Hantu di Bawah Hujan
Tubuh Azka tersungkur di atas pasir. Pakaiannya sudah
kotor bercampur basah hujan, “a...apa yang barusan terjadi?” ia memandangku,
tak ada jawaban yang bisa kuberikan padanya, “oke, oke,” kakinya pun langsung
tancap gas, pergi dari pandanganku.
Aku tak mungkin memberikan jawaban pada Azka kalau ada
hantu yang baru saja menghajarnya. Ia bisa-bisa menganggapku gila atau dia
sendiri yang merasa gila. Aku tak dapat mengatakan itu.
“Pergi!” hantu itu menatapku tajam, matanya mulai memerah
tapi aku sama sekali tak takut. Sekalipun ia hantu terseram dibumi ini, aku tak
akan takut karena ia telah mengganggu kencanku! “cepat pergi atau kucekik!”
ancamku.
Hantu itu terkekeh. Tentu saja, kalau aku mencekiknya tak
akan ada pengaruh toh ia sudah mati. Untuk apa aku mencoba membunuh seseorang
yang telah mati?
‘baiklah,
fokuskan pikirkan!’ aku memandang
fokus ke depan, melihat hantu itu tajam kemudian mencoba tersenyum. Kakiku
melangkah lurus mendekatinya namun, aku tak menghampirinya, aku lewat dan
menembus tubuhnya begitu saja, ‘kenapa
harus hujan!’
Rambutku, maksudku seluruh tubuhku sudah hujan. Namun itu
tak penting. Yang membuatku tak suka adalah hujan ini, hujan membuatku dapat
melihat semua hantu. Ini menyebalkan.
“Tunggu aku!” hantu itu mengejarku, wajahnya tak terlalu
jelek walaupun sedikit menyeramkan. Ia mirip dengan tokoh vampire difilm-film
dengan bibirnya berlumuran darah, “boleh aku ikut denganmu, aku tak dapat
berbicara dengan seorang manusia pun,” tak kuhiraukan celotehnya. Kakiku terus
melangkah pulang.
“Lihat! Lihat! Itu ada hantu korban pembunuhan!” hantu
itu mendekatiku, ia terlihat takut, “bolehkah aku ikut denganmu? Banyak hantu
menyeramkan disetiap tempat,”
Bodoh! Mana ada hantu takut pada hantu. Seharusnya ia
bercermin jika wajahnya pun menyeramkan. Apakah ia mati bunuh diri di tengah
jalan raya sehingga banyak darah keluar dari mulutnya?
“Hei! Bicara padaku! Bicara!” ia terus menempel, “aku
memukul temanmu karena ia berniat jahat padamu. Aku bersumpah!”
Aku percaya ia tak berbohong namun setidaknya aku bisa
menyelesaikan itu sendiri tanpa bantuan hantu. Rasanya memalukan saat hantu
menolongku walaupun kadang itu cukup baik. Harga diriku seolah jatuh.
“Aku selalu bersembunyi terutama diatas pohon itu,” ia
menunjuk sebuah pohon besar dengan dedaunan yang cukup lebat, “aku keluar dari
pohon itu karenamu. Satu-satunya manusia yang bisa melihatku.”
“Ikuti aku,” aku mengajaknya ke suatu tempat namun
sebelum itu, aku menutup mata dan telinganya. Kelebihanku, aku dapat menyentuh
hantu jika aku ingin tapi kalau tidak, aku bisa menembus mereka seperti angin,
“jangan banyak bertanya.”
Bulu kudukku sedikit merinding ketika memasuki sebuah
bangunan tua. Kalau aku tidak salah, bangunan ini merupakan rumah sakit yang
tutup karena kebakaran. Hujan semakin lebat sehingga kurasa, aku akan lebih
lama melihat hantu-hantu itu berkeliaran. Yah, seandainya saja, aku tak melihat
mereka, kurasa hidupku lebih damai.
Sebelumnya, aku pernah membawa hantu wanita tua yang ke
tempat ini karena ia terus menempel padaku. Awalnya ia menolak namun, ia senang
mendapatkan beberapa teman ditempat ini. Sedikit aneh namun hantu juga memiliki
teman sesama hantu bahkan banyak yang memiliki kelompok tertentu.
“Aleya,” seorang hantu tampan berbisik padaku. Ia
meninggal dirumah sakit ini setelah operasinya gagal, “siapa dia? Apa dia akan
kamu tempatkan disini? Sepertinya ia cukup tampan, aku bisa kalah saing.”
Keluhnya, aku tersenyum, “sesekali, bawalah hantu gadis cantik kalau bisa
secantik dirimu.”
“Aku akan membawanya ke belakang rumah sakit. Hantu satu
ini harus diospek oleh hantu-hantu kejam disana,” jelasku dengan tawa kecil
yang sepertinya tak mendapat persetujuan darinya, “terserah, jangan ganggu
aku.”
Aku membawa hantu yang namanya, entahlah, aku lupa
menanyakan namanya. Ia harus bertemu pada hantu terkejam di tempat ini.
Maksudku bukan kejam pada manusia tapi hantu-hantu itu terkenal kejam sesama
hantu.
Kubuka penutup mata dan telinganya, para hantu kejam
masih tak terlihat, “siapa nama kamu?” tanyaku, ia mengatakan jika namanya
Venus. Ah, seharusnya kukirim dia ke planet Venus karena ia hantu pertama yang
mengganggu kencanku, “baiklah, namaku Aleya, beberapa hantu disini mengenalku.”
Kutinggalkan Venus seorang diri disini. Aku ingin ia
tinggal disini karena kupikir hantu disini ramah-ramah kecuali hantu dibelakang
rumah sakit. Anggap saja ia mengikuti masa orientasi.
Namun, baru beberapa langkah kakiku hampir meninggalkan
tempat ini, ia sudah berteriak. Teriakannya terdengar bukan seperti teriakan
dikerjai namun seperti ketakutan bahkan, Vanus berteriak jika ada hantu.
“Hei! Mengapa kamu membawanya ke tempat ini!” seorang
wanita muda mengomeliku, “bawa ia pergi dari sini!” aku bengong, “ia tak boleh
tinggal disini!” hah? Aku tambah tak percaya. Sejak kapan ada yang melarang
hantu lain untuk tinggal disini? Apakah hantu wanita muda satu ini sedikit
terganggu otaknya, “bawa ia pergi. Ia sangat ketakutan.”
Aku mencoba menghiraukan wanita ini namun suara Venus
mengusik telingatku. ‘hujan, berhentilah.
Kumohon. Hantu-hantu itu menganggu waktuku!’ aku memohon agar hujan
terhenti beberapa saat saja.
“Bawa dia! Bawa!”
Aku kembali ke belakang rumah sakit. Kulihat Venus
meringkuk dengan mencium lututnya sendiri.
“Kami tidak pernah pergi dari tempat ini tapi apakah
kondisi diuar seburuk ini? Bagaimana hantu bisa ketakutan dengan hantu?” aku
mengintip perbincangan para hantu kejam, “apa kalian berpikir seperti itu?”
Teman-temannya yang lain saling memandang. Mereka tampak
bingung dengan ketakutannya Venus padahal niat mereka hanya akan mengerjai
Venus sebagai penghuni baru bukan membuatnya ketakutan seperti manusia.
“Sebentar, apakah anak ini hantu? Benar-benar hantu?”
salah seorang hantu kejam lainnya menjadi kesal sendiri, “Aleya! Jangan
bersembunyi!” aku keluar dari tempat persembunyianku, “bawa anak ini pergi!
Kami tidak bisa menyuruh-nyuruhnya,” aku menunduk merasa bersalah, “sepertinya
ada yang aneh dengan teman hantumu yang baru ini.”
Venus benar-benar terlihat takut padahal kupikir ia hanya
main-main jika takut dengan hantu lain. Apakah ia baru saja meninggal jadi
sedikit sulit beradaptasi? Namun, wajahnya terlihat seseorang yang sudah
beberapa bulan meninggal.
Kuajak Venus pergi dari tempat ini. Para hantu kejam itu
tertawa melihat kepergian Venus yang mereka anggap hantu gila. Namun berbeda
dengan hantu dilorong rumah sakit yang mengatakan Venus memang tak seharusnya
berada ditempat ini bahkan ada yang memarahiku jika aku gadis kejam.
“Terimakasih,” Venus berusaha memelukku namun aku sedang
tak ingin disentuh hantu jadi ia langsung menembus tubuhku, “beberapa hantu
dilorong dan di ruangan dokter terlihat baik tapi aku tetap takut.”
Untuk hari ini, aku akan membawa Venus kerumahku sebelum
mencarikan tempat baru untuknya. Atau, aku akan mengajarinya tentang dunia
hantu agar ia bisa mencari tempat tinggal sendiri.
“Pertamakalinya rumahku dihuni hantu. Sebelumnya,
hantu-hantu itu hanya akan datang sesaat sebelum aku mengusir mereka.”
“Aku mendengar seorang hantu mengatakan jika kamu dapat
melihat hantu saat hujan turun,”
Aku tak menanggapi ucapannya. Sejujurnya, saat tak hujan
pun aku bisa melihat hantu tapi aku bisa tidak melihat hantu jika aku
menginginkannya. Berbeda saat hujan turun, aku akan melihat para hantu selama
hujan terus turun bahkan saat aku menolaknya.
**
Teman-temanku penasaran dengan perkembangan hubunganku
dengan Azka. Sedang aku, entahlah, terakhir kalinya pergi dengan Azka, ia
kebingungan karena merasa dipukul angin.
“Jangan bilang karena belum move on dari masa lalu?”
Senyumkumengembang. Aku tak dapat mengelak itu semua.
Sekalipun semua itu sudah 2 tahun berlalu tapi ada yang terasa janggal.
Sekalipun Azka adalah kakak tiri dari mantan pacarkua yang sudah tiada dan ia
begitu baik, tapi hatiku benar-benar sulit terbuka untuk Azka. Ini jelas, hati
manusia, siapa yang tahu? Kadang berubah tapi terkadang sedikit pun tak bisa
berubah.
‘karena
mungkin cinta membuatku hanya memikirkan satu nama’
Teman-temanku tak habis pikir. Kenapa bisa seperti ini
padahal, sikap keseharianku menunjukkan ia sudah move on.
“Gue denger rumor, lo bisa liat hantu ya? Jangan bilang
hantu mantan pacar lo sekarang ada disini. Sesuatu banget,”
Aku mengambil nafas lelah. Jika saja aku bisa melihatnya
sekalipun ia menjadi hantu, itu baik. Sangat baik. Sayangnya, sampai pemakaman
pun, aku tidak bisa melihat ruh atau hantunya. Mungkin, Tuhan telah memanggilnya
sebelum aku datang saat detik-detik terakhir ia pergi.
“Eh, ada hantu yang cakep atau ganteng gak? Cantik gitu?
Penasaran soalnya di film, hantu itu mengerikan.”
Tidak kurespon ucapan temanku satu ini. Cantik? Tampan?
Wajah mereka begitu pucat. Tak hanya pucat tapi ada beberapa mengenaskan akibat
kecelakaan.
**
Sudah berhari-hari Venus tinggal dirumahku. Dan selama
itu juga hujan selalu turun di sore hari yang artinya, ia mengusikku di sore
hari.
Aku tak tahu hantu macam apa Venus ini. Wajahnya pucatnya
bahkan kuku tangannya menunjukkan jika ia sudah meninggal bukan seseorang yang
koma dimana ruhnya jalan-jalan. Ia jelas hantu, hantu! Namun kenapa ia masih
saja takut dengan hantu setelah berbulan-bulan ia meninggal?
“Aleya! Aleya!” Venus memanggilku. Aku mendengar itu
namun aku tak boleh menyahut atau ia tahu kalau aku bisa melihat hantu saat tak
hujan, “Aleya, leherku, leherku tercekik! Aku mau mati!”
Mati? Apa ia hantu gila? Atau ada seseorang yang
melempatkan jimat padanya?
“Aleya!”
Suaranya membuatku mau tak mau keluar kamar. Aku
menemukannya didapur dengan leher yang tercekik? Ada seutas tali aneh
dilehernya.
“Aku. Aku bisa mati,” suaranya mulai lirih. Ia hantu jadi
tak akan mati dua kali namun jika kubiarkan seperti itu, ia bisa tersiksa terus-menerus.
Dan entahlah, aku merasa sedikit..., benar-benar ingin menolongnya dengan
tulus.
Aku menengok kanan-kiri takut Mama atau Papa melihat
tingkahku yang aneh karena bicara sendirian. Perlahan, aku menarik tangan Venus
untuk kekamarku. Akan kubantu ia melepas tali itu.
Dan, tali itu benar-benar mudah dilepas namun...,
sebentar, tali ini merupakan tali yang dilakukan orang lain. Jelas perbuatan
manusia. Tapi siapa? Apakah manusia sepertiku yang bisa melihat hantu?
“Aku..., terimakasih,” Venus berusaha memelukku, aku
tersenyum tak menolak pelukannya. Tanpa hujan bahkan tak dibawah hujan, aku
membiarkan rahasiaku diketahui seorang hantu, “terimakasih,” pelukannya semakin
erat, kurasakan jantungku terasa aneh walaupun sebelumnya sudah banyak hantu
yang memelukku untuk berterimakasih, “kupikir, tali itu akan membunuhku,” aku
tertawa, perlahan kulepaskan pelukannya namun kurasakan sesuatu yang bergerak
aneh dalam dadanya, “jantungmu, jantungmu?”
Kakiku terasa lemas menyadari apa yang baru saja
kutemukan. Venus membantuku untuk duduk dikursi, ia meminta maaf karena
menyusahkanku. Ia benar-benar meminta maaf dan berterimakasih. Sedangkan aku,
aku mengerti semuanya.
“Kamu tahu kapan kamu meninggal?” Venus mengatakan kalau
ia tak punya ingatan apapun, “hei! Wajahmu itu menyeramkan! Penuh luka! Darah!
Kamu kecelakaan? Atau kamu bunuh diri? Seharusnya kamu tahu alasanmu menjadi
hantu! Sekalipun hilang ingatan, kamu harus memiliki alasan!”
Mata Venus berkedip-kedip. Ia mengangkat bahu. Menegaskan
kalau dirinya memang benar-benar tak ingat apapun dan tak mengerti apapun.
Sedang aku, dengan jelas merasakan detak jantungnya.
Tapi, ini bukan seperti detak jantung orang yang sedang koma atau orang yang
sedang dalam perjalanan menuju alam baka. Ini aneh. Untuk pertamakalinya aku
menemukan hantu hilang ingatan yang sama sekali tak meiliki alasan gentayangan.
Atau, ia bukan hantu?
“Apa ada hantu sepertiku juga? Jelaskan!” Venus memohon.
Aku mengatakan kalau beberapa ada hantu yang hilang ingatan. Mereka menjadi
hantu karena ingin tahu siapa diri mereka, “tapi, aku nyaman mengetahui diriku
seperti ini.”
“Tapi aku gak nyaman berbicara dengan hantu yang aneh
sepertimu!”
**
Azka mengajakku makan malam bersama ibunya. Aku setuju
toh ibunya baik dan aku sudah mengenal ibunya sejak aku berpacaran dengan
Nathan. Sekalipun Mereka keluarga tiri Nathan tapi mereka begitu baik dan
begitu perhatian padaku. Kini, sepertinya, ibunya senang jika aku lebih dekat
dengan Azka.
“Jika saja kamu sebentar lagi selesai kuliah, mungkin
pertunangan cocok untuk kalian,”
“Mama,” Azka menghentikan ibunya. Aku tersenyum. Tak
ingin membuat wanita yang begitu baik padaku kecewa, “jangan bicarakan hal
seperti ini sekarang.”
Mereka berdebat. Aku dapat melihat jika mereka saling
menyayangi. Seandainya saja, seandainya saja Nathan menjadi hantu dan dapat
melihat semua ini. Hanya saja, Nathan tidak menjadi hantu. Ia terlalu kejam
karena tak meninggalkan pesan apapun untukku.
“Jadi kamu masih dengannya? Ckck,” Venus tiba-tiba muncul
ditengah-tengah meja. Aku sedikit terkejut namun tetap berusaha terlihat normal
agar Azka dan Ibunya tak curiga, “orang itu sepertinya kurang baik untuk kamu.
Apa hanya dia pilihannya?” wajahnya terlihat mengejekku.
**
“Sebentar...,” aku
mengingat sesuatu, “ikut aku!”
Aku pergi ke gedung bekas rumah sakit tua namun Venus tak
ingin masuk, ia takut, ia menunggu diluar. Kali ini, kuhargai ketakukannya.
Kukumpulkan semua hantu disana, aku ingin mendapatkan
penjelasan apakah ada hantu yang sama sekali kehilangan seluruh ingatannya
termasuk alasannya menjadi hantu atau ‘mungkin’ setengah hantu.
“Dia dipaksa hilang ingatan, terpaksa hilang ingatan,
atau menginginkan hilang ingatan. Hanya 3 itu kemungkinannya,” hantu tua yang
sudah meninggal puluhan tahun itu tertawa padaku, “apa ini mengenai anak muda
penakut itu? Kami rasa, ia bukan hantu.”
“Lalu apa? Dia ruh?! Kalau dia ruh, wajahnya tak akan
sepucat itu. Kukunya tak akan menyeramkan. Dan wajahnya tak akan berlumuran
darah penuh luka.” Aku menguatkan pendapatku, “apa kalian masih berpikir ia bukan
hantu?”
“Kamu juga hantu!” seorang wanita muda tiba-tiba muncul,
“kalau hantu itu menyeramkan, maka kamu lebih dari hantu!” ia masih marah
padaku karena beberapa bulan lalu aku mengusirnya dari rumahku dengan kejam,
“monster,” senyum sinisnya dilemparkan padaku. Aku tak takut.
Setelah banyak hal yang diperdebatkan, aku keluar,
menemui Venus yang mondar-mandir didepan gedung ini. Ia menanyakan apakah sudah
ada jawabannya. Sayang, tidak ada jawaban.
“Itu karena kamu hilang ingatan,” aku menarik nafas dan menghembuskannya
perlahan, “jika kamu hilang ingatan keseluruhan, bisa jadi kamu belum meninggal
tapi, ciri-ciri tubuh kamu itu hantu. Hantuuuu.”
Mata Venus berkaca-kaca. Memandangku tak percaya. Ia
ingin tahu dimana tubuhnya jika ia belum meninggal. Sayangnya, aku juga tak
tahu.
“Ayo. Kita renang. Aku pusing mendengar semua pendapat
hantu-hantu didalam,”
Kuajak Venus ke sebuah pantai yang sepi. Disini, jika aku
marah atau mengomelinya, tak akan ada yang memandang aneh padaku seolah aku
bicara seorang diri. Ia menolak menyentuh pantai karena ia hanya akan
mengambang diatas air.
Dengan tenang, aku membawanya ke bibir pantai. Kuraih
tangannya. Jika ia menyentuhku, ia bisa merasakan air dengan nyata.
“Aleya! Rasanya dingin! Dingin!” wajahnya terlihat senang
sekalipun penuh dengan darah dan luka, “apa kita bisa pergi lebih jauh lagi ke
tengah?”
Langsung kuanggukkan kepalaku. Ia lebih senang lagi.
Jarang-jarang ada hantu sepertinya atau ruh sepertinya. Tapi, jika ada banyak
yang sepertinya, kepalaku bisa pusing. Mana ada hantu atau ruh yang takut pada
hantu. Menggelikan!
**
Sudah setengah tahun Venus tinggal denganku sebagai hantu
atau entahlah apa. Dan, aku tidak tahu kenapa aku merasa nyaman. Sekalipun ia
hantu yang kepo, bodoh sebagai hantu,
menjengkelkan, dan suka mengganggu tapi entahlah, ada sesuatu yang berbeda.
“Aleya, ganti saluran televisinya,” omel Venus. Aku tepuk
jidad dan melemparnya dengan remote control, “kamu pikir, aku bisa
menggunakan benda ini?” ia menunjuk remote.
Bibirku manyun tapi tetap kupilihkan channel yang menayangkan kartun anak-anak.
Entah bagaimana Venus sebelumnya hidup, ia benar-benar
kekanakan. Yang paling membuatku lelah, ketika ia menanyakan kenapa setiap
hantu memiliki kulit pucat. Argh!
“Kamu sedikitpun gak menyukai Azka. Kenapa masih
dipaksakan?” tanya Venus, aku duduk disampingnya, “ini foto Nathan, kan?
Seperti apa Nathan? Apakah mirip dengan Azka. Kupikir, kamu belum melupakan
Nathan. Fotonya masih berkeliaran dikamarmu.”
“Yang jelas, Nathan gak kekanakan, banyak tanya, menyebalkan
seperti kamu,” jelasku. Venus membela diri kalau ia banyak tanya karena memang
tak tahu apapun tentang dunia para hantu yang membingngkan, “harusnya kamu
bertanya pada hantu lain.”
“Wajah mereka menyeramkan.”
Aku tak mau berdebat lagi.
Venus benar, aku memang belum bisa melupakan Nathan.
Mungkin jika sebelum pergi Nathan menjadi hantu dan bicara sedikit denganku,
aku bisa saja melepasnya. Tapi, ia pergi tanpa bicara. Dan mengenai Azka, aku
menjalankan hubungan ini bukan karena mereka mirip tapi karena, kupikir hanya
Azka yang terbaik dibanding semuanya.
“Gimana kalau kita pacaran aja? Lucu juga hantu dan
manusia pacaran.” Tawanya. Langsung kupukul kepalanya dengan raket yang tadi
lupa kurapikan, “kenapa kamu marah? Jangan bilang kamu menyukaiku. Ckck.”
“Ya! Hantu itu gak punya hati! Gak bisa pacaran!” suaraku
meninggi. Dari sekian hantu yang kukenal, tidak ada diantara para hantu yang
menjalin cinta. Mereka hanya memikirkan orang-orang tercinta mereka ketika
mereka hidup. Jadi, entahlah, aku belum menemukan sesama hantu pacaran lalu
menikah ala-ala hantu. Lagipula,
mereka akan pergi dari dunia ini kalau tujuan mereka sudah tercapai.
***
Azka memintaku untuk tidak lagi mengunjungi makam Nathan.
Ini sulit. Nathan sendirian disana. Bahkan, pemakaman seluas ini hanya untuk
Nathan seorang. Ia tak memiliki teman dipemakaman. Argh! Tapi kan, Nathan tidak
menjadi hantu jadi ia tentu tak perlu merasa kesepian.
“Kalau semua pemakaman sesunyi ini, aku senang,” Venus
berbisik disampingku. Sedang Azka sibuk membersihkan makam adik tirinya.
Benar-benar kakak yang perhatian, “boleh aku menyentuh batu nisannya? Siapa
tahu saja ia bangkit dari kubur.” Canda Venus.
Tapi ia benar-benar menyentuh nisan itu. Ia terdiam
beberapa lama. Ia menceritakan kalau ia pernah menyentuh makam orang lain dan
merasakan getaran tapi tidak dengan makan Nathan. Aku setuju itu, hantu-hantu
yang kukenal juga mengatakan hal yang sama.
“Itu karena kamu gak pintar,” ucapku lirih. Tapi Venus
kini lebih diam lagi. Ia memandangi makam tersebut dengan aneh.
“Ayo, pulang,” Azka mengejutkanku.
Ia mengantarkanku pulang ke rumah. Sedang Venus mengikuti
kami dari belakang dengan berlari ala
hantu.
Setiba dirumah, Venus mengomel karena makam Nathan aneh.
Sepi. Sunyi. Seolah bukan pemakaman. Ia kasihan pada Nathan, “kalau aku
meninggal, aku gak mau sendirian dipemakaman. Setidaknya, bersama orang yang
kusayangi. Kalau ia masih diberi hidup lama, gak masalah, aku akan menunggu
dipemakaman. Sendiri seperti itu menyedihkan,” ucapnya. Aku diam.
Otakku mengingat sesuatu. Kupegang kedua wajah Venus.
Mengambil lap basah dan mencoba membersihkan seluruh darah yang mengering
diwajahnya. Ada yang membuatku penasaran dan ini pertamakalinya aku
membersihkan wajah seorang hantu.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku diam. Membeku. Ia terus menatapku heran.
**
Venus menjaga jarak denganku. Ia kini seperti takut
mendengarku bicara, “kamu ini seorang wanita. Wanita!” ia menegaskan.
“Kenapa? Aku suka sama kamu. Bahkan mungkin, cinta,”
senyumku makin mengembang. Ia ketakutan tapi aku tertawa terus menggodanya,
“kita harus membuat rekor. Jarang-jarang ada hantu memiliki hubungan seperti
ini dengan manusia.”
Tapi, Venus langsung berlari. Pergi. Entah ia bersembunyi
dimana. Sepertinya Venus, dadaku sesak. Air mataku jatuh. Benar-benar jatuh.
Kini aku tahu, alasan Nathan tidak mengatakan apapun
ketika ia dinyatakan meninggal oleh keluarganya. Kini aku tahu kenapa aku
merasa sulit marah pada Venus. Karena, mereka orang yang sama. Sama.
“Aleya?” tiba-tiba Venus muncul, “aneh. Apa aku salah
bicara? Maaf. Kamu gak akan mengusirku ke rumah hantu itu, kan?”
Kepalaku menggeleng. Melempar senyum padanya. Menghapus
air mataku, “cewek aneh,” ia duduk di sofa. Memintaku agar menghidupan
televisi. Ia ingin menonton kartun. Cepat-cepat aku duduk disampingnya. Tersenyum
dan menonton dengannya. Sedang ia, merasa aneh dengan perubahanku.
***
Aku menuntut penjelasan dari Azka. Semuanya terasa
ganjil. Ia diam. Ia justru menegaskan kalau sebaiknya kami cepat bertunangan.
“Nathan masih bernafas? Apa, apa kalian membunuhnya
perlahan?” tanyaku, “kupikir, kalian baik padanya.”
Ibunya muncul. Ia mengatakan kalau aku mimpi buruk.
Tidak! Aku tidak mimpi buruk! Jika seorang hantu hilang ingatan pasti ada
alasan! Kalau seorang hantu memiliki sedikit detak jantung, bisa jadi ia ruh
atau mungki benar saja setengah hantu.
“Apakah, kalian melakukan kejahatan?” tanyaku, mimik
wajah ibunya Azka berubah.
Aku pergi darisana.
Menyelidiki satu persatu.
Sehari demi sehari. Berminggu-minggu. Hingga akhirnya aku
menemukan kalau seluruh warisan yang dimiliki Nathan berpindah tangan pada
ibunya Azka. Ibu tirinya. Tentu aku terkejut.
Kutemui mereka. Meminta penjelasan. Atau aku bisa
melakukan sesuatu yang menyeramkan, “bisakah, bisakah kita membongkar makam
Nathan?”
***
Kukumpulkan beberapa hantu yang cukup dekat denganku.
Meminta mereka datang ke makam Nathan. Naas, hasilnya? Mereka menyatakan dengan
tegas kalau tidak ada kerangka manusia didalamnya.
Hatiku sakit. Benar-benar sakit! Bagaimana bisa?
“Venus itu Nathan, benar bukan?” hantu wanita tua
tersenyum, “beberapa dari kami sudah mengatakan kalau ia bukan bagian dari
kami. Kenapa ia ketakutan? Karena ia bukan ruh juga bukan hantu.”
***
Venus tertawa ketika ia membaca komik. Aku heran. Ia bisa
membuka lembar komik tapi tak bisa memencet tombol remote control. Tapi, entahlah, Venus berbeda dari Nathan. Ia
terlalu kekanakan. Sekalipun terkadang Nathan kekanakan tapi tidak seperti
Venus yang mirip anak berusia 5 tahun.
“Kamu belakangan jarang di rumah. Kemana aja?”
Apakah aku harus menjawabnya?
***
Kutemukan tubuh Nathan terbaring lemah di sebuah ruangan
dalam rumah Azka. Ia memang tidak koma, tidak juga meninggal. Ia dipaksa
tertidur dan seperti diminta mati perlahan. Melihatnya, aku tidak sedih tapi
marah. Benar-benar marah.
“Polisi akan tiba. Mereka dalam perjalanan,” ujar seorang
hantu anak kecil padaku, “apa Venus sudah tahu ini?”
Sayangnya, Venus tidak tahu seperti ini.
***
Venus meraih tanganku. Ia berteriak kesakitan. Ia
memintaku membantunya, “aku tercekik. Seperti mau mati! Bantu aku. Aleya.
Kumohon.” Aku membiarkannya. Hanya melempar senyum. Ini memang menyakitkan
baginya tapi, ini lebih baik daripada ia yang berkeliaran tanpa arah.
“Aku sayang sama kamu. Bahkan, saat kupikir kamu pergi
dari dunia ini, hanya ada kamu dimataku. Seperti itu.” Ucapku padanya sebelum
tubuhnya perlahan memudar, ia menggelengkan kepala.
Tiba-tiba seseorang menghubungiku. Nathan sudah sadar.
Aku tersenyum lega. Buru-buru aku pergi ke rumah sakit. Membuka pintu tempat
Nathan dirawat, “bisakah kamu mengambilkan remote
tv dan membiarkanku menonton kartun?” tanyanya, aku terkejut.
Ia ingat semuanya. Tidak ada yang terlewat. Ia ingat saat
menjadi Venus dan berubah kekanakan serta berubah menjadi bodoh. Dan, ia pun
ingat semua hal sebelum ia menjadi setengah ruh dan setengah hantu.
“Karena saudara dan ibu tiri aku di penjara, aku
sendirian. Boleh aku tinggal lagi dirumah kamu?” candanya, aku tertawa.
Entahlah. Sikapnya sedikit aneh. Mungkin ia masih bingung harus bersikap
seperti Venus atau seperti sebelum ia menjadi setengah hantu.
END
*) Hei, yuk baca catatan calon cerpen atau bisa jadi calon novel. Judulnya "CRAVINTA". Untuk membaca KLIK DISINI
END
*) Hei, yuk baca catatan calon cerpen atau bisa jadi calon novel. Judulnya "CRAVINTA". Untuk membaca KLIK DISINI