Aku nggak tau apakah yang menimpaku ini
takdir atau permainan semata. Aku benar-benar pusing dan stres di buatnya.
Kau tahu, jika kau ada di posisiku, kau juga akan merasakan hal yang sama.
“Aku ingin disini, disisimu, selamanya,” Ron memelukku lembut, ilalang di
sekeliling kami berayun dan menyanyikan lagu-lagu ketenangan, “bersamamu,
semuanya semakin terasa damai,”
“Benarkah? Kamu berkata jujur?” Aku memandangnya, tatapanku benar-benar
memasuki matanya. Ia tersenyum, mengecup keningku lalu melepaskan pelukannya,
“aku ingin kamu terus disini, disisiku,”
Ilalang-ilalang disini makin bernyanyi lebih lembut lagi. Mereka juga
menari-nari seperti penari balet yang handal.
Pletak-pltak-door-door-dor!
Jantungku benar-benar terkejut ketika puluhan petasan tiba-tiba meledak di
sekitarku. Aku langsung mendekap Ron dan berusaha mencari perlindungan darinya.
“Tenanglah, ini hanya petasan,” jelas Ron, “sebelumnya bahkan lebih dari
sekedar petasan,”
Ron terlihat sabar dengan keadaan belakangan ini. Ia benar-benar tidak
marah akan apa yang terjadi walaupun ia tahu, kalau ini perbuatan seorang
mahluk mars. Aku yakin itu. Sangat yakin.
“Kemarin, saat kita makan malam, sebelumnya saat kita liburan ke Bali, dan
sekarang, di tempat yang sangat tenang pun mereka mengganggu, huh,” kepalaku
bersandar pada dada Ron, jantungnya tidak beraturan. Aku tahu dia sangat marah
tapi, ia mengendalikannya dengan hati-hati.
Ron tiba-tiba menjauhkan kepalaku dari dadanya. Perlahan, ia membuat kami
memiliki jarak. Ia tersenyum kecil, membelai rambutku, lalu mencubit pipiku
lembut, “aku ingin, kita selesai,” ucapnya lirih, “aku lelah nggak bisa tenang
sama kamu tapi, aku juga nggak bisa marah dengan mahluk mars itu,” dia bicara
panjang lebar lalu mencium keningku dan berjalan. Ia makin menjauh. Menjauh
lagi dan semakin tidak terlihat.
Kami putus!
**
Defan memilihkan menu makanan yang menurutnya enak. Aku menyukainya karena
aku bukan tipe pemilih makanan.
“Kamu suka?”
“Ya, tentu,” lalu aku melanjutkan makan lagi.
Walaupun aku lebih menyukai masakan Indonesia dari pada Jepang tapi, disini
semua makanan tidak ada khas Indonesianya sama sekali jadi mau gak mau aku
harus makan.
“Kudengar, kamu pernah berlatih biola, apakah itu menyenangkan?” tanyanya,
aku tersenyum sebagai jawaban.
Kami sudah kenal satu tahun lalu tapi, kami baru dekat sekitar satu minggu
ini. Dan, kau tahu? Kejadian ini sama hal-nya dengan Ron.
Ada seorang mahluk mars yang selalu saja mencampuri urusan cintaku. Ia
benar-benar mencari cara untuk membuatku kesulitan.
“Ana,” Defan berbisik padaku, “maaf, aku pulang duluan sepertinya perutku
terasa sakit. Mungkin lain kali kita bisa berbincang lagi,”
Oke, Defan pergi dan setelah ini apa lagi
yang akan dilakukan mahluk Mars itu?
“Ana,” mahluk mars tersenyum padaku, duduk di sebelahku dan tersenyum,
“tadi calon pacar kamu kan?”
“Mau lo apasih?!” Aku memandangnya kesal, “nggak di kampus, nggak di mol,
nggak di mana-mana lo itu pasti ngikutin gue!” Aku memukul kepalanya, “lo
bener-bener penguntit sinting!”
Kutinggalkan tempat ini dengan memberikan satu senyuman sinis pada mahluk
mars yang membuat hari-hariku buruk.
**
Kampus terasa benar-benar memuakkan belakangan ini. Ini bukan karena dosen
atau mata kuliahnya tapi, karena ada mahluk mars yang menguntitku.
Kau bisa membayangkan apa rasanya saat kau belajar ada yang mengganggumu?
Atau saat kau sedang refresing ada
yang mengusikmu? Bisa kau bayangkan?
“Ana, kamu mau kemana?” tanya Defan, “mau pulang?” aku tersenyum, “ayo
kuantar,” dia melemparkan senyum sengit pada Mars,
“Eh bro, dia balik sama gue,” ucap si mahluk mars yang menyebalkan, “iyakan
An?” tanyanya padaku, aku langsung berlari menghindari suara mahluk mars yang
membuat telingaku sakit.
Kau bisa membayangkan jika ada seorang penguntit yang tidak lain adalah
mantanmu? Apakah kau akan marah padanya atau kau akan senang? Kalau aku, aku
benar-benar muak.
Pacaran dengannya saja memuakkan. Ia benar-benar seperti anak kecil dan
kekanak-kanakan. Ia tidak pernah mau mengalah demi diriku. Ia egois. Aku tidak suka itu.
“Ana!” Mars memanggilku kuat, “Ana tunggu!” ia berhasil mengejarku dan
menarik tanganku, “aku ingin makan ice
cream, ayo, kamu harus menemaniku!” ia memaksa dan benar-benar menarik
tanganku dengan eratnya sehingga aku tidak bisa terlepas dari genggaman tangannya.
Namanya bukan hanya Mars tapi ia benar-benar seperti mahluk Mars. Kau bisa
membayangkan jika ada seorang cowok datang padamu dan merengek meminta kau
menemaninya makan ice cream? Itu
menggelikan apalagi ia adalah mantanmu bukan?
“Ana, kamu mau ice cream rasa
apa? Oh ya, pasti coklat, aku tahu itu,” dia langsung memesankannya ketika
seorang pelayan menghampiri kami, “Ana, kamu kenapa?”
Aku menarik nafas sejenak lalu menghembuskannya perlahan.
Kaki Mars terus bergerak-gerak di bawah meja seolah mendengarkan musik rock
padahal, tidak ada musik apapun yang bisa didengarnya. Hanya ada musik pesanan
pada pelayan. Itu saja.
“Ana,”
“Mau lo apa Mars?! Lo itu bener-bener kayak mahluk mars! Sadar nggak sih!”
nada suaraku meninggi, beberapa pengunjung melirik kearahku, “mau lo apa Mars?
Apa?”
“Mau gue, mau gue cuma satu, lo ngabisin ice cream yang udah gue pesenin khusus buat lo,”
**
Lampu-lampu berjejer di sepanjang jalan. Tampak dari sini kalau lampu-lampu
itu khusus memberikanku petunjuk jalan.
“Bagaimana kalau pada pertigaaan didepan sana.... kamu lihat kan?” Ron
menunjukkan pertigaan di depan kami, “kita bermain batu gunting kertas?”
“Akan lebih baik kita ikuti saja cahaya lampu, yakinlah,” kataku
meyakinkannya, ia tersenyum, “oke,
kita berjalan lagi,”
Aku tersesat di jalanan ini ketika berlari menghindari pada perampok. Aku
menghubungi Ron dan dia langsung datang ke jalanan ini. Kami terus berlari
sampai akhirnya, kami tersesat tidak tahu jalan.
Kau tahu hal apa yang paling buruk ketika tersesat? Ketika kau tidak
membawa alat komunikasi atau kompas atau benda-benda lain yang berguna. Kau
juga tidak bisa bicara pada orang karena, disini orang-orangnya tampak
menyeramkan.
“Apakah ini perbuatan mahluk mars seperti saat kita pacaran?” Ron memandangku,
mendorongku pada dinding rumah penduduk yang ada dikiri jalan, “apakah ini
perbuatannya lagi,” Ron makin mendekat, jarak kami hanya beberapa inci saja.
Matanya perlahan memasuki sel-sel mataku, terlihat sebuah kekesalan tapi juga
sebuah kekhawatiran, “apa yang diinginkannya darimu?”
“Aku yakin, Mars nggak akan berbuat berlebihan seperti ini, aku sangat
yakin,” kujauhkan wajahku darinya, mendorong tubuhnya dan aku berjalan lagi, ia
mengikutiku, “apakah kamu berpikir ini ulahnya lagi?”
Ron diam, tiba-tiba ia menggenggam tanganku hangat, “hm....” ia tampak
berpikir, “kamu benar. Aku nggak bisa marah pada Mars karena, kamu pun nggak
marah tapi, apakah kamu betah terus-terusan diikuti olehnya?”
“Seenggaknya dia nggak mengikutiku untuk detik ini, disini hanya ada kita,
aku dan kamu,” Ron tersenyum.
Setelah putus dengan Ron, hubungan kami baik-baik saja. Setidaknya, hidup
Ron tidak terusik seperti sebelumnya oleh perbuatan Mars.
Mars, mahluk dari planet mars itu benar-benar keterlaluan. Selain ia
menguntitku, ia juga mengusik hidup cowok-cowok yang menjalin hubungan cinta
denganku.
“Kita mantan ya sekarang?” tanya Ron, aku diam, “aku masih sayang sama kamu
Ann tapi, kamu tahu kan aku nggak suka diganggu,”
“Mars, mahluk itu benar-benar mengganggu hidupku!”
Jalanan makin runyam lagi. Kami tidak tahu ini dimana bahkan rumah-rumah
pun sudah tertutup pintunya. Kami tidak ingin bertanya, tempat ini menyeramkan
seperti film horor.
“Baiklah,” Ron melepas genggaman tangannya, “kuketuk salah satu rumah
penduduk lalu kita bertanya,”
“Jangan! Aku takut kita ada di tempat para zoombie,” kataku menarik tangannya dan mengajaknya lagi berjalan.
Ron terlihat tenang seolah kami sedang mendaki gunung dan di perlihatkan
pemandangan indah. Ia tidak tampak seperti orang tersesat sedangkan aku, aku
yakin wajahku sudah seperti anak TK kehilangan balonnya.
“Hei kalian!” seseorang memanggil kami. Akhinya, DEFAN!!! “ayo, masuk,
tempat ini rawan dan aku pun takut disini,” kami masuk kedalam mobil Defan.
“Untung ada kamu Fan! Jujur aja, kami nggak tau tempat ini,” jelasku,
“menyeramkan,”
“Kasus pembunuhan sering terjadi disini dan aku pun takut,” katanya,
“500meter dari sini aku menemukan motor Ron. Aku mengenali motor itu karena Ron
pernah menjemputmu,” lanjutnya, “dan aku berputar-putar daerah sini, kuharap
menemukan Ron karena ia dalam bahaya tapi, ternyata aku bertemu denganmu,”
“Terimakasih,” Ron berjabat tangan dengan Defan. Mereka tampak cocok
berteman, “dengan keadaan seperti itu, tempat itu sudah sewajarnya dijauhi,”
Ron dan Defan yang duduk di depan terus berbincang sedangkan aku hanya
duduk sambil memikirkan apakah benar ini perbuatan Mars. Entahlah, hatiku yakin
Mars tidak senekat ini tapi, perbuatannya selama ini kadang misterius.
Mars memang kekanak-kanakan, ia tidak bisa romantis sama sekali tapi, ada
saatnya aku takut dengan matanya. Kedua bola matanya menunjukkan kelicikan
abadi.
“Apakah kalian akan balikan?” tanya Defan, Ron diam, aku pun diam, “ayolah
Ron, kita bukan berebut Ana, Ana yang memutuskan pada saatnya,” lanjutnya,
“woles bro, cinta itu akan baik-baik aja selama semuanya berjalan lurus,”
“Entahlah, ini cukup rumit,” jelas Ron, “Ana, apa pendapatmu?” tanyanya
padaku.
“Pendapatku?” aku berpikir sejenak, “aku nggak mengerti sama sekali dengan
jalan percintaanku. Kalian tahu, Mars selalu menghantui dan memberi merica pada
setiap cinta yang datang padaku,”
**
Sekolah terasa seperti kuburan yang misterius. Sepi, sunyi, tanpa
keramaian, dan tanpa gosip-gosip bertebaran.
“Apa yang ingin kamu temukan di sekolah ini?” Defan memandangku, “ini hari
libur dan kamu tahu, rasanya aneh menginjakkan kaki di sekolahmu,” lanjutnya,
“apakah Ron nggak akan marah jika aku bersamamu?”
“hei, dia bukan pacarku! Ron adalah mantanku!” jelasku bernada tinggi.
Kami menuju lapangan basket sekolah. Aku mencari seseorang.
‘Uangnya gue transfer besok. Kerja kalian
bagus. Acting kalian menjadi perampok sangat bagus dan Ana nggak mengetahui hal
itu’
BRAK!
Pukulan keras di layangkan Defan pada pipi Mars. Mahluk planet itu
mendapatkan pukulan yang begitu keras.
Mars melawan. Memukul perut Defan tapi, Defan menyerang lagi pada
titik-titik lemah tubuh Mars. Mars terjatuh, tersungkur, bibirnya mengalirkan
darah merah segar.
Aku mendekat pada Mars, menampar pipinya cukup keras, “jangan ganggu hidup
gue lagi! Gue udah muak! Kelakuan lo kali ini sinting!”
“Lo!” Defan menunjuk pada wajah Mars lalu ia menarikku pergi dari sekolah,
“kamu baik-baik aja kan?”
Aku tersenyum pada Defan, “ya, baik-baik aja kok. Aku hanya ingin
memastikan saja kabar dari Ron,” jelasku, “aku hanya nggak menyangka,”
“Maksud kamu?” Defan memandangku, ia ingin lebih tahu, “apakah setelah ini
Mars akan mengganggumu lagi?”
“Kurasa nggak sama sekali. Dia belum pernah mendapatkan tamparan dariku dan
tamparan tadi akan membuatnya berhenti,” jelasku, “mahluk itu, apa pendapatmu?”
Defan tersenyum padaku lalu tertawa kecil, “kurasa Mars memiliki penyakit
mental, dokter harus merawatnya dengan serius,” tambahnya, aku tersenyum.
Wajah tampan Mars, tingkah kekanak-kanakan Mars, dan hal-hal lain yang
terlihat baik didiri Mars ternyata terbalik. Ron benar, suatu hari nanti aku
akan memiliki alasan untuk marah pada Mars sehingga mahluk itu berhenti
mengusik kehidupan percintaanku.
“Rasanya suasana sedikit panas, bagaimana kalau kita ke kutub?”
“Mungkin itu hal terbaik,”
**
Ron memberikanku rangkaian bunga anggrek seperti pesananku. Ia benar-benar
mantan yang terindah untukku.
Aku tahu, sebelumnya ia meninggalkanku untuk membuatku sadar. Titik. Tidak
ada alasan lain kecuali cinta.
Tangan Ron memegang pergelangan tanganku lalu, ia melepaskannya dan
mengambil sesuatu dari saku celananya, “bukakah ini cantik?” tanyanya, ia
memperlihatkan gelang perak berbentuk lumba-lumba, “ayolah, ini cantik di
tanganmu,” ia memakaikannya.
“Apakah menurut kamu aku di takdirkan untuk jadi pacar terbaik bagimu
sekarang?”
“Mantan terbaik lebih tepatnya,” ia mencium keningku, “mantan terbaikku
adalah kamu tapi, mantan terbaik-terburuk-mu adalah Mars, benar bukan?”
“Ron!” Aku mencubitnya pelan, ia tersenyum.
TAMAT
Mantan Terbaik tapi Terburuk
Aku nggak tau apakah yang menimpaku ini
takdir atau permainan semata. Aku benar-benar pusing dan stres di buatnya.
Kau tahu, jika kau ada di posisiku, kau juga akan merasakan hal yang sama.
“Aku ingin disini, disisimu, selamanya,” Ron memelukku lembut, ilalang di
sekeliling kami berayun dan menyanyikan lagu-lagu ketenangan, “bersamamu,
semuanya semakin terasa damai,”
“Benarkah? Kamu berkata jujur?” Aku memandangnya, tatapanku benar-benar
memasuki matanya. Ia tersenyum, mengecup keningku lalu melepaskan pelukannya,
“aku ingin kamu terus disini, disisiku,”
Ilalang-ilalang disini makin bernyanyi lebih lembut lagi. Mereka juga
menari-nari seperti penari balet yang handal.
Pletak-pltak-door-door-dor!
Jantungku benar-benar terkejut ketika puluhan petasan tiba-tiba meledak di
sekitarku. Aku langsung mendekap Ron dan berusaha mencari perlindungan darinya.
“Tenanglah, ini hanya petasan,” jelas Ron, “sebelumnya bahkan lebih dari
sekedar petasan,”
Ron terlihat sabar dengan keadaan belakangan ini. Ia benar-benar tidak
marah akan apa yang terjadi walaupun ia tahu, kalau ini perbuatan seorang
mahluk mars. Aku yakin itu. Sangat yakin.
“Kemarin, saat kita makan malam, sebelumnya saat kita liburan ke Bali, dan
sekarang, di tempat yang sangat tenang pun mereka mengganggu, huh,” kepalaku
bersandar pada dada Ron, jantungnya tidak beraturan. Aku tahu dia sangat marah
tapi, ia mengendalikannya dengan hati-hati.
Ron tiba-tiba menjauhkan kepalaku dari dadanya. Perlahan, ia membuat kami
memiliki jarak. Ia tersenyum kecil, membelai rambutku, lalu mencubit pipiku
lembut, “aku ingin, kita selesai,” ucapnya lirih, “aku lelah nggak bisa tenang
sama kamu tapi, aku juga nggak bisa marah dengan mahluk mars itu,” dia bicara
panjang lebar lalu mencium keningku dan berjalan. Ia makin menjauh. Menjauh
lagi dan semakin tidak terlihat.
Kami putus!
**
Defan memilihkan menu makanan yang menurutnya enak. Aku menyukainya karena
aku bukan tipe pemilih makanan.
“Kamu suka?”
“Ya, tentu,” lalu aku melanjutkan makan lagi.
Walaupun aku lebih menyukai masakan Indonesia dari pada Jepang tapi, disini
semua makanan tidak ada khas Indonesianya sama sekali jadi mau gak mau aku
harus makan.
“Kudengar, kamu pernah berlatih biola, apakah itu menyenangkan?” tanyanya,
aku tersenyum sebagai jawaban.
Kami sudah kenal satu tahun lalu tapi, kami baru dekat sekitar satu minggu
ini. Dan, kau tahu? Kejadian ini sama hal-nya dengan Ron.
Ada seorang mahluk mars yang selalu saja mencampuri urusan cintaku. Ia
benar-benar mencari cara untuk membuatku kesulitan.
“Ana,” Defan berbisik padaku, “maaf, aku pulang duluan sepertinya perutku
terasa sakit. Mungkin lain kali kita bisa berbincang lagi,”
Oke, Defan pergi dan setelah ini apa lagi
yang akan dilakukan mahluk Mars itu?
“Ana,” mahluk mars tersenyum padaku, duduk di sebelahku dan tersenyum,
“tadi calon pacar kamu kan?”
“Mau lo apasih?!” Aku memandangnya kesal, “nggak di kampus, nggak di mol,
nggak di mana-mana lo itu pasti ngikutin gue!” Aku memukul kepalanya, “lo
bener-bener penguntit sinting!”
Kutinggalkan tempat ini dengan memberikan satu senyuman sinis pada mahluk
mars yang membuat hari-hariku buruk.
**
Kampus terasa benar-benar memuakkan belakangan ini. Ini bukan karena dosen
atau mata kuliahnya tapi, karena ada mahluk mars yang menguntitku.
Kau bisa membayangkan apa rasanya saat kau belajar ada yang mengganggumu?
Atau saat kau sedang refresing ada
yang mengusikmu? Bisa kau bayangkan?
“Ana, kamu mau kemana?” tanya Defan, “mau pulang?” aku tersenyum, “ayo
kuantar,” dia melemparkan senyum sengit pada Mars,
“Eh bro, dia balik sama gue,” ucap si mahluk mars yang menyebalkan, “iyakan
An?” tanyanya padaku, aku langsung berlari menghindari suara mahluk mars yang
membuat telingaku sakit.
Kau bisa membayangkan jika ada seorang penguntit yang tidak lain adalah
mantanmu? Apakah kau akan marah padanya atau kau akan senang? Kalau aku, aku
benar-benar muak.
Pacaran dengannya saja memuakkan. Ia benar-benar seperti anak kecil dan
kekanak-kanakan. Ia tidak pernah mau mengalah demi diriku. Ia egois. Aku tidak suka itu.
“Ana!” Mars memanggilku kuat, “Ana tunggu!” ia berhasil mengejarku dan
menarik tanganku, “aku ingin makan ice
cream, ayo, kamu harus menemaniku!” ia memaksa dan benar-benar menarik
tanganku dengan eratnya sehingga aku tidak bisa terlepas dari genggaman tangannya.
Namanya bukan hanya Mars tapi ia benar-benar seperti mahluk Mars. Kau bisa
membayangkan jika ada seorang cowok datang padamu dan merengek meminta kau
menemaninya makan ice cream? Itu
menggelikan apalagi ia adalah mantanmu bukan?
“Ana, kamu mau ice cream rasa
apa? Oh ya, pasti coklat, aku tahu itu,” dia langsung memesankannya ketika
seorang pelayan menghampiri kami, “Ana, kamu kenapa?”
Aku menarik nafas sejenak lalu menghembuskannya perlahan.
Kaki Mars terus bergerak-gerak di bawah meja seolah mendengarkan musik rock
padahal, tidak ada musik apapun yang bisa didengarnya. Hanya ada musik pesanan
pada pelayan. Itu saja.
“Ana,”
“Mau lo apa Mars?! Lo itu bener-bener kayak mahluk mars! Sadar nggak sih!”
nada suaraku meninggi, beberapa pengunjung melirik kearahku, “mau lo apa Mars?
Apa?”
“Mau gue, mau gue cuma satu, lo ngabisin ice cream yang udah gue pesenin khusus buat lo,”
**
Lampu-lampu berjejer di sepanjang jalan. Tampak dari sini kalau lampu-lampu
itu khusus memberikanku petunjuk jalan.
“Bagaimana kalau pada pertigaaan didepan sana.... kamu lihat kan?” Ron
menunjukkan pertigaan di depan kami, “kita bermain batu gunting kertas?”
“Akan lebih baik kita ikuti saja cahaya lampu, yakinlah,” kataku
meyakinkannya, ia tersenyum, “oke,
kita berjalan lagi,”
Aku tersesat di jalanan ini ketika berlari menghindari pada perampok. Aku
menghubungi Ron dan dia langsung datang ke jalanan ini. Kami terus berlari
sampai akhirnya, kami tersesat tidak tahu jalan.
Kau tahu hal apa yang paling buruk ketika tersesat? Ketika kau tidak
membawa alat komunikasi atau kompas atau benda-benda lain yang berguna. Kau
juga tidak bisa bicara pada orang karena, disini orang-orangnya tampak
menyeramkan.
“Apakah ini perbuatan mahluk mars seperti saat kita pacaran?” Ron memandangku,
mendorongku pada dinding rumah penduduk yang ada dikiri jalan, “apakah ini
perbuatannya lagi,” Ron makin mendekat, jarak kami hanya beberapa inci saja.
Matanya perlahan memasuki sel-sel mataku, terlihat sebuah kekesalan tapi juga
sebuah kekhawatiran, “apa yang diinginkannya darimu?”
“Aku yakin, Mars nggak akan berbuat berlebihan seperti ini, aku sangat
yakin,” kujauhkan wajahku darinya, mendorong tubuhnya dan aku berjalan lagi, ia
mengikutiku, “apakah kamu berpikir ini ulahnya lagi?”
Ron diam, tiba-tiba ia menggenggam tanganku hangat, “hm....” ia tampak
berpikir, “kamu benar. Aku nggak bisa marah pada Mars karena, kamu pun nggak
marah tapi, apakah kamu betah terus-terusan diikuti olehnya?”
“Seenggaknya dia nggak mengikutiku untuk detik ini, disini hanya ada kita,
aku dan kamu,” Ron tersenyum.
Setelah putus dengan Ron, hubungan kami baik-baik saja. Setidaknya, hidup
Ron tidak terusik seperti sebelumnya oleh perbuatan Mars.
Mars, mahluk dari planet mars itu benar-benar keterlaluan. Selain ia
menguntitku, ia juga mengusik hidup cowok-cowok yang menjalin hubungan cinta
denganku.
“Kita mantan ya sekarang?” tanya Ron, aku diam, “aku masih sayang sama kamu
Ann tapi, kamu tahu kan aku nggak suka diganggu,”
“Mars, mahluk itu benar-benar mengganggu hidupku!”
Jalanan makin runyam lagi. Kami tidak tahu ini dimana bahkan rumah-rumah
pun sudah tertutup pintunya. Kami tidak ingin bertanya, tempat ini menyeramkan
seperti film horor.
“Baiklah,” Ron melepas genggaman tangannya, “kuketuk salah satu rumah
penduduk lalu kita bertanya,”
“Jangan! Aku takut kita ada di tempat para zoombie,” kataku menarik tangannya dan mengajaknya lagi berjalan.
Ron terlihat tenang seolah kami sedang mendaki gunung dan di perlihatkan
pemandangan indah. Ia tidak tampak seperti orang tersesat sedangkan aku, aku
yakin wajahku sudah seperti anak TK kehilangan balonnya.
“Hei kalian!” seseorang memanggil kami. Akhinya, DEFAN!!! “ayo, masuk,
tempat ini rawan dan aku pun takut disini,” kami masuk kedalam mobil Defan.
“Untung ada kamu Fan! Jujur aja, kami nggak tau tempat ini,” jelasku,
“menyeramkan,”
“Kasus pembunuhan sering terjadi disini dan aku pun takut,” katanya,
“500meter dari sini aku menemukan motor Ron. Aku mengenali motor itu karena Ron
pernah menjemputmu,” lanjutnya, “dan aku berputar-putar daerah sini, kuharap
menemukan Ron karena ia dalam bahaya tapi, ternyata aku bertemu denganmu,”
“Terimakasih,” Ron berjabat tangan dengan Defan. Mereka tampak cocok
berteman, “dengan keadaan seperti itu, tempat itu sudah sewajarnya dijauhi,”
Ron dan Defan yang duduk di depan terus berbincang sedangkan aku hanya
duduk sambil memikirkan apakah benar ini perbuatan Mars. Entahlah, hatiku yakin
Mars tidak senekat ini tapi, perbuatannya selama ini kadang misterius.
Mars memang kekanak-kanakan, ia tidak bisa romantis sama sekali tapi, ada
saatnya aku takut dengan matanya. Kedua bola matanya menunjukkan kelicikan
abadi.
“Apakah kalian akan balikan?” tanya Defan, Ron diam, aku pun diam, “ayolah
Ron, kita bukan berebut Ana, Ana yang memutuskan pada saatnya,” lanjutnya,
“woles bro, cinta itu akan baik-baik aja selama semuanya berjalan lurus,”
“Entahlah, ini cukup rumit,” jelas Ron, “Ana, apa pendapatmu?” tanyanya
padaku.
“Pendapatku?” aku berpikir sejenak, “aku nggak mengerti sama sekali dengan
jalan percintaanku. Kalian tahu, Mars selalu menghantui dan memberi merica pada
setiap cinta yang datang padaku,”
**
Sekolah terasa seperti kuburan yang misterius. Sepi, sunyi, tanpa
keramaian, dan tanpa gosip-gosip bertebaran.
“Apa yang ingin kamu temukan di sekolah ini?” Defan memandangku, “ini hari
libur dan kamu tahu, rasanya aneh menginjakkan kaki di sekolahmu,” lanjutnya,
“apakah Ron nggak akan marah jika aku bersamamu?”
“hei, dia bukan pacarku! Ron adalah mantanku!” jelasku bernada tinggi.
Kami menuju lapangan basket sekolah. Aku mencari seseorang.
‘Uangnya gue transfer besok. Kerja kalian
bagus. Acting kalian menjadi perampok sangat bagus dan Ana nggak mengetahui hal
itu’
BRAK!
Pukulan keras di layangkan Defan pada pipi Mars. Mahluk planet itu
mendapatkan pukulan yang begitu keras.
Mars melawan. Memukul perut Defan tapi, Defan menyerang lagi pada
titik-titik lemah tubuh Mars. Mars terjatuh, tersungkur, bibirnya mengalirkan
darah merah segar.
Aku mendekat pada Mars, menampar pipinya cukup keras, “jangan ganggu hidup
gue lagi! Gue udah muak! Kelakuan lo kali ini sinting!”
“Lo!” Defan menunjuk pada wajah Mars lalu ia menarikku pergi dari sekolah,
“kamu baik-baik aja kan?”
Aku tersenyum pada Defan, “ya, baik-baik aja kok. Aku hanya ingin
memastikan saja kabar dari Ron,” jelasku, “aku hanya nggak menyangka,”
“Maksud kamu?” Defan memandangku, ia ingin lebih tahu, “apakah setelah ini
Mars akan mengganggumu lagi?”
“Kurasa nggak sama sekali. Dia belum pernah mendapatkan tamparan dariku dan
tamparan tadi akan membuatnya berhenti,” jelasku, “mahluk itu, apa pendapatmu?”
Defan tersenyum padaku lalu tertawa kecil, “kurasa Mars memiliki penyakit
mental, dokter harus merawatnya dengan serius,” tambahnya, aku tersenyum.
Wajah tampan Mars, tingkah kekanak-kanakan Mars, dan hal-hal lain yang
terlihat baik didiri Mars ternyata terbalik. Ron benar, suatu hari nanti aku
akan memiliki alasan untuk marah pada Mars sehingga mahluk itu berhenti
mengusik kehidupan percintaanku.
“Rasanya suasana sedikit panas, bagaimana kalau kita ke kutub?”
“Mungkin itu hal terbaik,”
**
Ron memberikanku rangkaian bunga anggrek seperti pesananku. Ia benar-benar
mantan yang terindah untukku.
Aku tahu, sebelumnya ia meninggalkanku untuk membuatku sadar. Titik. Tidak
ada alasan lain kecuali cinta.
Tangan Ron memegang pergelangan tanganku lalu, ia melepaskannya dan
mengambil sesuatu dari saku celananya, “bukakah ini cantik?” tanyanya, ia
memperlihatkan gelang perak berbentuk lumba-lumba, “ayolah, ini cantik di
tanganmu,” ia memakaikannya.
“Apakah menurut kamu aku di takdirkan untuk jadi pacar terbaik bagimu
sekarang?”
“Mantan terbaik lebih tepatnya,” ia mencium keningku, “mantan terbaikku
adalah kamu tapi, mantan terbaik-terburuk-mu adalah Mars, benar bukan?”
“Ron!” Aku mencubitnya pelan, ia tersenyum.
TAMAT