Seorang gadis
sedang mengacak rambutnya. Ia kesal karena tak menyadari waktu sudah dini hari.
“Argh! Kenapa aku
selalu seperti ini!” ia mengomel terus menerus tak peduli siapa yang akan
terganggu. Dirinya melempar bolpoint
dan segera tidur.
Yuka hampir setiap
hari seperti ini. Ia tak mengerti kenapa ia terlalu menguras waktunya untuk
belajar. Sejak kecil bahkan ia hampir tak memiliki banyak waktu seperti teman
sebayanya. Walaupun ia memiliki banyak teman tapi ia sangat jarang menghabiskan
waktu bersama teman-temannya.
Dalam tidur Yura,
ia merindukan kedua orang tuanya. Ia menginkan bertemu dan memeluk mereka.
Namun, ia tahu, itu tidak akan terjadi kecuali Tuhan telah memanggilnya. Ia
rindu ketika dulu ayah selalu memaksanya belajar hingga ia menangis. Dulu, ia
mengatakan benci dengan ayahnya tapi ketika ayahnya pergi, ia sadar jika itu
yang terbaik untuknya dan ia tak membenci ayahnya sama sekali.
BAB I
Azel memarahi Yura
ketika gadis itu membaca buku dimeja makan. Ia meminta Yura untuk melihat
waktu.
“Apa kamu ingin
pergi kuliah di universitas terbaik yang ada di dunia ini? Jika itu jauh, aku
gak mengizinkannya.”
“Aku juga gak
menginginkannya. Aku hanya ingin kuliah di univesitas tempat ayahku
menyelesaikan pendidikannya dan aku ingin menjadi dokter. Itu saja. Titik.”
“Lalu, dengan
begadang sepanjang malam untuk belajar hal yang menyehatkan? Aku akan
melarangmu masuk jurusan kedokteran jika kamu terus melakukan itu.” Omel Azel.
Bibir Yura manyun.
Ia mengatakan kalau belajar membuatnya ingat dengan ayahnya. Membuatnya merasa
ayah ada disisinya. Dan membuatnya ingat ketika ibu selalu menemaninya belajar.
“Sayang, kamu harus
memikirkan kesehatanmu. Bukankah orangtuamu akan sedih jika kamu seperti ini
setiap saat?” lirih Mamanya Azel.
“Kamu gadis yang
cerdas. Kamu bisa membuat keputusan untuk kesehatanmu sendiri.”
Yura mengangguk. Ia
meminta maaf dan berterimakasih pada mereka karena telah menjadi sosok orang
tua untuknya. Ia mengatakan kalau ia ingin memiliki rumah sakit sendiri ketika
dirinya sudah menjadi dokter.
“Akan kupikirkan
tentang hal itu.” Azel tersenyum. Kedua orang tua Azel pun ikut tersenyum.
Sedang Yura menggaruk-garuk kepalanya, “apapun keinginanmu atau keluhanmu,
katakan, kamu tanggung jawabku.”
Bibir Yura manyun.
Ia menggeleng, “hei! Kenapa harus kulakukan itu?”
“Kita sudah menikah.”
“Itu karena….,
semua orang memohon padaku untuk menyetujuinya setelah aku lulus SMA.”
“Bahkan sebelum
lulus SMA kamu selalu meminta izin, pendapat, dan pertolonganku. Apa bedanya?
Sudahlah. Makan saja makananmu itu,” ia
melirik makanan Yura yang belum habis,
“setelah ini, aku akan mengantarkanmu mendaftar ke universitas yang kamu
inginkan.”
**
Yuka mengisi
formulir pendaftaran mahasiswa baru. Sedang Azel duduk santai sembari
memperhatikan Yuka. ‘dia tanggungjawabku
sejak hari itu dan bebanku…,’ ia mendesah lelah sembari tersenyum lebar.
“Aku lapar,” ucap
Yuka, “gimana kalau kita makan ke…,”
“Waktuku habis. Aku
harus kembali ke kantor. Ayo.”
Bibir Yura manyun
sepanjang jalan. Ia pulang ke rumah dengan wajah masam. Dan ketika dirumah, ia
menemukan Mama sedang membuat kue sedang Azel langsung pergi begitu saja.
“Mama…,” Ia duduk
didapur sembari melihat Mama membuat kue, “gimana kalau aku jatuh cinta dengan
seseorang dikampus? Apakah aku harus jujur dengan statusku?”
“Apakah Azel
mencintaimu? Apakah kamu mencintai Azel?” Mama tersenyum, “lakukanlah keinginan
kalian,” lanjut Mama, “wah, kamu hanya duduk, ayo bantu Mama. Azel menyukai kue
ini.”
**
Tangan Yura
mengetuk-ngetuk kamar Azel tapi tak kunjung dibukakan. Kamarnya pun dikunci.
Yura sangat kesal. Ia ke kamarnya dan mengambil kunci duplikat kemudian masuk
begitu saja.
Dilihatnya Azel
tertidur lelap menggunakan penutup telinga. Ia duduk disamping Azel yang
terlelap dan mulai bercerita.
“Aku bermimpi
buruk. Sangat buruk. Aku memimpikan kecelakaan itu lagi dan lagi. Aku sangat
takut.” Lirihnya. Ia terlelap sembari duduk disamping ranjang Azel. Dan setelah
ia begitu lelap, Azel membuka matanya. Ia tersenyum kecil.
Azel memindahkan
Yuka ke ranjang dan ia duduk dikursi dekat jendela kamar. Ia memperhatikan Yuka
yang tertidur lelap dan mendesah lelah. ‘apa
yang akan terjadi padanya nanti? Sampai kapan aku bisa menjaganya?’
Mata Yura terbuka
ketika sinar mentari menyilaukannya. Ia melihat Azel duduk dikursi melambaikan
tangan padanya tapi gadis itu justru berguling kasana-kemari dan malas untuk
bangun.
“Coba jaga sikapmu.
Wah. Bagaimana seorang wanita bisa bertingkah seperti itu di depan seorang
laki-laki?”
“Apanya yang
‘bersikap seperti itu’ tadi? Aku masih ngantuk. Kamu gak berangkat kerja?”
“Ah. Itu. Ini
kamarku.”
“Lalu? Aku hanya
menumpang tidur. Pergi sana ke kantor dan lakukan pekerjaan dengan baik. Jaga
baik-baik perusahaan. Oke?” ucapnya. Azel beranjak dari duduknya dan mengacak
rambut Yuka. Ia pun pergi mandi dan meminta gadis itu untuk tetap tidur
sehingga ia leluasa mengganti baju.
Sedang Yuka
benar-benar kembali tidur hingga siang hari. Ia mencari Mama dan pelayan
menjelaskan kalau Mama sedang pergi bersama teman lamanya.
“Tanpaku? Mama
pergi seorang diri?” tanyanya.
“Nona… tadi, nona
sangat tertidur lelap jadi nyonya memakluminya.” Ucap pelayan, “nyonya berpikir
semalam…, itu mengenai nona tidur dikamar lain…,”
Yuka mengerti dan
ia menjelaskan kalau ia hanya tertidur disana, “aku lapar. Bisakah siapkan
bubur untukku? Aku ingin makan bubur.”
**
Azel menemukan Yuka
sedang belajar lagi hingga larut malam. Ia langsung menarik semua buku-buku
Yura dan memaksa gadis itu tidur.
“Tapi…,”
“Kamu takut mimpi
buruk lagi?” tanyanya, Yuka mengangguk, “tidurlah. Aku akan duduk dan menjagamu
tuan putri. Gak akan ada mimpi buruk.”
“Baiklah. Aku gak
akan menolaknya. Ah, minggu depan aku akan memulai semester awalku. Kamu gak
berpikir untuk membelikanku sesuai seperti sesuatu yang bisa kukendarai?”
“Masalahnya ti-dak.
Sudahlah, cepat tidur.”
Yuka manyun dan
tertidur dengan wajah sebal.
**
Mama dan Papa
bicara pada Yuka. Mereka bertanya sampai kapan Yuka dan Azel akan terus pisah
kamar? Yuka diam. Sedang Azel tak ada dirumah karena ada pertemuan penting.
Gadis itu terus terdiam.
Tiba-tiba, Papa
mengeluarkan sesuatu. Cincin Yuka. Papa bertanya kenapa Yuka justru menyimpan
cincin pernikahannya bukan memakainya.
“Papa masuk ke
kamarku?” Papa diam, “Mama?”
“Mungkin ini berat
bagimu tapi setidaknya, kami ingin melihatmu selalu memakainya.” Ucap Mama.
Yuka menunduk dan memakai kembali cincin itu. Yuka berkata kalau ia tidak
mencintai Azel begitupun dengan Azel. Ia juga tak pernah mengerti dengan
pernikahan ini sekalipun saat itu ia antusias sekali dengan gaun pengantin yang
dikenakannya bahkan ia sangat antusias akan foto pernikahan ala-ala princes.
Senyum Mama dan
Papa mengembang. Mereka tak ingin memaksa Yuka mengerti, “Papa yang memilihkan
cincin ini untuk kalian. Papa hanya ingin baik kamu atau Azel selalu
mengenakannya. Itu permintaan Papa.”
“Siap komandan!”
ucap Yuka bersemangat, “aku bosan, boleh aku ke kantor menjemput Azel pulang?”
tanyanya, Mama dan Papa tersenyum.
Yuka langsung
berlari ke kamar siap-siap untuk pergi ke kantor menjemput Azel. Ia kesal kalau
harus menunggu Azel pulang. Ia harus segera bercerita banyak hal padanya.
Tak lama, Yuka
sudah tiba dikantor. Para pegawai menyapanya dengan hangat. Namun tidak dengan
sekretaris Azel. Ia melarang Yuka untuk masuk begitu saja ke ruangan Azel.
“Apa hakmu? Wah.
Kamu sekretarisnya dan hanya teman semasa kuliahnya. Kenapa melarangku? Apakah
Azel memintamu?” tanyanya sinis dan menerobos masuk begitu saja.
Ternyata, Azel sedang
membaca beberapa laporan. Ia terkejut melihat Yuka datang ke ruangannya. Tak
menunggu waktu lama, gadis itu bercerita semuanya tentang apa yang Mama dan
Papa katakan. Ia mengeluh kenapa harus memakai cincin dan mereka membicarakan
mengenai kamar.
“Kamu setakut itu?
Bagaimana denganku? Aku dikelilingi banyak gadis cantik tapi semua orang tahu
statusku. Wah, kamu juga harus merasakan itu.”
“Gak adil!”
“Bagian mana yang
menurut kamu gak adil?” Azel merapikan semua laporannya dan beranjak dari
tempat duduknya, “kepalaku sakit melihat kamu datang dengan pakaian seperti
ini! Argh! Orangtua kamu bisa menghantuiku.”
“Kenapa? Apa yang
salah?”
Azel melepaskan
jasnya dan memakaikannya ke tubuh Yuka yang mengenakan gaun dengan mengekspos
bagian punggungnya, “kamu yang membelikanku pakaian ini,” keluh Yuka, “Azel,
aku bosan, sebelum aku memasuki semester awal, gimana kalau kita liburan?”
“Lupakan itu. Ayo
pulang.”
Bibir Yuka manyun.
Ia terus mengeluh sepanjang perjalanan pulang bahkan mengatakan Azel kejam. Ia
berkata akan berlibur sendirian suatu hari nanti tanpa Azel.
“Lakukanlah.”
“Sekretaris kamu,
dia teman kuliah kamu dulu kan? Dia bisa mendapatkan pekerjaan ditempat lain
bukannya jadi sekretaris kamu. Kalian berniat memperbaiki hubungan kalian dulu?
Kalian dulu berpacaran, kan?”
“Kamu gak terima?”
Yuka mengangguk,
“aku aja gak punya pacar dan belum pernah memilikinya. Jangan balikan sama
mantan kamu sebelum aku punya pacar. Aku bakalan iri nanti.”
Mata Azel melotot
tajam, “atur saja sesuka kamu. Kepalaku sakit.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar