HAM Pada Rezim Soeharto
Kejatuhan rezin Soeharto pada Mei 1998 telah membuka
babak baru perjuangan penegakan HAM di Indonesia setelah terpasung selama
hampir 30 tahun. Mementun kejatuhan rezin ototitarian itu memunculkan desakan
terbuka dari kekuatan pro demokrasi terhadap rezin sesudahnya untuk melakukan
langkah-langkah hukum dan politik yang tegas, jelas, dan terarah bagi
perlindungan HAM, khususnya penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu.
Desakan-desakan tersebut direspon cepat oleh Presiden
Habibie dengan menguraikan program-program reformasi pemerintahannya pada 25
Mei 1998. Ia mengumumkan prioritas utama pemerintahannya untuk membabat habis
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),1 menciptakan pemerintahan yang
bersih, dan mencabut berbagai aturan pembatasan HAM, terutama kebebasan pers,
dengan mengeluarkan beberapa peraturan baru tentang pers dan penyiaran radio
yang digambarkannya sebagai bagian dari reformasi di bidang informasi.2
Habibie juga mengumumkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 25
Juni 1998 yang ditetapkan sebagai Kepres No. 129 Tahun 1998 pada 15 Agustus
1998.
Politik hukum HAM terus berlanjut dengan
diberlakukannya UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai implementasi TAP
XVII/MPR/1998. Salah satu substansi penting pada UU ini adalah diberikannya
kewenangan subpoena3 kepada
Komnas HAM yang memperkuat kewenangan lembaga ini dalam melakukan penyelidikan.
Beberapa waktu kemudian, pemerintahan Gus Dur
mengeluarkan UU No. 26 Tahun 20004 tentang pengadilan HAM yang memuat
ketentuan prinsip retroaktif sehingga memungkinkan dilakukannya proses hukum
terhadap pelanggaran berat HAM masa lalu. Atas dasar itulah pemerintahan Gus
Dur membentuk pengadilan HAM ad hoc
di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar melalui Keppres No.31 Tahun 2001
untuk mengadili pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok.
Kebijakan hukum HAM pemerintahan era reformasi untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu merupakan langkah politik hukum HAM
yang strategis sekalipun agenda dialami sejumlah negara di Eropa Timur5,
Amerika Latin6, dan Asia7.
Pilihan model penyelesaian dengan memaafkan (to pardon) dan melupakan (to forget) apa yang terjadi, lalu
melanjutkan hidup dan kehidupan begitu saja, atau menghukum pelaku (to punish), atau mendirikan Komisi
Kebenaran, lalu menuntut pelaku utama ke pengadilan, adalah pilihan-pilihan
yang muncul diawal reformasi yang menunjukkan adanya dilema.
Bagi kekuatan pro demokrasi, penyelesaian melalui
mekanisme hukum dalam bentuk mengadili pelaku merupakan pilihan tepat untuk
menghilangkan praktik kekebalan dalam hukum, atau adanya perlakuan istimewa
terhadap para pemimpin negara dan aparat negara tingkat tinggi yang melanggar
HAM dimasa lalu. Pengadilan juga penting untuk menunjukkan supremasi nilai-nilai,
asas-asas, dan norma-norma negara hukum dan demokrasi8. Kegagalan
mengadili dapat menyebabkan sinisme dan ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem
politik yang sedang dibangun sehingga tidak akan ada konsolidasi demokrasi yang
sesungguhnya.9
Wujud politik hukum penyelesaian HAM masa lalu
pemerintahan era reformasi pada akhirnya mengambil jalan mengadili dan
menyiapkan alternatif KKR, meskipun disadari adanya dilema yang disebut
Orentlicher sebagai Hobson’s Choice,
yaitu memilih antara kelangsungan hidup pemereintahan baru itu dengan
prinsip-prinsip yang melandasi eksistensi dirinya yang harus pula ditegakkan.
Masalah utama yang menghantui gagasan menyelesaikan
masa lalu adalah bayang-bayang kegagalan dimana dipertanyakan mengenai
penyelesaian HAM melalui prosedural, birokratis, dan normatif, yang menuntut
ketersediaan bukti-bukti formal dan meteriil.
Dari pertanyaan-pertanyaan umum yang problematis
tersebut, secara hipotesis dapat dinyatakan bahwa tidak bekerjanya hukum HAM
beserta istitusinya dalam menyelesaikan pelangaran HAM masa lalu tidak karena
problem substansi hukum, prosedural hukum HAM itu sendiri, dan ketidakmandirian
aparatur penegak hukum HAM, tetapi karena pengaruh kekuatan politik orde baru
yang masih eksis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar