, sendirian, menjalani hidup dengan sulit.
Papa sudah keluar dari penjara. Papa terbukti
tidak bersalah walaupun pembuktian itu di dapat Papa setelah mendekam 2 tahun
di penjara.
“Setelah Papa bebas, harusnya kamu kembali sayang,
Mama benar-benar tidak tahu mengapa kamu terus disana,” Mama tersenyum padaku,
terlihat dari kedua bola mata Mama kalau rindunya benar-benar besar untukku, “Mama
yakin, saat itu teman-temanmu bahkan Divo akan kembali disisimu,”
“Aku berterimakasih Papa telah di penjara,
setidaknya aku tahu apa arti kesetiaan sebenarnya, kesetiaan teman, sahabat,
dan cinta, semua itu dahulu jauh dariku,”
Mama dan Papa menyiapkankan pesta kecil untukku.
Hadiah kecil dari mereka yang kuanggap sebagai hadiah terindah menyambut
kedatanganku.
**
Tio tidak terlihat dimana-mana. Ia benar-benar
melupakan kakaknya ini.
“bukankah bulan lalu kamu sudah bertemu dengan
Tio?” tanya Mama, aku mengangguk.
Tio sering mengunjungiku walaupun seringkali aku
melarangnya. Ia tidak pernah mendengar laranganku sama sekali. Ia selalu
memberikan alasan kalau ia ingin mengecek keadaanku.
“apakah dia nggak ingat kalau ada pesta kecil
dirumah?” tanyaku pada Mama, Mama tersenyum, “anak itu,”
Aku tahu, Tio sudah bekerja pada sebuah perusahaan
besar dengan posisi sangat spektakuler tapi, bukankah aku lebih penting dari
pekerjaannya?
Mama dan Papa menyiapkan pesta kecil di halaman
belakang rumah. Hanya ada Aku, Mama, Papa, dan kakek saja. Memang sepi tapi,
hatiku begitu ramai dengan keadaan
seperti ini.
“Hei gadis cantik!” Tio datang bersama
tunangannya, “kakak berjanji akan pulang dengan lebih cantik tapi, kakak tahu,
semalaman Mama dan Papa hanya berharap kakak pulang bersama menetapnya hati
kakak dirumah ini,” tambahnya.
Tio, anak ini semakin berani pada kakaknya.
Berani-beraninya ia terdengar seperti memberi ceramah singkat padaku.
“Kakak, aku senang kakak kembali,” Tio memelukku,
“dan aku nggak akan membuat kakak pergi lagi, nggak ada alasan kakak untuk
pergi lagi,”
Adikku benar-benar lebih dewasa dariku. Ia
berani-beraninya melarangku.
“Kakak,” tunangan Tio mencium pipiku, “jangan
pergi lagi, aku kerepotan karena harus menggantikan posisimu dirumah ini,”
katanya tertawa kecil.
Aku tidak akan pergi lagi ke negeri yang jauh. Aku
akan disini, menjaga Mama dan Papa. Sudah cukup bagiku belajar banyak hal dari
negeri yang jauh.
Setelah ini, aku akan menjalani hidupku dengan
baik-baik saja. Hal yang dulu kualami, aku berharap semuanya tidak akan kembali.
Setidaknya, jika itu kembali, itu adalah pembelajaran untukku, lagi.
“Karina,” seseorang memanggil namaku. Ia berjalan
kearahku, membawa serangkaian bunga, “maaf, aku datang tanpa undangan,”
Aku memandangnya lekat, aku mengenali wajahnya,
“Divo...,” ya, dia Divo, cinta masa SMA-ku, cinta masa laluku, cinta yang
meninggalkanku ketika aku terjatuh, “baiklah, kamu bisa bergabung,”
“Saat kamu pergi, aku ingin mengejarmu, aku ingin
menghentikanmu dan meminta maaf,” jelasnya, “tapi, aku bahkan nggak tau kamu
ada di negara mana,”
“Aku sudah memaafkanmu. Semua yang terjadi dulu,
itu seperti sebuah hadiah agar aku sadar,” jelasku, “ayo, ikut makan bersama
kami,” tawariku, Tio dan tunangannya langsung memandangku tidak setuju, Mama
dan Papa juga ikut memandang tidak setuju kalau Divo ada dalam pesta ini,
bahkan kakek langsung berhenti makan.
Apa yang terjadi sebelumnya memang begitu
menyedihkan tapi, aku tidak ingin berlarut-larut dalam dendam. Setidaknya, saat
ini Divo masih menganggapku temannya dan ia tidak memusuhiku.
“Pak.......” Tio terlihat gugup ketika seseorang
datang padahal penampilannya tidak menyeramkan bahkan sangat santai, hanya
mengenakan kaus dan celana jeans biasa, “Pak Darren, apakah ada hal yang
penting? Maaf jika bapak menghubungi saya, handphone
saya tertinggal didalam, maaf pak,”
“Ini bukan di kantor, aku hanya lebih tua 4 tahun
darimu, jangan terlalu takut padaku seolah aku kakek-kakek galak,” pria itu
menepuk bahu Tio, “sudah sampai mana pestanya?”
Aku tersenyum. Darren datang seperti janjinya.
Seperti apa yang di katakan sebelumnya. Seperti kenangan saat kami di luar
negeri.
Mama dan Papa hanya bingung dengan kedatangan
Darren. Darren yang tidak lain bos Tio di kantor, yang tidak lain pewaris sah
dari konglomerat negeri ini. Darren yang tidak lain seseorang asing bagi kedua
orang tuaku atas kedatangannya.
“Kakek, kakek nggak makan?” Darren menyapa kakekku
yang kebetulan sedang tidak berselera makan karena kedatangan Divo. Kakek baru
saja sembuh dari sakit struknya dan masih sangat lemah, “ayo kek, saya suapi
ya,” tawarinya dengan begitu manis dan lembut. Kakek menyambut Darren dengan
senang.
“Maaf, kami tidak tahu harus memanggilmu
bagaimana. Apakah Tio melakukan kesalahan di kantor?” tanya Mama pada Darren.
Suasana hening sekali setelah kedatangan Darren. Mama dan Papa terlihat serba
salah menyapanya.
Setelah Papa keluar dari penjara, Papa tidak lagi
bekerja di pemerintahan. Papa mengundurkan diri walaupun sudah terbukti tidak
bersalah. Papa hanya ingin hidup tenang tanpa terbebani pekerjaan.
Harusnya, Papa biasa saja saat bertemu Darren.
Papa tidak perlu segan walaupun Papa sudah tidak memiliki jabatan di
pemerintahan lagi.
“Maaf pak, apakah bapak ingin memecat saya
makannya bapak berbaik-baik hati pada saya?” tanya Tio pelan, menjaga
kata-katanya, “biasanya, bapak memarahi saya, dan.......”
“Ini bukan kantor, anggap saja kita teman,” Darren
memeluk Tio beberapa detik, “apakah pesta ini masih lama?” tanyanya pada kami
semua, aku tersenyum.
Aku melihat wajah semua orang disini tampak
bingung kecuali Divo. Divo masih sama, ia lebih memilih diam seribu bahasa
karena ia sadar kehadirannya tidak di sukai.
“Mama, Papa, Kakek, adikku tersayang, kedatangan
Darren hanya ingin memperjelas hubungan kami,” jelasku lalu menggenggam tangan
Darren lembut, “maafkan aku nggak bilang semuanya dari awal tapi, aku ingin ini
jadi kejutan,”
“Apa?!” Divo terkejut dan ia langsung pergi
meninggalkan tempat ini. Ia terlihat kesal sekali.
Kakek mendekat padaku, “kakek sudah menyadarinya.
Ketika ayahmu di penjara, keluarga Darren bicara pada kakek kalau mereka akan
membantu membuktikan Papamu tidak bersalah,” kakek tersenyum padaku, memeluk
Darren, “kakek sangat merestui hubungan kalian,”
Aku dan Darren kenal sepuluh tahun lalu. Ia orang
yang membantuku mengenal negeri baru. Ia membantuku beradaptasi dengan tempat
baru dan ia membantuku belajar banyak hal bahkan, ia satu-satunya orang yang
tidak menjauhiku walaupun tahu kalau ayahku di penjara karena kasus korupsi
uang negara.
“Ayah, ayah merahasiakannya dari kami?” tanya Papa
dari kakek, kakek hanya tersenyum.
Ayah tahu siapa yang membantunya bebas tapi, ayah
tidak pernah tahu kalau ini semua karena Darren.
“Tapi kan kak, saat aku menemui kakak, kakak nggak
pernah bercerita,” Tio memandang tanya, “apa yang kakak lakukan?”
“ini kejutan,” kataku.
Ketika keluarga Darren membantu Papa, saat itu aku
hanya berteman dengan Darren. Ia benar-benar teman yang baik dan selalu
memberiku semangat.
Aku dan Darren menjalin hubungan cinta setelah
kami kenal selama 3 tahun dan setelah hubungan kami berjalan 2 tahun, ia
kembali ke Indonesia. Kalau di hitung-hitung, kami sudah pacaran hampir 7
tahun. Itu waktu yang cukup lama untuk kusembunyikan dari keluargaku.
“Sebentar, Pak Darren bosku selama beberapa tahun
ini tapi, kenapa aku tidak tahu pak?” Tio bertanya sopan pada Darren,
“maksudku, setidaknya jangan terlalu sering memarahiku dan membentakku,”
Aku ingat beberapa bulan lalu saat Tio
mengunjungiku. Ia bercerita tentang bos-nya yang galak dan sering marah-marah
tidak jelas. Andaikan Tio tahu kalau Darren marah-marah karena tidak sanggup
jauh dariku pasti dia akan tertawa terbahak-bahak.
“Kamu mau saya pecat!” ancam Darren, “sekali lagi
kamu memanggil saya ‘Pak’ di luar
kantor maka, kamu akan saya pecat,” Darren menjitak kepala Tio.
Mama dan Papa memandangku penuh tanya kemudian
tersenyum. Mereka mendekat padaku.
“anak Papa sudah besar,” Papa memelukku kemudian
menepuk pundak Darren, “terimakasih karena kamu telah menjaga Karina selama
ini,”
“Oh em...” Darren menggaruk-garuk kepalanya, “sebenernya
kebalik om, Karina yang menjagaku disana,” jelasnya, “maaf om, tante, semuanya,
maaf karena saya dan Karina merahasiakannya,”
Mama tersenyum, “kalau yang dijadikan kejutan oleh
Karina adalah pria sebaik dirimu, untuk apa kami tidak memberi maaf?”
“Om, tante, apakah orang tua saya boleh bergabung
disini?” tanya Darren, “mereka sudah menunggu di luar, apakah.........”
“Bos ini galak-galak ternyata bodoh ya,” Tio
memarahi Darren, “aku akan menjemput orang tua bos, anak macam apa membiarkan
kedua orang tuanya di luar menunggu!”
Aku tersenyum begitupun dengan kedua orang tuaku
serta kakek. Tunangan Tio pun terlihat senang karena setidaknya, bebannya akan
berkurang setelah aku kembali.
“Aku akan disisimu, selamanya, aku jodohmu,” bisik
Darren di telingaku, “kamu hanya milikku,”
TAMAT
*) Haru-Haru : Hari demi hari
Cerpen oleh Aula Nurul M
Mau copast tolong sertakan linknya kalo gak yaa gue doa'in jelek-jelek loh :D hihi