Doni
Cerpen Oleh Aula Nurul M
“Doni!” panggil Haris dengan suara lantang,
“sob, tunggu dulu jangan lari aja,”
Doni memandang Haris sesaat, ia tersenyum lalu
berjalan lagi sambil melihat sekitar. Jalannya terlalu cepat sampai Haris harus
sedikit berlari di areal tenang. Ia menghentikan Doni.
“Bukakah kau biasanya berpidato saat siapapun
bicara di areal ini? Ketua OSIS,” Doni menekan suaranya, “kau tahu, di sekolah
ini yang terbaik bukan kau tapi masih ada Fadil, Ketua Perwakilan Siswa LBS School.”
Sejenak, Haris mengambil nafas untuk
menghadapi Doni, “baiklah, kalau begitu, kau mau kabur lagi?”
“Kabur?” Doni memandang tanya, “berjalan
santai, mensabotase cctv, memanjat pagar bukan kabur, tapi tantangan, oke?” ia tersenyum, “kau mau melapor
pada guru dan bicara panjang lebar lalu kau akan membuatku terkena skorsing?”
“Terserah tapi, nanti akan ada ulangan Bahasa
Jepang,” beritahu Haris, “kau akan mati jika tidak mengikutinya,”
“Aku akan kembali pukul 1 siang, bukankah jam
Bahasa Jepang pukul 2? Benar begitu kan, tuan pengatur,” lalu tubuh Doni
menghilang bagai ditelan angin.
**
‘Don,
nomor 37 jawabannya apa’ pesan terkirim
‘Salah
alamat woy nanya, yaudah nomor 1-50 apa jawabannya?’ pesan terkirim
‘aaabc
edcab a-d-d-a ccade bbace –cb- sisanya belum Don,’
Ulangan selesai
**
Doni jatuh tersungkur di atas pasir pantai.
Wajahnya terasa pedih karena menyentuh pasir secara langsung.
Ia membersihkan wajahnya, memandang seseorang
yang telah menjatuhkannya. Sejenak, Doni tersenyum lalu berdiri dan membalas
kembali dengan sebuah pukulan keras.
“Kakak kira cukup buat aku kayak gini?” tanya
Doni datar, “sudahlah, jika aku melawan kakak maka kakak yang akan terjatuh,”
“Harusnya kau sekolah, ini jam sekolahmu!”
nada suara Dylan meninggi, “kau tahu, Ayah bisa marah padamu!”
Doni tertawa kecil. Tawanya seolah sebuah
hinaan, “sekolah, untuk apa? Untuk nilai? Bukankah nilai ujianku selalu di atas
rata-rata?”
Emosi Dylan memuncak. Ia benar-benar tidak
menyangka akan menemukan adiknya di tepi pantai, di jam sekolah seperti ini.
Ini untuk pertamakalinya Dylan menemukan kejutan luar biasa.
“Kakak, kau akan melakukan apa? Mengapa kau
diam?” Doni mendekat, maju beberapa langkah, matanya mentap tajam kedua bola
mata Dylan, “apakah kau akan memukulku lagi?” Dylan mundur dua langkah, Doni maju lagi, “kau
akan melakukan apa pada adikmu ini?”
Ia hampir saja memberikan sebuah hantaman
keras pada wajah Doni tapi, ia menghentikannya, dan pergi dari tempat itu.
**
Aish ini
kenapa sinyal error! Aish minta di gantung juga ini operatornya! Ngertiin orang
lagi ulangan dikit kenapa!
Doni terus menggerutu. Ia tidak mengerti sama
sekali rumus-rumus integral yang ada di depan matanya bahkan, jenis soal yang
dilihatnya pun sudah membuatnya mual. Ia juga tidak bisa menjawab asal-asalan
karena itu bukan pilihan ganda yang
dapat diisi dengan mudah. Ia juga tidak bisa membiarkan kertas itu kosong
bersih.
Ayo
sinyal! Datanglah-datanglah padaku! Datanglah atau aku akan menggantungmu di neraka!
Adcde
acedb
Bbacb
bbade
Eedac
bccac
Cbace
bbeca
Nah
kunci apa-apaan ini! Jelas-jelas essay! Maunya apa pula seisi sekolah ini
ngajak ribut!
Doni hampir membanting hanphonenya karena teman-temannya justru memberi kunci yang salah.
Ia berdoa lagi. Doa yang benar-benar salah atau lebih tepatnya doa untuk
meminta dosa.
1-2-3
Akhirnya ada yang ngirim foto. Sip, teman yang baik.
Kudoa’kan semoga masuk surga!
Doni buru-buru menyalin tulisan-tulisan yang
ada dalam foto tersebut. Ia tersenyum girang dan dalam beberapa menit, kakinya
sudah melangkah mengumpulkan lembar jawaban tersebut. Hatinya lega.
“Hei Ver,” sapa Doni ketika keluar kelas dan
bertemu Vera, “apakah ujian di kelasmu sukses?”
“Entahlah, aku masih tidak yakin,” jawab Vera
lesu, “bagaimana denganmu? Aku yakin, nilaimu pasti bagus, kau kan ahlinya
mencari jawaban teman,”
“Itu mudah saja. Untuk apa berpikir sampai
memutar otak hanya untuk mengerjakan tugas kalau akhirnya bisa menyelesaikan
dalam hitungan kurang dari 10 menit,”
**
Ayah meminum kopinya dengan tenang, damai, dan
tanpa kegelisahan. Ayah selalu seperti ini setiap pagi, sebelum ia berangkat ke
kantor.
“Dylan, apakah kuliahmu baik-baik saja?” tanya
Ayah, Dylan mengangguk, “Ayah harap, kamu bisa seperti Ayah,”
Dylan menemani Ayah di halaman belakang sambil
memandangi pohon mangga yang baru berbuah. Dylan dan Ayah memang sangat akrab sejak kecil, terutama setelah Ibu
meninggal,
ketika Dylan duduk di bangku SMP.
“Dimana adikmu? Apakah dia sudah berangkat ke
sekolahnya?”
“Doni ada di kamar, apakah Ayah ingin aku
memanggilnya?” tawari Doni, “Ayah tahu, belakangan ini Doni lebih
terang-terangan untuk meninggalkan sekolahnya,”
Ayah terdiam. Ayah sudah mendengar itu dari
sekolahan.
Doni yang nakal. Doni yang suka cabut jam pelajaran. Doni yang suka
memanjat pagar sekolah. Doni yang suka mensabotase cctv sekolah. Tapi, Ayah
sudah lelah mendengar semua kabar itu.
Doni sudah tiga kali pindah sekolah karena
tersangkut kasus kenakalannya.
“Ayah sudah mengetahuinya tapi, ayah belum
pernah memergoki Doni bukan?” Dylan menghela nafas, “Aku melihat Doni cabut
sekolah beberapa hari lalu, ia ada di tepi pantai, sendirian, memakai seragam
sekolah,”
Mereka tahu kenakalan Doni. Sejak kecil, Doni
memang selalu menantang peraturan tapi, mereka tidak tahu kalau Doni selalu
mengandalkan contekan dan handphone
saat ujian.
“Ayah, apakah sebaiknya Doni di tempatkan di
tempat yang ekstrim?”
“Maksudmu?”
“Tempat dimana ia bisa belajar, tempat dimana
ia tidak memegang handphone, tempat di mana ia tidak bisa kabur,
apakah Ayah bisa mencarikan tempat seperti itu?”
Ayah terdiam, tidak mengeluarkan sepatah
katapun.
**
Kali ini, Haris memergoki Doni sedang keliling
sekolah untuk menanyakan siapa yang paling cerdas dalam Fisika.
“Mengapa kau suka sekali mencampuri urusanku?”
suara datar Doni menunjukkan ketikdaksukaannya pada Haris, “kau bukan Ayahku,
mengapa kau selalu berkuasa untuk urusan sekolahku?”
“Ada baiknya kau hentikan ini atau kau akan
menyesal,”
“Apa hakmu? Kau hanya ketua OSIS, bukan guru.
Kau juga bukan teman atau sahabatku bahkan, kurasa kita tidak saling mengenal,”
Doni melangkah, menjauh dari Haris. Ia tidak
ingin mendengarkan pidato Haris yang terlalu panjang sampai membuat asap di
telinganya.
Kaki Doni terus melangkah. Ia masih
melanjutkan misinya.
“Don, kamu muter-muter gini nyari anak yang
bisa bantuin kamu ujian nanti?” tanya Vera ramah, Doni mengangguk, “dari pada
muter-muter gini mending buat belajar Don, lebih bermanfaat,” lanjutnya,
“ayolah, kembali gih ke kelas kamu!” perintah Vera, Doni kembali ke kelas
walaupun tidak untuk belajar.
Ia tidak bisa membantah apa kata Vera. Vera
adalah sepupu terbaiknya, sepupu yang cantik dan baik hati. Hanya Vera saja
yang dihormatinya, tanpa kecuali.
Kenapa
gadis itu harus membuatku terdiam seperti ini? Andaikan saja dia bukan
sepupuku, aku akan memarahinya
habis-habisan tapi, bagaimanapun ia sepupuku langsung dari keluarga Ibu.
Cadbc cbeec
Bbbde becde
Aadec bbeda
Becaa aaebe
Doni buru-buru menyalin kunci tersebut dalam
lembar ujiannya. Matanya semeringah carah. Dalam sekejap mata, ia bisa langsung
keluar dari ruangan.
**
Matahari bersinar memasuki kedua bola mata
Doni. Ada seseorang yang membuka jendelanya tanpa izin. Ia memandang seseorang
yang berdiri di samping ranjangnya.
“Don, Doni,” Ayah masuk ke kamar Doni,
“cepatlah, hari ini Ujian Nasional, kau mau nilaimu jelek!”
“Baiklah,” Doni terbangun, “nilaiku harus di
atas rata-rata, aku tahu itu, ayah sudah mengatakannya beribu-ribu kali,”
tambahnya lalu ia pergi ke kamar mandi.
Para siswa bertebaran di sepanjang koridor
menunggu bel masuk untuk memulai ujian. Hari ini adalah hari terakhir Ujian
Nasional dengan mata pelajaran Matematika.
“Don, kau tenang sekali,” Vera tersenyum,
“padahal, jantungku saja sudah setengah mati,” lanjutnya, “oh ya, kau lihat
Haris tidak?”
“Kau menanyakannya pada orang yang salah,”
lalu beberap detik kemudian bel berbunyi.
Para siswa berlarian ke ruangan mereka
masing-masing begitupun dengan Doni. Dari sekian siswa, kunci ujian beserta
paket-paketnya.
Tiga
menit, sipp! Atau semenit! Gila ketara! Kalau begitu 15 menit. Oke!
Satu per sau soal diisi Doni tanpa membaca
soal satupun. Ia yakin kalau ia akan lulus karena apa yang di dapatnya tidaklah
murah. Ia harus mengeluarkan setengah dari uang jajannya sebulan untuk
mendapatkan kunci tersebut.
Oke,
selesai.
Bel berbunyi. Para siswa berhamburan keluar
dengan cerah dan senang. Ini hari terakhir mereka menemui soal UN.
“Don, langsung pulang?” tanya Vera, “kalau
aku, aku ingin ke dokter untuk mendinginkan otakku yang dari beberapa hari lalu
panas, bagaimana denganmu?”
“Aku akan bersenang-senang dengan teman-teman
yang lain,” beritahu Doni seolah ia yakin kalau dirinya akan lulus, “kau mau
ikut?”
“Tidak, aku tidak yakin tentang kelulusanku
nanti,” Vera tersenyum, “tadi Haris mencarimu, katanya kau salah menulis kunci
karena kunci yang tersebar palsu,”
Doni tersenyum, “anak itu hanya ingin
membuatku marah saja, sudahlah, jangan bicarakan anak yang tidak ada apa-apanya
itu,” katanya, “baiklah, kalau kau tidak mau ikut, terserah,”
Kaki Doni melangkah ke tempat parkir. Ia telah
di tunggu oleh teman-temannya untuk melakukan hal gila di jalan seolah
kelulusan telah tercapai.
**
“Sudah satu bulan kau hanya bermain-main,”
Dylan mengingatkan adiknya, “tidak bisakah kau berpikir untuk kuliahmu nanti?”
“Itu mudah, kau tidak usah mencampuri
urusanku,” katanya mengusir Dylan dari kamarnya, “katakan pada Ayah, jangan
khawatir,”
Dengan suara lirih, Dylan menutup pintu kamar
Doni. Ia tidak bisa marah lagi pada Doni, Ayah telah melarangnya.
Doni berbeda dengannya. Doni akan lebih marah
dua kali lipat dari orang yang marah padanya. Emosinya melebihi siapapun di
rumah ini.
Yang
Ayah inginkan hanya nilai. Nilaiku yang tinggi, itu saja sudah cukup. Semuanya
akan sama seperti yang Ayah inginkan.
**
Para siswa LBS School telah berbaris rapi di lapangan upacara. Mereka mengenakan
seragam lengkap serta peralatan untuk merayakan kelulusan yang ada di dalam tas
mereka.
“Don, kau baru datang?” Haris menyapa Doni
yang terlambat datang, “kau tampak sangat senang,”
“Tentu, amplop itu akan tertulis kelulusanku,”
ia tersenyum kemenangan, “dan tentu saja, aku tidak akan melihat wajahmu lagi,”
Satu per sau amplop di bagikan pada siswa.
Kebanyakan dari mereka langsung berteriak histeris dan memeluk temannya lalu
tersenyum cerah. Mereka berlari-larian, meneriakkan kemenangan, dan tertawa
bahagia.
Namun, di sudut lain di sekolah, Doni hanya
tersenyum kecil. Senyumnya bukan senyum kelicikan seperti biasanya tapi senyum
yang begitu aneh.
“Apa yang terjadi denganmu?” tanya Haris, Doni
memandangnya penuh senyum, “mengapa kau tersenyum seperti itu padaku? Senyummu
menakutkan,”
“Kau benar, kunci itu salah,” Doni memberikan
kertas dari amplop miliknya dan ia berjalan keluar sekolah tapi, tiba-tiba ia
terjatuh, “a....a...ayah,” kata terakhir Doni sebelum ia pingsan.
Haris dan para siswa lainnya membawa Doni ke
poliklinik sekolah. Mereka khawatir pada Doni. Mereka prihatin.
Ayah
hanya ingin nilaiku seperti keinginan ayah, itu saja. Ayah ingin nilaiku tidak
jelek, itu saja. Bukan tentang diriku tapi, nilaiku. Itu saja. Tidak ada yang
lain.
“Kau terbiasa menggunakan kunci saat ulangan,
kau mengandalkan hanphonemu, kau
benar-benar terjebak,” ucap Haris lirih, “aku sudah mengingatkanmu,”
“Apa kau sekarang sedang berpidato?” Doni
tersenyum, “kau benar, teman,” lanjutnya berat. Ia bangun dari ranjang poliklinik
dan melangkah keluar. Para siswa lain memandangnya sedih apalagi Doni di kenal
ramah walaupun nakal.
Langkah Doni benar-benar tanpa arah dan
tujuan. Ia terus saja melangkah keluar sekolah, melewati gerbang sekolah tanpa
mengambil motornya yang ada di tempat parkir.
BRAK!
Tubuh Doni terlempat jauh. Sebuah mobil
menabraknya tanpa ia bisa menghindar atau lebih tapatnya, ia tidak mau
menghindar.
**
Hanya
nilai, itu saja. Aku sadar walaupun hanya bisa mendengar. Kurasa, para dokter
itu bodoh, Aku bukan koma karena kecelakaan itu.
“Doni, kau bisa mendengar kami? Ayolah, itu
tidak masalah, kau hanya perlu bangkit dan belajar dari kesalahan bahwa
mengandalkan kunci itu salah besar,” teman-temannya terus berbicara padahal
dokter mengatakan kalau Doni sedang koma, “Don, kalau kau tidak bangun maka kau
tidak bisa bertobat atas kesalahanmu pada kami,” ancam mereka.
Kalian
mempedulikanku? Kurasa hanya kalian yang peduli padaku, tidak ada yang lain. Bahkan,
Ayah belum menjengukku setelah satu bulan aku koma.
“Don,” Dylan masuk, ia menyapa adiknya, “hei,
perkelahian kita belum selesai, aku ingin memarahimu karena kau tidak lulus
hanya karena kunci, ayolah, aku yakin otak aslimu melebihi Einstein,”
Doni tidak terbangun. Ia masih tertidur dalam
mimpinya.
**
“Mengapa ayah tidak menemui Doni?!” Dylan
marah pada ayahnya, “apakah ayah tidak mempedulikannya?”
“Doni tidak sadarkan diri. Ada atau tidaknya
ayah, dia tidak akan tahu,”
“Mengapa ayah seperti ini? Kukira, selama ini
ayah terus membelanya karena lebih menyayanginya dari pada aku tapi...”
“Ia mengecewakan ayah, ia sangat membuat noda
di atas nama ayah,” ayah berlalu pergi, menghilang dari hadapan Dylan.
**
Berita demi berita muncul di televisi, surat
kabar, bahkan menjadi bahan gosip baru untuk infotaiment selebriti. Ayahnya
Dylan dan Doni bukan selebriti, ia hanya anggota dewan yang salah langkah.
“Don, kau sudah mendengar berita ayah?” tanya
Dylan, “kau harus bangun, ayolah,” Dylan terus bicara pada Doni, berharap
adiknya tersadar, “bukankah kau yang memberikan berkas ke KPK? Jadi, ini
alasanmu menentang ayah?” lanjutnya, “pantas saja ayah selalu takut akan
ucapanmu,”
Apakah
kakak tidak bisa diam. Seseorang yang koma juga membutuhkan ketenangan, bukan
kebisingan seperti ini.
Dylan menghidupkan televisi dan melihat semua
stasiun memunculkan berita ayah, “kau tahu, kau salah telah memanfaatkan kemudahan untuk
ujian, kau salah, kau akhirnya terjatuh, seperti ini,” Dylan memegang tangan
adiknya, “tapi, apa yang kau lakukan pada ayah, kau lebih pintar dariku,”
Aku
tidak pernah ingin menyontek. Aku tidak pernah ingin kabur dari sekolah. Aku
tidak pernah ingin membuat ulah di sekolah seperti berkelahi. Aku tidak ingin
mengandalkan kunci jawaban tapi, aku hanya marah. Kau harus tahu itu, kakak!
“Don, bangunlah! Kau mau membuat kakakmu ini
berjuang sendiri?!” ia menggoyang-goyangkan tubuh Doni, “kau tahu, besok ayah
akan resmi menjadi tahanan!”
“Kak Dylan,” Vera masuk perlahan, “jangan
memarahinya kak, jangan lakukan itu,” Vera menarik Dylan, menjauh dari tubuh
Doni, “Doni hanya terlalu pintar memanfaatkan komunikasi, itu sebabnya dia
tidak lulus,” ucap Vera lembut, “mengenai ayah kalian, aku yakin, Doni sudah
melewati masa tersulit dua sisi hatinya,”
Mereka duduk di sofa kecil, di samping ranjang
Doni yang masih terus terbaring. Hampir setiap hari Dyalan tidur disini dan ia
baru menyadari kalau selama ini, ia kurang memiliki waktu untuk berkumpul
bersama Doni.
“Ka.... kak...” suara kecil terdengar, “apakah
kalian mendengarku?”
“DONI!!!” mereka mendekat pada Doni lalu
memeluknya, “kau benar-benar!” Dylan terlihat kesal sekaligus bahagia.
“Vera, Kak Dylan, aku salah, kunci itu
membuatku bodoh,” ucap Doni, “aku akan mengulang kelas 3-ku dan belajar, aku
janji,”
“Baiklah, kalau begitu kau harus sembuh untuk
belajar, oke?” Vera menyemangatinya, Doni tersenyum. Tidak ada yang berani
membahas mengenai ayah.
Mereka
tersenyum padaku karena aku sembuh? Apakah mereka tidak menangis seperti tadi
saat aku koma?
**
Ayah masuk ke dalam tahanan. Sebelum ia di
bawa polisi, ayah sempat memandang kedua anaknya tapi tidak berani memeluk
mereka.
Ayah merasa malu apalagi, yang melaporkannya
tidak lain anaknya sendiri.
‘Ayah
salah, ayah tidak akan menyalahkanmu. Kau benar, ayah salah’ ucap Ayah dalam hati, ‘kau
anakku yang paling nakal sehingga membuatku masuk tahanan,’
“Apa kau ingin menangis?” canda Dylan, Doni
sudah meneteskan air mata, “ayolah, kau melakukannya demi negara dan demi
kebenaran, bukankah agama kita mengajarkan itu?”
“Aku tidak menangis, aku hanya terkena debu,”
ucap Doni, Dylan langsung memeluknya erat, “ayah tidak ingin memelukku, ayah
marah padaku,”
“Ayah juga tidak ingin memelukku, kita sama,”
Dylan tersenyum, “ayolah, Ayah tetaplah ayah kita. Ayah pasti mencintai kita.
Ayah hanya malu untuk bertemu dengan kita,”
“Baiklah,” Doni tersenyum licik, “kalau
begitu, ayo bantu adikmu ini mencari buku-buku teks pelajaran. Aku akan
mengulang kelas 3-ku dengan baik, aku janji padamu,” ia sedang memikirkan suatu kesalahan Dyan yang
sebentar lagi akan diungkapnya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar