Jumat, 20 Desember 2013

Pacar Pilihan Mama - CERPEN oleh Aula Nurul

CERPEN

Pacar Pilihan Mama

‘Aku tunggu kamu di taman’ sebuah pesan singkat tertera di handphoneku. Dengan diam-diam, Aku keluar rumah menuju taman belakang kompleks. Aku takut jika Mama tahu dan pastinya, Mama tidak akan mengizinkanku pergi. Kalau pun di izinkan, Mama pasti mengomel seribu bahasa.

Dengan langkah cepat sedikit berlari, akhirnya Aku sampai di taman dan kutemukan sesosok cowok yang sangat kukenal, Adrian namanya. Dia tidak lain adalah kekasihku, pacarku, sekaligus teman satu sekolahku.

“Aku cuma mau ngasih ini ke kamu,” Adrian memberikan sebuah kotak kecil, “kamu terima ya,” Aku menerimanya lalu kubuka kotak kecil itu, isinya sebuah gelang perak yang sangat cantik, “I love you,” Adrian memelukku.

Bibirku tidak bisa berkata apa-apa kecuali tersenyum senang. Bagaimana pun, hadiahnya ini benar-benar mengejutkanku. Dia bisa memberikannya di sekolah, atau dia bisa memberikannya di tempatku kursus bahasa Jerman tapi, inilah Adrian yang kukenal.

“Kalau gitu, kita jalan-jalan gimana?” Ajakku, Adrian menggeleng lalu dia mengecup keningku, “kamu mau kemana?” tanyaku, dia hanya mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Dengan tanda tanya besar, Aku membiarkan Adrian pergi bersama motornya begitu saja.

Sebenarnya, ini agak sedikit aneh tapi, sudahlah, dia memang sering terlihat aneh jika memberiku hadiah. Kata Mama, Adrian anak yang baik hanya saja, Mama kurang menyukainya. Entah apa yang membuat Mama kurang menyukainya tapi, Mama sering berpesan kalau Aku tidak boleh terlalu mencintai Adrian.

Pemikiran Mama seperti pemikiran orang jaman dahulu. Dulu, saat Aku masih duduk di bangku SMP, Mama melarangku pacaran. Ketika Aku pertamakali pacaran, Mama mengomel habis-habisan. Dan ketika Aku pacaran denga Adrian, Mama sedikit membuka hati tapi, selalu mengatakan jangan terlalu cinta. Ini bukan jaman Siti Nurbaya. Aku berhak memilih cintaku, memilih dimana harus menyimpan hatiku.

“Dari mana kamu?” tanya Mama, Aku tidak menjawab, “sudah hampir malam, masuklah, sebentar lagi makan malam.” Kata Mama tanpa banyak bicara padahal biasanya Mama akan bertanya apakah Aku bertemu Adrian, apakah Aku jalan-jalan dengan Adrian, dan kemana Aku pergi dengan Adrian. Selalu seperti itu. Menyebalkan sekali bukan?

**

Kelas terasa agak berbeda. Suara gaduh tidak terdengar lagi, suara teriakan berebut PR pun tidak terdengar sama sekali, ada apa ini?

“Hari ini semua guru libur tah kok kelas ini hening banget?” tanyaku pada teman sebangkuku, dia menggeleng, “kalo gitu kenapa?”

“Finsa,” dia menarik nafas sejenak, “Adrian hari ini nggak sms lo kan?”

“Ya nggak lah, kan gue kemaren udah janjian kalo hari ini nggak berangkat bareng,” jelasku, “kenapa memangnya? Naksir cowok gue yaa?” godaku, Adrian memang cukup terkenal di sekolah. Selain wajahnya yang tampan, dia juga kapten basket sekolah ini.

“Duduk Fin,”

Aku duduk di bangkuku, kulihat seisi kelas melirik padaku. Hm... Apakah ada yang salah denganku? Atau memang penampilanku hari ini aneh?

Seorang guru masuk lalu memberikan sebuah pengumuman kalau hari ini jam belajar mengajar di kosongkan. Aku cukup senang, berarti Aku bisa jalan-jalan ke mol bersama Adrian tapi, kenapa seisi kelasku hening dan tampak galau?

Pak Dodi yang belum sempat menyelesaikan pengumumannya mulai berbicara lagi dan tiba-tiba, telingaku terasa salah mendengar. Apa maksudnya dalam rangka berbela sungkawa? Mendoakan Adrian?

“Kemarin pukul 5 sore pemakaman Adrian,” seseorang menjelaskan padaku sambil menepuk pundakku, dia juga salah satu teman baik Adrian yang satu tim basket, “semuanya ngerahasiain dari lo karena, Adrian nggak mau lo ngeliat saat pemakamannya.”

Kakiku lemas, benar-benar lemas. Rasanya Aku tidak memiliki tenaga untuk berdiri. Kata Rio, Adrian sudah mengidap kanker cukup lama dan dia sudah sangat luar biasa untuk bertahan. Katanya, mundurnya Adrian dari kapten basket 4 bulan lalu bukan karena ingin fokus belajar tapi karena penyakitnya. Kata Rio juga, Mamaku melarangku pacaran dengan Adrian karena Mama takut kalau Aku akan sedih bukan karena tidak menyukai Adrian.

Rio mengantarkanku ke makan Adrian. Tanahnya masih terlihat basah, dia pasti kedinginan di bawah sana. Rio mengatakan, sebelum Adrian pergi, dia meminta kepada keluarganya agar membuatku tidak mengetahui detik-detik kepergiannya.

“Dia gila atau gue yang gila?!” air mataku menetes, “dia atau gue yang sinting?!” air mataku tambah deras, “gue sayang sama dia tapi....” Aku terus mengeluarkan semua isi hatiku. Rasanya Aku tidak percaya kalau dia benar-benar sudah pergi ke surga.

“Dia sayang sama lo Fin. Karena dia sayang sama lo, dia nggak mau lo lebih sedih saat tahu penyakit dia sampai pemakaman dia,”

“Kemaren, jam 5 sore, dia ngasih gelang ke gue. Dia bilang, semuanya akan baik-baik aja.” Dadaku terasa sesak, kemarin Aku merasa Adrian aneh dan aneh tapi hari ini, semua keanehan itu terjawab sudah, “kalau dia bilang baik-baik aja, gue berusaha untuk baik-baik aja,”

5 bulan kemudian

Aku sudah mulai tenang dengan kepergian Adrian. Bagiku, dia adalah cinta terindah yang kukenal dan kutemui. Bagiku, Adrian adalah malaikat yang di hadiahkan Tuhan padaku.

Namun, kepergian Adrian membuatku sulit menerima cinta baru. Bulan lalu, Aku baru saja putus dengan Pisco, anak SMA tetangga yang sedikit pembuat onar di sekolah. Sebelumnya, Aku juga sempat pacaran dengan kakak kelasku, anak kelas XII IPA 1 tapi, dia sadar kalau kami memang tidak cocok apalagi di hatiku masih tertutup.

“Mama mengizinkanmu pacaran tapi, ayolah, bukan seperti ini,” kata Mama yang duduk di samping ranjangku, “pertamakalinya kamu pacaran, Mama tidak melarang tapi, Mama takut kamu salah langkah. Dan ketika kamu pacaran lagi, Mama tidak suka karena pacarmu anak yang nakal,” kata Mama, “dengan Adrian, Mama menyukainya. Dia anak yang ramah, baik, dan sopan tapi, Mama tahu penyakitnya,” Aku memandangi Mama yang sepertinya benar-benar khawatir dengan keadaan hatiku.

“Kalau Mama waktu itu tau penyakit Adrian, kenapa Mama nggak bilang sama Aku? Kenapa Ma?”

“Karena Adrian yang meminta. Dia ingin terlihat sehat di sampingmu dan Mama tidak tega jika harus membuatmu tahu penyakitnya.” Mama memelukku, “ayolah Finsa, janga terus terpuruk. Dia baik-baik saja di sana dan Mama tidak ingin melihatmu pacaran dengan anak yang kurang tahu sopan santun seperti pacarmu waktu itu.”

Mama benar, pacarku yang anak SMA tetangga itu agak tidak sopan. Dia bahkan tidak menyapa Mama ketika bertemu di jalan padahal dia mengenal Mama. Untung saja Aku sudah putus.

Pagi harinya di kelas, Gabriella menyapaku. Dia tampak begitu senang pagi ini, “pokoknya gue seneng, titik, jangan di tanya,” katanya padaku yang kurasa dia ingin senang tanpa ada yang bertanya apa kesenangannya.

“Oke, gue nggak akan nanya tapi, gue pengen seneng kayak lo.”

“Penyakit lo itu kan cuma belum bisa ngebuka hati,” katanya, “Adrian disana pasti sedih ngeliat lo terus mikirin dia,” tambahnya, “udahlah, jalanin aja pelan-pelan nanti ketemu cinta yang lebih baik dari Adrian kok.”

Bel masuk belum berbunyi, Aku ke kantin untuk membeli coklat agar pikiranku tenang. Ketika di kantin, Aku bertemu Rio sedang makan bersama pacaranya. “Hei Fin,” Rio menyapa, “sini gabung sama kita.”

“Iya Fin, galau bener tampang lo,” pacar Rio ikut bicara, “gue yakin pasti bukan karena putus sama pacar lo yang gak jelas itu. Hm.... pasti Adrian lagi kan?” dia memandangku dan Aku mengangguk, “tapi memang cinta Adrian itu bener-bener buat semua orang salut Fin. Lo cewek yang beruntung.”

Aku kembali ke kelas setelah membeli coklat kesukaanku. Di kelas gaduh, persiapan demo seisi kelas mulai tersusun agar ujian Fisika di batalkan hari ini. Ckck, kalau seperti ini, rasanya kelas seperti pasar malam.

‘Finsa bukan?’ sebuah pesan singkat melayang pada handphoneku tapi tidak kubalas, ‘sorry, tadi yang sms nyokap gua,’ pesan keduanya melayang lagi dan Aku merasa sedikit aneh. Sudahlah, itu pasti sms tidak penting.

Sepulang sekolah, Mama sudah menungguku di depan gerbang. Semenjak kepergian Adrian, Mama lebih sering menjemputku. Kata Mama, Mama merindukan Adrian hanya saja tempat terbaik Adrian saat ini adalah di sisi Tuhan bukan di bumi.

“Mama, kita mau kemana? Ini kam jam 3 Ma,”

“Makan siang.” Jelas Mama singkat padahal Aku tahu jelas kalau ini bukan jam makan siang. Mama mengada-ngada atau Mama ingin mencoba masakan baru yang membuatnya terbayang-bayang?

Kami tiba di sebuah rumah makan tradisional. Rumah makan ini cukup sejuk dan benar-benar terasa kesan tradisionalnya. Mama mengajakku mencari sebuah meja nomor 28, sepertinya Mama sudah memesan sebelumnya.

“Maaf jeng terlambat,” kata Mama pada seorang temannya. Aku bersalaman dengan teman Mama lalu duduk lesehan. Kurasa tente ini pernah kutemui sebelumnya saat acara arisan Mama, Aku yakin itu, “mana Tora?”

“Dia sedang mengangkat telefon, mungkin sebentar lagi.”

Beberapa saat kemudian seorang cowok datang lalu ikut duduk bersama. Dia sempat menyalamiku dan menyapaku. Apakah ini sebuah acara makan siang antara teman arisan? Atau teman bisnis?

“Wah, perasaan dulu tante melihat kamu masih kekanak-kanakan. Sekarang rasanya kamu mulai menjadi remaja sesungguhnya.” Ucap teman Mama.

Sebentar-sebentar, kekanak-kanakan? Dari mana tante ini tahu kalau dulu Aku kekanak-kanakan? Aku memang kekanak-kanaka kecuali setelah kepergian Adrian baru Aku tidak seperti itu lagi.

“Mamaku yang tadi sms kamu, maaf ya,” kata Tora sambil memberi tanda agar kami keluar sejenak. Kurasa cowok satu ini bosan dengan pembicaraan dua orang ibu-ibu. Dia bosan, apalagi Aku?

Aku dan Tora izin untuk keluar sejenak, kami berbincang di taman yang terletak di tengah rumah makan ini. Kata Tora, pertemuan hari ini benar-benar mengejutkan. Kalau dia mengatakan mengejutkan, apakah ini rencana yang di buat para Ibu kami?

“Tapi, sudahlah, seenggaknya Aku bisa ketemu kamu lagi,” katanya. Lagi? Maksudnya kami pernah bertemu sebelum ini? “ya, tentu saja, waktu kamu SD, keluarga kita pernah sama-sama camping, pernah sama-sama liburan di puncak.” Jelasnya, Aku tidak ingat sama sekali kalau pernah bertemu dengannya.

“Ya, gue .... em Aku...” kataku bingung harus dengan ‘gue’ atau ‘aku´ karena sejak awal dia menggunakan Aku, jadi mau tidak mau, “ya Aku sih inget sama Ibu kamu tapi, kalau kamu kok rasanya lupa.”

“Waktu kamu nangis gara-gara jatoh dari ayunan, waktu kamu keujanan, siapa yang nolongin kamu?”

“Anak gendut yang rese, suka gangguin, suka godain pula.” Kataku, “eh itu kamu? Kok sekarang kurus? Nggak endut lagi sih?”

Kami banyak berbincang tentang masa-masa kami liburan dahulu. Jika mengingat masa lalu, Aku seolah tidak percaya kalau ini benar-benar Tora gendut yang menyebalkan. Sekarang dia terlihat kurus dan ramah, sopan, bicaranya teratur dan tentu saja berbeda dengan Tora gendut.

“Tapi, kok kamu sekarang sama dulu sama ya?” katanya, “muka masih mirip, ekspresi kaget masih mirip, ckck,” katanya, “Aku kira Mamaku nyuruh Aku pulang ke Indonesia karena mau di kenalin cewek kalem, ternyata cewek yang cingeng waktu itu. Ckck.”

Aku pernah mendengar dari Ibunya Tora kalau Tora menyelesaikan masa-masa SMU nya ketika berusia 15 tahun dan berarti sekrang dia sudah selesai kuliah? Wow! Benarkah ini Tora? Usianya hanya seling 1 tahun denganku dan dia sudah selesai kuliah? Jangan sampai Mama membandingkan-bandingkanku dengannya, bisa tecup Aku.

“Jadi sekarang kamu membantu Ayahmu di kantor?” tanyaku, dia menggeleng, “ingin melanjutkan kuliah lagi” dia menggeleng lagi.

“Tahun ini, Aku ingin menikmati masa-masa kebebasan.” Jelasnya, “belajar membuatku kehilangan waktu bertemu banyak wanita.” Tambahnya lagi.

Hari demi hari mulai kulewati bersama dengan teman lamaku. Dia mengatakan kalau apa yang terjadi adalah takdir Tuhan dan kepergian Adrian bukanlah akhir melainkan awal untuk segalanya.

Semakin hari Aku mengenal Tora, dia mengajarkan banyak hal padaku. Dia mengajarkanku seolah-olah dia lebih dewasa dari pada Aku. Namun, semua ucapannya, semua kata-katanya, semua tindakannya membuat pikiranku lebih terbuka.

“Ini bukan sebuah cerita yang di rancang Ibu kita tapi, mungkin kita yang harus membuat rancangan sendiri,”

“Maksudmu?”

“Entahlah,” dia memegang tanganku dan kami memandangi sawah yang terhampar luas disini. Tora mengajakku berlibur beberapa hari dan Aku menyetujuinya. Bukan hanya kami tapi, keluarga kami juga.

Mama mengatakan kalau Mama tidak akan membuatku hidup seperti Siti Nurbaya tapi, Mama ingin kalau Aku dan Tora menjalin hubugan baik. Tentu saja, Aku sadar kalau Tora akan menjadi teman baikku karena dia ramah dan sopan tapi, Mama menginginkan lebih dari itu.

“Cinta itu sederhana. Selama cinta tidak menyakiti, itu akan menjadi luar biasa.”

“Hanya ada satu cinta yang tanpa menyakiti tapi, cinta itu hanya sebuah malaikat titipan Tuhan. Bukan cinta yang di takdirkan abadi untukku.”

Kami berjalan menuju tengah sawah dan udaranya makin lama makin sejuk. Seandainya saja Tora dulu tidak melanjutkan sekolahnya ke luar negri, kami pasti akan sering berlibur bersama.

“Adrian adalah malaikat yang di titipkan untukmu sementara tapi, kurasa, Aku adalah malaikat yang di takdirkan selamanya hidupmu,” Tora menatapku. Kami saling berpandangan, betatap mata, lalu kedua tangannya memegang tanganku, “dan takdir itu, bukan sekedar takdir tapi, kesempurnaan sebuah takdir.”

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku sudah menyiapkan sebuah cincin pertunangan,” katanya, “cincin itu akan ada di jari manis kamu jika kamu menerima cintaku,” Aku tersenyum lalu memeluknya dengan hangat. Malaikat cintaku yang di titipkan Tuhan untuk sejenak dan malaikat cinta yang di takdirkan Tuhan untuk abadi. Keduanya membuatku mengerti arti cinta, cinta tanpa menyakiti, itulah cinta. Cinta yang di pilihkan Mama untukku adalah cinta pilihan hatiku.

TAMAT




Rabu, 18 Desember 2013

Shock

Ada apa dengan judul tulisan ini?
Ya gak ada apa-apa sih sebenernya :D Cuman apa ya (?) Yaa gitu deh ^^

Jujur, minggu kemaren gue nangis. kenapa gue nangis? Oke camkan ini! Ini bukan karena cowok, bukan juga karena cinta atau karena seorang cewek yang rebutan cowok sama gue << ini gak banget pokoknya. Jujur, gue hampir gak pernah nangis karena cowok. Gue susah nangis. Tanya aja sama temen-temen jaman gue SMP, SMA, SD, Tk :) Tanya sama mereka kapan mereka nangis,hampir gak pernah :D 

Gue nangis tersedu-sedu terahir kali jaman gue kelas 1 SMA tapi itu bukan karena patah hati atau sejenisnya tapiii karena nahan rasa sakit. Hihi

next

seminggu lalu, pagi-pagi gue nangis didepan ortu gue karena yaa begitulah, ada problem kesehatan. kata bokap gue sih yaudah periksain aja, nah gue nanya periksa ke dokter apa? Dokter umum? Dokter THT atau dokter apa? Daaan, yaa dokter bedah. LAGI (?)

bukannya apa masalahnya gue gak mau dikibulin dokter bedah lagi. Dulu, gue operasi dokternya bilang gak sakit. Emang sih waktu di operasi gak sakit tapi setelahnya woow sakit luar biasaaaaaaaaaaaa >< bius-nya ilang, sakitnya dateng ya amsyun. Gak mau lagi gue ngerasain sakit begitu gakkkk mauuu!

Tapi,
yaaa,
tapi,
hati kecil gue juga nyuruh gue periksa.

Oke, gue ke rumah sakit lah untuk janjian sama dokternya tapi sampe depan rumah sakit ujan, gue basah kuyup, dan yaa gue pulang. Niatnya sih buat janji dulu ntar baru dateng periksa lagi sama bokap nyokap.

Nah, karena gak jadi, ditunda laah. Eh hari ini gue kerumah sakit lagi. Gue jengukin tante gue yang dirawat + mau ketemu dokternya. Tapiii, dokternya lagi ngoperasi pasien jadi laamaa berjam-jam gue nunggu dan alhasil gue pulang deh. Besok aja periksanya lagipula mental gue masih dag dig dug gitu.

Tadi pagi dikampus, gue nangis mewek sambil telfonan sama Dessy. Dikira anakampus gue sih, gue patah hati, sakit hati, dan bla bla bla. Aduh, mereka gak tau apa kalo gue itu gak bakal nangis kalo gak menyangkut diri gue sendiri, daaan keluarga gue. Udah, itu aja. kalau pun gue nangis karena ribut sama temen, yaa kata Ari Widia, sohib gue ini bilang air mata gue buaya tuh kalo cuman gara-gara ribut sama temen.

Yaa bukan buaya sih cuman yaa begitulah. Berharga amat air mata dari hati nurani gue kalo cuman buat berantem sama temen terus mewekan gak banget ^^

Ada yang bilang gue nangis karena Mr.XXX tapi ya ampun gak banget. Sekalipun Mr.X atau Mr.Y atau ABC-sampe XYZ itu pacar gue, gak bakal deh gue nangis sayang air mata ini hihi :D Nah masalahnya ini, ini aih, tau lah paleng gueee.

kata Ecy, sohib gue, gue sih periksa dulu, jangan takut, jangan mewek mulu, tenang aja, ntar ditemenin sama Ecy tapiii jujur, gue takuttt.

Terus tadi, ada seorang cowok seumuran gue sih, dia juga mahasiswa tapi beda kampus sama gue hihi, nah ini cowok lebih tua dia dikit lah dari gue, mau operasi. Gue gak liat orangnya yang mana soalnya nyokap gue yang ceritaa. Nah, kata nyokap gue itu orang gejalanya mirip kayak gue cuman punya orang itu lebiih cepet menyebarnya. kan kan jadi takut. Besok, gue kan mau berusaha ketemu dokternya lagi, nah besok gue jengukin cowok itu lah. Mau gakenal juga gpp deh, gue mau nanya-nanya soal penyakit dia. Takut men takut mana belum UAS lagi gue ini. :( mewek lagi ntar gue.

Dan yaa kalo misal operasinya bisa ditunda sebulan lagi, gue minta ditunda dulu. Mau UAS loh UAS ini apakabarnya (?) Tapi kalo gak bisa yaa jangan besok juga tapi jumat laah paling cepet operasinya siapin mental dulu :D 


Senin, 09 Desember 2013

Doni - Cerpen

Doni
Cerpen Oleh Aula Nurul M

“Doni!” panggil Haris dengan suara lantang, “sob, tunggu dulu jangan lari aja,”

Doni memandang Haris sesaat, ia tersenyum lalu berjalan lagi sambil melihat sekitar. Jalannya terlalu cepat sampai Haris harus sedikit berlari di areal tenang. Ia menghentikan Doni.

“Bukakah kau biasanya berpidato saat siapapun bicara di areal ini? Ketua OSIS,” Doni menekan suaranya, “kau tahu, di sekolah ini yang terbaik bukan kau tapi masih ada Fadil, Ketua Perwakilan Siswa LBS School.

Sejenak, Haris mengambil nafas untuk menghadapi Doni, “baiklah, kalau begitu, kau mau kabur lagi?”

“Kabur?” Doni memandang tanya, “berjalan santai, mensabotase cctv, memanjat pagar bukan kabur, tapi tantangan, oke?” ia tersenyum, “kau mau melapor pada guru dan bicara panjang lebar lalu kau akan membuatku terkena skorsing?

“Terserah tapi, nanti akan ada ulangan Bahasa Jepang,” beritahu Haris, “kau akan mati jika tidak mengikutinya,”

“Aku akan kembali pukul 1 siang, bukankah jam Bahasa Jepang pukul 2? Benar begitu kan, tuan pengatur,” lalu tubuh Doni menghilang bagai ditelan angin.

**

‘Don, nomor 37 jawabannya apa’ pesan terkirim
‘Salah alamat woy nanya, yaudah nomor 1-50 apa jawabannya?’ pesan terkirim
‘aaabc edcab a-d-d-a ccade bbace –cb- sisanya belum Don,’

Ulangan selesai

**

Doni jatuh tersungkur di atas pasir pantai. Wajahnya terasa pedih karena menyentuh pasir secara langsung.

Ia membersihkan wajahnya, memandang seseorang yang telah menjatuhkannya. Sejenak, Doni tersenyum lalu berdiri dan membalas kembali dengan sebuah pukulan keras.

“Kakak kira cukup buat aku kayak gini?” tanya Doni datar, “sudahlah, jika aku melawan kakak maka kakak yang akan terjatuh,”

“Harusnya kau sekolah, ini jam sekolahmu!” nada suara Dylan meninggi, “kau tahu, Ayah bisa marah padamu!”

Doni tertawa kecil. Tawanya seolah sebuah hinaan, “sekolah, untuk apa? Untuk nilai? Bukankah nilai ujianku selalu di atas rata-rata?”

Emosi Dylan memuncak. Ia benar-benar tidak menyangka akan menemukan adiknya di tepi pantai, di jam sekolah seperti ini. Ini untuk pertamakalinya Dylan menemukan kejutan luar biasa.

“Kakak, kau akan melakukan apa? Mengapa kau diam?” Doni mendekat, maju beberapa langkah, matanya mentap tajam kedua bola mata Dylan, “apakah kau akan memukulku lagi? Dylan mundur dua langkah, Doni maju lagi, “kau akan melakukan apa pada adikmu ini?”

Ia hampir saja memberikan sebuah hantaman keras pada wajah Doni tapi, ia menghentikannya, dan pergi dari tempat itu.

**
Aish ini kenapa sinyal error! Aish minta di gantung juga ini operatornya! Ngertiin orang lagi ulangan dikit kenapa!

Doni terus menggerutu. Ia tidak mengerti sama sekali rumus-rumus integral yang ada di depan matanya bahkan, jenis soal yang dilihatnya pun sudah membuatnya mual. Ia juga tidak bisa menjawab asal-asalan karena itu bukan pilihan ganda yang dapat diisi dengan mudah. Ia juga tidak bisa membiarkan kertas itu kosong bersih.

Ayo sinyal! Datanglah-datanglah padaku! Datanglah atau aku akan menggantungmu di neraka!

Adcde acedb
Bbacb bbade
Eedac bccac
Cbace bbeca

Nah kunci apa-apaan ini! Jelas-jelas essay! Maunya apa pula seisi sekolah ini ngajak ribut!

Doni hampir membanting hanphonenya karena teman-temannya justru memberi kunci yang salah. Ia berdoa lagi. Doa yang benar-benar salah atau lebih tepatnya doa untuk meminta dosa.

1-2-3

Akhirnya ada yang ngirim foto. Sip, teman yang baik. Kudoa’kan semoga masuk surga!

Doni buru-buru menyalin tulisan-tulisan yang ada dalam foto tersebut. Ia tersenyum girang dan dalam beberapa menit, kakinya sudah melangkah mengumpulkan lembar jawaban tersebut. Hatinya lega.

“Hei Ver,” sapa Doni ketika keluar kelas dan bertemu Vera, “apakah ujian di kelasmu sukses?”

“Entahlah, aku masih tidak yakin,” jawab Vera lesu, “bagaimana denganmu? Aku yakin, nilaimu pasti bagus, kau kan ahlinya mencari jawaban teman,”

“Itu mudah saja. Untuk apa berpikir sampai memutar otak hanya untuk mengerjakan tugas kalau akhirnya bisa menyelesaikan dalam hitungan kurang dari 10 menit,”

**

Ayah meminum kopinya dengan tenang, damai, dan tanpa kegelisahan. Ayah selalu seperti ini setiap pagi, sebelum ia berangkat ke kantor.

“Dylan, apakah kuliahmu baik-baik saja?” tanya Ayah, Dylan mengangguk, “Ayah harap, kamu bisa seperti Ayah,”

Dylan menemani Ayah di halaman belakang sambil memandangi pohon mangga yang baru berbuah. Dylan dan Ayah memang sangat akrab sejak kecil, terutama setelah Ibu meninggal, ketika Dylan duduk di bangku SMP.

“Dimana adikmu? Apakah dia sudah berangkat ke sekolahnya?”

“Doni ada di kamar, apakah Ayah ingin aku memanggilnya?” tawari Doni, “Ayah tahu, belakangan ini Doni lebih terang-terangan untuk meninggalkan sekolahnya,”

Ayah terdiam. Ayah sudah mendengar itu dari sekolahan.

Doni yang nakal. Doni yang suka cabut jam pelajaran. Doni yang suka memanjat pagar sekolah. Doni yang suka mensabotase cctv sekolah. Tapi, Ayah sudah lelah mendengar semua kabar itu.

Doni sudah tiga kali pindah sekolah karena tersangkut kasus kenakalannya.

“Ayah sudah mengetahuinya tapi, ayah belum pernah memergoki Doni bukan?” Dylan menghela nafas, “Aku melihat Doni cabut sekolah beberapa hari lalu, ia ada di tepi pantai, sendirian, memakai seragam sekolah,”

Mereka tahu kenakalan Doni. Sejak kecil, Doni memang selalu menantang peraturan tapi, mereka tidak tahu kalau Doni selalu mengandalkan contekan dan handphone saat ujian.

“Ayah, apakah sebaiknya Doni di tempatkan di tempat yang ekstrim?”

“Maksudmu?”

“Tempat dimana ia bisa belajar, tempat dimana ia tidak memegang handphone, tempat di mana ia tidak bisa kabur, apakah Ayah bisa mencarikan tempat seperti itu?”

Ayah terdiam, tidak mengeluarkan sepatah katapun.

**

Kali ini, Haris memergoki Doni sedang keliling sekolah untuk menanyakan siapa yang paling cerdas dalam Fisika.

“Mengapa kau suka sekali mencampuri urusanku?” suara datar Doni menunjukkan ketikdaksukaannya pada Haris, “kau bukan Ayahku, mengapa kau selalu berkuasa untuk urusan sekolahku?”

“Ada baiknya kau hentikan ini atau kau akan menyesal,”

“Apa hakmu? Kau hanya ketua OSIS, bukan guru. Kau juga bukan teman atau sahabatku bahkan, kurasa kita tidak saling mengenal,”

Doni melangkah, menjauh dari Haris. Ia tidak ingin mendengarkan pidato Haris yang terlalu panjang sampai membuat asap di telinganya.

Kaki Doni terus melangkah. Ia masih melanjutkan misinya.

“Don, kamu muter-muter gini nyari anak yang bisa bantuin kamu ujian nanti?” tanya Vera ramah, Doni mengangguk, “dari pada muter-muter gini mending buat belajar Don, lebih bermanfaat,” lanjutnya, “ayolah, kembali gih ke kelas kamu!” perintah Vera, Doni kembali ke kelas walaupun tidak untuk belajar.

Ia tidak bisa membantah apa kata Vera. Vera adalah sepupu terbaiknya, sepupu yang cantik dan baik hati. Hanya Vera saja yang dihormatinya, tanpa kecuali.

Kenapa gadis itu harus membuatku terdiam seperti ini? Andaikan saja dia bukan sepupuku, aku akan memarahinya habis-habisan tapi, bagaimanapun ia sepupuku langsung dari keluarga Ibu.

Cadbc cbeec
Bbbde becde
Aadec bbeda
Becaa aaebe

Doni buru-buru menyalin kunci tersebut dalam lembar ujiannya. Matanya semeringah carah. Dalam sekejap mata, ia bisa langsung keluar dari ruangan.

**

Matahari bersinar memasuki kedua bola mata Doni. Ada seseorang yang membuka jendelanya tanpa izin. Ia memandang seseorang yang berdiri di samping ranjangnya.

“Don, Doni,” Ayah masuk ke kamar Doni, “cepatlah, hari ini Ujian Nasional, kau mau nilaimu jelek!”

“Baiklah,” Doni terbangun, “nilaiku harus di atas rata-rata, aku tahu itu, ayah sudah mengatakannya beribu-ribu kali,” tambahnya lalu ia pergi ke kamar mandi.

Para siswa bertebaran di sepanjang koridor menunggu bel masuk untuk memulai ujian. Hari ini adalah hari terakhir Ujian Nasional dengan mata pelajaran Matematika.

“Don, kau tenang sekali,” Vera tersenyum, “padahal, jantungku saja sudah setengah mati,” lanjutnya, “oh ya, kau lihat Haris tidak?”

“Kau menanyakannya pada orang yang salah,” lalu beberap detik kemudian bel berbunyi.

Para siswa berlarian ke ruangan mereka masing-masing begitupun dengan Doni. Dari sekian siswa, kunci ujian beserta paket-paketnya.

Tiga menit, sipp! Atau semenit! Gila ketara! Kalau begitu 15 menit. Oke!

Satu per sau soal diisi Doni tanpa membaca soal satupun. Ia yakin kalau ia akan lulus karena apa yang di dapatnya tidaklah murah. Ia harus mengeluarkan setengah dari uang jajannya sebulan untuk mendapatkan kunci tersebut.

Oke, selesai.

Bel berbunyi. Para siswa berhamburan keluar dengan cerah dan senang. Ini hari terakhir mereka menemui soal UN.

“Don, langsung pulang?” tanya Vera, “kalau aku, aku ingin ke dokter untuk mendinginkan otakku yang dari beberapa hari lalu panas, bagaimana denganmu?”

“Aku akan bersenang-senang dengan teman-teman yang lain,” beritahu Doni seolah ia yakin kalau dirinya akan lulus, “kau mau ikut?”

“Tidak, aku tidak yakin tentang kelulusanku nanti,” Vera tersenyum, “tadi Haris mencarimu, katanya kau salah menulis kunci karena kunci yang tersebar palsu,”

Doni tersenyum, “anak itu hanya ingin membuatku marah saja, sudahlah, jangan bicarakan anak yang tidak ada apa-apanya itu,” katanya, “baiklah, kalau kau tidak mau ikut, terserah,”

Kaki Doni melangkah ke tempat parkir. Ia telah di tunggu oleh teman-temannya untuk melakukan hal gila di jalan seolah kelulusan telah tercapai.

**

“Sudah satu bulan kau hanya bermain-main,” Dylan mengingatkan adiknya, “tidak bisakah kau berpikir untuk kuliahmu nanti?”

“Itu mudah, kau tidak usah mencampuri urusanku,” katanya mengusir Dylan dari kamarnya, “katakan pada Ayah, jangan khawatir,”

Dengan suara lirih, Dylan menutup pintu kamar Doni. Ia tidak bisa marah lagi pada Doni, Ayah telah melarangnya.

Doni berbeda dengannya. Doni akan lebih marah dua kali lipat dari orang yang marah padanya. Emosinya melebihi siapapun di rumah ini.

Yang Ayah inginkan hanya nilai. Nilaiku yang tinggi, itu saja sudah cukup. Semuanya akan sama seperti yang Ayah inginkan.

**

Para siswa LBS School telah berbaris rapi di lapangan upacara. Mereka mengenakan seragam lengkap serta peralatan untuk merayakan kelulusan yang ada di dalam tas mereka.

“Don, kau baru datang?” Haris menyapa Doni yang terlambat datang, “kau tampak sangat senang,”

“Tentu, amplop itu akan tertulis kelulusanku,” ia tersenyum kemenangan, “dan tentu saja, aku tidak akan melihat wajahmu lagi,”

Satu per sau amplop di bagikan pada siswa. Kebanyakan dari mereka langsung berteriak histeris dan memeluk temannya lalu tersenyum cerah. Mereka berlari-larian, meneriakkan kemenangan, dan tertawa bahagia.

Namun, di sudut lain di sekolah, Doni hanya tersenyum kecil. Senyumnya bukan senyum kelicikan seperti biasanya tapi senyum yang begitu aneh.

“Apa yang terjadi denganmu?” tanya Haris, Doni memandangnya penuh senyum, “mengapa kau tersenyum seperti itu padaku? Senyummu menakutkan,”

“Kau benar, kunci itu salah,” Doni memberikan kertas dari amplop miliknya dan ia berjalan keluar sekolah tapi, tiba-tiba ia terjatuh, “a....a...ayah,” kata terakhir Doni sebelum ia pingsan.

Haris dan para siswa lainnya membawa Doni ke poliklinik sekolah. Mereka khawatir pada Doni. Mereka prihatin.

Ayah hanya ingin nilaiku seperti keinginan ayah, itu saja. Ayah ingin nilaiku tidak jelek, itu saja. Bukan tentang diriku tapi, nilaiku. Itu saja. Tidak ada yang lain.

“Kau terbiasa menggunakan kunci saat ulangan, kau mengandalkan hanphonemu, kau benar-benar terjebak,” ucap Haris lirih, “aku sudah mengingatkanmu,”

“Apa kau sekarang sedang berpidato?” Doni tersenyum, “kau benar, teman,” lanjutnya berat. Ia bangun dari ranjang poliklinik dan melangkah keluar. Para siswa lain memandangnya sedih apalagi Doni di kenal ramah walaupun nakal.

Langkah Doni benar-benar tanpa arah dan tujuan. Ia terus saja melangkah keluar sekolah, melewati gerbang sekolah tanpa mengambil motornya yang ada di tempat parkir.

BRAK!
Tubuh Doni terlempat jauh. Sebuah mobil menabraknya tanpa ia bisa menghindar atau lebih tapatnya, ia tidak mau menghindar.

**

Hanya nilai, itu saja. Aku sadar walaupun hanya bisa mendengar. Kurasa, para dokter itu bodoh, Aku bukan koma karena kecelakaan itu.

“Doni, kau bisa mendengar kami? Ayolah, itu tidak masalah, kau hanya perlu bangkit dan belajar dari kesalahan bahwa mengandalkan kunci itu salah besar,” teman-temannya terus berbicara padahal dokter mengatakan kalau Doni sedang koma, “Don, kalau kau tidak bangun maka kau tidak bisa bertobat atas kesalahanmu pada kami,” ancam mereka.

Kalian mempedulikanku? Kurasa hanya kalian yang peduli padaku, tidak ada yang lain. Bahkan, Ayah belum menjengukku setelah satu bulan aku koma.

“Don,” Dylan masuk, ia menyapa adiknya, “hei, perkelahian kita belum selesai, aku ingin memarahimu karena kau tidak lulus hanya karena kunci, ayolah, aku yakin otak aslimu melebihi Einstein,”

Doni tidak terbangun. Ia masih tertidur dalam mimpinya.

**

“Mengapa ayah tidak menemui Doni?!” Dylan marah pada ayahnya, “apakah ayah tidak mempedulikannya?”

“Doni tidak sadarkan diri. Ada atau tidaknya ayah, dia tidak akan tahu,”

“Mengapa ayah seperti ini? Kukira, selama ini ayah terus membelanya karena lebih menyayanginya dari pada aku tapi...”

“Ia mengecewakan ayah, ia sangat membuat noda di atas nama ayah,” ayah berlalu pergi, menghilang dari hadapan Dylan.

**

Berita demi berita muncul di televisi, surat kabar, bahkan menjadi bahan gosip baru untuk infotaiment selebriti. Ayahnya Dylan dan Doni bukan selebriti, ia hanya anggota dewan yang salah langkah.

“Don, kau sudah mendengar berita ayah?” tanya Dylan, “kau harus bangun, ayolah,” Dylan terus bicara pada Doni, berharap adiknya tersadar, “bukankah kau yang memberikan berkas ke KPK? Jadi, ini alasanmu menentang ayah?” lanjutnya, “pantas saja ayah selalu takut akan ucapanmu,”

Apakah kakak tidak bisa diam. Seseorang yang koma juga membutuhkan ketenangan, bukan kebisingan seperti ini.

Dylan menghidupkan televisi dan melihat semua stasiun memunculkan berita ayah, “kau tahu, kau salah telah memanfaatkan kemudahan untuk ujian, kau salah, kau akhirnya terjatuh, seperti ini,” Dylan memegang tangan adiknya, “tapi, apa yang kau lakukan pada ayah, kau lebih pintar dariku,”

Aku tidak pernah ingin menyontek. Aku tidak pernah ingin kabur dari sekolah. Aku tidak pernah ingin membuat ulah di sekolah seperti berkelahi. Aku tidak ingin mengandalkan kunci jawaban tapi, aku hanya marah. Kau harus tahu itu, kakak!

“Don, bangunlah! Kau mau membuat kakakmu ini berjuang sendiri?!” ia menggoyang-goyangkan tubuh Doni, “kau tahu, besok ayah akan resmi menjadi tahanan!”

“Kak Dylan,” Vera masuk perlahan, “jangan memarahinya kak, jangan lakukan itu,” Vera menarik Dylan, menjauh dari tubuh Doni, “Doni hanya terlalu pintar memanfaatkan komunikasi, itu sebabnya dia tidak lulus,” ucap Vera lembut, “mengenai ayah kalian, aku yakin, Doni sudah melewati masa tersulit dua sisi hatinya,”

Mereka duduk di sofa kecil, di samping ranjang Doni yang masih terus terbaring. Hampir setiap hari Dyalan tidur disini dan ia baru menyadari kalau selama ini, ia kurang memiliki waktu untuk berkumpul bersama Doni.

“Ka.... kak...” suara kecil terdengar, “apakah kalian mendengarku?”

“DONI!!!” mereka mendekat pada Doni lalu memeluknya, “kau benar-benar!” Dylan terlihat kesal sekaligus bahagia.

“Vera, Kak Dylan, aku salah, kunci itu membuatku bodoh,” ucap Doni, “aku akan mengulang kelas 3-ku dan belajar, aku janji,”

“Baiklah, kalau begitu kau harus sembuh untuk belajar, oke?” Vera menyemangatinya, Doni tersenyum. Tidak ada yang berani membahas mengenai ayah.

Mereka tersenyum padaku karena aku sembuh? Apakah mereka tidak menangis seperti tadi saat aku koma?

**

Ayah masuk ke dalam tahanan. Sebelum ia di bawa polisi, ayah sempat memandang kedua anaknya tapi tidak berani memeluk mereka.

Ayah merasa malu apalagi, yang melaporkannya tidak lain anaknya sendiri.

‘Ayah salah, ayah tidak akan menyalahkanmu. Kau benar, ayah salah’ ucap Ayah dalam hati, ‘kau anakku yang paling nakal sehingga membuatku masuk tahanan,’

“Apa kau ingin menangis?” canda Dylan, Doni sudah meneteskan air mata, “ayolah, kau melakukannya demi negara dan demi kebenaran, bukankah agama kita mengajarkan itu?”

“Aku tidak menangis, aku hanya terkena debu,” ucap Doni, Dylan langsung memeluknya erat, “ayah tidak ingin memelukku, ayah marah padaku,”

“Ayah juga tidak ingin memelukku, kita sama,” Dylan tersenyum, “ayolah, Ayah tetaplah ayah kita. Ayah pasti mencintai kita. Ayah hanya malu untuk bertemu dengan kita,”

“Baiklah,” Doni tersenyum licik, “kalau begitu, ayo bantu adikmu ini mencari buku-buku teks pelajaran. Aku akan mengulang kelas 3-ku dengan baik, aku janji padamu,” ia sedang memikirkan suatu kesalahan Dyan yang sebentar lagi akan diungkapnya.

TAMAT



Arwah Amatiran

Arwah Amatiran
Li An nggak pernah tau apa yang akan terjadi pada hidupnya di masa depan, yang dia tahu hanya apa yang terjadi pada masa lalunya. Baginya, masa depan adalah sebuah rahasia yang nggak boleh dia pertanyakan sama sekali atau hasilnya akan membuat kepalanya sakit.

“Li An...” seseorang memanggil-manggil namanya dari belakang tapi, Li An nggak mau menengok, dia terus saja berjalan di koridor sekolah, “Li An, Li An,” suara itu terus memanggilnya tapi, dia tahu tentang suara itu, suara yang orang lain nggak bisa mendengarnya.

Angin mendekati Li An, mendekati lehernya lalu terlinganya dan berbisik aneh. Li An sadar itu terjadi pada dirinya tapi, dia terus berjalan seolah dia nggak merasakan apa pun. Dia ingin dirinya nggak mengetahui apa pun sehingga dia nggak harus melakukan apa pun dan nggak berpikir apa pun.

Tapi, suara itu makin lama makin membuat Li An gerah, dia ingin membuat suara itu diam. Li An membalikkan badannya dan di lihatnya sesosok wanita cantik berpakaian SMA. Li An memberi kode pada wanita itu untuk ke gudang sekolah agar semua orang di sekolah nggak memandang Li An gila.

“Apa yang kamu inginkan?” tanya Li An, “Aku lelah terus-terusan berurusan dengan mahluk sejenismu, Aku lelah!”

“Aku nggak akan menyusahkanmu. Aku hanya ingin berteman denganmu. Bagaimana?” wanita yang usianya sudah ratusan tahun ini memandang Li An. Li An tahu wanita ini adalah arwah yang nggak mau pergi ke alam baka, “bagaimana karena, kupikir berteman denganmu menyenangkan.”

“Hanya itu saja?” tanya Li An, wanita itu mengangguk, “Oke, namaku Li An, kamu Ana kan?” wanita itu mengangguk lagi, “mari kita berteman tapi, jangan bicara denganku di saat ramai. Aku nggak berniat untuk membuat diriku di anggap sinting oleh seisi sekolah.”

**

Li An nggak menghabiskan sarapannya pagi ini, dia terburu-buru karena jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi yang jelas dia tahu kalau dirinya akan terlambat apalagi Jakarta macetnya minta ampun.

“Hei,” Ana menyapanya ketika Li An menunggu bis, “Kau akan terlambat,” ucapnya, Li An hanya diam dan nggak merespon ucapan Ana, “bukankah kamu menyukai Tobi?” tanya Ana, Li An tetap diam nggak tergoda untuk bicara, “harusnya kamu berangkat ke sekolah bersama Tobi, sepertinya dia juga menyukaiku.”

Satu bulan ini, Li An terus diikuti Ana karena dia menerima Ana hadir di hari-harinya. Li An senang karena Ana termasuk Arwah yang baik dan nggak menyusahkannya tapi, ucapan Ana terlalu membuat Li An sedikit sakit kepala.

“Yah, Pak, please, janji deh nggak terlambat lagi,” kata Li An memohon pada seorang guru yang sedang memarahi siswa-siswi yang terlambat, “seriusan, janji deh ketemu hantu kalo saya terlambat lagi.”

“Kamu bicara seperti itu karena kamu nggak takut sama hantu, ckck,” Ana menggelengkan kepalanya.
Li An berhasil masuk ke kelasnya setelah mendapat ceramah panjang serta hukuman. Seisi kelas memandangnya tertawa tapi, seorang cowok bernama Tobi hanya tersenyum kecil tanpa menertawakan.

“Kenapa terlambat?” tanya Tobi ketika Li An duduk, mereka duduk bersebelahan, “lo begadang?” Li An menggeleng. Hari ini Li An terlambat karena harus memarahi seorang hantu gila yang tersesat di rumahnya tapi, itu bukan Ana tapi arwah-arwah lainnya. Bagi Li An kemampuannya dapat berbicara, melihat, dan berinteraksi dengan mahluk di alam lain cukup menyebalkan karena dia merasa terbebani, “lo ngelamun?”

“Eh em....” Li An tertawa pada Tobi, “haduh, muka gue jadi kusut ya?”

“Biasa aja,” Tobi membantu Li An mengeluarkan buku pelajaran, “coba tadi lo sms gue jadi kan nggak perlu nunggu bis,”

“Kelupaan,”

Pelajaran demi pelajaran Li An ikuti sampai jam terakhir dan kali ini, Li An mendapat tawaran dari Tobi untuk di antarkan pulang. Awalnya Li An menolak tapi, akhirnya menerima tawaran Tobi. Penolakannya tadi hanya basa-basi.

**

“Mama!” Li An berteriak-teriak, “Ma!” lagi dan lagi sehingga Mama langsung ke kamar Li An, “liat geh Ma liat!” Li An menunjuk sesosok arwah yang berdiri di sudut kamarnya, “ini arwah nggak sopan banget masuk ke kamar Aku terus diem melulu kayak patung. Mama urus geh!”

Keluarga Li An memang memiliki kelebihan seperti halnya Li An karena sudah turun temurun tapi, hanya Li An lah yang memiliki kemampuan paling tinggi sehingga para arwah mendatanginya seperti tertarik magnet.

“Kalau dia tidak mau bicara, biarkan saja berdiri di kamarmu. Anggaplah dia patung yang kamu beli,” kata Mama lalu keluar kamar Li An, “Mama akan kepasar,”

Li An memanggil-manggil Ana tapi, Li An ingat kalau Ana sedang jalan-jalan bersama para arwah lainnya. Agak aneh juga kalau arwah bisa berekreasi dengan santai.

“Hei Kau!” Li An berdiri lalu mencubit pipi arwah aneh tersebut, “kau bukan arwah yang bisu kan? Setahuku arwah nggak ada yang bisu!” Li An mencubit lebih keras, “hei!”

“Aku adalah arwah baru,” kata arwah tersebut, “ini agak aneh,” ucapnya, “Rio,” dia memperkenalkan diri pada Li An, “kamu manusia?”

“Arwah satu ini benar-benar amatiran!” kata Li An lalu dia menggelengkan kepalanya dan meninggalkan arwah tersebut di kamarnya.

Li An nggak mau capek-capek menjelaskan tentang dunia arwah pada arwah baru seperti Rio karena itu bukan tugas Li An. Li An hanya merasa kalau tugasnya menjawab pertanyaan para arwah tanpa menyusahkan dirinya.

“Hei,” Rio mengikuti Li An ke dapur, “Aku masih ingin tinggal di dunia tapi, mengapa ada beberapa arwah yang nggak menyapaku ketika Aku menyapa mereka?” tanyanya, Aku nggak menjawab. Rio ini bodoh sekali, arwah itu sama dengan manusia, ada yang baik, ada juga yang jahat, dan ada yang cuek, “oh iya, mengapa kamu bisa bicara dengan arwah?”

“Karena Aku memiliki kelebihan.” Jawab Li An karena dia merasa pertanyaannya pantas untuk dijawab, “oh iya, Aku memiliki teman yang arwah juga. Namanya Ana, dia arwah yang ada di sekolahku. Kamu bisa beteman dengannya.”

“Hm. . .”

**

Tobi mengirimkan sms pada Li An kalau dia akan menjemputnya pagi ini. Tanpa menolak, Li An langsung mengiyakannya, dia benar-benar senang kalau Tobi menjemputnya yang berarti dia bisa lebih dekat dengan Tobi.

“Cie kapan yaa jadian,” goda Ana, “Aku akan setia menunggu kalian jadian, haha,” Ana tertawa cekikikan, “Tobi lama sih nembaknya.”

“Kamu nggak kesekolah? Kamu kan arwah sekolah, ckck,” kataku pada Ana tapi dia memberi kode kalau hari ini dia akan bersantai di rumahku. Rumahku ini sudah seperti rumahnya dan Mama nggak keberatan toh dia arwah jadi nggak menghabiskan makanan. Haha, selain itu, Arwah bernama Rio juga masih dirumahku sampai dia benar-benar mengerti kehidupan para arwah, “Rio, kamu bisa bertanya pada Ana tentang arwah.”

“Padaku? Mengapa aku?” Ana terlihat nggak setuju, “menyusahkan sekali!”

Rio benar-benar membuat Li AN dan Ana susah. Seharian ini dia terus saja bertanya tentang dunia para arwah tapi, baik Li An atau pun Ana nggak ada yang memberitahunya. Sebenarnya, Li An ingin bicara tapi, pikirannya sedang nggak ingin berbincang-bincang para arwah baru.

“Hei Tob,” kata Li An ketika dia keluar rumah dan langsung menemukan sosok Tobi di depan pintu rumahnya, “maaf yaa kalo lama, maaf banget ini mah.”

“Harusnya gue bisa sarapan di kantin tapi, rasanya sampe istirahat pertama harus nahan laper.” Ucap Tobi, Li An merasa bersalah. Li An kembali membuka pintu karena Ana memanggil-manggil namanya.

“Ini...” Ana memberikan kotak makan milik Li An, “buat Tobi sarapan, oke?” arwah satu ini benar-benar mendukung hubungan Li An dengan Tobi. Baginya, kedua manusia tersebut saling menyukai hanya saja belum ada waktu yang tepat.

**

Tobi menunggu Li An di ruang tamu, malam ini mereka akan makan malam bersama dalam rangka perayaan hari jadi mereka yang keempat bulan.

“Sayang, nggak nyangka ya kita udah jalan 4 bulan?” ucap Li An, Tobi hanya tersenyum kecil, “kamu kenapa?”

“Kok agak merinding ya disini. Apa ada setannya?” tanya Tobi, Li An melihat Ana sedang memperhatikan Tobi, “sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja.”

4 bulan lalu, Tobi akhirnya menyatakan cinta pada Li An. Hubungan mereka terbilang mengejutkan karena seisi sekolah memprediksi mereka jadian nggak secepat itu. Namun, cinta memang nggak pernah terduga dan nggak ada yang pernah menyangkanya.

“Kamu serius?” tanya Li An ketika Tobi melingkarkan cincin perak di jari manis Li An, “Aku nggak pernah menyangka sebelumnya.”

Hubungan mereka selalu baik-baik saja, nggak pernah ada masalah atau keributan apapun. Keduanya saling mengerti dan memahami sifat masing-masing.

“Belakangan ini, Aku merasa takut kehilangan kamu,”

“Benarkah?”

“Ya, seperti itulah yang terjadi.”

**
Rio sudah mulai mengerti dunia arwah, dia sudah nggak tinggal lagi di rumah Li An. Arwah satu itu telah menikmati hidupnya sebagai arwah dan melupakan semua kebingungannya saat pertamakali menjadi arwah.

“Ana,” kata Li An pada Ana, “apakah kamu merasa kalau hubunganku dengan Tobi akan baik-baik saja?”

“Mungkin,” jawab Ana, “tapi, Aku yakin kalau kalian saling menyayangi.” Ana tertawa cekikikan, “oh ya, mengenai Rio, bukankah dia menyukaimu?”

“Ya, Aku tahu itu,” kata Ana. Li An tahu kalau Rio mulai menyukainya sejak mereka pertamakali kenalan tapi, dunia mereka sudah berbeda, alam mereka sudah berbeda, cara hidup mereka pun sudah berbeda, Li An nggak pernah berniat menjalin cinta dengan banyak perbedaan yang gila terlebih, disisinya sudah ada Tobi.

Ana bernyanyi di kamar kosong rumah Li An. Dia memang suka bernyanyi, suaranya pun kadang terdengar oleh siswa yang melewati gudang sekolah Li An tapi, sekarang dia dirumah Li An. Kalau pun ada yang mendengar, itu nggak akan pernah jadi masalah.

“Ana. . .” Rio tiba-tiba datang seperti arwah yang sudah professional, “kamu melihat Li An?”

“Kenapa? Ada apa mencarinya? Kalian berbeda,” ucap Ana, “berteman saja sudah lebih dari cukup. Jangan menyakiti dirimu dan dirinya, dia butuh ketenangan,” tambahnya dengan nada agak menyindir.

“Aku hanya ingin pamitan,” kata Rio, “Aku akan pergi ke alam yang sebenarnya,”

“Hah! Baiklah! Menyusahkan sekali!” Ana sedikit kesal lalu membawa Rio pada Li An yang sedang menenangkan diri di ruang bawah tanah.

Li An terlihat sangat tenang. Dia menarik-menghembuskan nafasnya secara teratur, “kalian menggangguku saja,” kata Li An yang menyadari kedatangan kedua arwah menyebalkan, “ada apa?” Li An membuka matanya.

Udara terasa begitu dingin dan Ana berdiri dengan manis sedangkan Rio, dia mendekat pada Li An, “Aku menyukaimu, sangat menyukaimu, bahkan rasa ini lebih besar ketika Aku menjadi seorang manusia,” jelas Rio, “tapi Aku sadar kita berbeda dunia, “sangat berbeda,” Rio lebih mendekat lagi, “Aku ingin kembali pada alamku yang sebenarnya.”

“Kamu ingin di sisi Tuhan?” tanya Li An, “baiklah, itu pilihanmu dan kuharap, kamu nggak akan merindukanku.” Li An tersenyum lalu memeluk Rio, “pergilah, Aku yakin kamu akan tenang di alam sana,”
Angin kencang datang mendadak, Li An mengerti. Beberapa saat kemudian Rio menghilang tanpa bekas, Li An paham sekali, “anak satu itu benar-benar amatiran, ckck.” Ana tertawa, “hei, kamu tahu nggak kalau ada manusia lain selain dirimu disini?” Li An memandang bingung, “Tobi...”

“Sayang. . .” Tobi mendekati Li An, “ternyata benar tentang rumor itu kalau kamu bisa berbicara dengan hantu tapi, Aku nggak suka,” tambahnya, “bagaimana kalau hantu-hantu itu menggodamu seperti hantu yang tadi?”

“Maaf, Aku nggak tau kalau dia masuk ke ruang bawah tanah,” kata Ana lirih lalu menghilang layaknya arwah. Di ruang bawah tanah ini, manusia yang nggak memiliki kemampuan pun bisa melihat hantu-arwah dan sejenisnya.

“Untung kamu nggak tergoda,” Tobi memeluk Li An, “lain kali kamu harus menjaga jarak dengan hantu berjenis laki-laki.

“Oke,”



TAMAT

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...