Jumat, 02 November 2012

NEW CERPEN #2 (BELUM ADA JUDUL)



 CERPEN CINTA
oleh Aula Nurul M
follow twitter : @Aulanurul

“Ken!” Deska menelfon Ken, “gue di jendela kamar elo, buka!

Ken membukakan jendela kamarnya untuk Deska sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ngapain lo?” tanya Ken santai, “cewek malem-malem bigini masih keluyuran.”

“Ambilin gue minum gih,” kata Deska setelah masuk ke kamar Ken, “ambilin!”

Dia melihat wajah Deska yang tampak kesal tapi tetap lucu dan tetap cerewet. Ken ke dapur untuk mengambil segelas air mineral untuk Deska yang tidak lain saudara kembarnya.

“Ken,....” Bunda mengejutkan Ken, “jus untuk siapa?”


Tidak lupa dan tidak akan terlupakan janji Ken pada saudara kembarnya. Dia berjanji akan membiarkan saudara kembarnya pada jalan sendiri, pilihannya sendiri, dan apapun yang membuat Deska tenang.

“Ih baek deh sodara kembar gue ini. Lama-lama makin manis aja,” Deska mencubit Ken seolah-oleh Ken siswa TK yang berusia 5 tahun, “gue nginep di sini ya? Ya Ken, ya ya ya? Please....” pinta Deska dalam arti lain.


“Bunda? Hidih, tante aja kali jangan bunda, mit amit deh gue.” Ucap Deska kesal mengingat saudara kembarnya sudah mulai dekat dengan ibu tiri mereka.

Satu tahun lalu, Deska dan Ayahnya masih tinggal di Semarang kecuali Ken. Ken tinggal di Bandung karena dia sudah yakin sekolah di sebuah SMU di Bandung.

Deska dan Ayahnya, mereka pindah setelah Ayah mereka menikah lagi namun, Deska tidak mau satu rumah dengan ibu tiri mereka. Deska tetap memilih tinggal di Semarang bersama neneknya namun, pada bulan ke-4 pernikahan ayah mereka, Deska menyusul ke Bandung.

Deska memang di Bandung tapi dia masih marah pada Ayahnya yang telah menikah lagi. Dia tidak ingin satu rumah dengan ibu tirinya walaupun jujur, dia merindukan satu rumah dengan Ayah dan saudara kembarnya. Deska memilih untuk nge-kost saja dari pada harus satu rumah dengan seorang ibu tiri.

“Ckck, udah ngerjain tugas Kimia lo?” tanya Ken, mengingat mereka satu sekolah dan satu kelas, “udah apa belum!”

“Belum lah, gue ke sini kan kangen sama elo, kangen sama Papa tapi males liat tampang tante itu, dih.” Deska benar-benar tidak suka dengan ibu tirinya, “ngerjain sekarang aja, kita kerjasama, oke-oke?”


Deska mengomel-ngomel di halte bis karena semua bis penuh, “sial! Bisa telat gue!”

Sebuah sepeda motor berhenti tepat di depan Deska. Deska tahu betul kalau seseorang di balik helm itu adalah siswa yang satu sekolah dengannya, sudah terlihat dari seragam yang di kenakan.

“Yhaha ketinggalan bis, jakil aja non,” goda Zero, “Mau tumpangan? Ooo, tidak bisa, maaf, motor gue haram hukumnya ngeboncengin cewek yang pernah buat gue kecebur di kolam ikan sekolah,”

Mata Deska melotot sampai mau keluar memandangi Zero, “Sial!” batinnya dalam hati, “siapa juga yang butuh tumpangan dari elo?”

“Serius nggak butuh tumpangan?” tanya Zero lagi, “bener?”

“Em... eh dari pada gue telat,”

**

Kelas riuh, gaduh dan sudah tampak seperti suara ibu-ibu yang berebut obral alat rumah tangga. Namun, mereka bukan ibu-ibu. Mereka siswa SMU, mereka siswa kelas XI IPA 4.

Seperti kebanyakan kelas dan kebiasaaan para siswa pada umumnya. Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk buru-buru mencontek tugas teman dari pada nanti akan mendapat nilai kecil.

Ini aneh namun pada kenyataannya inilah fakta yang tidak bisa di hindari. Tidak ada kata sepakat sebelum ini untuk beramai-ramai mengerjakan tugas di pagi hari namun, kesepakatan itu selalu dan selalu terjadi tanpa ucapan melainkan tindakan. Buset dah.

OMG! Ckck, nyalin masal” ucap Deska dalam hati, “ada apa yak?” tanyanya pada seisi kelas namun tidak ada yang mempedulikan Deska, “sibuk semua,”


“Udah,” jawab Deska, “eh gue udah belum sih ngerjain tugas Kimia? Kan tadi melem yang ngerjain tugasnya Ken terus gue malah molor dah,” dia tertawa-tawa kecil mengingat banyaknya tugas kimia dan dia tidak bisa membayangkan bagaimana lelahnya Ken mengerjakan dua tugas sekaligus.

Udara pagi masih jernih dan Neon mengajak Deska untuk berbincang luar kelas dari pada di dalam kelas yang ribut.

Kelas XI IPA 4 memang kelas yang paling rajin untuk hadir di pagi, bahkan amat pagi hari. Sebenarnya bukan karena tidak ingin terlambat atau memang ingin rajin tapi, demi mengerjakan sebuah tugas yang belum di kerjakan.


Sial! Ini anak nyindir gue,” gerutu Deska dalam hati, “haha itu kan gue, bagi gue itu sebuah pujian,”

Kantin sepi, hanya ada beberapa siswa yang sarapan di kantin karena tidak sempat sarapan di rumah.

Neon memesan nasi goreng sedangkan Deska hanya memesan segelas minuman dingin saja. Deska memang tidak sempat sarapan karena dia menginap di rumahnya bukan di tempat kostnya. Dia tidak mau bertemu ibu tirinya di meja makan atau memakan masakan ibu tirinya. Dia keluar rumah melalui jendela kamar Ken tanpa ada seorang pun yang tahu kalau semalam dia menginap di rumah.

“Makan Ka,” Neon menyuruh Deska memakan nasi goreng yang di pesan. Deska heran ternyata nasi goreng itu bukan untuk di makan oleh Neon melainkan untuknya, benar-bener membuat Deska merara aneh, “Lo itu belum sarapan, tampang lo ceria tapi suram gitu,”

“Hah? Emang ada tampang ceria tapi suram? Aneh-aneh aja loh elo ini, nggak nyambung dah, sumpah aja,”

“Di sambungin pake tali, kalo gak ada tali pake lem,” suara Neon datar lalu dia memberikan isyarat agar Deska memakan makanan yang di pesannya, “nanti kita ujian Kimia kan kalo itu perut bunyi bisa ngeganggu seisi kelas,”

Kepala Deska pusing mendengar setiap ucapan Neon karena semua ucapan Neon itu seolah-oleh tidak mau di kalahkan. Kadang, Deska harus diam agar Neon juga diam.

Ketika Deska menjadi siswa baru di SMU ini, dia tidak memiliki seorang teman atau kenalan seorang pun. Hanya Ken yang di kenalnya tapi, dia tidak mau seisi sekolah tahu kalau dia saudara kembar Ken. Dia ingin seisi sekolah mengetahuinya tanpa dia bicara apa-apa atau Ken yang memberitahu.

Kelas XI IPA 4 adalah kelas yang tergolong cuek dan saling acuh satu sama lain kecuali saat ujian barulah kompak. Deska agak sedih dengan keadaan kelas yang seperti itu apalagi dia juga tidak bisa langsung akrab dengan Ken karena itu akan menimbulkan banyak pertanyaan.

Neon, cowok satu ini adalah teman pertama Deska saat menjadi siswa baru. Mereka berkenalan karena kebetulan, Deska satu bangku dengan Neon. Bukan tidak ada yang menawari Deska untuk duduk di bangku lain tapi, Deska ingat kata Ken. Di kelas ada 3 bangku kosong, 2 bangku di huni 2 playboy kelas kacangan dan satu bangku di huni oleh siswa cerdas tapi sedikit pemilih dalam hal berteman.

Awalnya ada dua cowok yang merayu Deska untuk duduk satu bangku dengan mereka tapi, dengan senyum manis nan memikat, Deska menolaknya secara halus. Mereka agak kecewa tapi akhirnya mereka hanya bisa tersenyum lalu berkenalan dengan Deska dengan alasan siswa baru harus kenalan.

Ada beberapa siswi juga yang tidak menyukai Deska karena di anggap sok manis dan sok cantik bahkan ada yang bilang senyum palsu.

Neon menjitak kepala Deska, “Ka, makandulu lo itu, ngelamun mah gak ada abisnya,” katanya yang melihat Deska melamun,“Bel 5 menit lagi, jarak dari sini ke kalas 3 menit tapi kalo sama ngobrol bisa sampe 5 menit lebih,”

“Udah kenyang,” kata Deska mengeluh kekenyangan padahal dia baru makan sedikit, “eh, lo yang mesen makanan berarti elo yang bayar kan?”

“Iya,” jawab Neon singkat.

**

Kelas hening dan dengan tenangnya semua siswa melongo pasrah melihat soal-soal Uji Blok Kimia yang tampak seperti monster mematikan.

Tidak ada yang ribut, mengeluh, atau sedih. Mereka hanya bisa manatap lembar soal yang penuh dan memandangi lembar jawaban yang kosong, bersih, dan tanpa noda tinta pena sedikitpun.

Berarti hasilnya ini terus di kaliin lagi sama hasil ini baru nanti di akarin,” ucap Deska dalam hati, dia sudah menyelesaikan 4 dari 8 soal yang di ujikan,”

Deska memang tergolong siswa yang pintar hanya saja, dia sedikit malas apalagi kalau sudah berhubungan dengan catat mencatat rumus atau teori. Dia pasti akan mengeluh kalau tangannya bisa-bisa keram karena harus menulis tangan.

“Ka, lo udah belum?” bisik salah seorang siswi bernama Triska namun Deska hanya memandang sejenak lalu menggeleng, “seriusan belum?”

“Udah 5 soal sekarang, belum semua, lumayan mudah kok soalnya, tuh Neon aja udah selesai,” ucap Deska sedikit dengan nada yang terdengar guru lalu dia di tegur, “maaf Bu,” kata Deska.

Suasana hening kembali apalagi guru yang mengawas sangat di kenal killer. Tidak ada yang berani mencontek buku cetak, buku catatan, apalagi kawan kecuali ada kesempatan.

Waktu masih tersisa 25 menit dan dia sudah menyelesaikan semua soal itu. Di pandangnya Ken yang baru mengerjakan 5 soal sambil menguap ngantuk.




BESAMBUNG . . . . .

info : https://twitter.com/Aulanurul

CERPEN - (belum ada judul)



 CERPEN CINTA
oleh : Aula Nurul Ma'rifah


“Dan, mungkin ini bukan keputusan terbaik.” Kataku dengan mantap sambil memandang kosong ke langit, “Dan, mungkin ini bukan keputusan terburuk juga.”

Matahari menghilang di telan bulan. Matahari pergi. Sinar bulan tidak menerangi. Sinar bintang juga tidak ada. Semuanya benar-benar terlihat kacau.

“Apa pun yang lo anggep baek, lo anggep baek, bener-bener lo anggep baek,” Nayla terus mengulangi kata demi kata yang sama beberapa kali, “apa yang bener-bener lo anggep baek, nggak semuanya baek.”

Ketika Nayla mengucapkan hal-hal mengerikan itu, dia benar-benar mebuatku seperti melihat monster padahal itu hanya ucapan. Aku salah menilai Nayla beberapa waktu lalu. Maksudku, bukan menilai tentang dirinya tapi lebih menilai tentang ucapannya tahun lalu.

Nayla mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya, Ibunya menyambut kedatanganku dengan hangat, “udah Sis, lo nginep disini aja, ortu lo kan lagi pergi. Dari pada lo nangis darah di rumah, mending disini aja biar darahnya gue tampung terus gue kasih ke PMI,” Nayla tertawa menghiburku tapi, aku-sama-sekali tidak tersenyum.

Bagiku, hidupku itu aneh, lebih aneh dari pada memaknai penampilanku sendiri. Bagiku, hidup itu tidak seperti lingkaran, lebih seperti sebuah persegi. Bagiku, kehidupan itu tidak warna-warni, lebih hanya ke satu warna.

“Boneka lo bagus juga Nay,” kataku, “beli dimana?”

“Hah?!” Nayla memandang heran, matanya melotot seakan tidak percaya, bibirnya komat-kamit entah bicara apa, “Ya ampun Siska, ini boneka dari lo. Ish, lo ini otaknya konslet atau apa?!”

“Setengah konslet Nay,” jelasku, “kenapa coba semua ini buat gue pusing dalam 1 waktu?”

Nayla diam, diam seperti udara yang tiba-tiba berhenti di kamarnya. Bahkan suara televisi di kamarnya pun seperti hilang-lenyap entah kemana padahal, televisi itu benar-benar masih menyala.

Boneka milik Nayla masih di tanganku. Aku memeluk boneka tersebut lalu merebahkan tubuhku dan semuanya, semuanya, benar-benar semuanya. Semuanya melayang-layang di atas kepalaku. Mulai dari beberapa hal yang ganjil, beberapa hal yang aneh, dan banyak hal yang membingungkan.

“Gue masih nggak nyangka ternyata Cherry ngejatohin nama gue, masih nggak nyangka gue.” Entah kenapa air mataku tiba-tiba mengalir, “gue kira dia baek. Semua orang di sekolah bilang dia baek, bilang dia itu bener-bener baek walaupun nggak terlalu ramah. Semua orang bilang, gue beruntung punya temen deket kayak Cherry di sekolah.”

“Orang yang keliatan baek, nggak semuanya baek Sis. Kan gue udah pernah bilang, dia baek waktu ada perlu kan sama lo?”

Nayla benar, dia tidak salah. Cherry memang baik padaku, bahkan dulu Aku menganggapnya seperti sahabatku Nayla, tidak kubedakan. Bagiku, dia benar-benar baik karena, dia selalu bisa mengerti Aku dan dia, dia, dia benar-benar sosok seorang sahabat yang  baik.

Namun, Nayla tidak suka kalau Aku dekat dengan Cherry. Nayla mengatakan banyak hal tentang Cherry tapi, Aku tidak percaya sama sekali sampai akhinya, penyesalan datang belakangan.

Semakin lama, Aku semakin merasa aneh. Tulisan-tulisan di mading tentangku, tulisan-tulisan komentar di blog-ku yang aneh, dan beberapa hal aneh yang terjadi semakin membuatku yakin.

“Waktu itu gue udah bilang, Cherry deket-deket sama lo kalo ada tugas sekolah biar lo bantuin ngerjain TAPI, endingnya, malah lo yang ngerjain semua kan? Hm....” Nayla memandangku kasihan, “bukan cuma itu, soal pesta ulang tahun dia, soal lo waktu maen sama dia, soal.... banyaklah.”

“Iya-iya gue tau! Gue salah! Gue nyesel! Gue nyesel!” Aku melempar boneka di tanganku ke lantai, “ish! Jadi enek juga gue sama Cherry!”

“Udah, kan kalo gini lo jadi nyadarin banyak hal,” Nayla tersenyum, “tapi inget, di sekolah, lo tetep baek-baek sama Cherry. Kalo lo ujung-ujungnya marah sama dia, yang ada dia bisa muter balikin fakta, terus hasilnya, seisi sekolah jadi agak ngebenci lo.”

Kututup mataku lalu Aku memikirkan banyak hal. Ya baiklah, benar kata Nayla, Aku harus menjauhi Cherry secara perlahan jangan mendadak. Nayla mengatakan kalau sarannya adalah saran yang lebih baik dari pada kata hatiku.

**

“Udah ngerjain PR Sis?” tanya Cherry di kelas, Aku menggeleng, “Hmmm....” dia menarik tas-ku tanpa izin dariku lalu mengambil tugas Kimia milikku, “ini udah, gue liat ya.”

“Yaudah,” lalu Aku meletakkan tasku di atas meja, setelah itu, Aku keluar kelas karena bel masih 10 menit lagi.

Koridor sekolah masih sepi, sepi sekali padahal biasanya ramai para siswa-siswi berhamburan seperti daun yang gugur.

“Ka!” seseorang memanggilku dengan kerasa, “Siska!” sepertinya ada orang yang berlari mengejarku.

Kuhentikan langkah kakiku lalu Aku bebalik. Caesar, dia Caesar, anak kelas XI A 4. Ada apa dia memanggilku? Apakah ada hal yang penting atau memang penting?

bersambung . . . . .. . .. . . .

SISKA
NAYLA
Cherry
Ceasar
Joe


 Aula Nurul M

Minggu, 28 Oktober 2012

Mario Oh Mario (CERPEN)


Wanita itu bukan mahluk yang menyebalkan, bukan mahluk yang selalu mengganggu, dan bukan mahluk yang di anggap berisik. Wanita itu adalah wanita, sudah takdirnya jika wanita seperti itu. Kalau tidak menyebalkan, itu bukan wanita. Kalau tidak berisik itu bukan wanita. Bisa-bisa dunia ini sepi tanpa adanya wanita.

Nggak tau kenapa, di sekolah ini ada salah satu cowok sinting yang menganggap wanita itu mahluk yang menyebalkan. Aku pernah mendengarnya dari beberapa teman. Kurasa dia seorang gay atau dia nggak pernah di lahirkan seorang wanita, tiba-tiba muncul saja di bumi

Tiba-tiba di kelasku masuk seorang siswi yang kurang kusukai, namanya Nanda, “hei,” sapanya pada beberapa teman. Tampangnya sok manis dan sok cantik, di tambah sok ramah padahal di kelas ini hampir 90 persen membencinya. Jelas saja, dia menyebalkan dan sombong tapi, sudahlah, lebih baik Aku men-deletenya dari kisah ini.

“Boom boom tak!” seseorang menjitak kepalaku, cukup sakit, “ada gue tuh di mata lo,” tambahnya. Dia Joshua, temanbaikku sekaligus sahabat baikku. Joshua dan Aku sudah berteman sejak kami SMP dan di lajutkan lagi sampai SMA ini. Dia dan Aku seperti nggak terpisahkan.

“Josh Josh, lo tau nggak, kemaren kan gue ketemu si cowok aneh itu, eh dia sinis gitu ke gue. Hidih,” kataku, Joshua tidak merespon, “Josh!”

“Ada yang mau gue bilangin sama lo,” kata Joshua lirih lalu dia mengeluarkan handphonenya, “mantan lo kemaren kecelakaan,”

Mantanku kecelakaan? Waw, kejutan sekali. Mungkin itu hukuman untuknya karena telah selingkuh. Memang Aku sama sekali nggak cinta sama dia tapi, tetap saja memalukan jika di selingkuhi apalagi berita itu menyebar ke seantero sekolah. Di taruh mana mukaku?

“Tapi, kasian juga sih,” kataku, “eh tapi, sudahlah, pacarnya kan sudah menunggunya di sisinya dan mudah-mudahan aja mereka langgeng selanggeng-langgengnya.”

“Yaudah santai-santai, senyum yang manis geh,” Joshua menyubit pipiku, “natal nanti masa iya lo nggak punya pacar?” Josh memandang, “apa mau pacaran sama gue?”

Ketika jam seni, kelasku di tugasi untuk menuliskan benda apa saja yang ada di ruang seni sekolah. Yang jelas, ada banyak alat musi tapi, mana kutahu nama alat musik itu apa. Kalau gitar jelas Aku tahu tapi kalau yang tradisional-tradisional, Aku nggak tau sama sekali. Aku kan bukan pecinta seni, Aku pecinta buku. Eh salah, ngawur sekali. Aku suka seni tapi, jika dalam posisi itu Aku di jadikan objek.

Satu-dua-tiga dan beberapa benda kuamati tapi, Aku benar-benar bingung nggak ngerti, nggak conect untuk membuat coretan di buku. Bukan karena Aku bodoh tapi, karena otakku sedikit konslet. Yap, rasanya begitulah.

“Kay, liat geh Mario tuh,” kata Cristin sambil menunjuk ke Mario. Yap, itu Mario, si cowok aneh yang mengatakan kalau wanita itu aneh. Menurutku malah dia yang aneh. Jangan-jangan benar kalau dia gay, “sayang ya padahal cakep-cakep tapi ya kok nggak suka sama cewek, haduh. Gue aja mau jadi pacarnya tapi, ckck,”

“Habis dia nggak deket sama cewek jenis apapun.”

Entah jin apa yang merasuki otakku, Aku melangkah berjalan mendekati Mario. Aku penasaran saja sama anak kelas tetangga yang sendirian memperhatikan barang-barang seni di sini.

“Eh Mario, ngapain disini?” tanyaku, dia cuek, “yah... kok gue di cuekin, nyedih banget sih, ckck”

Mario masih diam dan tidak bicara. Rasanya benar kalau ini manusia sangat anti dengan wanita. Lihat saja, jelas-jelas ada siswi cantik yang mencoba mengajaknya berbincang tapi dia tidak merespon. Awas saja kalau dia tiba-tiba menyukaiku lalu memohon-mohon cintaku, akan kubuat sengsara.

“Hm... lo suka seni ya, aduh, gue malah suka belanja,” kataku ngawur, dia masih cuek. Sumpah, Aku merasa tertantang untuk membuatnya berbicara, “Mario-Mario, kok lo hebat banget sih jadi kapten futsal sekolah ini.”

“Kay,” Mario bicara padaku dan dup, entahlah kok Aku jadi salah tingkah dia bicara padaku, “apa lo nggak bisa sesekali hening?” hah? Sesekali hening? Memang kapan Aku cerewet di hadapannya, rasanya nggak pernah, “udah selesai Kay tugas lo?”

“Udah kok,” kataku bohong, “oh iya, pita suara lo mahal ya kok jarang ngomong sama cewek?” tanyaku, dia tersenyum, “eh akhirnya Mario senyum padahal gue kira senyum lo lebih mahal lagi,”

Suara riuh gaduh mulai terdengar. Anak-anak kelasku mulai iseng memainkan alat musik satu per satu lalu mencoba beberapa pakaian adat satu per satu, benar-benar sinting. Lalu di sini, Aku masih berdiri bersama Mario sambil memperhatikan sebuah kain yang bernama Tapis asal daerah Lampung.

Kata orang-orang sih, kain ini melambangkan sesuatu tapi, kataku kain ini melambangkan kesabaran. Jelas saja, dari bentuk, cara pembuatan, dan pemakaianya pun pasti harus dengan kesabaran.

“Oh iya Nes, tumben lo . . . .. . . . . BERSAMBUNG

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...