Esay
Gizi! Mungkin kata ini
sudah tidak asing lagi bahkan untuk anak umur lima tahun sekalipun. Atau bisa jadi anda
akan menoleh sejenak lalu pergi kembali ketika anda merasa itu bukan hal
penting. Ya, bagi saya itu wajar. Semua orang sudah tahu apa itu gizi sejak
mereka mulai berinteraksi dengan masyarakat. Namun, tahukah anda jika hal yang
dianggap penting ini sering dicampakkan dari pikiran anda? Anda selalu berpikir
itu hal biasa tapi, anda tidak tahu bahwa anda sama sekali belum mendalaminya.
Entah apa yang terjadi?
Semenjak peristiwa kemerdekaan dan Indonesia
lepas dari penjajah, anda pikir Indonesia
benar-benar bebas. Bila dilihat, secara sah Indonesia sudah bebas dari
penjajahan tapi, fakta yang terjadi tidak menunjukkannya. Seharusnya kemerdekaan
ditunjukkan melalui keadaan masyarakat yang damai tanpa jutaan permasalahan.
Harusnya seperti itu tapi, negara ini belum sepenuhnya merdeka.
Tidak perlu disinggung
lagi bagaimana keadaan Negara kita sekarang ini. Anda menutup mata, mungkin
saya juga atau bahkan semua orang penutup mata. Kita sadar pentingnya gizi
tapi, lihatlah bagaimana keadaan masyarakat yang kekurangan gizi. Ya, rata-rata
masyarakat yang kekurangan gizi berasal dari kalangan tidak mampu. Namun, tidak
menutup mata juga jika mereka bisa menjaga gizi terutama pada balita mereka
jika tahu pentingnya gizi.
Dalam konfrensi pers yang diselenggarakan oleh Koalisi
untuk Indonesia
Sehat mengenai kampanye "Pentingnya Gizi Anak" dr. Dini Latief MSc,
dari Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkeskesos mengatakan,
meski prevalensi gizi buruk sudah menurun, dari 8,1 persen dari 1,7 juta balita
yang menderita gizi kurang pada tahun 1999 menjadi 7,5 persen pada tahun 2000
berdasarkan survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) namun jumlah nominalnya
masih terhitung tinggi, yaitu 160.000 balita. Jumlah itu belum termasuk
anak-anak yang menderita kekurangan gizi mikro, yaitu zat besi, yodium dan
vitamin A yang menyebabkan kekeringan selaput ikat mata karena kekurangan
vitamin A.
Masalah gizi mikro, terutama untuk kurang vitamin A,
kurang yodium, dan kurang zat besi. Meskipun berdasarkan hasil survei nasional
tahun 1992 Indonesia dinyatakan telah bebas dari xerophthalmia, masih 50 persen
dari balita mempunyai serum retinol <20 mcg/100 ml, yang berarti memiliki
risiko tinggi untuk munculnya kembali kasus xeropthalmia. Sementara prevalensi
gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah di Indonesia adalah
30 persen pada tahun 1980 dan menurun menjadi 9,8 persen pada tahun 1998.
Kronisnya masalah gizi buruk dan kurang pada balita di Indonesia
ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting
<-2 SD). Masih sekitar 30-40 persen anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek.
Tingginya prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita, berdampak juga pada
gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Pada tahun 1994
prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun adalah 39,8
persen dan hanya berkurang sebanyak 3,7 persen, yaitu menjadi 36,1 persen pada
tahun 1999.
Dr. Dini menegaskan "Gizi kurang, gizi buruk dan
gangguan akibat kekurangan gizi mikro bisa mengganggu tumbuh kembang anak dan
berpotensi menyebakna lost generation atau generasi yang tidak mampu bersaing
di masa depan."
Sedangkan menurut Prof. Dr. dr. Ascobat Gani MPH dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 80 persen proses pertumbuhan otak terjadi sejak janin sampai anak berusia dua tahun.
Sedangkan menurut Prof. Dr. dr. Ascobat Gani MPH dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 80 persen proses pertumbuhan otak terjadi sejak janin sampai anak berusia dua tahun.
Kita semua tahu gizi
amat penting bagi generasi penerus bangsa tapi, kemana saja kita hingga sebesar
itu masyarakat kekurangan gizi terutama anak-anak. Bukankah sama saja Negara
ini belum merdeka? Negara ini dijajah dengan kekurangan gizi yang begitu besarnya
dan sampai sekarang belum mampu teratasi.
Pada balita dan
anak-anak adalah awal pembentukan gizi untuk masa depan mereka. Bukan hanya
balita yang lahir dari kalangan tidak mampu tapi, dari kalangan mampu pun bisa
terkena kurang gizi. Mungkin tidak sampai terjadi gizi buruk tapi tetap saja
balita tersebut mendapat kekurangan gizi. Hal itu terjadi akibat pemberian asi
yang kurang. Ibu-ibu zaman sekarang sudah sangat pintar sehingga memberikan
pengganti asi dengan susu formula. Pintar sekali rasanya sampai mereka
mengalihkan pemikiran bahwa asi lebih baik. Mungkin dapat dipahami jika
alasan-alasan tersebut muncul karena asi mereka tidak keluar atau mereka
mengidap penyakit yang dapat mempengaruhi bayi. Namun, bagaimana jika dengan
alasan sibuk? Tidak ada waktu? Atau bahkah mencari praktis? Pintar sekali
bukan?
Anda pasti sudah
menemukan berbagai kasus seperti itu, bukan? Kita dapat menjumpainya
dimana-mana terutama di kota-kota besar. Balita yang kekurangan gizi karena
lahir dari keluarga miskin. Balita yang kekurangan gizi karena ibu mereka tidak
memberi asi. Dan berbagai kasus lainnya. Begitu banyak hal yang ada dipandangan
kita tapi, kita buta! Kita berusaha membutakan mata dengan hal itu! Berusaha
untuk tidak melihat!
Pemerintah sudah
berusaha untuk mengurangi kekurangan gizi anak Indonesia dengan berbagai cara.
Namun, hal itu tidak akan terselesaikan jika tidak ada gerakan masyarakat untuk
menyelesaikannya. Jadi, pemerintah dan masyarahat harus bisa bekerja sama untuk
menyelesaikan permasalahan gizi di Indonesia. Masyarakat tidak bisa
menyalahkan pemerintah dan pemerintah juga tidak dapat menyalahkan masyarakat
dalam kasus ini. Anda, saya, kita, dan semua orang harus bersama-sama untuk
memerangi penjajahan ini! Penjajahan kekurangan gizi di Indonesia.
Oleh : Aula Nurul Ma’rifah
SMA N 13 BandarLampung