Cinta Tak Terbatas
Kalau Aku nggak bicara maka semuanya
nggak akan berakhir. Kalau Aku tetap diam saja maka semuanya nggak akan selesai
sampai kapan pun bahkan sampai Aku dewasa.
“Pokoknya elo nggak boleh tidur di
kamar gue. TITIK!” kataku dengan nada sangat tinggi pada Vio, saudara tiriku,
“terserah lo mau tidur sama nyokap lo yang di alam baka atau di ruang tamu,
yang jelas jangan sentuh kamar gue!”
Vio diam saja walaupun terlihat dari
matanya kalau dia ingin menerkamku. Bagaimana pun posisinya di rumah ini salah.
Dia baru datang 4 hari lalu bersama kucing kesayangannya.
“Ada apa keributan apa?” Papa
tiba-tiba datang, “kalian bertengkar lagi?”
“Siapa yang ribut? Hidih, udahlah,
Nesa mau tidur aja,” kataku sambil memandang sinis ke Papa, “oh iya, buat elo,
jangan sentuh kamar Bima juga!” kembali kuberikan pandangan sinis kepada Vio
Aku kembali ke kamarku. Aku nggak
peduli Vio mau tidur dimana. Di rumah ini hanya ada 4 kamar. 1 kamar di tempati
Aku, 1 kamar di tempati Bima, 1 kamar di tempati Mama-Papa, dan 1 kamar di
tempati pembantu.
Jujur, Aku nggak suka dengannya. Bukan
karena dia anak Papa tapi karena dia nggak ada hak tinggal disini. Ibunya sudah
bercerai dengan Papa ketika dia kecil dan sekarang Ibunya sudah meninggal. Menurutku,
dia sudah nggak ada ikatan lagi dengan Papa. TITIK!
“Nesa!” Bima menggedor-gedor pintu
kamarku, “buka woy buka!” katanya tambah menggedor dan Aku langsung membukanya,
“kita berbagi kamar beberapa hari ini.” Beritahunya.
Bima adalah adikku, lebih tepatnya
saudara kembarku. Kami lahir hanya berbeda 15 menit. Intinya, Aku anak kedua
dan dia anak ketiga. Kakak pertama kami sedang melanjutkan kuliahnya di Amerika
dengan beasiswa kejeniusannya yang tentunya berbeda dengan kami. Entah takdir
apa, otak kami dan kakak pertama kami sangat berbeda.
“Harusnya elo itu jangan mau di suruh
Papa pindah. Gimana coba kalo kamar lo jadi berantakan, jadi kena virus-virus
perebut Ayah orang, jadi kena bakteri perebut suami orang, hidih!”
“Enek juga gue Nes liat tampang itu
cewek. Amit-amit sodaraan sama dia,” Bima sependapat denganku. Selama Vio
tinggal disini, kami selalu memusuhinya. Memang nggak ada kekerasan fisik
karena kami tahu hukum tapi, kami tetap menekan batinnya.
Aku masih ingat beberapa hari lalu
Papa membawa Vio yang seumuran dengan kami. Aku dan Bima tahu siapa Vio karena
Mama pernah menceritakan kalau Papa sempat selingkuh dan memiliki seorang anak.
Namun, Papa bertaubat dan menceraikan istri keduanya tapi, kenapa cewek ini
masih hadir di tengah-tengah kebahagiaan keluarga kami?
“Mana mulai besok Papa nyuruh kita
berangkat bareng dia pula,” keluh Bima, Aku terkejut.
“Eh udah sukur ya itu anak satu
sekolahan, enak aja mau bareng kita,” Aku jadi makin sebal, “lo mau tah mobil
lo di masukin itu anak? Coba geh lo pikir, nyokapnya itu anak kan yang pernah
buat Mama jantungan sampe sekarat. Idih, kagak dah,”
Bima memandangku, “eh itu kan mobil
yang beliin Mama jadi, hm.... kita di sisi Mama. Tadi, gue nelfon kak Hans,
katanya kita harus di sisi Mama.” Bima ikut bersemangat. Entah kenapa Aku dan
Bima benar-benar kompak kalau soal urusan keluarga terlebih mengenai Mama.
**
Besambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar