Layang-Layang
Kau pernah melihat layangan? Layangan itu sebuah benda aneh yang bisa
terbang di udara. Bukan, bukan itu yang kumaksud tapi lebih mengenai benang
pada layangan itu.
Layangan bisa terbang tinggi ke angkasa tanpa benang karena angin bisa mengendalikannya
tapi, manusia tentu ingin mengendalikan layangan itu. Tarik-ulur, begitulah
anak-anak sering mengatakannya saat bermain layang-layang.
Jika musim angin tiba, di pedesaan, perkotaan, dimana-mana bermain
layangan. Bahkan kadang juga di jadikan sebuah perlombaan internasional yang
menantang. Begitu unik dan keren bukan? Maksudnya, yang kumaksud unik adalah tentang pengendalian layang-layang itu. Ta-rik, u-lur, seakan dua kata yang
mudah di ucapkan padahal banyak juga yang tidak bisa memainkannya.
“Salsa,” seseorang memukul pundakku dan bicara sedikit keras, “Salsa!”
katanya lagi, “ngelamun?” Aku memandangnya dan Aku mengenalinya, benar-benar
kenal, “jangan kamu pikir kalau yang ada di matamu adalah hantu dari tempat
ini,” tambahnya sambil memandang sekitar.
Udara berhembus, mengayunkan nada-nada indah yang di hasilkan dari ributnya
ilalang. Kurasa, ilalang-ilalang itu sedang berdemo seperti para manusia yang
suka berdemo di jalan raya atau di depan gedung wakil rakyat. Ya, seperti
itulah menurutku.
“Kupikir, dengan kubawa kamu ke tempat ini, kamu akan lebih tenang,” dia
tersenyum, “ayolah, jangan membuat sebuah lingkaran di atas langit yang akan
menjatuhkanmu dalam kebimbangan.”
Kutatap dia, ucapannya mengandung penuh arti. Sebuah lingkaran di atas langit yang akan menjatuhkanmu dalam
kebimbangan. Kalimat itu benar-benar memiliki sebuah arti, arti yang
benar-benar kumengerti namun sulit kujelaskan.
“Apa lingkaran itu bisa membuatku terjatuh dalam kebimbangan?” Aku
memandang tanya, dia justru tersenyum damai lalu memandangi pepohonan.
Kami ada di atas bukit, memandangi perkebunan milik penduduk desa ini.
Udara yang sejuk, jernih, hening, damai, dan tentu saja tanpa polusi yang
berlebihan. Disini memang lebih menenangkan, menyenangkan, dan benar-benar,
maksudku sangat benar-benar harus
membuatku tenang. Akan tetapi tidak, Aku masih kurang tenang.
“Jika manusia jaman dahulu nggak mencoba mengelilingi bumi, maka nggak akan
tahu kalau bumi itu bulat. Bukankah sebelumnya itu menjadi sebuah kebingungan?
Sama artinya dengan sebuah kebimbangan,” ucapan Vino benar-benar mengandung
arti lain di dalamnya, “tapi, segala pemikiran yang baik, hasilnya pun akan
baik. Itu sama dengan lingkaran di depan matamu, tergantung bagaimana kamu
memikirkannya.”
Lingkaran itu. Dia pasti mengerti tentang lingkaran yang selalu mengusik
kepalaku.
Dari atas sini, di bawah sana ada sekelompok anak yang bermain
layang-layang sambil berlari. Ada beberapa juga yang mengejar layangan dengan
riang gembira padahal kalau di pikir-pikir, layangan seperti itu pasti bisa
dengan mudah mereka beli lagi. Namun, hal itu adalah pemikiran orang dewasa,
anak-anak mengejarnya hanya karena mengejar suatu kepuasan batin, kesenangan hati.
“Jika boleh meminta satu permohonan pada Tuhan, aku akan meminta menjadi
anak-anak lagi,” Vino bicara lirih, “benarkan?”
“Aku nggak mau jadi anak-anak lagi, kalau aku jadi anak-anak lagi, dunia
nggak akan berputar.”
“Terus? Apa itu penting?” dia tertawa cekikikan dan tawanya yang persis
seperti kuntilanak itu benar-benar mengganggu.
Masih kulihat anak-anak itu bermain dan layang-layang itu ke angkasa. Rasanya, Aku ingin bisa bermain layang-layang
itu dalam kehidupan sebenarnya. Atau, lebih tepatnya ini bukan tentang
layang-layang lagi.
**
“Test test test, huoooo!” Jesika berteriak-teriak ketika memasuki pintu
kelas, “ish kan, mana tugas?! Mana tugas?!” dia berkeliling kelas, “mana!”
Cewek satu ini sudah seperti ini setiap hari, setiap pagi, bahkan setiap
ada tugas. Dia akan berkeliling kelas untuk mengetahui siapa yang sudah
mengerjakan tugas dari guru dan tidak salah lagi, dia menyalinnya. Dasar
kebiasaan.
“Salsa, nyontek tugas elo sih,” kata Jesika manis, “ya ya ya?”
“Belum gue Jes,” jawabku jujur, “kan kata ibu itu buat di pelajarin aja itu
soal untuk di tes nanti,”
“Yah Sa, lo kan tau otak gue gimana,” Jesika mengeluh lalu berkeliling lagi
dan menghampiri Tio, “Nah, pasti lo udah ngerjain nih!” kata Jesika yakin dan
Tio langsung memberikan buku tugasnya begitu saja.
Jumlah halaman cerpen aslinya ada 10 halaman, ini nggak lengkap, lengkapnya next time ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar