Melepaskan
Aku
nggak pernah merasakan jatuh yang membuat dadaku sesesak ini.
Aku
nggak pernah merasakan jatuh yang membuat nafasku seperti ini.
Aku
nggak pernah merasakan jatuh yang membuat mataku berkunang-kunang seperti ini.
“Kamu belum
terjatuh, belum sama sekali,” malaikat cantik itu memelukku, “kamu masih
berdiri di atas kedua kakimu. Kamu tahu, wajahmu itu menandakan kebahagiaan,”
“Kebahagiaan?”
Malaikat itu
mengajakku pada sebuah danau hijau dan aku di bawanya ke tengah danau. Ada ikan
berbentuk seperti kupu-kupu di dalam air dan ada kura-kura yang bisa melompat
seperti lumba-lumba.
“Tempat apa ini?
Apakah ada tempat seperti ini di bumi?” tanyaku polos, “atau aku ada di tempat
lain?”
“Ini mimpimu, kita
ada di dalam mimpimu,” beritahu malaikat cantik itu padaku, “hal yang tidak
mungkin, kamu bisa menjadikannya mungkin,”
**
“Yoza!” aku
memanggil Yoza keras tapi, ia tidak menoleh.
Koridor sepi tanpa
gosip baru pagi ini. Hanya ada para siswa lalu-lalang tanpa banyak suara.
Seperti musium patung.
“Ine,” seseorang
menepuk pundakku, “kamu udah sarapan?”
“Belum beibh, kamu?” aku berbalik tanya pada
Ken, pacarku, “pasti kamu belum, sarapan di kantin yuk!” aku menarik tangannya,
ia melepaskannya perlahan.
Pandangan mata Ken
lebih aneh dari sebelumnya.
Kemarin-kemarin, ia
tampak hening disisiku, tidak banyak bercerita, tidak banyak tersenyum, tidak
ada rayuan atau tawa belaka. Sekarang, ia menatapku seperti lelah.
“Ada apa?” aku
menatapnya, memandang kedua bola matanya. Aku ingin mencari jawaban di kedua
bola matanya itu, “ayolah, apa kita harus bicara?”
Ken membawaku ke
taman sekolah. Kami masih memiliki waktu 10 menit sebelum bel membuat telinga
kami sakit.
“Yoza, kamu sayang
kan sama dia?” tanya Ken tanpa basa-basi, “saat aku kecelakaan bareng Yoza, aku
sadar siapa yang kamu khawatirin,”
“Maksud kamu?”
“Aku nggak marah,”
Ken memelukku, “aku mau kamu jujur,” pelukannya begitu lembut, “bagaimanapun,
cinta itu nggak bisa di paksakan sama sekali,” ia melepaskan pelukannya dariku,
“sudahlah, ada baiknya, kita sampai disini,”
Aku terdiam
beberapa detik, memandangnya. Aku menamukan kejujuran di mata Ken. Aku yang
salah pada posisi ini.
“Aku... aku nggak
ada maksud untuk......” Ken menutup bibirku dengan jari telunjuknya.
“Sudahlah, aku
nggak marah sama kamu,”
**
Aku
menyukai Yoza sejak dulu. Sejak kami berada di TK yang sama, SD yang sama, SMP
yang sama, dan sekarang SMA yang sama. Bahkan kami selalu satu kelas.
Aku
nggak tahu kenapa cinta itu bisa tumbuh. Semuanya mengalir dan berjalan begitu
saja. Aku khawatir jika Yoza sakit. Aku khawatir jika Yoza nggak bisa
menyelesaikan tugas sekolahnya. Aku khawatir akan Yoza.
“Hoi ngelamun hoi!”
Yoza mengejutkanku, “galau ya non?” aku mengangguk kecil, “gue denger dari
anak-anak, lo putus sama Ken?”
“Berita itu cepet
nyebar, ckck,”
“Sabar ya,” Yoza
menepuk-nepuk pundakku, “makannya lo cerita ke gue, katanya kita sahabat
sehidup semati,”
Entahlah, aku tidak
mengerti mengapa tidak bisa bercerita padanya. Aku mencintainya, ingin
bersamanya, ingin mengungkapkan kalau aku menulis namanya di hatiku. Namun,
semuanya tidak bisa kuungkapkan bahkan, dorongan Ken untuk membantu mendekatkan
kami justru membuatku makin takut.
**
Malaikat itu
melambai-lambaikan tangannya padaku. Ia melemparkan senyum seolah ia adalah
malaikat tercantik yang kukenal.
“Kamu berpisah
dengan Ken?”
“Ya, mengapa kamu
menanyakannya? Bukankah kamu sudah tahu?”
Air menari-nari
diiringi suara-suara merdu. Seandainya ini bukan mimpi maka, aku akan membawa camera digital milikku lalu mengabadikan
keindahannya. Namun, laut ini, pantai ini, ombak ini, dan udara ini hanya mimpi
semata.
“Apa kamu menyesal
berpisah dengan Ken?” aku menggeleng, “kalau begitu, apa yang kamu takutkan?”
“Entahlah,”
Jujur, yang
kutakutkan adalah hati Ken. Aku takut ia membenciku suatu hari nanti. Aku takut
hatinya terluka karenaku. Namun, Ken pernah mengatakan kalau ia lebih senang
aku berkata jujur.
“Sudahlah, kamu
bisa mengubah jatuhmu menjadi tiang penyanggamu,” ucapnya, “jatuhmu adalah
kekuatanmu,”
**
Aku
nggak mau jatuh dalam cinta seperti ini.
Aku
nggak mau jatuh dalam kisah seperti ini.
Aku
ingin jatuh yang lebih baik lagi.
“Ayolah, dimakan,”
Ken tersenyum padaku, “jangan canggung seperti ini,”
Aku melahap
makananku dengan gemetar. Aku takut, setelah ini Ken akan bicara bahwa lebih
baik kami tidak bertegur sapa.
“Makan malam kali
ini sebagai terimakasihku padamu,” ucap Ken, “kamu yang mengajarkanku bahwa
cinta adalah cinta, bukan sebuah obsesi,”
“Maksudmu?”
“Obsesi harus di
kejar, apapun itu tapi, berbeda dengan cinta jika hati sudah berkata lain,” Ken
sudah menyelesaikan makanannya, begitupun denganku, “putus bukan berarti
perpisahan selamanya, kita bisa jadi sahabat dan seorang sahabat menjalin cinta
itu rasanya sulit,”
**
Kepalaku
berputar-putar, melayang-layang ribuan tanya. Apakah cintaku pada Yoza hanya
obsesi? Atau benar-benar cinta? Jika itu cinta maka, aku harus bertaruh
mengorbankan persahabatan kami yang sudah sejak kecil tumbuh.
“Hei, gue jadian
sama Vero, adek kelas kita,” beritahu Yoza, aku tersenyum. Kuberikan ucapan
selamat dan meminta traktiran makan walaupun, hatiku terasa sakit, “wah, nggak
nyangka gue akhirnya cinta gue di terima Vero,”
Aku tersenyum lagi.
Memandang sekitarku yang terlihat baik-baik saja seperti diriku padahal, ‘mungkin’
setiap orang memikirkan masalah rumit di balik senyum mereka sepertiku.
“Semoga lo bisa
nyusul cari pengganti Yoza, oke?”
“Sip! Oke!” kami
berjabat tangan seolah selesai bekerjasama.
Benar kata malaikat
itu, aku dapat mengubah hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Aku mengubah
hati Ken yang mencintaiku dan akhirnya meninggalkanku. Aku mengubah hatiku
menjadi tidak menentu sejak lama.
Persahabatan
ini.
Cinta
ini.
Semuanya
benar-benar rumit.
TAMAT
Penulis : Aula Nurul M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar