Selasa, 21 Juni 2011

Novel - Cinta -




Cinta
Oleh
Aula Nurul M

Nama penulis: Aula nurul m.
Lahir: B Lampung 25 Juni 1995



Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu kerena libur panjang selama kurang lebih dua minggu akan menemani hari-hariku. Aku senang karena dengan itu, aku akan menenangkan diriku dan hatiku yang selama ini telah tersakiti oleh seseorang yang sangat aku cintai. Walaupun kejadian saat aku mengetahui pacarku menduakanku dan sudah berakhir hubungan cinta di antara kami tepatnya empat bulan lalu, tetapi sakit itu masih berbekas dihatiku. Aku tidak mengetahui apakah dengan menenangkan diriku, aku dapat melupakan semuanya atau semua justru menjadi lebih parah. Tetapi mencoba juga tidak salah, siapa tahu semua menjadi lebih baik.
     Aku mulai menyiapkan barang-barang yang akan aku persiapkan untuk berlibur. Aku juga memutuskan untuk berlibur di desa yang dimana nenekku tinggal. Aku ingin jauh dari keramaian. Setelah semua siap, aku berangkat dengan membawa hati yang terluka. “Oma!!!” sahutku berteriak. “Kok bawa barang banyak banget, apa mau menginap? Tidak biasa-biasanya kamu menginap disini bahkan tidak pernah” jawab nenekku. Aku tahu bahwa dari kecil tidak pernah sekalipun menginap tempat nenek dan kalau kesana hanya sebentar atau terkadang juga nenek yang kuajak kerumahku. Jujur aku memang kurang suka dengan suasana pedesaan.
     Setibanya disana aku beristirahat karena terlalu lelah, mungkin besok aku akan berkeliling desa untuk merasakan suasana alam pedesaan. Ketika aku keliling desa, aku bertemu dengan banyak penduduk desa. Aku melihat beberapa orang sedang berbincang dan ternyata cara berbicara mereka berbeda denganku kerena mereka menggunakan bahasa daerah yang tidak aku mengerti. Aku bertanya kepada salah seorang penduduk tentang tempat yang sangat sepi tapi menyenangkan dan mereka menjawab dengan bahasa daerah. Aku tidak mengerti dan aku bingung. Aku pusing tetapi itu lebih baik dari pada aku di tempatku yang membuat hatiku sakit karena melihat mantan pacarku setiap hari.
     Tiba-tiba aku ditarik oleh seseorang yang tidak dikenal. Dia mengajakku ke tempat yang indah sekali yang membuatku melupakan sakit hatiku. Dia membawaku ke sebuah Air terjun yang suasananya masih seperti di hutan. Jujur aku terkejut bahwa ada tempat seindah ini yang tidak sekalipun aku ketahui. Karena terlalu terpesonanya aku, sampai aku lupa siapa yang menarik tanganku tadi. Aku terbawa dalam indahnya alam yang begitu alami.
“Maaf sebelumnya, kamu anak desa sini ya? Kamu kenapa narik aku tadi?”
“Biasa aja dong bicaranya, aku bukan anak desa sini kok. “
“Oh….. pantes cara bicaranya beda sama cara berpakaiannya.”
“O… iya, aku tidak pernah melihat kamu sebelumnya. Pasti loe juga bukan anak sini kan dan cara berpakaian sama dandan loe itu beda”
“Ya…. Memang bukanlah. Kalo loe dari mana?”
“Gue dari Bandung dan gue ke Lampung tempat Oma gue, tiap liburan pasti gue kesini. Nah… lo sendiri?”
“Gue sih masih dari  Lampung aja tepatnya di Bandarlampung dan gak dipedesaan yang terpencil ini.”
“Oh.……. yah sampe’ lupa, kenalin gue Haikal dan loe?”
“Gue Lala, kayaknya ngobrolnya nanti legi deh soalnya gue mau nikmatin pemandangan yang indah ini.”
     Jujur aku ingin sekali menghabiskan waktu hari ini untuk menikmati keindahan dan kesejukan yang membuat hatiku sedikit membaik. Aku ingin melepas semuanya yang membuat hatiku sakit.
Sorry…. Kamu kesini kan tempat Oma kamu, yang dimana yah?”
“Rumah yang serba hijau karena warna catnya gue yang milih, secara warna kesukaan gue.”
“Oh… rumah yang itu.”
“Emang rumah Oma loe yang mana?”
“Sampingnya.”
“Lumayan bagus dan kayaknya cuma dua rumah itu deh yang bagus”
“Loe kesini sendiri atau sama keluarga?”
“Ya….sendiri lah. Kalo loe?”
“Kali ini gue ngajak sahabat gue, namanya Raka. Dia satu sekolah sama gue.”
“Oh…… Gitu yah.”
“Loe kan gak pernah nginep tempat Oma loe dan jarak rumah loe jauh dari sini”
“Kok tau?”
“Ada deh. Memang alesannya apa?”
“Ya, sih jujur gue gak pernah nginep kecuali sekarang tapi gak apa-apa lah dari pada nginep disini. Walaupun tengah malem gue mau pulang, yah pulang aja walaupun jarak dari rumah kesini kurang lebih 4-5 jam-lah. Capek gak masalah bagi gue yang penting gak nginep”
“Oh…. Sorry sekali lagi, bukannya nyinggung yah. Tadi saat loe keliling desa, banyak banget yang ngeliatin loe dan kayaknya gak baik buat loe.”
“Gak pernah ngeliat orang cantik kali.”
“Mungkin, secara gue akuin loe cantik benget tapi mungkin juga cara berpakaian loe yang terbuka dan orang bisa berpikir negatif. Itukan berbahaya buat loe.”
“Ya ……. Kata loe ada benernya juga sih, tapi baju gue gak ada yang tertutup.”
“Uduh udah sore nih, gue balik dulu yah.”
(Tiba tiba Haikal memakaikan jaketnya kepadaku)
“Pake’ yah biar loe aman. Loe bawa jaket gak.”
“Bawa sih tapi cuma satu dan gak mungkin gue pake.”
“Sebaiknya kalo loe keluar pake aja dan loe kembaliin jaket gue terserah semau loe. Kalo loe keluar gak mau pake’ pakaian yang agak tertutup, loe ajak gue aja pasti aman.”
Akhirnya aku pulang kerumah nenek dengan jaket yang dipinjami Haikal. Mungkin yang dia katakana ada benarnya juga, di desa dengan di kota pasti banyak perbedaannya. Aku terus berjalan menuju rumah nenekku didampingi Haikal karena tujuan kami sangat dekat. Dari satu desa cuma satu orang yang bisa aku ajak ngobrol yang nyambung. Ketika tiba dan hendak masuk kerumah tujuan masing-masing aku bertanya, “Mau nanya nih, gak ada orang lain yang ngobrolnya bisa nyambung selain loe”. “Ada, Raka temen gue dan kalo cewek Eva, Liza sama Sila. Mereka bukan anak sini juga kok. Oh ya, ada anak sini, temen gue sih dan dia pernah cerita tentang cucu dari Oma loe, mungkin loe kerena dia ngeliat sesekali karena tuh anak gak pernah nginep. Jujur gue kasih tau dia suka sama loe karena tadi dia gue perhatiin ngeliatin loe terus, itu dia lagi duduk didepan rumahnya” (Sambil menunjukkan rumah yang berada didepan rumah nenek Lala beserta orangnya) jawab Haikal dan memberitahu yang tidak aku tanyakan.
     Malam hari aku, Haikal, Raka, Eva, Liza, Dan Sila kumpul bareng sambil berkenalan. Ternyata benar mereka nyambung semua dan sejalan dengan pemikiranku. Setelah aku banyak mengobrol, ternyata ada salah seorang yang tempat tinggalnya tidak jauh dari tempat tinggalku hanya berbeda jalan saja. Banyak banget yang kami bicarain sampai seperti sudah teman lama. Tiba-tiba orang yang Haikal bilang bahwa ia suka padaku datang. Semua mata hanya tertuju padanya karena semua telah mengetahui bahwa dia menyukaiku. Dia memperkenalkan diri dan akhirnya aku tahu bahwa dia bernama Ardi. Nama yang lumayan bagus dan orangnya lumayan tampan tetapi sayangnya dia anak desa dan lebih tampan Haikal, Raka, mantan pacarku dan teman-temanku, tetapi lumayanlah buat anak yang tinggal didesa terpencil. Memang semuanya tahu dan akupun begitu bahwa ia menyukaiku, tetapi umurku lebih tua dari dia dua tahun. Memang umur bukan masalah tapi aku tidak ada tertariknya sedikitpun karena aku sedikit mulai menaruh perasaan pada Haikal. Memang baru satu hari aku bertemu dia tetapi dia sangat memperhatikanku, apalagi saat Haikal memberikan jaketnya kepadaku dan tatapan matanya yang tajam membuat jantungku berdetak lebih cepat. Apakah ini yang namanya cinta pada pandangan pertama? Aku tidak tahu lagi.
     Setiap hari saat aku masih di desa, aku pergi keliling desa bersama Haikal atau bersama yang lain dan yang jelas Haikal ada. Tetapi hari ini berbeda, aku pergi dengan Raka, Haikal tidak pergi menemaniku seperti biasanya dan aku khawatir sekali. “Tenang aja, Haikal gak apa-apa kok” ucap Raka. Aku khawatir, tetapi ini saat yang tepat untuk menanyakan tentang Haikal kepada yang lain.
 “Raka, loe kan sahabat Haikal dan persahabatan loe sama dia itu lama banget. Boleh nggak gue nanya tentang Haikal. Dia orangnya gimana sih sebenernya? Gue harap loe jawab jujur sama gue karna ……” tanyaku kepada Raka dan sebelum aku melanjutkan ucapanku Raka memotongnya.
 “Loe suka sama Haikal?. Jujur gue kasih tau kalo selama ini Haikal itu bohong sama loe. Dia bilang nggak pernah ngeliat loe dan dia bilang ngeliat loe baru kali ini. Sebenernya pertama kali Haikal ngeliat loe saat liburan empat tahun lalu. Memang Haikal jarang ngeliat loe karena loe jarang nginep disini dan kalo loe kesini cuma sebentar. Haikal kalo liburan selalu kesini karena dia mau ngeliat loe…….”
“Apa yang loe bilang itu bisa gue percaya”
“Tanya aja sama yang lain, kalo perlu tanya semua temen-temen gue atau ortu Haikal kalo masih gak percaya karena gue tuh anak yang selalu jujur.”
“Oke! Gue percaya dan apa lagi yang loe tau tentang Haikal?”
“Kalo dia liburan kesini dan loe gak kesini, pasti dia ke rumah Oma loe untuk ngeliat foto yang ada dirumah nenek loe. Satu lagi yang perlu loe tau kalo Haikal ngasih tau sama Ortunya kalo dia suka sama loe. Terus kita berdua pernah  ke sekolah loe beberapa kali dan yang terakhir kita ngeliat kalo loe pulang dianterin sama cowok yang kayaknya dia itu pacar loe. Haikal patah hati dan semenjak itu dia gak pernah kesekolah loe lagi. Walaupun dia Cuma dua kali kesekolah loe, tapi itu suatu pengorbanan besar karena jarak sekolah loe sama rumah dia jauh banget dan semenjak itu dia sering banget mainin cewek. Semenjak dia patah hati, dia tuh jadi playboy yang gak punya hati. Tapi sekarang saat loe nginep di sini dan ngobrol sama loe, dia berubah, dia juga masih berharap sama loe”
“Berubah, berubah apa?”
“Kemarin Haikal nelpon semua ceweknya dan semuanya diputusin kerena loe. Dia juga jelasin dengan jujur kenapa dia mutusin dia orang. Gue kagum banget sama yang dilakuin Haikal dan kayaknya dia cinta mati sama loe. Mungkin nanti dia akan nembak loe dan kalo loe tolak, uduh….. bisa-bisa dia bunuh diri.”
“Jujur yah semenjak gue ketemu Haikal, gue ngerasa ada yang beda dan gue nyaman dideket dia. Gue mau kalo Haikal itu jadi milik gue seutuhnya, tapi sayangnya gue belum kenal lama dan gue harap loe nggak ngasih tau soal ini sama Haikal. Gue mau loe jadi mata-mata dan dia berubah seutuhnya 100%. Kalo dai nembak gue, gue gak akan nolak atau nerima, dan kalo gue terima seutuhnya kalo dia bener-bener nggak jadi playboy.”
***
 Sepulang dari keliling desa hatiku campur aduk dan tidak tahu harus berprilaku seperti apa. Aku memang menaruh perasaan kepada Haikal dan sepertinya Haikal lebih dari itu, tetapi sayangnya dia playboy. Aku bingung sekali harus berprilaku apa kepada Haikal saat aku bertemu dengannya atau sekedar bertatap muka saja.tetapi aku tidak bisa menghindar dari haikal. Jika Haikal menatapku, aku tidak bisa menghindar dari tatapannya yang membuat hatiku meleleh. Walaupun aku baru disakiti oleh mantan pacarku, semua itu tidak terasa dan awal aku bertemu Niko yang tidak lain mantan pacarku, berbeda saat aku bertemu Haikal. Aku ingin memiliki Haikal seutuhnya dan jika aku tidak memilikinya, rasanya aku ingin mati. Baru kali ini aku tidak sanggup menahan perasaanku dan jika aku memikirkan Haikal, sekujur tubuhku menjadi kaku karena aku takut kehilangan dia walaupun dia bukan milikku.
     Keesokan harinya aku pergi ke Air terjun bersama Haikal, banyak yang kami bicarakan tetapi mengenai kemarin tetap aku rahasiakan. Ketika kami pulang, di tengah jalan Haikan mengatakan sesuatu yang mengejutkan hatiku. Dia mengajakku nanti malam bertemu di sini, tepat pukul tujuh malam. Aku tidak bisa menolaknya dan aku berkata pada Haikal bahwa aku akan datang tepat waktu. Aku senang sekali karena aku tahu apa yang akan terjadi nanti dan sudah kukira sebelumnya. Karena aku tahu apa yang dimaksud Haikal, maka aku tidak akan berpenampilan biasa-biasa saja tetapi luar biasa dan aku harap penampilanku tidak mengecewakan Haikal.
     Setelah aku menyiapkan penampilanku, diriku dan setelah selesai, aku segera menuju ke Air terjun. Saat aku berjalan ke tujuanku di mana Haikal menungguku, semua orang melihatku dengan tatapan mata yang tak kusuka. Tetapi semua itu tidak kupikirkan dan bukan jadi masalah karena yang kutahu Haikal menungguku. Jantungku berdetak lebih cepat dan hatiku memintaku untuk segera menemui Haikal dengan cepat. Aku sudah tahu apa yang akan dikatakan Haikal kepadaku tetapi yang kurasakan tetap saja seperti ini. Dari rumah nenek dan disepenjang perjalanan aku tidak bisa tenang sedikitpun. Mungkin aku tidak tenang karena aku sangat mencintai Haikal, tetapi aku baru mengenal Haikal kurang dari dua minggu dan besok aku harus pulang karena tiga hari lagi aku masuk sekolah.
“Huh…. Capek! Akhirnya sampai juga” Ucapku saat tiba.
(Suasana sepi dan tidak ada seorangpun disitu, aku takut jika Haikal tidak datang. Tiba-tiba suasana menjadi berbeda. Banyak lampu yang menerangi dan suasana menjadi sangat baik)
Maaf aku membuat kamu terkejut.”
“Haikal!”
“La, entah kamu tahu atau tidak dengan maksud aku meminta kamu kesini tetapi ada hal penting yang harus aku bicarain.”
“Sssss……aku sudah tahu” (Sambil menutup bibir Haikal dengan jari telunjuk)
“Jadi kamu sudah mengetahui jika aku mencintaimu sejak lama.”
“Yah……. Aku mengetahui dari Raka dan mengenai seseorang yang kamu liat bersamaku saat kamu kesekolahku adalah Niko yang tidak lain adalah pacarku saat itu, tetapi hubungan kita berdua sudah berakhir empat bulan lalu karena aku tahu dia menduakanku dan aku tidak pernah sadar bahwa ada seseorang yang mencintaiku dengan tulus sejak lama. Tetapi sakit itu hilang saat kamu hadir dalam hatiku dan mencuri hatiku. Aku tahu kamu ingin memilikiku dan kamu menjadi playboy karena patah hati. Maaf karena semua itu salahku dan yang perlu kamu tahu bahwa aku juga memiliki perasaan yang sama.”
“Kamu tahu itu dari Raka pastinya tetapi aku tidak bisa membohongi diriku bahwa aku sangat menginginkanmu untuk menjadi milikku. Hatiku tidak bisa berbohong. Aku ingin memilikimu walaupun aku harus mengorbankan apapun tetapi kalau kamu tidak ingin bersamaku, aku lebih bahagia jika kamu bersama orang lain dan membuat hatimu bahagia. Aku tidak ingin memaksakan perasaanku kepadamu karena jika aku paksakan tidak akan menjadi lebih baik bahkan menjadi sangat-sangat buruk. Satu yang tetap aku harap, aku ingin memilikimu!”
“Aku tahu.”
“Aku ingin memiliki hatimu!”
“Aku juga, tapi aku melihat perubahan kamu.”
“Perubahan apa?”
“Hatiku sudah menjadi milikmu, tapi diriku belum percaya seutuhnya. Aku mau selama satu tahun kita nggak berhubungan, berkomunikasi atau apapun itu tapi kamu nggak sama cwek lain dan gak playboy lagi. Aku mau kamu berubah sepenuhnya”
“Oke! Kalo itu mau kamu, aku aku lakukan” ( Dengan nada marah disertai rasa kecewa, Haikal pergi begitu saja meninggalkan Lala).
     Aku sebenarnya berat hati untuk mengatakan semua itu, ditambah lagi raut wajah Haikal yang membuatku sedih. Haikal pergi dengan sejuta rasa kecewa, penyesalan dan dia sepertinya marah dengan keputusanku. Ini semua tidak salah menurutku karena aku ingin Haikal mencintaiku dengan tulus dan dia berubah hanya untukku. Entah kenapa aku gelisah sekali saat berada disana. Haikal pergi begitu saja meninggalkan aku dengan penuh rasa kecewa. Kekecewaannya membuat hatiku sakit dan hatiku tidak bisa tenang kerena dihantui rasa takut akan kehilangan Haikal. Jiwaku, hatiku, diriku, dan perasaanku tidak tenang serta dihantui perasaan akan kehilangan Haikal.
     Ketika aku ingin pulang dan meninggalkan desa, semua ada untuk melihatku pergi kecuali Haikal. Aku sedih sekali, apa Haikal masih marah? Oh…… jangan sampai dia membenciku. Tiba-tiba saat aku mulai meninggalkan desa, Haikal lari dengan tergesa-gesa. “Baik-baik ya…dijalan, gue gak marah kok” ucap Haikal kepadaku yang membuat hatiku tenang. Akhirnya dia dapat mengerti, aku lega sekali. Haikal dan yang lain pulang dua hari lagi, sbenarnya aku masih ingin didesa. Aku yang awalnya tidak ingin menginap didesa tempat nenekku tinggal, sejak aku mengenal Haikal menjadi berbeda. Aku merasa bahwa didesa udaranya lebih sejuk. Bukan hanya karena itu, tetapi karena aku bertemu Haikal juga.
     Ketika tiba dirumah, wajahku masih dihiasi perasaan senang. Baru beberapa hari aku bisa suka sama Haikal, apa ini cinta? Mama menanyakan tentang kegiranganku yang berlebihan. Aku bilang bahwa didesa tempat nenek sejuk dan tidak ada polusi, mama percaya dan aku lega. Aku tidak mau jawab yang jujur kerana aku mengenal Haikal baru beberapa hari, bisa-bisa diketawain sama mama.
    Aku terus saja kepikiran Haikal, sampai-sampai aku sakit dan hati pertamaku masuk sekolah tidak dapat kunikmati kerena aku sakit. Walaupun sakit aku tetap senang walaupun sebelumnya hatiku terasa sakit karena Niko yang brengsek. Tetapi ada satu yang masih aku khawatirkan, bagaimana bila Haikal masih Playboy? oh……jangan. Aku harap jangan dan jika benar Raka pasti memberitahuku. Sekarang lebih baik aku memikirkan kesehatanku dahulu dan yang penting aku sudah bisa melupakan Niko.
     Saat aku masuk sekolah, aku senang tetapi harus malihat Niko setiap hari karena kami satu kelas. Andai saja Haikal sekolah disini dan satu kelas denganku, pasti aku akan senang sekali. Aku benci banget dengan Niko dengan sikapnya belakangan ini yang mempuatku mau muntah. Niko memintaku untuk memaafkannya dan kembali padanya. Aku menerima jika dia hanya menjadi temanku dan sudah aku maafkan, tetapi untuk kembali padanya tidak mungkin. Aku tidak ingin merasakan sakit yang lebih dari yang lalu dan aku tidak mencintainya lagi karena sudah ada Haikal dihatiku.
    Setiap hari Niko merayuku dengan rayuan yang membosankan. Aku sudah tidak tahan dengan Niko. Aku merasa bahwa aku sedang berada dineraka yang membuat fikiranku panas, apalagi sudah tiga bulan tidak melihat Haikal dan berkomunikasi dengannya. Aku ingin bertemu dengan Haikal secepat mungkin dan memastikan dia sudah berubah seutuhnya. Aku ingin memiliki hati Haikal seutuhnya dan tidak dibagi dengan orang lain.
     Dalam dua minggu ini sekolahku mulai mempersiapkan untuk perayaan hari ulang tahun sekolah dan tidak ada proses belajar mengajar karena semua murid juga akan mempersiapkan segalanya agar menjadi pesta yang meriah. Karena tidak ada proses belajar mengajar, aku meminta izin untuk tidak masuk sekolah selama satu minggu dengan alasan yang meyakinkan. Aku mempergunakan waktu itu untuk pergi ke Bandung untuk melihat Haikal dan mengetahui perubahan Haikal. Aku berharap Haikal berubah sepenuhnya dan aku akan mengajaknya untuk menemaniku disaat hari perayaan ulang tahun sekolahku. Aku harap dia mau datang untuk menemaniku agar Niko tahu bahwa sudah ada yang memiliki hatiku dan dia tidak memintaku untuk kembali padanya.  
     Perjalanan yang begitu jauh sangat melelahkan, hari pertamaku di Bandung aku pergunakan untuk beristirahat disebuah hotel dan hari kedua baru aku melihat keadaan Haikal.  Saat itu aku mencari letak sekolah Haikal dan setelah aku mengetahuinya, aku segera menuju kesana. Aku menunggu sampai waktu pulang sekolah. Aku melihat Haikal! Dia baik-baik saja dan selebihnya aku tidak tahu.  Aku tidak langsung menemui Haikal, aku hanya melihatnya dari kejauhan dan ia tidak akan tahu bahwa aku ada disana karena aku menyamar dengan penyamaran yang menurutku sudah total. Aku mengikuti kemana ia pergi, sampai aku melihat sesuatu yang membuatku senang. Aku melihat ada seorang wanita yang berkata kepada Haikal “Aku nggak mau kamu ninggalin aku karena orang lain, aku mau kamu jadi milik aku dan aku nggak mau kamu pergi dari aku”. “Aku gak akan bisa sama kamu lagi dan aku mau berubah, aku udah mencintai orang lain dan kamu gak bisa maksaain aku. Aku mau barubah, gak seperti dulu lagi” Ucap Haikal dengan nada marah. Aku tidak menyangka bahwa Haikal benar-benar mau berubah untuk aku, dia tidak mengingkari perkataannya terhadapku. Aku tidak percaya tetapi semua inilah yang aku harapkan.
Setelah aku mendengar semua itu, aku pergi menuju hotel dimana tempat aku menginap. Aku sangat senang dengan apa yang telah aku lihat dan aku dengar. Aku tidak menyangka bahwa Haikal benar-benar mau berubah untukku. Baru hari kedua aku di Bandung, aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Untuk hari ketiga, mungkin aku hanya melihatnya saja dan tidak akan menemuinya. Saat hari ketiga aku kesekolahnya, tidak ada hal yang mengejutkan. Semua biasa-biasa saja layaknya siswa pulang sekolah. Saat sore hari aku melihat Haikal pergi bersama teman-temannya termasuk Raka. Ternyata yang aku dapat hanya kegiatan anak remaja yang biasa-biasa saja dan tidak lebih. Haikal bermain balapan motor bersama teman-temannya dan itu adalah hal yang sangat biasa bagi anak remaja sekarang ini.
***
Hari keempat aku kesekolah Haikal dan setelah bel pulang sekolah aku menemui Raka tanpa sepengetahuan Haikal. Aku ingin mengetahui perubahan Haikal.
“Raka!” ucapku memanggilnya.
“Lala! kapan kesini?” jawab Raka.
“Udah semua itu bukan urusan loe yang penting jangan sampai Haikal tahu kalau aku disini”
“Kenapa?”
“Ada satu alasan tersendiri yang harus gue rahasiakan”
“Rahasia apa rahasia”
“Langsung aja deh, dari tadi Cuma basa-basi aja”
“Ya udah, memang ada apa?”
“Haikal udah berubah apa belum?”
“Setahu gue Haikal berubah total 100%. Bayangin aja, dia nolak seseorang yang ada disekolah padahal cantik banget”
“Serius!?”
“Kapan gue pernah bohong sama loe?”
“Ya memang loe nggak pernah bohong”
“Ada yang penting lagi apa nggak, soalnya Haikal mau pergi sama gue”
“Ke mana?”
“Yang jelas nggak buat loe sedih kok, itu Haikal” ucap Raka sambil menunjuk Haikal yang keluar dari gerbang.
“Raka! Gue pergi dulu” ucapku langsung pergi.
Aku sebenarnya masih ingin menanyakan banyak hal tentang Haikal kepada Raka tetapi kerena takut Haikal melihatku, aku langsung pergi. Aku percaya dengan ucapan Raka dan aku harap aku bisa menemui Raka lagi. Aku ingin mendapatkan informasi yang selengkap-lengkapnya tentang Haikal selama ia di Bandung. Saat aku berada di hotel dan ingin tidur, aku teringat Haikal. Aku langsung menghubungi Raka dan menanyakan keberadaan mereka saat itu. Waktu baru menunjukkan pukul 21:00 WIB dan setelah aku mengetahui keberadaan mereka, dengan cepatnya aku menuju ke tempat mereka berada. Saat aku tiba, ternyata Haikal sedang balapan motor dengan seseorang yang tidak aku tahu siapa dia. Aku berharap Haikal menang. “Haikal!” ucapku memanggilnya dan ia melihatku. Mungkin ia terkejut dan ini memang kejutan untuknya. Ini saatnya aku bertemu dengannya.
“Haikal! Menang ya!” ucapku mendukungnya.
“Katanya nggak mau Haikal tau, tapi…….” Ucap Raka menyindirku.
“Berisik sih”
“Iya-iya”
“Haikal! Menang buat aku ya!”
“Hu….hu” suara sorak gembira karena Haikal menang diiringi tepukan yang meriah.
“Rasain tuh orang, Haikal kok dilawan” Ucap Raka menyindir lawan Haikal.
“Memang siapa lawannya Haikal?” Tanyaku kepada Raka.
“Nggak kenal tuh”
“Selamet ya!” ucapku kepada Haikal memberi ucapan selamat.
“Kapan kamu kesini?”
“Udah beberapa hari ini aku disini dan aku melihat perubahan kamu yang membuat aku senang”
“Siapa lawan kamu? Katanya Raka kalian nggak ada yang kenal”
“Memang, katanya dia nggak suka sama aku dan karena itu dia nantangin aku”
“Ada apa kamu ke sini?”
“Ada deh, nanti juga tau”
“Ya udah kita pergi aja dari sini ke tempat lain yang lebih seru”
“Ya udah pergi aja, tinggalin aja gue sendiri di sini” sindir Raka.
“Kita Cuma mau berdua aja tanpa orang lain” ucap Haikal.
“Ya udah gue ngerti” jawab Raka.
Aku senang sekali karena dapat menemui Haikal karena sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Sebelum kami pergi, Haikal mengenalkan aku kepada teman-temanya yang lain. Mereka hanya tersenyum seperti sudah mengetahui siapa aku. Aku hanya bersikap biasa saja walaupun hatiku bertanya-tanya. Tanpa membuang waktu kami langsung pergi tetapi terhalang.
“Tunggu!” ucap seseorang yang menjadi lawan Haikal.
“Ganggu aja sih” ucap Haikal”
“Siapa sih Dia?” Tanyaku.
“Nggak tau”
“Gue….” Jawab lawan Haikal sambil membuka helmnya.
“Apa!”aku terheran.
“Siapa dia? Kamu kenal?” tanya Haikal.
Aku tidak mempedulikan pertanyaan Haikal karena aku masih terkejut dengan apa yang aku lihat. Aku tidak menyangka dengan yang terjadi. Semua ini diluar pikiranku. Aku tidak menyangka bahwa yang menjadi lawan Hikal dalam pertandingan tadi adalah Niko.
“Niko! Ngapain kamu kesini? Apa lagi?” tanyaku.
“Aku kesini nggak ada tujuan lain kecuali mau ngambil hati kamu lagi”
“Maksud kamu?”
“Aku tau kamu suka sama dia dan itu sebabnya kamu ninggalin terus ngelupain aku”
“Aku nggak ninggalin kamu tanpa sebab! Kamu udah duain aku, apa aku harus disisi kamu setelah apa yang kamu lakuin ke aku”
“Aku minta maaf kalau aku salah”
“Maaf! Terlambat untuk kamu ucapkan. Berbulan-bulan kamu hanya diam dan baru beberapa minggu ini kamu mencoba minta maaf. Memang aku udah maafin kamu dan kamu dengar itu, tapi aku nggak akan kembali ke pelukan kamu”
“Tapi….”
“Dia mantan pacar kamu?”tanya Haikal.
“Iya, tapi aku udah ngelupain dia kok” jawabku
“Niko! Asal kamu tau aja kalau dihatiku nggak akan ada kamu sampai kapanpun”
Aku dan Haikal langsung pergi tanpa mempedulikan Niko yang terus memintaku untuk kembali padanya. Dalam benakku, aku masih bingung. Niko sebelumnya menjalin hubungan denganku dan semua itu telah berakhir karena penghianatannya kepadaku. Semua itu terbukti jalas bahwa ia sudah tidak mencintaiku lagi, tetapi yang telah Niko lakukan mengubah jalan pikiranku. Hanya karena cinta seseorang dapat mengejar cintanya kemanapun dan itu yang terjadi kepada Niko. Niko terus saja mengejarku walaupun ia sudah mengetahui bahwa aku pergi untuk menemui orang yang aku cintai. “Ehm……ngelamunin apa?” tanya Haikal tanpa sadar kami telah sampai tujuan. “Ngelamunin kamu, abis kangen sih” jawabku.
Aku terkejut dengan tempat yang dituju kami. Semua seperti telah dipersiapkan sebelumnya. Semua begitu mengesankan, indah dan semua itu membuat hatiku begitu senang. Baru keli ini aku menemukan tempat yang indah, ditambah beberapa hiasan yang telah disiapkan, dan terlihat bintang dilangit yang sangat indah. Aku heran dengan semua ini, semua seperti sudah dipersiapkan sebelumnya. Tetapi yang manjadi pertanyaan, siapa yang mempersiapkan semua ini? Tidak mungkin Haikal karena baru beberapa jam aku bertemu dengannya.
“Boleh aku tahu sesuatu?” tanyaku pada Haikal.
“Apa?”
“Kapan kamu mempersiapkan semua ini? Nggak mungkin dalam waktu beberapa jam, pastinya satu hari atau lebih”
“Kemarin aku mempersiapkan semuanya”
“Dari mana kamu bisa tau? Bukannya baru tadi kita ketemu dan kalau Raka yang ngasih tau, dia juga baru tadi siang ketemu aku”
“Kemarin aku lihat kamu didepan sekolah aku dan tadi siang juga”
“Kenapa kamu diam aja”
“Kejutan”
“Terus Raka juga pasti ngasih tau semuanya sama kamu”
“Tadinya dia nggak mau sih, tapi aku terus maksa dia dan akhirnya…….”
“Apa?”
“Kamu takut kalau aku suka sama orang lain”
“Ehm……ya udahlah”
Aku senang karena malam ini aku dapat menikmati indahnya malam penuh bintang bersama Haikal. Aku berharap agar malam menjadi lebih lama. Aku berharap aku bisa lebih lama dengan Haikal tanpa ada yang mengganggu. Tanpa sadar aku tertidur dipelukan Haikal saat itu dan ketika aku terbangun dari tidurku, aku sangat senang sekali. Aku senang karena Haikal menjagaku. Tidak ada satupun nyamuk yang hinggap dikulitku karena tidak ada bekasnya. Aku tidak menyangka bahwa Haikal akan menjagaku dari gigitan nyamuk sekalipun.
Aku terbangun dengan sambutan senyuman Haikal yang bahagia. Haikal manatapku seolah tidak ingin aku pergi jauh darinya. Aku tidak bisa menolak tatapan matanya yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Tiba-tiba Haikal memegang tanganku.
“La, apa hati kamu udah sepenuhnya milik aku?” tanya Haikal kepadaku.
Saat itu aku hanya menatapnya dan ingin mengatakan bahwa hatiku sepenuhnya milik Haikal tetapi aku masih terdiam. Aku diam bukan karena ragu tetapi aku bibirku tidak bisa bergerak. Aku langsung memeluk Haikal sebagai tanda bahwa sepenuhnya hatiku miliknya. Aku tidak bisa berkata apapun karena aku tahu bahwa ucapan bukan sepenuhnya jawaban.
“Jadi,…… kamu…….” Ucap Haikal dan aku langsung menutup bibirnya dengan jari telunjukku.
Aku tidak ingin ada kata-kata, hanya dengan pembuktian. Saat itu aku dan Haikal diam tanpa kata dan hanya hati yang bicara. Aku tidak ingin pelukan ini berakhir dan ingin terus seperti ini.
“Ehm…. Sorry kalo ngeganggu” ucap Raka.
Aku terkejut dengan kehadiran Raka, apalagi ia bersama Eva. Aku tidak tahu megapa Raka bisa bersama Eva. Aku sangat terkejut dengan kehadiran mereka dan aku langsung melepas pelukanku terhadap Haikal.
“Kok dilepas sih, lanjutin aja. Gue sama Eva gak ngeliat kok”
“Kok kalian bisa bareng sih” ucapku heran.
“Belum tau ya” ucap Raka.
“Haikal, apa sih maksud Raka”
“Mereka udah jadian”
“Kok gak bilang sih”
“Loe gak nanya” jawab Eva.
“Ya udah sih yang penting loe sama Haikal……” lanjut Raka.
“Ya udah deh”
Aku tidak menyangka bahwa Raka dan Eva telah menjalin subungan saat sebelum aku bertemu mereka didesa. Semua itu tidak terlihat tetapi bukan masalah yang penting semua bahagia. Saat itu juga aku meminta Haikal untuk menemaniku saat pesta ulang tahun sekolahku.
“Haikal, aku boleh minta satu hal” tanyaku kepada Haikal didepan Raka dan Eva.
“Apa aja boleh kok asal kamu buat kamu bahagia” jawab Haikal.
“Sekolah aku akan merayakan ulang tahun ke….berapa ya? Taulah yang penting kamu maukan nemenin aku nanti?” pintaku.
“Gimana ya….”
Plese”
“Ya udah, kapan?”
“Satu Minggu lagi sih kalo gak salah”
“Ups sorry, gue ke hotel dulu ganti baju terus nanti malem jemput gue karna ada yang mau gue omongin”
“Kita juga kan” ucap Eva.
“Iya, iyalah. Jelas-jelas gue ngomong sama semuanya”
Aku pergi menuju hotel diantar oleh Haikal. Aku senang sekali. Hari ke lima aku di Bandung aku mendapatkan apa yang aku mau bahkan lebih. Mungkin waktuku hanya satu minggu tetapi apa salahnya jika aku menambah waktuku karna disekolah tidak balajar juga.
Malam itu aku dijemput oleh Haikal. Ada Raka dan Eva juga yang menemani Haikal. Kami ingin mengenang saat masih didesa. Aku membicarakan semua yang aku rasakan saat aku pergi dari desa termasuk saat aku sakit karena kepikiran Haikal.
“Jujur ya, sebenernya dari awal aku ketemu sama Haikal……..” ucapku.
“Kita udah tau kali” sela Raka.
“Oh…. ya Va, kalian jadian kok gak bilang-bilang sih”
“Gak udah dibahaslah”
“Kenapa”
“Gak apa-apa sih tapi susah dijelasin soalnya panjang”
“Selama kamu disana inget sama aku terus gak?” tanya Haikal.
“Ya gitu deh. Kangen benget apa lagi gak bisa ketemu terus gak bisa komunikasi”
“Jadi kangen banget nih ceritanya” Sindir Eva.
“Ya…. Kayak yang loe liat sendiri”
“Oh ya, Haikal sorry ya jaket loe belum gue kembaliin karna cuma itu yang bisa buat gue inget terus sama loe”
Banyak hal yang kami bicarakan dan sehingga teringat saat kami didasa dimana banyak kenangan yang tersimpan. Aku ingin mengulagi semua hal yang terjadi didesa saat itu yang membuat aku bisa merubah kesedihanku yang lalu, melupakan kenangan yang teramat sakit untuk dikenang. Aku ingin Haikal dan aku terus bersama untuk selamanya tanpa adanya masalah yang besar.
“Ehm……” ucap seseorang kepada kami dan itu adalah Niko.
“Mau apa lagi loe!” seru Haikal.
“Gak usah jawab loe juga tau”
“Apa maksud loe!”
(saat itu Haikal langsung memukul muka Niko dan Niko membalasnya)
“Elo!................ esst……” ucap Haikal dan memukulli Niko kembali.
“Apa?! Loe takut gue ngerebut orang yang loe sayang?”
“Haikal” ucapku sambil melerai tetapi tidak berhasil.
Saat itu aku bingung sekali. aku tidak tahu harus berbuat apa lagi karena aku dan yang lain melerai tetap saja tidak diperdulikan Haikal dan mereka terus saja berkelahi. Aku bingung dan seketika aku langsung menampar keduanya dan pergi.
“Haikal, Niko, Kalian……” uacapku dan pergi.
Haikal dan Niko mengejarku dan aku tidak bisa lagi lari dari mereka.
“La kenapa loe pergi?” tanya Niko.
“Apa loe nanya-nanya sama dia!” seru Haikal.
“Apa urusan loe!” lanjut Niko.
“Udah!” seruku.
“Maafin aku” Ucap Haikal dan Nikopun mengatakannya.
“Haikal, kamu bisa gak sih nyelesain masalah jangan pake’ kekerasan”
“Dia yang Mulai”.
“Gue yang mulai, loe juga yang salah” .
“Udah kalian diem semua! Niko! Berapa kali aku bilang kalo aku gak akan mau balik lagi sama kamu”
“Aku udah berubah dan aku gak akan duain kamu lagi. Aku yakin bahwa masih ada sedikit rasa cinta untuk aku dan aku akan membuatnya lebih banyak”
“Gak! Sedikitpun nggak ada rasa cinta buat kamu. Semua itu udah hilang saat kamu duain aku” ucapku dan pergi meninggalkan Niko sambil menarik tangan Haikal.
Aku pergi tanpa peduli dengan keadaan Niko yang penuh dengan memar tetapi sebelum aku benar-benar pergi, Niko mengucapkan bahwa ia akan membalas semua perbuatan Haikal. Menurutku itu hanya ancaman yang tidak penting. Aku pergi membawa Haikal menuju rumahnya. Ketika tiba dirumah Haikal, aku bertemu dangan kedua orang tuanya dan memberiku beberapa pertanyaan.
“Kenapa dengan Haikal?” tanya ibunya Haikal.
“Iya, kenapa sampai biru-biru” Tanya ayahnya Haikal.
“Tadi Haikal bekelahi, terus jadinya seperti yang Om sama Tante lihat sekarang.”
“Ya udah bawa kedalam.” Ucap ayahnya Haikal dan pergi.
Aku membawa Haikal ke dalam dan membersihkan luka memar Haikal dan sedikit darah. Haikal diminta Ibunya untuk beristirahat dikamar dan memintaku untuk berbicara sebentar.
“Ada apa Tante?”
“Nggak, cuma mau nanya kerena apa Haikal berkelahi.”
“Itu semua salah saya.”
“Kenapa?”
“Tadi mantan pacar saya berkelahi dengan Haikal kerena memiliki masalah.”
“Ooo… masalah anak muda.”
“Maaf ya tante, Haikal jadi mamar-memar karena aku.”
“Kamu pasti Lala.”
“Kok tante bisa tau tau.”
“Haikal pernah cerita tentang kamu dan baru kali ini Haikal sserius dengan perempuan.”
“Memang tadinya Haikal gak pernah serius sama pacarnya yang dulu?”
“Seperti kamu ketahui bahwa Haikal playboy dan tante senang karena kamu bisa merubah Haikal.”
“Tante aku boleh minta izin gak?”
“Izin apa?”
“Ngajak Haikal untuk nemenin aku ke pesta ulang tahun sekolahku”
“Boleh, cuma Haikal aja?”
“Rencananya mau ngajak Eva sama Raka tapi gak tau mereka setuju apa nggak.”
“Setuju kok” ucap seseorang dan ternyata itu Eva bersama dangan Raka.
“Kok kalian berdua bisa disini?”
“Tadi saat Haikal sama Niko berantem, kami langsung ke sini dan memberitahu keluarga Haikal.”
“Jadi Tante udah tau.”
“Tante sudah mengetahui semuanya saat mereka tiba.”
“Tante, kita sudah melihat keadaan Haikal dan kita mau pamit” Ucap Raka.
“Bareng dong”
“Kamu disini aja, banyak yang mau tyante tanyakan ke kamu” ucap ibunya Haikal.
“Ada yang mau PDKT sama calon mertua” sindir Eva dan mereka pergi.
“Malam ini kamu menginap disini”
“Tapi…..”
“Itu lebih baik dari pada dihotel dan Haikal masih membutuhkan kamu sekarang.”
“Ya udah”
“Tante sudah siapin kamar buat kamu” (sambil mengajakku ke kamar yang telah disediakan)
“Makasih tante”
“Sama-sama, kamu istirahat dulu aja”
“Ya udah aku istirahat dulu” ucapku sambil menutup pintu kamar.
Aku tidak menyangka bahwa orang tua Haikal sudah mengetahui semuanya dan mereka mendukung hubunganku dengan Haikal. Dalam tidurku, aku berharap agar dapat bermimpi indah. Aku ingin mimpiku adalah mimpi tentang kebahagiaanku dan aku berharap itu bisa terwujud.
Dalam pikiranku juga masih terlintas perkelahian antara Niko dan Haikal. Entah dari mena Niko bisa mengetahui keberadaan kami. Mungkin itu suatu kebetulan tetapi sudah beberapa kali Niko menemui Haikal. Entahlah, semua ini begitu membingungkan. Akhihirya tanpa berpikir lagi, aku terlelap tidur.
Pagi hari sang surya membangunkanku dengan sinarnya. Aku terbangun dari tidurku yang begitu nyenyak. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Aku membukanya.
“Kamu pasti tidak bawa baju ganti kan. Ini ada baju milik kakaknya Haikal dan menurut tante pas jika kamu pakai” ucap ibunya Haikal.
“Makasih” ucapku sambil menerima pakaian itu.
“Sehabis kamu mandi, tante tunggu di bawah untuk makan pagi.”
Aku bergegas untuk menuju kamar mandi yang ada didalam kamar itu. Aku berharap keadaan Haikal akan lebih baik dari yang sebelumnya. Saat itu aku merasa senang dan bingung. Ini pertama kalinya aku makan pagi dengan keluarga Haikal.mudah-mudahan cerahnya pagi akan menggambarkan susana yang amat baik. Setelah aku selesai, aku berjaln menuju ruang makan. Tampak semua telah duduk dikursi kecuali Haikal. Langkahku terhenti sebelum aku duduk karena tidak ada Haikal. Pikirku Haikal masih kurang enak badan atau lebih parah. Perasaan campur aduk ada dalam pikiranku dan membuatku bertanya-tanya yang terjadi.
“Duduk dong, kok berdiri aja” ucap ayahnya Haikal kepadaku.
“Iya. Om” jawabku dengan ragu.
“Mikirin Haikal ya? Dia masih tidur. Kalo mau bangunin, ke kamarnya aja” ucap ibunya Haikal.”
“Kayaknya Haikal butuh istirahat dulu” ucapku dan duduk.
Aku senang karena tidak terjadi apa-apa terhadp Haikal. Tiba-tiba suara ketukan berbunyi sambil berteriak menyebut nama Haikal. Kedengarannya ada dua orang yang berteriak-teriak. Aku merasa mengenal suara itu.
“Hai, La. Kita udah siap nih” ucap Raka.
“Siap?” tanyaku heran.
“Iya, ketempat loe” lanjut Eva.
“Bukannya besok?”
“Sekarang lebih baik kan” ucap Haikal tiba-tiba.
“Haikal! Katanya…..”
“Ehm….. tante bahong sedikit gak salah kan?”
“Ya udah deh kalo maunya sekarang, untung di gue juga.”
“Sarapan dulu ya.”
Aku tidak menyangka bahwa kepulanganku satu hari lebih cepat dari yang akua rencanakan. Satu lagi yang membuatku heran, Haikal terlihat lebih sehat dan tidak ada tanda-tanda kekesalan diwajahnya. Semua ini adalah kejutan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.  
Saat diperjalanan aku merasa sangat senang karena yang telah terjadi diluar dugaanku. Semua ini adalah hal yang membuatku sangat senang walaupun ada yang tidak menyanangkan. Mungkin semua ini pertanda untuk hubunganku dengan Haikal.
“La memang loe sama Niko putusnya gara-gara apaan?” tanya Eva.
“Kenapa harus bahas dia sih?”
“Jawab aja, gue gak marah kok. Lagian loe udah gak ada rasa sama Niko” ucap Haikal.
“Udah, tinggal ngomong aja susah” ucap Raka.
“Kaya’nya kalian udah tau deh. Yah, Niko udah duain gue dan gue gak mungkin balikan lagi sama dia. Gue udah nyoba banyak hal untuk ngelupain dia, termasuk pergi ke desa tapi ada untungnya juga sih.”
“Jadi loe kedesa cuma mau ngelupain Niko?”
“Ya kurang lebih kaya’ gitu tapi gue juga mau cari suasana lain.”
“Tapi benerkan kalo loe sepenuhnya udah ngelupain Niko?”
“Bener banget, gak ada nama Niko di hati gue kecuali……”
“Ya gue-lah” ucap Haikal.
“Ngarep loe”
“Tapi bener kan?”
“Gak perlu di Tanya, semua juga tau apa jawabannya.”
Sesampainya di rumahku. Orang tuaku menyambut kedatangan kami dnegan hangat. Untuk beberapa hari ini, mungkin Haikal, Eva, dan Raka akan tiggal di rumahku. Entah bagaimana terkejutnya Niko saat aku mengajak Haikal untuk menemaniku dalam pesta ulang tahun sekolah.
***
Pagi itu suasana sangat cerah dan begitu menggairahkan. Eva masih tertidur di sampingku dan dengan Haikal mungkin sama. Aku bergegas untuk ke sekolah. Memanng di sekolahku masih sibuk dengan perencanaan acara ulang tahun sekolahku. Ada yang latihan manari, dan banyak yang lainnya. Niko belum terlihat sama sekali di sekolah, mungkin ia belum pulang karena mengira aku masih di sana. Aku bahagia karena tidak melihat wajah Niko yang menyebalkan.
Semua sahabat dan teman baikku menanyakan semuanya. Tentang pengalamanku bersama Haikal tetapi mereka tidak tahu bahwa di sana ada Niko. Jika mereka mengetahuinya, pasti mereka akan terkejut. Mereka sedikit membicarakan tentang Niko yang beberapa hari ini tidak masuk sekolah. Aku diam merahasiakan semuanya, namun mereka akhirnya mengetahui segalanya. Aku sulit untuk menyembunyikan kejadian beberapa waktu lalu tetapi, biarlah.
Haikal, Raka, dan Eva mungkin sedang membicarakan aku di rumah. Bukannya terlalu besar kepala tetapi wajar karena aku patut di bicarakan. Seindah langit biru hari ini karena tidak ada Niko dan segalanya yang membuatku terus berpikir.
Tepat pukul 15:30, Haikal menjemputku di depan gerbang sekolah. Perhatiannya memang membuat hatiku luluh di buatnya. Aku ingin terus seperti ini dan tiada henti. Namun rasanya tidak mungkin karena Haikal di sini hanya untuk sementara. Walaupun dia jauh di mata, namun di hatiku sangatlah dekat. Cinta yang ku rajut tidak akan hilang hanyakarena jarak yang memisahkan karena cinta datangnya dari hati, bukan dari pandangan.
“Aduh, yang tambah lengket nih” sindir Eva ketika aku di rumah.
“Cape’ nih” ucapku.
“Capek kenapa?”
“Ya capeklah. Udah pergi ke luar kota terus sampe’ di rumah, besiknya sekolah dan harus nyiapin acara Ultah sekolah gue lagi.”
“Capek-capek tapi seneng kan?” sindir Raka.
“Iya-Iya gue ngaku.”
Aku bahagia sekali karena rumahku menjadi ramai karena ada semua yang aku sayangi, terlebih Haikal.
Tepat pukul 19:30. Kami sekeluarga makan malam dan makan malam kali ini sangat berbeda karena ada Haikal. Saat makan, Haikal menyupkan makanan ke dalam mulutku. Jujur aku sangat senag dan sepertinya kedua orang tuaku juga sangat menyukai Haikal.
“Duh yang di suapin” sindir Raka.
“Kanapa loe? Sering banget nyindir gue. Kalo ngiri bilang, nanti biar Eva nyuapin makanan ke loe.”
“Sapa yang ngiri.”
“Ngiri juga gak apa-apa kok” ucap Haikal.
“Jadi kamu ngiri?” Tanya Eva sambil menyindir.
“Gak kok.”
“Nih….” Ucap Eva lalu memasukkan makanan dengan paksa ke dalam mulut Raka.
Saat itu suasana sangat menyenangkan dan menggembirakan. Seusai makan malam, aku dan Haikal pergi keluar rumah. Aku yang mengajak Haikal untuk merasakan suasana malam di lingkunganku. Raka dan Eva pergi entah ke mana dan aku tidak peduli itu.
Saat aku bersama Haikal, ia memperlakukanku sangat istimewa. Sempat aku hampir tertabrak mobil dan Haikal menarikku. Haikal menjagaku melebihi dirinya sendiri. Entah cinta ini sejati atau tidak kerena aku merasakan kehangatan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku harap Haikal tidak akan menyakiti hatiku seperti kejadian yang lalu karena sejujurnya aku sudah sangat mencintai Haikal dan sulit untukku menerima goresan luka lagi.
Malam telah larut dan aku tidur di kamarku bersama Eva. Tampak dari wajah Eva kegembiraan. Bukan hanya Eva tetapi akupun sangat gembira.
Pagi itu matahari menyinariku. Ada yang berbisik kepadaku. Matahari saja sudah mengganggu, apa lagi ada yang berbisik. Siapa yang membuat matahari itu masuk ke kamarku? Entahlah, namun bisikan itu semakin terdengar. Samara-samar bisikan itu di telingaku. Aku sulit mendengarkannya karena rasa kantuk itu begitu tajam. “I….” hanya kata itu yang sempat aku dengar.
“I love…..”
“I love you”
“Aku sayang kamu…..”
Semua seakan jelas dan aku mengenal suara itu. Haikal berbisik kepadaku dan Eva……... Dimana Eva? Dia tidak ada. Haikal berbisik di telingaku dan memberikan senyuman hangat untukku. Rasa kantukku seakan hilang begitu saja. Aku langsung memeluk Haikal ketika aku tahu bahwa yang berbisik adalah Haikal.
Pagi itu Haikal mengantarku ke sekolah. Masih seperti kemarin, Niko tidak terlihat. Kanapa harus memikirkan Niko? Bukankah dia bukan siapa-siapaku?
Saat aku berjalan di koridor sekohah, aku melihat Niko. Ia menghampiriku dan menarikku. Aku berusaha pergi dari hadapan Niko, namun semua sia-sia.
“Kamu mau pergi lagi? Terus aja menghindar karena itu akan buat kamu…..” ucap Niko.
“Aku gak akan menghindar, tapi apa mau kamu……”
“Aku mau kamu maafin aku!”
“Maafin kamu! Cuma orang bego yang mau ngelakuin itu…..”
“Tapi………”
“Aku udah maafin kamu tapi hubungan kita hany sebatas teman. Gak lebih!”
“Gara-gara cowok itu?”
“Bukan cuma gara-gara Haikal tapi semuanya salah kamu. Seandainya kamu gak selingkuh, mungkin sekarang kita masih kaya’ dulu.”
“Maafin aku.”
“Maaf? Maaf kamu bilang? Cuma itu? Gak akan.”
“Tapi Aku lebih baik dari Haikal.”
“Iya! Lebih baik dari keburukannya.”
“Tapi….”
“Gak pake’ tapi-tapi. Yang jelas aku udah jadi milik orang lain!” ucapku lalu pergi meninggalkan Niko yang sedang marah.
Kenapa Niko harus muncul lagi di hadapanku. Aku bosan setiap kata yang terucap dari bibirnya kepadaku karena ucapannya hanyalah kebohongan besar. Kalaupun ucapannya benar, sudah tidak ada lagi nama Niko di hatiku sekecil apapun itu.
Niko belum mengetahui bahwa Haikal bersamaku sekarang. Aku tidak ingin memberi tahu Niko karena itu akan menjadi kejutan besar untuknya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Niko saat ia mengetahui sebenarnya.
Haikal mengajakku makan malam hanya berdua. Aku sangat senang dan semuanya bagaikan mimpi walaupun ini adalah kenyataan. Makan malam bersamanya begitu mengesankan di hatiku. Aku berharap hubungan ini tidak akan hancur sampai pada akhirnya hanya maut yang memisahkan. Walaupun cinta ini begitu singkat dan cepat, cinta tetaplah cinta dan tidak akan menjadi dusta belaka.
Aku yakin pilihan kali ini adalah yang terbaik karena hatiku tidak bias membohongi jalan pikiranku. Kali ini aku yakin bahwa Haikal adalah seseorang yang dapat mengerti aku dan memahami aku sepenuhnya.
Dua hari lagi tepat hari di mana acara ulang tahun sekolahku. Semua di sekoalah telah siap dan tinggal menunggu hari.  Malam yang begitu indah dengan di hiasi bintang-bintang dan di terangi bulan. Semakin membuat malam begitu hangat.
Aku menyiapkan menampilanku agar terlihat anggun. Aku menggunakan gaun hitam yang cocok dengan warna kulitku. Haikal pun berpenampilan sangat rapi yang membuatku terpesona. Eva menggunakan gaun Biru karena ia sangat menyukai warna itu dan Raka penampilannya berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
Saat aku tiba di malam puncak. Semua memandangku dan Haikal. Aku merasa semua begitu mengesankan. Tetapi aku tidak melihat Niko. Biarlah, yang penting acara ini aku nikmati.
Untuk pembukaan, akan di tampilkan seorang siswa yang akan menyanyikan lagfu cinptaannya sendiri. Lagu ini mengisahkan tentang kahidupannya sendiri. Lagu ini berjudul ‘Maafkan aku Cinta’. Dari judul lagunya saja sudah membuat semua yang hadir terbawa. Aku penasaran dengan isi dari lagu itu sendiri.
Oh tidak! …………..
Ternyata Niko yang akan menyanyikan lagu untuk pembukaan. Aku terkejut. Niko masih belum melihat aku dan Haikal. Ia terus menyanyi. Semua yang hadir terharu dan terbawa dalam kata-kata yang Niko nyanyikan.      
Saat pertengahan Niko menyanyikan lagu yang ia bawakan, ai sadar ketika itu aku hadir bersama Haikal. Perlahan kedua mata Niko memerah dan ia mulai meneteskan air matanya. Memang lagu itu membuat semua orang sedih dan membuat semua yang hadir ikut meneteskan air mata.
Aku tahu air mata Niko menetes karena ia melihatku bersama dengan Haikal. Baru kali ini aku melihat Niko meneteskan air mata kerenaku. Selama ini aku yang meneteskan air mata karenanya, namuan kali ini berbeda. ‘Maaf hanya untukmu’ sepenggal kata yang terdapat dalam syair lagu yang Niko nyanyikan. Ia berjalan ke arahku. Semua diam dan mengetahui apa yang Niko pikirkan.
Perlahan Niko berjalan dan menatapku dengan menyanyikan lagu yang ia ciptakan. Setelah ia selesai dengan lagu ciptaannya. Niko memelukku degan erat dan aku merasakan kesedihannya yang meneteskan air mata di pelukku. Haikal tidak berkata apa-apa. Ia terdiam dan tidak melakukan apapun untuk melepaskan pelukan Niko dariku.
Aku terkejut saat Niko memelukku tetapi aku yakin Niko tidak main-main atau berdusta tentang perasaannya kali ini. Namun semua terlambat dan aku sulit menerimanya kembali karena ada seseorang yang istimewa dalam hatiku.
Haikal masih terdiam tanpa kata. Aku heran dengan sikapnya. Apa yang ada dalam benak Haikal sehingga membiarkan Niko memelukku. Apakah Haikal tidak sepenuhnya mencintaiku? Pikiranku kabur dan tidak bisa berpikir jernih untuk semua ini.
Aku mengambil langkah sendiri. Aku berusaha melepaskan pelukan Niko tetapi pelukan Niko begitu erat. Aku hanya memandang Niko dengan sejuta teka-teki. Aku ingin tahu tujuan Niko melakukan semua ini. Memang tujuannya adalah untuk mendapatkan hatiku kembali, tetapi aku merasa ada alasan lain yang tersemubunyi. Hatiku mengatakan bahwa Niko melakukan semua ini untuk membuat Haikal marah.
Acara kembali di lanjutkan. Aku masih memandang mata Niko dan tidak berfikir ada Haikal di sampingku. Haikal masih menggenggam tanganku tetapi aku juga masih bertatapan dengan Niko. Semua ini penuh teka-teki yang membuatku bingung kerena Haikal membiarkan semua ini terjadi.
Pandanganku aku lepas dari Niko. Niko berjalan perlahan meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Aku sangat bingung harus berkata apa lagi. Tidak ada satu katapun dalam benakku untuk mengucapkan satu kata lagi dari bibirku.
Haikal melepas genggaman tangannya. Ia seolah ingin pergi dariku. Apa ini? Aku heran dengan sikap Haikal yang seperti ini. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dan ketidak pastian yang terpikir dari hatiku.
“Haikal……”
“La….aku……”
Aku memeluk tubuh Haikal yang ingin meninggalkanku. Aku tidak sanggup dengan semua ini. Aku ingin terus bersama Haikal. Tetapi apa ini? Apa jawaban dari semua ini?
“Kenapa kamu diam saat Niko meluk aku? Kenapa kamu diam saat Niko mengungkapkan perasaannya kepadaku dengan tindakannya? Kenapa kamu diam dengan perlakuan Niko sama aku? Kanapa? Kenapa kamu diam? Jawab! Jawab aku!” ucapku.
“Kamu mau tau?”
“Jelasin sama aku. Aku gak mau kamu diam seperti ini.”
“Kamu bilang kamu sayang sama aku. Kamu bilang kamu sudah melupakan Niko. Kamu bilang cuma aku. Kamu bilang tidak ada Niko di hati kamu. Kamu bilang…….”
“Apa maksud kamu?”
“Aku diam saat Niko menyanyikan sebuah lagu untuk kamu karena itu hak dia. Aku diam saat Niko menyanyi di hadapan kamu.”
“Kanapa kamu juga diam saat Niko meluk aku?”
“Awalnya aku mau marah tapi kamu diam. Aku merasa kamu yang menginginkan semua ini. Aku mau kamu jujur walaupun sakit buat aku.”
“Aku sudah jujur!”
“Tapi kenapa kamu menikmati pelukan Niko?”
“Itu……..”
“Karena kamu masih mencintai dia kan? Aku terima kalau kamu jujur dari awal tapi kamu sudah membawa aku terlalu jauh.”
“Haikal perlu kamu ketahui. Di hati aku cuma ada nama kamu.”
“Apa buktinya?”
“Aku diam saat Niko meluk aku karena kamu juga membiarkan aku. Aku merasa kamu hanya bermain dalam cinta ini karena kamu diam saat itu.”
“Aku diam bukan berarti aku merelakan kamu. Aku hanya ingin Niko setidaknya mengungkapkan perasaannya sehingga membuat hatinya lega, tapi…….”
“Tapi apa!?”
“Kamu juga tidak menolak kan?”
“Jujur aku sayang sama kamu. Apa perlu bukti? Apa semua bukan bukti……”
“Aku tidak perlu bukti. Aku cuma butuh kejujuran kamu.”
“Aku sudah jujur. Apa kurang pengorbanan aku untuk pergi ke tempat kamu, ngajak kamu ke sini…dan…..”
“Jujur?”
“Menurut kamu apa? Apa yang harus aku jelaskan sama kamu supaya kamu mau percaya sama aku?”
Haikal memelukku erat. Aku merasakan kepedihan Haikal yang tidak terlahat dari matanya, namun hatiku selalu benar. Haikal begitu sakit dengan semua kejadian ini. Aku merasa sangat bersalah. Haikal kecewa kapadaku dan diriku sempat di hinggapi ketakutan luar biasa.
Niko tidak terlihat. Ia menghilang begitu saja. Mungkin Niko sedang merenungi semuanya di tempat kasukaan dia. Saat Niko tersedih, biasanya ia di lapangan basket untuk mencurahkan isi hatinya. Aku sebenarnya tidak tega dengan Niko. Tetapi jujur bahwa tidak ada Niko di hatiku dan hanya Haikal yang teristimewa dalam hatiku.
Masih sedikit terlihat rasa kekecewaan dari wajah Haikal. Walaupun aku menjelaskan sebenarnya, namun Haikal terlihat lesu. Cintaku adalah ketulusan, bukan dusta yang menyelimuti.
Malam itu Haikal masih dingin terhadapku walaupun semua sudah terbukti. Aku tahu ini salahku. Aku tahu Haikal kecewa. Aku ingin membuat senyuman di wajah Haikal, namun ia tidak ingin bicara apa-apa padaku. Senyumnya yang selalu ia berikan padaku sudah hilang.
Raka yang sangat dekat dengan Haikalpun tidak bisa membantuku. Eva, ia hanya bisa menenagkanku saja, tidak lebih. Semua menjadi dingin. Setiap Raka berbicara kepada Haikal, Haikal tidak memberikan jawaban kepada Raka.
Tiga hari lagi Haikal pulang dan ia masih bersikap dingin padaku. Hatiku hancur. Di sekolahpun Niko bersikap dingin kepadaku dan tidak ingin berbicara kepadaku. Memang sejujurnya aku tidak mencintai Niko tetapi aku tidak ingin ia memusuhiku seperti ini.
Aku melihat Haikal sedang duduk di taman rumahku. Ia hanya terdiam. Entah apa yang ada dalam benaknya. Aku tidak ingin menggaggunya. Ia masih saja kecewa kepadaku. Aku tidak tahan dengan semua ini. Aku hanya dapat memandanginya dari jendela kamarku. Aku ingin memeluk Haikal dengan erat tetapi semua ini membuatku sangat bingung untuk berbuat apapun.
“La, loe sayang sama Haikal?” Tanya Eva.
“Jujur gue sayang banget sama Haikal tapi sikap dia buat gue bingung.”
“Bicara sama dia sebelum loe nyesel.”
“Tapi…….”
“Loe gak mau kan Haikal pergi dari loe selamanya?”
“Selamanya?”
“Selamanya. Kalo loe gak bicara sama dia.”
Aku tidak memiliki pikiran lain. Aku berjalan perlahan mendekati Haikal yang duduk sendiri. Saat aku duduk di sampingnya, ia hanya melirikku tanpa berkata apapun. Aku tidak tahu harus di mulai dari mana. Aku diam dan mencari kata yang dapat aku katakan, namun aku sulit untuk berpikir jika keadaanku seperti ini. Aku memberanikan diri untuk mengambil segala keyakinan dan mengatakan apa yang ada dalam benakku.
“Kamu marah?” tanyaku.
Haikal hanya memandangku dengan tajam. Ia mengobarkan api yang membara.
“Haikal. Please bicara sama aku.”
“Haikal. Aku mohon.”
Haikal masih saja terdiam membisu dan membuat hatiku terluka.
“Kalau kamu marah, bilang. Aku tidak mau kamu seperti ini sama aku. Haikal bicara sama aku.”
“Kamu mau aku bicara?”
“Aku mohon.”
“Aku tahu kamu sayag sama aku tapi jarak….”
“Apa jarak berarti dalam cinta?”
“Tapi itu terbukti…..”
“Terbukti apa…….”
“Kamu menjadikan aku hanya karena jadi pelarian untuk kamu.”
“Itu awalnya……tapi jujur sekarang aku sayang sama kamu.”
“Aku tahu semua itu tapi kamu sempat tidak mengatakan sejujurnya dari awal. Aku benci sama orang yang tidak jujur.”
“Aku ngaku kalau aku salah tapi aku benar-benar sayang sama kamu.”
“Sayang?”
“Aku rela ngelakuin apa aja, yang penting kamu percaya sama aku.”
“Aku gak butuh pengorbanan dari kamu. Aku cuma butuh kamu jujur.”
“Oke! Aku jujur sama kamu. Aku awalnya cuma mau kamu jadi pelarian aku. Aku memang sayang banget sama Niko tapi itu dulu. Aku sepenuhnya sayang sama kamu. Kalau aku gak sayang, kenapa aku mau pergi ke Bandung cuma mau ketemu kamu? Kenapa? Ini udah jelas kalau aku sayang sama kamu."
“Tapi kenapa kamu diam saja saat Niko……”
“Saat Niko meluk aku?”
“Kenapa?”
“Aku diam karena kamu juga diam aja. Aku mau kamu ngelepasin pelukan Niko dari aku tapi justru kamu yang ngelepasin tangan kamu dari aku. Berapa kali aku harus jelasin sama kamu?”
“Cuma itu?” lalu Haikal pergi.
Haikal mengemasi pakainnya dan barang-barang yang ia bawa. Aku heran dnegan yang ia lakukan karena ia pergi dengan membiarkan aku dalam teka-teki yang tidak aku mengerti.
Raka dan Eva pun ikut berkemas. Mereka diam karena masalah ini mereka pikir adalah salahku. Aku hanya meneteskan air mataku yang tidak sanggup lagi aku tahan. Aku merasakan sakit melebihi saat Niko menduakanku. Jujur aku sudah melupakan Niko sepenuhnya tetapi Haikal tidak mempercayaiku. Cinta memang memvbutuhkan kepercayaan, tetapi semua ini tidak membuktikannya.
Haikal melihat air mataku menetes, namun ia tidak mengusapnya. Ia hanya memandangku dengan tajam yang membuatku takut untuk berkata. Kedua orang tuaku hanya diam melihat semua ini, karena semua ini masalah hati dan kepercayaan.
Haikal pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi? Mungkin Haikal sadar bahwa awalnya aku membohonginya. Dahulu aku sangat mencintai Niko, namun semua telah sirna. Haikal tetap pada pendiriannya untuk pergi meninggalkanku.
Haikal pergi meninggalkanku dengan kesedihan. Aku yang salah atas semua ini. Aku membuatnya kecewa padaku, padahal aku tahu bahwa sebenarnya Haikal sangat mencintaiku melebihi dirinya sendiri.
Pagi ini aku tetap berangkat sekolah walaupun hatiku sedang hancur. Aku sangat sedih karena hari ini aku hanya berpikir tentang Haikal. Di dalam kelas Niko tidak seperti biasanya. Ia diam memandangku tetapi tidak berkata sepatah katapun. Pandangan Niko membuatku seoalah bersalah kepada semua yang telah terjadi. Walaupun aku tidak memiliki perasaan lagi kepada Niko, aku masih ingin ia menjadi teman baikku.
Niko tidak memberikan senyumannya kepadaku seperti biasanya. Itu Niko lakukan mungkin karena kejadian kemarin. Ini tidak seperti biasanya. Ia acuh kepadaku. Aku merasa ia bukan temanku tetapi ia memusuhku. Bukan salahku jika aku menolak cintanya tetapi hatiku yang memilih bahwa bukan dia yang terbaik.
“Niko, boleh minjem buku catatan kamu?” tanyaku.
“Ini.” jawab Niko sambil memberikan buku catatannya tetapi memberikan pandangan mata yang tidak aku suka.
Aku heran dengan sikap Niko seperti ini karena jujur aku ingin ia menjadi temanku. Haikal marah padaku, Niko juga, siapa lagi? Hidupku begitu hancur seakan ini adalah mimpi buruk yang berujung pada kematian.
Tidak ada kabar dari Haikal. Raka dan Eva selalu diam saat aku bertanya. Kedua orang tua Haikal juga tidak memberi jawaban untuk pertanyaan. Semua tersembunyi. Semua diam seakan menyembunyikan sesuatu.
Siang itu tepat saat pulang sekolah, aku menemui Niko. Aku ingin mengetahui apa yang dia inginkan. Semua sikap Niko yang berbeda padaku seakan aku memiliki musuh dan aku merasa Niko membenciku. Aku tidak ingin ada yang memusuhiku.
“Apa yang kamu mau?” Tanya Niko padaku.
“Aku mau kamu jujur sama aku.”
“Apa maksud kamu?”
“Kenapa sikap kamu dingin sama aku?”
“Kenapa?”
“Tolong jelasin sama aku.”
“Aku berusaha deketin kamu salah, aku jauhin salah, mau kamu apa?”
“Mau aku?”
“Kamu bilang kalau kamu milik Haikal tapi saat aku jauh dari kamu, kamu bilang aku salah. Apa mau kamu?”
“Aku mau kamu jadi teman aku. Selama ini memang aku tidak suka dengan sikap kamu tapi aku juga tidak ingin memiliki musuh.”
“Kamu tadinya menginginkan ini kan?”
“Awalnya iya. Aku mau kamu jauh dari aku tapi aku sadar bahwa kamu bisa jadi teman aku.”
“Maaf, aku ingin tidak mengenalmu lagi.”
“Maksud kamu?”
“Aku mau kita tidak saling kenal.” Ucap Niko lalu pergi tanpa kata lagi.
Aku seketika sangat terkejut. Niko yang selama ini melakukan segala usaha untuk mendapatkan aku kembali, kali ini ia menunjukkan sikap kebenciannya. Sikap Niko sedikit membuatku berpikir bahwa dari awala akulah yang membuat ini terjadi.
Dalam benakku sedikit ada rasa keingintahuan yang sangat besar. Aku ingin mengetahui alsan Niko menduakanku karena dengan sikap Niko terhadapku, aku ingin mengetahuinya.
Malam itu aku mengajak Niko mekan malam. Semua dingin tanpa kata-kata. Aku hanya memandang Niko. Niko pun tidak mengucapkan sepatah katapun padaku. Aku akhirnya memulai pembicaraan.
“Niko, aku sadar aku yang salah. Aku boleh tau satu hal mengenai……..”
“Apa?”
“Apa alasan kamu duain aku?”
“Kamu masih belum sadar?”
“Apa salah aku?”
“Kamu yang buat aku melakukan semua itu.”
“Aku?”
“Ya kamu.”
“Tapi salah aku apa?”
“Waktu kamu untuk aku selalu terbatas, kamu juga selalu ngatur kahidupan aku, aku merasa kamu terlalu mengikat aku.”
“Aku……..”
“Mau bicara apa lagi?”
“Itu alasan kamu?”
“Banyak. Bukan hanya itu.”
“Apa lagi?”
“Sebelum kamu pacaran sama aku, kamu pernah pacaran sama beberapa orang. Kamu ninggalin mereka walaupun sebenernya mereka juga udah mau ninggalin kamu. Kamu tau apa alasannya?”
“Apa?”
“Sifat kamu.”
“Tapi………”
“Aku juga tau kalau sekarang kamu ada masalah dengan Haikal dan itu sendiri salah kamu. Aku memang ingin kembali sama kamu tapi aku lebih bahagia jika kamu juga bahagia tetapi kamu juga menyakiti Haikal. Aku tahu apa yang di rasakan Haikal karena aku mengalaminya sendiri.”
“Maafin aku kalau aku salah sama kamu tapi………”
“Aku akan maafin kamu tetapi kamu harus berubah. Memang aku tahu kamu tidak mencintai aku lagi tetapi aku mau kamu menghargai arti cinta.”
“Menghargai?”
“Kamu hargai perasaan Haikal. Aku tahu Haikal sangat mencintai kamu tetapi kamu belum bisa menghargai perasaan Haikal yang sangat mencintai kamu.”
“Jadi kamu?”
“Aku rela kamu pergi dari aku dan mencintai orang lain karena di lain pihak aku juga salah. Aku ingin hubungan kita sebatas teman tetapi untuk saat ini aku tidak bisa.”
“Aku udah minta maaf tapi kamu……..”
“Coba pahamilah arti cinta.”
Dalam pertemuanku dengan Niko membuatku bertanya-tanya. Salahku? Apa salahku?
Niko memintaku untuk menghargai cinta, memahami dan semua kesalahanku. Sikap aku salah, apa yang salah? aku tidak bisa mengerti semua ini.
Jika aku mengingat masa laluku, aku mulai sadar semua ini salahku. Dari awal aku mengenal cinta sampai saat ini, aku belum bisa memahami cintaku sendiri. Aku belum bisa memahami perasaan Haikal padaku. Niko yang selama ini sangat mencintaiku sangat membenci sifatku. Mungkin sifatku salah tetapi aku heran dengan semua. Semua menyalahkanku.
Sejenak aku berfikir untuk menenagkan situasi ini. Untuk mantan kekasihku yang sebelum-sebelumnya, aku meninggalkan mereka karena sifat mereka mulai dingin padaku. Aku ingat ucapan Niko bahwa sifatku yang terlalu banyak aturanlah yang membuat hidupku sendiri hancur. Niko tidak salah menduakanku karena sifatkulah yang membuat ia melakukan itu. Memang salahku tetapi meninggalkanku dengan cara menduakanku sangat membuatku sakit.
Kali ini suasana di kelas sangat gaduh. Walau semua tertawa, aku hanya dapat memandang tawa teman-temanku. Aku masih sangat kecewa dengan diriku sendiri. Aku sadar sifatku selama ini salah dan menghancurkan cintaku sendiri. Semua menyalahkanku atas kejadian yang lalu tetapi dengan itu aku sadar akan sifatku yang harus aku rubah.
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Semua terdiam karena seorang guru masuk ke dalam kelas kami.
“Anak-anak, Ibu akan memperkenalkan muris baru di kelas ini.”
“Cewek apa cowok Bu?” Tanya seorang temaanku di kelas.
“Kalau cewek, cantik gak?”
“Cowok ya Bu. Soalnya bosen sama cowok-cowok di kelas ini.”
“Murid barunya laki-laki.”
Murid baru itu masuk ke dalam kelas. Aku tidak melihat wajahnya atau memandangnya karena aku sangat tidak ingin melakukan apapun. Semua masalahku membuatku tidak ingin melakukan apapun.
Murid baru itu perkenalkan dirinya.
“Sebelum gue memperkenalkan nama gue, gue mau…..”
Aku merasa mengenal surara itu tetapi biarlah karena suara itu bisa saja sama.
“Gue ke sekolah ini karena ada seseorang yang buat gue ke sekolah ini. tadinya gue ada masalah sama dia dan gue sadar setelah mantan pacarnya menjelaskan semuanya sama gue. Gue tau dia masih sedih dan kecewa sama gue tapi……... itu masalah gue, yang jelas gue ke sini ada hal yang sangat berharga dalam hidup gue.”
“Kayaknya gue pernah liat, di mana ya?” ucap seorag temnku.
“O… iya-iya. Gue inget. Dia yang ada di pesta Ulang tahun sekolah.” Lanjut temanku yang lain.
“Bukannya dia Haikal, pacarnya Lala?”
“O…iya! Dia kan Haikal.”
“Berarti Niko……”
Aku langsung memandang siswa baru itu. Benar bahwa siswa baru itu adalah Haikal. Ia kembali padaku. Aku sangat bahagia tetapi perkataannya mengenai mantan pacarku…….. aku langsung memeluk Haikal dengan erat. Haikal meminta maaf padaku.
“Haikal, maafin aku juga yang awalnya gak jujur sama kamu.”
“Aku tau. Niko udah jelasin semuanya.”
“Niko?” Tanya ku heran.
“Aku gak akan ngelepasin cinta aku.” Ucap Haikal.
Semua ini kejutan yang sangat membahagian untuk diriku. Aku senag Haikal kembali padaku dan memaafkanku atas ketidak jujuranku sebelumnya.
Niko perlahan meninggalkan kelas tetapi Haikal memanggilnya dan memeluk erat Niko sebagai teman. Aku bahagia karena Haikal dan Niko dapat menjadi teman, begitu pun denganku. Niko memafkanku dan menjadai temnku. Haikal pun telah memahami semua sifatku dan aku ingin merubah sifatku yang membuat semua cintaku begitu rumit walaupun pada akhirny kebahagiaan.
Persahabatan, cinta, kejujuran, menghargai, dan memahami sangatlah berbeda tetapi memiliki satu pandangan yang sama untuk kebahagiaan. Mungkin hubunganku dan Niko lebih baik sebatas teman dan dengan cintaku, aku harus mengahargai cinta itu sendiri. Aku sadar bahwa menghargai cinta adalah kunci membuat cinta itu abadi selamnya. Aku ingin cintaku dan Haikal abadi karena aku yakin bahwa aku akan mengahargai dan memahami cinta yang aku jalani.
Menghargai cinta adalah seseuatu yang indah karena menghargai cinta adalah arti untuk mengerti cinta itu. Cinta itu sesuatu yang indah tetapi akan menjadi buruk jika cinta tidak di hargai. Aku yakin cinta yang aku jalani akan abadi karena aku sadar akan kesalahanku dan aku ingin menghargai cintaku dan Haikal. Selama aku dapat menghargai cinta, aku yakin cinta itu akan abadi.

Selesai pada bulan Juli 2009

Ini entah novel atau apa tapi tulisan ini adalah awal kalinya aku menulis dan masih beratakan

Yang punya saran silahkan kirim komentar dan kritik ke
niki_nawa@yahoo.com

karangan ini hanya fiktif belaka jika ada kesamaan tokoh-kejadian-tempat ya maklumi saja. hihi

Rabu, 11 Mei 2011

Cerpen - Biarkan aku tenang

Hmb, gua buat cerita ini dalam keadaan paleng wah, bingung mau nulis apa tapi ujung-ujungnya jadilah ini tulisan. Gua rasa untuk ngebacanya, kalian gk rugi karena udah buat gua seneng :D xixixi

Biarkan aku tenang

Langkah Yuri terhenti sesaat. Dia tidak tahu, perjalannya adalah untuk siapa dan untuk apa. Dia tidak mengerti dengan hidupnya kali ini. Yang dia tahu, dia akan menjalani hidupnya bukan atas kemauannya.
“Pa, nanti Yuri pulang telat.” Kata Yuri pada Ayahnya. Sesaat Martin, Ayah Yuri memandang anaknya. “Besok aku ada acara sama temen-temen dalam rangka buku aku yang terbit Pa,” Ayahnya tersenyum.
Gadis itu disana, tersenyum bersama teman-temannya dan bersama kekasihnya. Tapi tidak, masih ada yang mengganjal dalam hati Yuri. Dia tidak akan tahu sampai kapan dia bisa tersenyum seperti ini. Dia tidak tahu sampai kapan dia bernafas sendiri oleh dirinya, bukan oleh jalan yang digariskan orang lain.
“Selamet ya. Wah nggak nyangka loh gua Yur bisa makan-makan dalam rangka beginian.” Stevani memeluk Yuri. Ya, mereka saling bersahabat. “Wah sukses deh buat sahabat gua yang jelek ini.”
“Enak aja! Hu lo tuh yang jelek!” Kata Yuri kesal. “Kalo gua jelek mah, nggak bakal Dion cinta mati sama gua.” Jelas Yuri sambil melirik ke Dion, kekasihnya.
“Wah okelah. Hehe yang penting anda bahagia walaupun saya menderita.” Lalu Stevani perlahan memakan makanan yang sudah dipesannya. Kali ini mereka hanya bertiga, Yuri akan merayakan bersama teman-teman yang lain esok harinya.
Kedua orang tercinta mengucapkan selamat padanya, memeluknya dan memberikan dukungan besar tapi Yuri, dia tidak tahu sampai kapan itu akan abadi. Menurutnya, dunia ini terlalu jahat. Dia selalu bertanya kapan dunia akan kiamat tapi tidak ada yang menjawabnya, yang dia tahu sebentar lagi hidupnya akan berantakan. Dia sudah memastikan itu kecuali takdir membunuhnya.
“Aku sudah menjelaskannya sama kamu. Aku tahu kamu mengerti penjelasannku tapi mengapa kamu masih disisi aku?” Tanya Yuri pada Dion.
“Karena aku tahu, kamu mencintaiku. Aku akan tetap berdiri disampingmu walaupun kamu nantinya jadi milik orang lain.” Ucap Dion menunduk. Dia sesak mengetahui Yuri suatu hari tidak akan menjadi miliknya tapi dia tahu cinta Yuri hanya untuk dia seorang. “Tapi sayang, Ayah kamu menyetujui hubungan kita. Mengapa kamu seperti ini?”
“Ya aku tahu itu. Tapi kamu pun tahu alasanku. Ucapannya menyakitkan hatiku setiap detik. Kadang aku bertanya apakah dia menyayangiku?” Ucap Yuri pelan. Dion tahu, kekasihnya tersebut ingin menangis tapi dia-pun tahu Yuri seorang yang kuat. Dia tidak akan menangis untuk hal apapun dan kesedihannya hanya tergambar dari matanya yang merah.
“Aku ingin menentangnya tapi aku tahu dia ibumu. Kamu nggak baik menentangnya tapi aku-pun tahu kamu tersiksa. Ingin rasanya aku membawamu pergi tapi kamu-pun tahu, itu salah karena aku akan membuatmu memiliki dosa besar.” Lalu Dion mengambil buku catatannya ditas. “Kamu lihat kertas ini sayang? Jika kamu menuliskannya maka akan ada tulisan bewarna sesuai dengan tinta yang kamu pakai. Pada akhirnya kertas itu bisa rusak dan terbuang begitu saja tapi kertas itu akan terjaga jika ada yang menjaganya.” Katanya lalu memandang Yuri lekat.
“Dion, aku lelah. Sejak dulu kamu tahu, aku lelah dengan hidupku. Aku lelah. Aku lelah Dion. Kau tahu apa yang aku tunggu? Ya kematianku Dion.” Lalu Yuri terbatuk. Ya, Dion tahu kekasihnya ingin menangis tapi dia selalu tahu, Yuri tidak akan pernah menangis. “Kamu berpikir aku sedang menangis? Benar, itu benar tapi hati aku yang menangis. Mataku tidak akan pernah mengeluarkan air mata sejak saat itu Dion.”
“Aku mengerti maksudmu. Sudahlah, aku tahu setiap kamu membahasnya, kamu terluka.”
“Tapi jika aku-atau-pun-kamu tidak membahasnya, semuanya akan makin rumit untuk aku selesaikan.”
Yuri dirumah, di ruang keluarga bersama kakak laki-lakinya. Dia diam, ya sebulan ini dia selalu diam dan tidak banyak bicara dirumah. Yang dia tahu, dirumah suaranya tidak akan berarti apa-apa. Dia menganggap dirinya boneka saja, tidak lebih.
“Dek.” Panggil kakaknya. Yuri hanya memandang kakaknya sesaat. “Ambilin remote TV sih.” Kata Visco dan Yuri begitu saja mengambilkan tanpa bicara sedikitpun. “Dek, lo kenapa? Lo jujur sama gua, lo ada masalah?” Tanya Visco. Umur mereka tidak jauh, hanya berbeda dua tahun.
“Apanya?” Yuri memandang sinis kakaknya.
“Gua tau apa yang lo rasain tapi nggak selama ini juga lo diem terus.”
“Lo enak kak. Lo berdiri dijalan elo, lo ketawa diposisi yang lo suka, lo bisa mandang dunia yang lo mau.” Jelas Yuri, Visco tidak bisa bicara lagi. “Belakangan ini gua diem kak? Yaudah sekarang gua ngomong. Apa yang mau lo tanyain?”
“Gua tau, lo nggak suka dengan apa yang ditentuin Mama tapi itu udah keputusan Mama dek. Lo nggak bisa ngelawan atau nentang.” Jelas Visco. “Ya gua tau lo nggak suka ini, lo tersiksa, batin lo terluka, gua tau tapi mau gimana lagi.”
“Lo nggak tau kak karena lo ngejalanin hidup lo atas mau lo. Lo sekolah dikedokteran karena lo mau, dan Mama setuju. Tapi gua nggak kak, gua nggak mau. Ya gua mau asal gua nggak dihalangin keinginan gua.”
“Maksud lo?” Tanya Visco yang belum mengerti.
“Nanti juga lo akan tau pada saatnya, lo akan ngerti apa yang gua maksud. Untuk saat ini, gua cukup diem aja kak.” Kata Yuri lalu pergi dari ruang keluarga. Visco sebenarnya ingin tahu, tapi dia tahu sifat adiknya satu itu. Yuri tidak akan bicara walaupun dipaksa kecuali itu kemauannya sendiri untuk bicara.
Ya, belakangan ini ada kecurigaan Visco pada Yuri. Dia curiga dengan keadaan adiknya yang menghawatirkan. Rasanya Yuri sudah sebulan ini tidak teratur makan, cukup banyak murung, dan tidak bicara. Ya memang setahun belakangan sifat Yuri sudah mulai berubah perlahan tapi bulan ini adalah hal yang mengejutkan bagi Visco dengan perubahan adiknya. Dia tahu, ketika adiknya sedih, Yuri tidak akan menangis, dia hanya terdiam dan tidak bicara.
“Lo tau yang terjadi sama Yuri?” Tanya Visco pada Dion. Mereka berteman baik karena mereka dulunya satu SMU. “Gua ngerasa Yuri ada yang disembunyiin.”
“Yang gua tau Cuma masalah masa depan dia aja tapi rasanya ada hal lain. Dia nggak cerita sama gua.” Jelas Dion, dia justru heran mengapa Visco bertanya padanya. “Dia selalu bilang lelah sama kehidupan dia.”
“Sama, sering dia bilang itu tapi gua nggak tau alesan dia apa. Gua rasa ada yang dia sembunyiin dari kita semua bahkan bokap aja mulai menyadarinya.”
“Yang buat gua terkejut saat dia bilang dunia-nya akan dijalani tanpa jalannya. Gua nggak ngerti maksud dia apa.” Tambahi Dion. “Bukan Cuma itu, saat gua bilang supaya dia tetep kuat, dia malah bilang sekuat apapun semuanya udah nggak ada guna lagi.”
Keduanya saling memandang. Dion tidak mengerti kalau ternyata Visco sendiri menyadari perubahan itu. Ya, Dion selama ini hanya tahu keinginan dan tujuan Yuri tidak mendapat persetujuan Ibunya tapi rasanya ada hal lain yang disembunyikan Yuri.
“Pa, Yuri mau belanja. Ada uang kes nggak?” tanya Yuri di ruang tengah, Ayahnya hanya menggeleng.
“Kartu kredit kamu kemana?” tanya Ayahnya.
“Males ah Pa, ada dikamar. Didepan kamar ada Mama lagi baca majalah.” Jelas Yuri, ayahnya mengerti itu. Belakangan ini Yuri selalu menghindari Ibunya.
“Papa mengerti maksudmu. Baiklah Papa ambilkan diruangan kerja dulu.” Kata Ayahnya.
“Tapi uang kes ya Pa.” ucap Yuri mengingatkan.
Yuri disana, dia sendiri, melihat dunianya yang akan semakin kacau. Dia melihat orang-orang disekelilingnya. Disana dia melihat pasien-pasien rumah sakit. Tapi dia tahu, mereka hanya sakit fisik bukan sakit batin seperti dirinya.
“Aku disini hanya memeriksakan diri untuk tahu sudah sampai mana penyakitku tapi aku tidak berniat mengobatinya.” Jelas Yuri, dokter itu hanya menggeleng saja tidak banyak berkomentar.
Yuri berjalan keluar ruangan dokter, resep yang diberikan dokter dia buang ke kotak sampah. “Aku masih bisa hidup tanpa resep ini.” Kata Yuri santai.
Dia tahu itu bahaya tapi baginya itu hal biasa. Penyakit hatinya lebih parah, pikirnya dalam batin. Semua ini tidak akan membuatnya lemah, dia merasa diam akan membuat dirinya lebih baik.
“Yur, sumpah seneng banget gua hari ini. Akhirnya gua bener-bener yakin dia cowok terbaik dihidup gua.” Jelas Stevani, Yuri hanya tertawa kecil. “Hah lo mah nggak seru belakangan ini. Bener kata Dion. Lo lagi ada masalah.” Katanya lagi, Yuri tidak menjawab. Yuri tahu, dia salah tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu tapi dia tidak ingin membagi masalahnya pada orang lain. ‘mereka akan tahu pada saatnya dengan sendirinya’ kata Yuri dalam hatinya.
Hari ini Yuri tertidur dikamarnya, dia tenang dan mendengarkan musik, setidakya kali ini dia ingin menghilangkan pikiran kalau dia sakit kepala. Dia mencoba untuk tidak merasakannya tapi sakit pada kepalanya memang tidak tertahan lagi. Dia tahu itu tapi dia berusaha melawannya dengan diam dan tenang.
“Udah tidur lo dek?” Tanya Visco, Yuri diam dalam kamarnya. “Lo itu ngomong kenapalah? Gua tau emang dari dulu lo pendiem apalagi kalo ada masalah tapi lo dulu ceria dek walaupun diem.”
“Ini kamar gua kak. Sebaiknya lo diem kenapa. Kepala gua udah sakit mikirin dua bulan lagi Ujian Nasional kak. Gua minta tenang.” Kata Yuri sambil tersenyum pahit.
“Ya okelah. Kalo sakit bilang gua. Walaupun gua baru calon dokter siapa tau bisa membantu anda jelek.”
“Ya.” Kata Yuri singkat.
Visco berjalan kearah kamarnya tapi dia berpapasan dengan Ibunya. Sesaat Visco diam lalu dia duduk disofa bersama ibunya untuk berbincang. Ada hal yang ingin Visco bicarakan.
“Ma, Visco tau Yuri pinter tapi rasanya salah juga maksain dia untuk menjadi seorang dokter jika itu bukan kemauan dia.” Ucap Visco.
“Seharusnya Yuri tahu itu adalah rasa terimakasihnya untuk Mama jika dia mau mengikuti apa ucapan Mama.”
“Visco tahu itu Ma. Tapi apakah Mama tahu dia tidak menyukainya?” tanya Visco, ibunya tidak bicara lagi.
Yuri, pagi itu hari libur. Dia terbangun dengan leganya. Hari ini dia dapat menenangkan diri untuk tertidur seharian. Dia bangun dari tempat tidurnya tapi rasa sakit dikepalanya itu semakin terasa dan pandangannya kabur. Yuri kembali merebahkan diri ditempat tidurnya lagi lalu dia mencoba memejamkan mata, pikirnya itu akan menghilangkan rasa sakit itu. Tapi tidak, rasa sakit itu semakin dahsyat dan memasuki mimpi-mimpi buruknya setiap waktu.
“Pa, hari ini kan aku libur. Boleh nggak aku kerumah sakit liat Papa kerja?” tanya Yuri. Ya, ayahnya dokter dan pemiliki salah satu rumah sakit di Jakarta.
“Untuk apa kamu bertanya? Tanpa kamu izin pun, Papa akan mengizinkan.” Kata Ayahnya, Yuri tertawa. Martin mengira Yuri bosan dirumah tapi bukan itu alasan Yuri, bukan hanya itu saja. Dia ingin melihat orang-orang yang sakit itu, apa yang mereka rasakan, apakah sama dengan apa yang dia rasakan.
Kepalanya mulai terasa sakit yang tidak tertahan lagi. Yuri duduk disana, diruang kerja ayahnya, dirumah sakit. Dia manarik nafas. Penglihatannya mulai kabur kembali, rasa sakit itu menusuk-nusuk kepalanya, dan Yuri mencoba menghilangkannya untuk menutup mata lalu menarik nafasnya. Ya, sakit itu tidak hilang tapi setidaknya dia bisa tenang kali ini.
“Makan sianglah duluan, nanti Papa menyusul.” Kata Ayahnya, Yuri tidak menjawab. Dia diam saja sambil mengatur nafasnya. “Kamu sakit? Sebaiknya Papa memeriksa kamu.”
“Nggak perlu Pa. Yuri cuma panas dingin karena mau ujian. Dag dig dug rasanya.” Jelas Yuri, Ayahnya hanya tersenyum. “Baiklah. Rasanya pekerjaan Papa sudah hampir selesai, Papa bisa menemani kamu makan dikantin.”
Disana Yuri makan tapi ayahnya mulai menyadari ada hal yang disembunyikan Yuri.
“Kamu tau nggak?” tanya Yuri.
“Apa?” Dion ingin tahu.
“Kalau aku pergi dari kamu? Kira-kira siapa ya yang gantiin posisi aku?”
“Nggak ada. Yang aku mau Cuma kamu, bukan yang lain.”
“Gimana kalau yang misahin itu hidup mati kita?”
“Sayang, kenapa kamu ngomong kayak gitu? Tapi yang jelas aku pasrah, itu takdir tuhan kalau gitu dan aku akan selalu doa’in kamu.”
Yuri diam tidak banyak bicara, dia memandang Dion lekat seakan ingin kehilangan. Tapi Yuri sadar semua itu akan menjadi takdirnya, suatu hari nanti dia akan mati walaupun dia masih bisa bernafas.
‘saat aku ingin bicara pada dunia, tidak aka akan ada yang mendengarku. Aku tahu masih ada yang mempedulikanku tapi apakah mereka tahu, takdirku bukan ini. Kurasa Tuhan salah menakdirkanku disini. Kadang aku berpikir, rasanya aku lebih suka hidup menjadi seekor kupu-kupu yang dapat terbang bebas diangkasa dan hinggap dibunga-bunga indah. Semua ini bukan hidup yang aku inginkan. Awalnya aku kuat, aku diam atas perlakuan dunia ini padaku, aku bisa berdiri diatas kakiku karena aku tahu aku lahir dibumi ini karena Tuhan menakdirkan tapi setelah kusadari, aku rasa ini salah’ Kata Yuri dalam hatinya, dia selalu merasa seperti itu belakangan ini. Dia berusaha kuat untuk kesekian kalinya, dia berusaha berdiri diatas kakinya, dia selalu berusaha sampai akhirnya dia sadar usahanya percuma untuk hidupnya.
Dia berjalan, disampingnya dengan seorang cowok tapi itu bukan Dion. Siapa dia? Ya dia seorang cowok yang dipilihkan ibunya untuk Yuri. Rasanya ini tidak benar, Dion tahu Ibunya Yuri tidak setuju dengan mereka tapi tidak secepat ini. ada hal yang disembunyikan Yuri.
“Dek!” Panggil Visco sedikit kesal, Yuri tidak meresponnya. “Dek,” Visco lebih lembut.”
“Apa kakak bicara sama aku?” tanya Yuri sinis.
“Siapa lagi? Lo adek gua satu-satunya.” Ucap Visco. “Siapa yang nganterin lo pulang barusan? Kemana aja lo seharian? Dion nanyain.”
“Apa lo berhak kak nanya semua hal tentang gua? Apa lo bisa nganggep gua adek lo?”
“Lo kenapa? Otak lo udah diracunin siapa sampe-sampe lo ngomong gitu ke gua?”
“Asal lo tau kak, percuma gua hidup baik-baik kalo nggak ada gunanya, percuma gua bersikap baik sama Mama sedangkan Mama sendiri nggak pernah sayang sama gua, percuma gua hidup diatas kebohongan kak.”
“Lo bilang kalo ada masalah! Gua heran sama jalan pemikiran lo belakangan ini! Lo banyak berubah bahkan semua nilai lo turun padahal beberapa bulan lagi UN! Ada apa sama lo?!” Visco bicara dengan nada tinggi.
“Gua mohon kak. Kepala gua sakit denger lo terus-terusan ngomong, buat apa gua pinter? Buat apa gua belajar kalo nyatanya hidup gua nggak ada artinya? Hah! Udah nggak kuat otak gua untuk mikir lagi kak!” kata Yuri marah dan berjalan menuju kamarnya dengan sempoyongan. Pandangan matanya kabur bahkan dia mulai sulit untuk bicar lagi.
“Yur, lo,” kata Visco mencoba menghentikan langkah Yuri tapi Yuri berjalan saja, dia tidak mendengar suara Visco, yang dia dengar hanya suara dari kepalanya.
Dua hari ini Yuri tidak sekolah, dia membolos tapi dia juga tidak dirumah. Dimanakah dia? Tidak ada yang tahu. Dion sendiri bingung akan keadaan itu tapi dia juga tidak mau memberitahukan keadaan itu kepada keluarga Yuri, mereka akan khawatir jika mengetahuinya. Tapi dimanakah Yuri? Tidak ada yang tahu.
‘Rasanya mati atau hidup sama saja tapi mati lebih baik. Walaupun aku dineraka tapi batinku tidak akan tersiksa. Setidaknya dikehidupan ini yang aku rasakan, batin, fisik, mental, dan semuanya penyiksaan sendiri dalam hidupku. Aku ingin bebas! Aku ingin seperti orang lain yang tersenyum bukan hanya kepura-puraan belaka. Aku tidak ingin seperti ini tapi mungkin Tuhan sengaja membuatku seperti ini’ diatas bukit, Yuri menangis. Ini untuk pertamakalinya sejak beberapa tahun lalu dia menangis. Dia tahu ini salah, dia sadar dirinya mulai rapuh tapi inilah yang terjadi pada akhir hidupnya.
“Kamu menangis?” Tanya Dion yang sudah ada disana. “Awalnya aku terkejut ketika kamu berjalan dengan cowok itu. Ya harusnya aku marah tapi kurasa kau main-main dengannya. Bukankah dia seumuran denganmu? Dia teman sekolahmu?”
“Bukan. Sebaiknya kita akhirin aja hubungan kita. Aku ingin melihat kamu bahagia sebelum aku pergi. Sebaiknya kamu harus meninggalkan aku sejak saat ini. masih ada kehidupan didepan kamu.” Yuri meneteskan air mata. “Kamu pasti nggak akan marah tapi aku tahu kamu ingin satu alasan. Aku nggak akan menjawabnya karena pada saatnya kamu akan tahu.”
“Kamu benar. Aku nggak akan marah setiap apa yang kamu lakukan jika aku tahu, kamu memiliki alasan. Tapi ini, kamu nggak ada kalimat untuk membuat alasan.” Dion membiarkan Yuri bersandar dibahunya untuk kali ini. “Untuk pertama kalinya aku bisa ngeliat air mata itu. Aku persilahkan jika kamu ingin menjalani bersama cowok itu tapi aku akan tetap berdiri disamping kamu karena aku tahu, hati kamu masih milik aku.”
“Aku mohon, aku memohon untuk kali ini kamu harus pergi dari hidup aku, kamu harus mencari kehidupan lain, aku mau liat kamu tersenyum bukan untuk aku, kamu tersenyum buat orang lain, aku mohon, aku mohon.” Yuri terus meneteskan air matanya, pipinya sudah terbanjiri tapi Dion tidak menghapus air mata itu. Dia senang bisa melihat air mata dari Yuri walau itu menyakitkan. “Aku ingin pergi dengan perasaan tenang. Setidaknya aku bisa membawa senyum kamu dan tidak bersalah membuatmu terluka.”
“Aku akan tetap berdiri disamping kamu. Ya, aku sadari selama ini kamu nggak banyak bicara, nggak banyak cerita tentang hidup-kehidupan-kamu tapi aku tahu, kamu memiliki tekanan batin.” Dion tersenyum pada kekasihnya itu. “Benarkah ucapanku? Apakah mungkin aku harus meninggalkan cintaku dalam keadaan seperti ini? Itu nggak akan pernah terjadi.”
“Tapi aku yang memintanya. Jika kamu ingin melihat aku bahagia, ingin melepaskan rasa bersalahku, ingin melihat aku tenang, tinggalkan aku dan jangan berdiri dikehidupanku lagi. Aku mohon demi aku, demi cintaku padamu, dan jika kamu mencintaiku, aku mohon sekali lagi tinggalkan aku.” Yuri terus memohon dan Dion yang kekeh akhirnya diam, dia pergi meninggalkan Yuri.
“Baiklah, akan aku biarkan kamu bersama siapapun. Aku nggak akan berdiri lagi disamping kamu dan akan aku coba jalanin hidup baru. Asal kamu tenang, rasanya cukup bagiku, tapi asal kamu tau hati ini tetep untuk kamu selamannya.” Langkah Dion mulai menjauh.
“Aku mohon tersenyumlah bukan untukku lagi.” Kata Yuri, Dion tidak bicara dan semakin menjauh.
Cowok itu sadar, ada yang disembunyikan Yuri. Tidak pernah Yuri menangis, tidak pernah seperti ini dan tidak pernah Yuri memohon padanya sampai seperti ini. Dion tidak ada pilihan lain kecuali mengabulkan pemohonan wanita yang dicintainya. Jika hal itu membuat Yuri tenang, akan dia lakukan. Tapi satu hal, Dion akan selalu menjaga Yuri walaupun tidak lagi disampingnya setiap saat. Yang dia tahu, ada alasan besar untuk Yuri seperti ini.
“Papa ingin bicara.” Kata Ayahnya malam itu. Yuri duduk diruang kerja ayahnya, dia tahu apa yang akan dibicarakan. “Papa dipanggil oleh sekolahmu, apa seminggu ini kamu tidak masuk sekolah?” tanya Martin, Yuri mengangguk. “Papa dengar nilai kamu menurun bahkan juara umum yang biasanya kamu dapatkan telah lepas dari tangan kamu. Benarkan itu? Papa minta kejujuran kamu.”
“Iya Pa,” Yuri mengangguk. “Tapi ada alesan tersendiri untuk Yuri ngelakuin itu dan saat ini rasanya Papa nggak wajib tau.”
“Sayang, adakah yang ingin kamu bicarakan? Apa kamu merahasiakan sesuatu?”
“Iya Pa tapi pada saatnya nanti, Papa akan mengetahuinya. Aku lelah Pa disini dan ingin merasakan kehidupan baru.” Jelas Yuri sambil tersenyum dan keluar ruangan ayahnya. Martin mencurigai sikap Yuri yang tidak biasa-biasanya tapi dia sadar, anaknya tidak ingin diganggu. Pikirnya mungkin Yuri sedang ada masalah hati atau yang lain dan satu-dua hari akan hilang tapi pikiran itu musnah ketika Martin ingat perkataan Yuri bahwa dia lelah. Rasanya kata-kata itu memiliki arti berbeda.
Dia mulai sekolah seperti biasanya tapi itu lebih buruk. Yuri dikelas hanya diam, tidak banyak memperhatikan pelajaran, dia terlalu memikirkan rasa sakit pada kepalanya dan untuk menghilangkannya dia lebih baik diam, itu membuatnya lebih tenang. Bukan hanya itu, pikirnya percuma dia pun sudah melihat kabur-kabur tulisan itu.
Yuri duduk disamping Stevani, dia merasa mual dan ingin muntah tapi dia menahannya untuk kesekian kali dengan permen. Dia merasakan sakit kepala itu terus menerus tapi dia menahannya dengan diam. Dia terkadang kesulitan berjalan dengan baik tapi dia menutupinya dengan duduk tenang ataupun tidur. Dan terkadang dia tidak bisa mendengar orang bicara apa padanya, dia berada pada posisi lebih baik menjadi patung.
“Yur, lo sakit?” tanya Stevani, Yuri menggeleng. “Penglihatan gua, lo baik-baik aja nggak sakit tapi apa hati lo yang sakit?” Tanya Stevani lagi tapi Yuri tidak menjawabnya. Sudah sering seperti ini Yuri tidak pernah menjawab sama sekali pertanyaan Stevani tapi Stevani selalu memaklumi. Dia yakin Yuri memiliki alasan kuat untuk semua ini.
Empat hari Ujian Nasional berlangsung tapi yang Yuri lakukan adalah kegilaan diluar batas. Dia tidak membaca soal, dia mengisinya sesuka hati dan lembar jawaban itu hanya setengah saja yang diisi. Pihak sekolah memanggilnya tapi Yuri hanya tersenyum dan pertanyaan guru-guru itu tidak didengarkannya. Baginya, terlalu sakit untuk memikirkan itu diotaknya.
Dion sudah benar-benar hilang dari hidupnya. Cowok yang selalu menghiburnya sudah tidak ada lagi dan dia ingin Stevani, sahabatnya-pun tidak lagi disinya. Dia ingin sendiri, lebih tenang tanpa seorang-pun disampingnya. Ini salah tapi bagi Yuri ini benar.
Namun Dion, dari jauh masih menjaga Yuri, menatapnya dan selalu menulis nama Yuri dihatinya. Itu tidak akan pernah terhapus oleh siapapun. Cinta Dion tulus untuk Yuri, tidak akan pernah berubah, itu janji Dion.
“Gua bingung sama Yuri, gua yakin ada yang dia sembunyiin tapi dia nggak mau cerita sama gua. Gua jadi sedih ngeliat dia kayak gini.” Jelas Stevanie pada Dion ketika keduanya makan siang disebuah rumah makan dekat sekolah Stevani. “Hari ini terakhir UN, gua nggak tau tadi Yuri buru-buru mau kemana tapi yang gua tau otak dia udah nggak beres.”
“Maksud lo gimana?” tanya Dion.
“Lo tau dari dulu Yuri juara umum, dia pinter tapi selama ujian dia ngelakuin kegilaan. Dia sama sekali nggak baca soal, dia sama sekali nggak mikir, dia cuma bullet-bulettin jawaban dia asal-asalan dan terlebih nggak sampe setengahnya yang dia isi.” Jelas Stevani, Dion terkejut. “Ada yang aneh kan?”
“Gua kira ini karena dia nggak mau masuk kedokteran tapi rasanya ada alasan lain. Gua nggak tau itu Stev, gua juga bingung dan untuk dateng kehadapan Yuri rasanya nggak mungkin, dia butuh ketenangan.”
“Lo tau cowok yang sekarang jalan sama Yuri?” tanya Stevani, Dion tersenyum pahit seakan mengatakan iya. “Yuri bisa senyum setiap dijemput itu cowok tapi gua tau itu semua palsu.”
“Sudahlah Stev. Yuri memintaku agar membiarkan dia tenang, jika itu mau-nya biarkanlah asal dia bahagia. Dia bilang sebentar lagi kita semua akan tahu mengapa dia seperti ini.”
Dia dirumah sakit, maksudnya Yuri dirumah sakit. Bukan rumah sakit Ayahnya tapi rumah sakit lain. Dokternya yang juga teman ayahnya bersama Yuri saat itu.
“Ini jam makan siang dok,” kata Yuri diruangan dokter itu. “Apa sebaiknya dokter nggak makan siang?” tanya Yuri, dokter itu tersenyum. “Baiklah, tapi aku akan bicara dengan jam makan siang dokter. Apakah aku diizinkan?”
“Saya mengatakan ini bukan sebagai doktermu tapi sebagai teman ayahmu. Apa tidak sebaiknya kamu menjalani pengobatan?” tanya dokter itu.
“Sekarang aku mau nanya sama dokter dulu. Dokter lebih memilih hidup dengan tekanan dan siksaan batin atau memilih hidup tenang?”
“Tentunya hidup tenang.” Kata dokter itu singkat yang sudah dapat menebak pikiran Yuri.
“Ya itu alasanku tidak ingin menjalani pengobatan. Aku hanya ingin tahu sudah berjalan sampai mana saja. Tidak lebih.”
“Saya memberikan jempol untukmu. Rasanya ini tidak mungkin, kamu masih bisa berdiri dan tersenyum disini padahal pasien sepertimu akan selalu mengeluh dan kesakitan. Apakah kamu tidak tersiksa akan semua ini? Saya tidak yakin kamu memikirkannya.”
“Yah dokter bicara disini bukan sebagai dokter, jadi aku bisa bertanya apapun yang bukan mengenai penyakitku.” Kata Yuri, dokter itu menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “Aku bisa menahan rasa mualku dengan permen, aku bisa menahan rasa sakit kepalaku dengan diam, aku bisa menutupi kerapuhanku dengan duduk tenang dan tertidur lelap. Untuk apa aku menjalani pengobatan ini jika aku masih bisa menahannya?” Ucap Yuri, dokter itu hanya menggeleng saja tidak bisa banyak berkata-kata karena dia berbincang bukan sebagai dokter melainkan teman ayahnya Yuri.
“Saya baru kali ini menemukan seseorang sekuatmu dan bisa tersenyum, tenang dalam keadaan seperti ini. Tapi, saya merasa ada hal yang membuat kamu seperti ini dan lebih menyakitkan bukan?”
“Ya, benar sekali. Aku nggak bisa mengelaknya.” Jawab Yuri. “Bukankah dokter teman ayahku sejak SMA dan lulus dari kedokteran bersama kan?” Tanya Yuri, dokter itu tidak menjawab. “Berarti dokter tau siapa ibu kandung aku kan? Sejak kecil aku merasa wanita yang bersamaku bukan ibuku, dia tidak pernah bersikap baik padaku, dia tidak pernah melukaiku tapi dia menyiksa batinku dengan ucapannya, aku pikir itu bentuk rasa kasih sayang seorang ibu.” Ucap Yuri lalu mengambil nafas dan melanjutkan ceritanya lagi. “Aku selalu dibandingkan dengan kakakku tapi aku menerimanya karena kurasa kami saudara. Aku menyayangi Visco sebagai kakakku. Tapi orang yang selama ini aku panggil Mama tidak pernah sekalipun tulus menyayangiku, dia akan baik padaku jika ada Papa. Ya selalu seperti itu sampai detik ini. Saat kecil aku kira dia ibu tiri tapi pikiranku hilang ketika banyak orang kalau seorang ibu galak karena dia sayang. Tapi tidak, aku menyadari dua tahun lalu dia bukan wanita yang melahirkanku.” Jelas Yuri dengan tenangnya.
“Kamu sudah mengetahuinya? Apakah ayahmu yang memberitahukannya?”
“Nggak. Aku tahu dengan sendirinya.”
“Ini alasanmu?” Tanya dokter itu.
“Mungkin iya dan mungkin juga tidak. Aku tidak mengerti. Kuikuti permintaan wanita yang aku panggil Mama itu setiap saat, bahkan saat aku sudah tahu siapa dia, aku seperti bonekanya yang mengikuti apa perkataannya. Kadang aku ingin bicara pada Ayahku, aku tersiksa dan lebih baik mati. Tapi, aku lebih baik diam karena aku tidak ingin membebani ayahku. Dia begitu menyayangiku dan aku tidak ingin dia merasa bersalah karena aku menyembunyikannya selama bertahun-tahun.” Jelas Yuri sambil tersenyum pahit, dia menahan tangisnya. Entah mengapa Yuri bercerita hanya pada dokter ini, bukan pada orang lain. Dia pikir ketika dia tenang, dokter ini akan menceritakan pada ayahnya tentang kebahagiaannya. “Saat aku masih umur 14 tahun, saat itu aku menangis setelah mendapat perlakuan kasar wanita itu. Papa melihatku dan memintaku bercerita. Aku lihat dia khawatir, marah pada wanita itu, dan sedih melihatku. Ayah mengatakan akan menceraikan wanita itu jika dia menyakitiku. Lalu aku katakana, aku yang salah. Yah, aku tidak ingin berada pada keluarga yang hancur. Aku tahu masih ada ayahku yang menyayangiku.”
“Mengapa kamu menceritakannya pada saya?”
“Karena suatu saat jika aku tenang nantinya, dokter akan menyampaikan begitu sayangnya aku sama Papaku.” Yuri tersenyum cerah mendadak dan dokter itu justru meneteskan air mata.
“Apakah Visco tahu?”
“Dia hanya tahu aku tidak behubungan baik dengan wanita itu. Yah, ketika ada Visco, wanita itu diam. Aku tidak mengerti ketika itu tapi sekarang aku mengerti.” Tambahi Yuri. “Rasanya sudah habis jam makan siang dokter dan sekarang anda diposisi dokter lagi. “Hah leganya aku sudah bercerita dan mungkin aku akan tenang.” Kata Yuri lalu beranjak meninggalkan ruangan dokter itu.
“Bukankah beberapa hari lagi ulang tahun ayahmu?”
“Benar sekali dok dan juga kelulusanku setelahnya. Aku mulai lega.” Yuri tertawa ceria lalu dia menghilang dari ruangan itu.
Dia ada disana, dirumah sakit ayahnya membawa kue ulang tahun untuk ayahnya. Diciumnya pipi ayahnya hari itu. Dipeluknya ayahnya itu dan dia menangis.
“Aku bahagia Pa, semoga Papa panjang umur dan selanjutnya Papa akan baik-baik aja tanpa aku.” Kata Yuri.
“Kamu sudah mau lulus SMA dan apakah akan jauh dari Papa?” tanya Ayahnya, Yuri menggangguk lalu memeluk ayahnya lagi. “Bukankah besok kelulusanmu? Papa membiarkanmu memilih jalanmu tanpa paksaan.”
“Benarkah itu Pa? Apapun itu?”
“Ya Papa tahu kamu tidak ingin menjadi dokter. Pilihlah jalanmu, jalan yang kamu suka, yang membuatmu bahagia.”
“Wah yang ulang tahun Papa kok yang dapet hadiah aku sih? Ini hadiah untuk kelulusanku Pa?”
“Ya.” Ayahnya tersenyum.
“Hm padahal aku belum nyiapin hadiah buat Papa-lah.”
“Papa tau kamu sibuk. Papa maklumi itu dan Papa nggak butuh hadiah, yang Papa inginkah adalah kebahagiaan kamu.” Martin kembali memeluk Yuri.
Pengumuman kelulusan tinggal detik-detik terakhir. Yuri masih di wc sekolah, dia mual-mual dan muntah-muntah lagi, dia tidak kuat untuk berjalan. Semuanya terasa sakit tapi Yuri harus kuat hari ini, hanya untuk hari ini. Sudah cukup dia terus menutupi ini dari Ayahnya, teman-temannya, dan semua orang yang disayangi. Kali ini dia tidak sanggup untuk menutupinya lagi tapi masih ada waktu untuknya sekedar tertawa pada teman-temannya merayakan kelulusan.
“Yur,” Kata Stevani. “Lo baik-baik ajakan?” tanya Stevani, Yuri tidak menjawab.
Yah, semua disekolah lulus kecuali Yuri. Nilainya bahkan ada yang satu koma sekian. Itu benar-benar mengejutkan. Seorang siswa yang dikenal pintar bisa mendapatkan sesuatu yang terburuk. Tapi tidak bagi Yuri, dia tersenyum. Ditengah lapangan dia berjalan, orang-orang memberikan jalan dan melihatnya yang tersenyum ceria seakan dia lulus. Yuri pulang dan disambut keluarganya kecuali ayahnya yang sedang dirumah sakit. Diberikan surat itu pada Visco, kakaknya dan seketika Visco lemas melihat semua itu.
“Dek, lo becanda kan?” tanya Visco, Yuri menggeleng sambil tertawa kecil.
“Bukankah ini lucu? Gua seneng banget sama hasil gua kak.” Jelas Yuri tersenyum ceria lalu Ibunya menamparnya. Dia merasa marah beserta malu tapi tamparan itu justru diterima dengan senyuman oleh Yuri.
“Hah tamparan ini sering aku dapat jadi untuk apa aku kesal? Lebih baik aku tersenyum bukan? Selama ini Mama tidak pernah membuatku tersenyum, itu hanya palsu, kau berdiri diatas kebohongan. Memang kau tidak pernah melukaiku secara fisik, tamparan dan pukulan itu tidak melukaiku tapi aku tidak pernah melawanmu walau hatiku sudah retak.” Kata Yuri tersenyum kembali. “Namun kali ini untuk terakhir kalinya kau melakukan ini. Bahkan kau tidak berhak menyentuh kulitku sedikitpun! Kebohonganmu rasanya sudah cukup sampai disini. Kau tidak berhak memarahiku, darahmu tidak mengalir ditubuhku jadi apa hak-mu melakukan itu semua? Apa hak-mu?” Yuri menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Wanita itu hanya diam tidak bicara sedikitpun.
“Dek, sejak kapan?” Tanya Visco.
“Lo baik kak, lo kakak gua tapi mungkin gua lebih seneng jika Tuhan nakdirin gua nggak ketemu lo dan wanita ini. Mungkin hidup gua akan lebih baik.” Kata Yuri santai lalu duduk disofa, pandangannya mulai kabur lagi dan dia tidak bisa berdiri lebih lama, kepalanya terlalu sakit.
“Kau tidak ada hak mengatur hidupku, menyiksaku lebih lama lagi, cukup sudah aku menahannya sejak aku tahu semua ini. Sudahlah, kau bukan siapa-siapa dihidupku lagi dan aku akan menjauh darimu, dari tekanan batinku.” Kata Yuri lalu berdiri dan menuju kamarnya.
“Apakah yang dikatakan Yuri benar!” Martin datang begitu marahnya, dia sudah ada disana sejak awal, dia mendengar semuanya dan tidak menyangka akan apa yang didengarnya, kejutan yang dibawanya untuk Yuri sudah tidak ada gunanya lagi. Yuri yang mendengar Ayahnya marah hanya diam dan tetap jalan menuju kamarnya. “Aku tidak menyangka kau melakukan ini pada anakku!” kata Martin lalu mengejar Yuri kekamarnya.
“Sayang,” panggil Martin.
“Masuk aja Pa, nggak dikunci.” Kata Yuri yang sedang duduk didepan komputer. “Ada apa Pa?”
“Kamu menyembunyikannya dari Papa sayang?” Martin memeluk anaknya tersebut, dia sedih dan khawatir dengan keadaan putrinya tersebut. “Kamu baik-baik saja sayang?”
“Ya Papa, aku baik-baik saja. Aku nggak sakit kok Pa, tenang aja dan besok aku akan bisa tersenyum buat Papa. Setidaknya aku lepas dari wanita itu yang selama ini membuat batinku tersiksa. Aku lega sudah mengatakan semuanya. Aku tidak ingin besok bertemu dia kembali Pa.”
“Iya sayang. Papa akan memastikan kamu tidak akan melihatnya besok pagi. Papa menyayangimu. Kecurigaan Papa benar. Dulu kamu cerewet dan beranjak dewasa kamu mulai pendiam, Papa sudah mencurigainya hati kamu terluka.”
“Udahlah Pa, nggak usah dibahas. Aku sudah dapat memastikan juga kok besok nggak akan ngeliat wanita itu lagi. Hah lega banget. Em Papa nggak marah kan soal hari ini?”
“Nggak sayang. Papa nggak akan pernah marah sama kamu. Masih ada ujian susulan.”
“Nggak ada ujian susulan deh kayaknya Pa. Hehe becanda.” Yuri tertawa lalu mencium pipi ayahnya. “Yuri mau tenangin diri Pa hari ini. Besok pagi Papa bisa liat senyum Yuri lagi kok.”
“Baiklah sayang.” Martin kembali memeluk anaknya, dia tahu harus membiarkan Yuri untuk tenang, Yuri butuh ketenangan sesaat. “Besok kamu tidak perlu menyapa wanita itu.”
“Baiklah. Janji ya Papa jangan khawatir, Yuri akan tenang kok besok pagi. Janji.” Yuri tertawa
Dia membuka dokumennya, dokumen rahasia yang selama ini dia beri pasword. Tulisan-tulisan mengenai hidupnya. “Rasanya akan aku selesaikan. Aku harap besok pagi sudah selesai.” Kata Yuri pada dirinya sendiri. Tulisan-tulisan itu cerita hidupnya sejak dia kecil sampai akhirnya seperti ini.
Semalaman Yuri tidak tidur, dia terus menulis demi mencapai targetnya untuk selesai dan pukul empat pagi dia menyelesaikannya. Yah, ayahnya tertidur disofa yang disiapkan didepan kamar Yuri. Dia masih khawatir dengan keadaan anaknya.
Tulisan itu dia pindahkan ke blog-nya, dia terbitkan untuk memberikan jawaban kepada orang-orang yang disayanginya. Kepada Dion khususnya dan juga Stevani.
“Dion!” Teriak Stevani ditelfon. “Lo udah liat entri baru dib log-nya Yuri?”
“Semaleman gua nggak tidur. Gua khawatir sama Yuri, dan ini udah separo gua baca. Siapa tau karena dia nggak lulus curhat lewat jejaring sosial, gua liat facebook, twitter, dan yang lainnya sepi-sepi aja tapi ini dia lagi cerita di blog-di-di-blog-nya.” Kata Dion terbata-bata ketika hampir selesai membaca curhatan Yuri.
‘Ketika kalian selesai membacanya, aku sudah tenang. Aku tidak pergi karena penyakitku tapi aku menenangkan diri. Aku harap kalian langsung membacanya dan aku ingin kalian langsung datang memberikan selamat padaku, memberikan pesta untukku dengan membawa rangkaian mawar putih. Aku sudah tenang disini, bersama awan biru, rayakanlah dan datang padaku untuk memberikan bunga itu’ kata Yuri ditulisan paling bawah sebagai tambahan.
“Lo udah baca kan? Gua udah didepan ruamh lo. Keluar dan mawar putihnya udah gua bawa.” Kata Stevani.
Mereka disana, dirumah Yuri pagi buta.
“Om maaf mengganggu.” Kata Dion dengan wajah sedih dan tanpa harapan.
“Sepagi ini kalian ada disini?” tanya Martin. “Ada hal yang begitu mendadak?”
“Ini permintaan Yuri untuk merayakan suatu hal om.” Jelas Stevani.
“Ngapain kalian pagi buta disini? Biarin Yuri tidur.” Kata Visco marah karena dia merasa mereka mengganggu Yuri.
“Maaf kak. Ini permintaan Yuri. Pintu kamarnya dikunci nggak kak?” tanya Stevani yang tidak bisa menahan air matanya.
“Masuklah jika itu permintaannya.”
Keduanya perlahan membuka kamar Yuri. Suasana tenang, mereka tidak mengganggu. Martin dan Visco menunggu diluar, mungkin saja Yuri ingin bercerita pada mereka.
Diletakkan mawar putih itu disamping Yuri yang sedang tertidur dengan tenangnya. Mereka meneteskan air mata sambil tersenyum, itulah permohonan Yuri agar mereka tetap tersenyum. Jawaban-jawaban itu sudah mereka temukan. Mengapa Yuri diam, megapa Yuri berubah dan bersikap aneh ternyata dia membutuhka ketenangan. Ketenangan itu sudah dia dapat.
“Akhirnya lo bisa tenang. Gua ngerti setelah baca cerita lo. Gua harap dengan ini lo tenang disana. Kita selalu doa’in yang terbaik buat lo.” Ucap Stevani menangis. Martin belum menyadari akan hal itu, begitupun Visco.
“Sayang, yah kamu tahu perpisahan kita seharusnya nggak seperti ini tapi kamu-pun tahu aku pernah mengatakan kalau ini takdir tuhan, akan aku terima dan doa’ku selalu untukmu. Asal kamu tahu, cintaku sampai detik ini masih padamu.” Lalu Dion mencim kening Yuri.
“Yuri ada didalam?” Tanya dokter yang tahu penyakit Yuri dan juga teman ayahnya.
“Ya, ada apa kamu kemari?” tanya Martin. “Apakah kamu tahu dia tidak lulus?”
“Bukan!” kata dokter itu. “Aku khawatir dengannya. Semalaman aku tidak bisa tidur kerena dia bilang ketenangannya setelah ulang tahunmu dan pengumuman kelulusannya.”
“Maksudmu?”
“Lihatlah blog anakmu. Dia selalu membuatku tidak bisa tidur sejak beberapa hari lalu. Bukan karena dia pasienku tapi karena dia anakmu dan karena ketegarannya.”
“Aku tidak mengerti.” Kata Martin tapi dokter itu mengabaikan dan langsung ke kamar Yuri dengan membawa mawar putih.
“Selamat.” Kata dokter itu pada Yuri yang terbaring dengan senyumnya.
“Mengapa ada darah? Yuri? Kamu diam saja? Yuri.” Martin memandang anaknya yang sudah pucat dan penuh darah ditangannya. Bagaimana bisa? Semalaman dia menjaga Yuri didepan kamarnya dan tidak ada suara Yuri sedikitpun yang kesakitan. Bagaimana bisa?
“Lihatlah om. Dia begitu tenang dan tersenyum. Rasanya semua keinginan Yuri sudah terpenuhi, dia hanya ingin hidupnya tenang.” Jelas Stevani sambil tersenyum dengan air matanya. “Tuhan nggak ngabulin permintaan dia untuk kembali disisinya dan pada akhirnya, Yuri datang sendiri kesisi Tuhan.”
“Kamu pasien terbaik yang pernah saya temui. Tuhan pasti menerimamu disisinya.” Kata dokter itu.
“Apa arti semua ini? Apa ini sebuah drama? Apa artinya?” Martin meneteskan air mata. Dia langsung terduduk dilantai, menatapi Yuri yang sedang tidur tenang tapi tidak ada hembusan udara dari hidungnya.
“Sayang, izinkan aku membersihkannya.” Ucap Dion yang juga sedih. Dia membersihkan darah pada tangan Yuri. Sakit rasanya tapi bagi Dion inilah jawaban atas semuanya. Dan pikir Dion, ini lebih baik dari pada wanita yang dicintainya itu hidup tapi tidak pernah tenang. “Aku akan membiarkanmu disana. Kamu selalu bilang lelah dan ingin tenang. Disana kamu akan tenang, akan banyak yang menjagamu, akan banyak yang menyayangimu lebih dari pada saat kamu disini.”
“Ada apa ini?” Tanya Visco. “A…ap..apa yang terjadi?” tanya Visco lagi didekat pintu kamar Yuri. Dia langsung lemas dan tidak banyak bicara lagi.
Pagi itu Yuri-pun langsung dimakankan karena itu permintaannya. Dia ingin segera tenang dirumah barunya, rumahnya yang abadi, rumahnya yang menenangkan hatinya, rumah barunya yang sejuk dan selamanya dia tidak akan tersakiti.
“Aku tidak pernah menyangka ini.” Kata Martin pada dokter itu. “Mereka bilang Yuri menuliskan kisahnya diblog-nya tapi aku tidak berani membukanya.”
“Harusnya kau sadar betapa besar cinta Yuri padamu. Dia anak yang baik.” Kata dokter itu.
“Aku lupa menanyakannya. Kau memang mengenal Yuri tapi sebelumnya kau bilang dia pasienmu. Bisa kau jelaskan?”
“Lihat-lah blog-nya setelah itu akan aku perjelas lebih banyak. Kau yang dokter saja tidak mengetahui penyakit anakmu, rasanya hidup Yuri begitu menyakitkan dan ini jalan terbaik untuknya pergi.”
Mereka disana, teman-teman Yuri dan mereka membawa mawar putih serta ucapan selamat untuk Yuri. Itu semua permintaan Yuri karena mereka-pun tahu apa alasan Yuri seperti ini. Hidupnya akan lebih baik disisi Tuhan ataupun dineraka, setidaknya hatinya tidak tersakiti.
Martin lebih sadar lagi ketika melihat cerita Yuri pada blog-nya dan dia tidak pernah menyangka dengan apa yang dia baca. Tapi, itulah yang harus diterimanya. Ini sudah keputusan Yuri untuk mencari ketenangan pada dunia lain. Dokter itupun membantu penjelasan dan pada akhirnya hanya ada penyesalan yang terjadi.
‘selamat tinggal cinta, kan kubawa kau sampai kesurga. Aku mencintaimu dan cintaku hanya untukmu, cinta. Tahukah kamu akan itu? Kamu tahu dan aku tenang telah membawa hatiku yang pernah mencintaimu’ Yuri tersenyum ditengan perjalanannya menuju rumah barunya.
“Akan kubiarkan kamu tinggal dihatiku sayang. Alasanmu, semua jawabanmu tentang pertanyaan itu dapat aku mengerti. Rasanya benar, kamu lelah dan maafkan aku telah membuatmu banyak berpikir. Seharusnya aku tidak membebani pikiranmu. Kurasa kepalamu sakit akan itu. Kubiarkan kamu disana sayang, kamu akan bahagia bersama pada malaikat-malaikat yang akan menjagamu.” Dion tersenyum sambil melangkah meninggalkan makam Yuri. Dia masih disana sampai malam tiba, dia baru pergi. “Aku yakin kamu masih disini tadi melihatku. Kamu pasti disini, dihatiku dan disana kamu memandangku. Janjiku akan kau lihat, aku akan tersenyum untuk orang lain selain dirimu. Tapi sayang, jujur namamu akan selamanya dihatiku dan disurga kita akan dipertemukan dalam satu cinta.” Dia melangkah, menjauh dari makam Yuri dengan senyuman yang berat. Itu semua demia Yuri, untuk cintanya dan untuk hatinya selamanya.

--TAMAT--

*Martin=ayahnya
Dion=pacar
Yuri=tokoh
Stevani=sahabat
Visco=kakaknya


Bingung gua mau ngasih judul apa :(

Hey orang-orang yang saya kenal, baca ya TULISAN di bawah ini sampai selesai dan kasih komentar tentang tulisan saya ini, bagus apa jelek apa berantakan dari segi makna dan bahasa. Terus maknanya blh di komentari juga kok : )
*

Aku memandang hidup dari banyak sisi tapi satu hal yang aku tahu, apa yang tergerak di otakku, itulah yang aku lihat.
Dalam hidup ada satu hal yang menjadi pertanyaanku, mengapa bumi ini bulat? Bukankah itu merugikan? Dimana kita akan lari, percuma karena pada satu titik bertemu juga. Mengapa tidak kotak? Bukankah sulit untuk mencari? Ya itu benar tapi kata otakku, sudahlah jangan kau tanyakan lagi semua itu. Percuma bagimu mempertanyakannya, kau tidak akan mendapat jawaban yang sesuai dengan isi hatimu.
Ketika aku berjalan, aku melihat begitu banyak sekali perbedaan di kehidupan ini, begitu banyak sekali perdebatan, dan begitu banyak hal-hal yang belum aku mengerti.
Kadang kala ketika aku berjalan, aku biasa saja, tidak berpikir apa yang aku lihat di perjalanan. Tapi kadang kala akupun bertanya, mengapa manusia harus berbeda? Mengapa setiap manusia memiliki masalah berbeda? Dan mengapa mereka harus hidup?
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan satu, dua, tiga, ataupun empat tapi ribuan pertanyaan pada kehidupan ini bertaburan di otakku.
Ku mulai dari lingkungan yang tidak jauh dariku.
Akankah kalian pernah melihat sebuah bola basket? Bola bekel? Atau bola-bola yang dapat di pantulkan. Aku kira itu bola biasa tapi itu sama hal-nya dengan bumi dan kehidupan ini.
Jika kamu lihat semakin asik memainkan bola tersebut, maka semakin banyak pantulan-pantulan dari bola itu. Jika kita dalam keadaan senang, bahagia, semakin banyak rintangan-rintangan yang datang. Atau juga semakin kita hidup lama, semakin banyak tekanan-tekanan di hidup. Semakin tua keadaan bumi ini, semakin banyak goncangan jiwa manusia. Sama saja bukan?
Semua hal tidak ada yang menarik jika diam tapi jika kita mengikuti permainan di hidup ini, kita akan merasa penasaran dan ingin melanjutkan permainan itu sampai akhir.
Akankah kamu pernah berpikir apa akhir hidup kamu? Ya kamu pasti sering kali memikirkannya, menghayalkannya tapi apakah itu akan sesuai dengan hidupmu? Tentunya tidak, itu tergantung bagaimana kamu menjalani kehidupan kamu dan yang lebih penting semua itu tergantung takdir. Bukankah benar kataku?
Saat kamu mengalami satu kesulitan dalam hidup, yang kamu lakukan untuk PERTAMA kalinya adalah berpikir untuk keluar dari kesulitan itu. Ya itu pikiran sekian banyak orang tapi ada juga yang menyelesaikannya dengan cara diam, tanpa berpikir, dia rasa semua masalah akan pudar seiring berjalannya waktu. Tapi itu pilihan untuk masing-masing orang. Aku sendiri memilih tenang tapi berpikir dan bertindak jika sudah saatnya.
Oh iya kadang di hidup ini ada penyesalan kan? Ya pastinya tapi tidak denganku. Aku tidak akan pernah menyesali apa yang terjadi pada hidupku jika itu pilihanku, kemauanku, dan tujuanku. Tetapi jika itu bukan kemauanku, tujuanku, dan pilihanku, maka aku akan amat sangat menyesalinya seumur hidupku.
“Cuma satu kali La kesempatan lo saat ini.” Kata seorang temanku tapi aku hanya tersenyum. Lalu dia bekata lagi, “lo nggak nyesel tah?” tanyanya.
Aku pun menjawab, “Ngapain gua nyesel, ini pilihan gua, gua nggak akan pernah nyesel dengan pilihan gua dan jawaban gua.” Kataku santai.
Ada beberapa orang, atau bahkan lebih yang mengatakan sifatku egois. Ya aku akui semua itu, aku memang egois dan pemarah tapi semua itu memiliki dasar mengapa aku seperti itu.
Pernah aku mengalami satu kesulitan dimana beberapa orang, salah, banyak orang yang memandang sinis padaku tapi aku santai seakan tidak ada masalah. Aku tahu ketika itu orang-orang beranggapan aku membatu, aku tidak memiliki hati yang bisa sakit hati. Tapi TIDAK, aku tidak seperti itu. Aku tahu mereka bicara, aku merasa sakit hati tapi aku lebih suka mengikuti kata hatiku bahwa aku harus tenang dan seakan semua ini bukan masalah.
Ku pikir diamku menyelesaikan masalah, tapi tidak, semua itu begitu-begitu saja, tidak tambah rumit atau kelar masalah. Ya di situ-situ saja. Aku bicara pada mereka, ya sedikit ada emosi dan mengucapkan kata-kata dgn nada tinggi tapi jujur aku lega melakukan itu. Kurasa ini bukan saja salahku, ini salah mereka dan dgn sedikit kekesalan, kami mulai menyapa walaupun belum ada kata damai.
Aneh kan?
Ku bahas lagi tentang sifat egoisku. Aku hanya egois ketika waktu-waktu tertentu saja yang kurang ku sukai.
Kadang kala ada saatnya kita egois, bukankah benar? Kamu pasti pernah sesekali bersikap egois demi pemikiran kamu sendiri? Benarkah ucapanku?
Wajar saja sifat manusia memang ada sedikit persentase mengenai sifat egois. Boleh dibuktikan? Tidak perlu rasanya, kamu dapat menilainya sendiri.
ITULAH hidup, kadnag kala kita tidak mengerti dengan berbagai macam hal yang ada di dunia ini tapi itulah fakta yang terjadi.
Ketika kamu bertanya pada diri kamu, apa arti kehidupan ini? Kamu pasti memikirkan satu hal, atau beberapa hal. Tapi pemikiran kamu berbeda dengan pemikiran-pemikiran lainnya. Bukankah begitu? Ya tentunya berbeda apalagi untuk menjalani kehidupan ini pasti berbeda pada setiap manusia. Walaupun ada yang menjalaninya dengan hal yang sama, tapi keinginan hati pasti berbeda, ataupun sebaliknya.
Aku pernah bilang pada diriku, aku menginginkan ini tapi yang aku dapat berbeda. Lalu otakku menjawab : “Keinginan gk selalu sama dengan apa yang kita dapat”
Contohnya saja jika kamu menginginkan permen rasa coklat tapi kamu mendapatkan ras jeruk. Ketika itu kamu marah karena yang kamu mau tidak kamu dapatkan, seperti itulah contoh keinginan dalam kehidupan kita.
Keinginan-keinginan, permohonan-permohonan, dan harapan-harapan yang kamu pinta terkadang jauh berbeda dari apa yang kamu dapatkan. Ya inilah hidup, kata aku seperti ini tapi menurut yang lain entah-lah.
Tapi bagiku smua itu tidak terlalu aku jadikan pusat dari pemikiranku, walaupun terkadang iya. Setidaknya jika aku tidak mendapatkan apa yang ku inginkan, aku sudah berusaha pada tujuanku itu.
Misalkan kamu berusaha menang dalam satu kompetisi sains internasional, kamu bahagia, tentunya tapi bukan itu keinginanmu walaupun kamu senang. Hari itu pada saat kompetisi, kamu juga ingin mengikuti kompetisi menyanyi. Waktunya bersamaan, kamu ingin menyanyi TAPI orang-orang memintamu untuk ikut kompetisi sains. Kamu tdk ingin mengecewaka mereka walaupun kamu mengecewakan hatimu.Bukankah itu sama saja keinginan tdk sesuai dgn apa yang kamu dapatkan?
(catatan tambahan: paleng wah gua ini buat tulisan, pening)

Ada yang kurang , aku mau nulis apa yang ada di otakku saat ini.
Kadangkala nih, kalian pasti punya temen deket, sahabat, pacar, sepupu, atau siapa sajalah yang bisa kalian ajak curhat.
Ada orang-orang yang mencurahkan isi hatinya semua kepada orang terdekat itu tapi kata aku sih jangan semua (sekedar saran)
Memang akan lebih lega jika cerita, curhat sama seseorang tapi sesekali cobalah besikap sedikit menggunakan pemikiran untuk kedepannya, bagaimana dan apa sebab yang akan timbul atau juga reaksi.
Saat kamu curhat pasti kamu sedang bahagia, sedih, ataupun marah bukan? Sebelum kamu cerita coba geh liat ada gk sih sisi negatifnya. Pasti ada yang bilang “Nggak ada lah”, tapi itu hanya ucapan dan terkadang dia menyesal mengucapkan itu.
Bukan dalam arti apa, curhat bukan Cuma minta di dengerin tapi ada baiknya di beri pendapat. Ya menurut aku sih kayak gitu, tapi tergantung sih pada setiap individu masing-masing gimana nilainya.
Iya kalau di dengerin?
Iya kalau ada masukan?
Iya kalau itu bermanfaat?
Kalo malah di beri penegasan yang salah gimna?
Wah kata aku sih sebelum curhat sama orang lain, mending curhat sama hati kamu sendiri dan jalan pikiran kamu karena apa yang kamu tegaskan untuk memilih, kamu tidak akan menyesalinya. Coba aja, tapi ini Cuma sekedar saran.
Sekali-kali menjalani kehidupan dan pilihan atau menyelesaian dalam hidup ini harus sendiri tanpa bantuan orang lain. Rasanya beda, walaupun gagal nyelesain tapi ada kelegaan di hati : )

Wah hidup itu rumit kalau menurutku, susah di pahami dan susah di mengerti. Aku aja menjelaskan tentnag hidup menurut pemikiranku sendiri panjang lebar ujung-ujungnya, mau di tulis semua takutnya gk di baca sama orang-orang. Soalnya di catatan aku yang sebelumnya udah ngetik 20 halaman, eh yang baca serius Cuma beberapa manusia aja.
Hm, jadi sampai di sini, nanti bakal di lanjutin catatan aku kalau sempat : )

Jangan lupa komentari ya tentang tulisan ini, apa ada yang salah kata-katanya atau jalan pikiran aku, atau aja saja yang penting di komentari : ) oke ?

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...