MAKALAH TAUHID/ILMU
KALAM
Iman dan Taqwa
Disusun oleh
Aula Nurul Ma’rifah
Risky
Kusumaningtyas
Selma
Purnamasari
Umi Rohmah
Institut Agama Islam
Negeri
Raden Intan Lampung
Tahun 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita dan tak lupa pula kita mengirim salam dan salawat
kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawakan kita suatu ajaran
yang benar yaitu agama Islam, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Iman dan Takwa” ini dengan lancar.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari banyak pihak sangat kami
harapkan untuk menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini, kami harapkan makalah ini dapat bermanfaat dan mampu
menambah wawasan bagi semua semua orang.
BandarLampung, September 2013
Penulis
Kelompok
8
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Implementasi Iman Dan Taqwa
Dalam Kehidupan Modern
Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena begitu pentingnya
taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan dunia ini sehingga
beberapa syariat islam yang diantaranya puasa sebagai wujud pembentukan diri
seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan lebih sering lagi setiap
khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu menganjurkan jamaah untuk
selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa dalam kehidupan beragama
membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang diharapkan dari tujuan hidup
manusia (ibadah).
Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim.
Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi
pembeda dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah
refleksi iman seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti
binatang, jin dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap
taqwa, karena binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana
beriman kepada Allah yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara
sederhana adalah “percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara
manusia dengan makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah
mengucapkan dua kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya
dengan bertaqwa dalam arti menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi
segala laranganNya, dan dia juga tidak mau terikat dengan segala aturan
agamanya dikarenakan kesibukannya atau asumsi pribadinya yang mengaggap
eksistensi syariat agama sebagai pembatasan berkehendak yang itu adalah hak
asasi manusia, kendatipun dia beragama akan tetapi agamanya itu hanya sebagai
identitas pelengkap dalam kehidupan sosialnya, maka orang semacam ini tidak
sama dengan binatang akan tetapi kedudukannya lebih rendah dari binatang,
karena manusia dibekali akal yang dengan akal tersebut manusia dapat melakukan
analisis hidup, sehingga pada akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud
implementasi dari keimanannya.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang
aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang
muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan
menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan
sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba
mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan
umat islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi
sangat menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam
terdahulu yang kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu
yang cukup mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu
mewujudkan satu konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap
taqwa sebagai tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun.
Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang
berbentuk syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti
himbauan khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa
faktor, diantaranya yang pertama muslim yang bersangkutan belum paham
betul makna dari taqwa itu sendiri, sehingga membuatnya enggan untuk memulai,
dan yang kedua ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia harus
mulai merilis sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana dia hidup
tidak mendukung dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang
kehidupan yang serba bisa dan cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap
individu muslim harus paham pos – pos alternatif yang harus dilaluinya,
diantaranya yang paling awal dan utama adalah gadhul bashar (memalingkan
pandangan), karena pandangan (dalam arti mata dan telinga) adalah awal dari
segala tindakan, penglihatan atau pendengaran yang ditangkap oleh panca indera
kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh anggota tubuh dan akhirnya
berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika penglihatan atau
pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti sesuatu yang dilarang agama
maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati sudah kotor maka pikiran (akal)
juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi kehidupan nyata, dan jika
prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit mencapai sikap taqwa.
Oleh karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat plural ini dirasa perlu
menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal yang dilarang
agama sebagai cara awal dan utama dalam mendidik diri menjadi muslim yang
bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari hal-hal yang
dilarang agama, menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan besar dalam
memperoleh taqwa. Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh
dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa
kepada kehidupan akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai
sesuatu yang pasti dan tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan
setelah kematian menjadikan taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam
kehidupan manusia yang sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan
mulai melakukan hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih
diri untuk terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya,
karena arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin
Al-Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi
wajtinabinnawahih”, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Iman dan Taqwa?
2. Bagaimana Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan modern?
3. Hubungan timbal balik antara Taqwa dan Iman ?
1.3 Tujuan
Memberitahukan kepada teman-teman apa
itu Iman dan Taqwa serta bagaimana cara meningkatkannya dan juga landasan
teorinya. Dan, supaya kita semua dapat berbenah diri untuk terus memperbaiki
Iman dan Taqwa kita.
BAB II
LANDASAN TEORI
Kita
diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk
bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah
dijelaskan dalam firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّ
لِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ
إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai
Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS. 51:56-58)
Allah
telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan
manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik.
Sehingga
Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang
belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu
tujuan tertentu dalam firmanNya :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ
عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ
Maka
apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main
(saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS. 23:115)
Ayat
yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main
saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya
untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak
dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia ini. Tentu saja
jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan tujuan yang agung
dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian
dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia
amalkan) serta (mendapatkan) syurga atau neraka.
Demikianlah
seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan
proforsonal dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir
seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan
taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah
adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal
(QS. 49:13)
Namun
untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:
1,
I’tishom bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan
berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini
kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa perkara yang
berikutnya, yaitu;
2,
I’tishom billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta
memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan mewujudkan
yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari rintangan
mengamalkannya.
Sebab
seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti membutuhkan dua hal,
pertama, pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana cara mencapainya dan
kedua, selamat dari rintangan yang menghalangi terwujudnya tujuan tersebut.
Imam
Ibnu Al Qayyim menyatakan: Poros kebahagian duniawi dan ukhrowi ada pada
I’tishom billahi dan I’tishom bihablillah dan tidak ada kesuksesan kecuali bagi
orang yang komitmen dengan dua hal ini. Sedangkan I’tishom bi hablillah melindungi
seseorang dari kesesatan dan I’tishom billahi melindungi seseorang dari
kehancuran. Sebab orang yang berjalan mencapai (keridhoan) Allah seperti
seorang yang berjalan diatas satu jalanan menuju tujuannya. Ia pasti
membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam perjalanan, sehingga tidak
mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini. Dalil (petunjuk)
menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan menunjukinya kejalan (yang
benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi alat keselamatan dari para
perampok dan halangan perjalanan. I’tishom bi hablillah memberikan hidayah
petunjuk dan mengikuti dalil sedang I’tishom billah memberikan kesiapan,
kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab keselamatannya di perjalanan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian iman dan taqwa
Pengertian Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun
menurut istilah syari’at yaitu meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan
dan membuktikannya dalam amal perbuatan yang terdiri dari tujuh puluh tiga
hingga tujuh puluh sembilan cabang. Yang tertinggi adalah ucapan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan yang menggangu orang yang sedang berjalan,
baik berupa batu, duri, barang bekas, sampah, dan sesuatu yang berbau tak sedap
atau semisalnya. Iman merupakan perpaduan antara aqidah dengan syariah atau
perpaduan keyakinan dan amal dan perbuatan,tetapi jika tidak melaksanakan
ketentuan Allah dan rasulnya maka orang itu belum bias dikatakan beriman.
Rasulullah
Shallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Iman lebih dari tujuh puluh atau
enam puluh cabang, paling utamanya perkataan dan yang paling rendahnya
menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan cabang dari
keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi: 2614).
Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh bentuk amal
kebaikan yang kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu Allah
menggolongkan dan menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman dalam
firmanNya, ”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” (QS.
Al-Baqarah:143). Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud ’imanmu’ adalah
shalatmu tatkala engkau menghadap ke arah baitul maqdis, karena sebelum turun
perintah shalat menghadap ke Baitullah (Ka’bah) para sahabat mengahadap ke
Baitul Maqdis.
Iman kepada Allah
adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang disifati dengan sifat-sifat
keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha
Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara
dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang
dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya apa yang dikehendakiNya.
Beriman kepada Allah juga bisa diartikan, berikrar dengan macam-macam tauhid
yang tiga serta beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal dengannya yaitu tauhid
rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa ash-shifaat.
Iman kepada Allah
mengandung empat unsur:
1. Beriman akan
adanya Allah. Mengimani
adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan:
(a). Bahwa manusia
mempunyai fitrah mengimani adanya Tuhan
Tanpa harus di
dahului dengan berfikir dan sebelumnya. Fitrah ini tidak akan berubah kecuali
ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah hatinya. Nabi Shallahu’alaihi wa sallam
bersabda: ”Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam keadaan fitrah, kedua
orangtuanya lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR.
Bukhori). Bahwa makhluk tersebut tidak muncul begitu saja secara kebetulan,
karena segala sesuatu yang wujud pasti ada yang mewujudkan yang tidak lain
adalah Allah, Tuhan semesta alam. Allah berfirman, ”Apakah mereka diciptakan
tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”
(QS. Ath-Thur: 35)
Maksudnya, tidak
mungkin mereka tercipta tanpa ada yang menciptakan dan tidak mungkin mereka
mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti mereka pasti ada yang menciptakan,
yaitu Allah yang maha suci.
(b). Adannya
kitab-kitab samawi
Yang membicarakan
tentang adanya Allah. Demikian pula hukum serta aturan dalam kitab-kitab
tersebut yang mengatur kehidupan demi kemaslahatan manusia menunjukkan bahwa
kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa
(c). Adanya
orang-orang yang dikabulkan do’anya.
Ditolongnya
orang-orang yang sedang mengalami kesulitan, ini menjadi bukti-bukti kuat
adanya Allah.
(d). Adanya
tanda-tanda kenabian seorang utusan yang disebut mukjizat
suatu bukti kuat
adanya Dzat yang mengutus mereka yang tidak lain Dia adalah Allah Azza wa
Jalla. Misalnya: Mukjizat nabi Musa ’Alahissalam. Tatkala belau diperintah
memukulkan tongkatnya ke laut sehngga terbelahlah lautan tersebut menjadi dua
belas jalan yang kering dan air di antara jalan-jalan tersebut laksana gunung.
Firman Allah, ”Lalu kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan
tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti
gunung yang besar” (QS. Asy-Syu’ara’: 63)
Pengertian TAQWA
secara dasar adalah Menjalankan perintah, dan menjauhi larangan. Kepada siapa
??? maka dilanjukan dengan kalimat Taqwallah yaitu taqwa kepada Allah SWT.
Kelihatan kata-kata tersebut ringan diucapkan tapi kenyataan-nya banyak orang
yang belum sanggup bahkan terkesan asal-asalan dalam menerapkan arti kata Taqwa
tersebut, lihat sekitar kita ada beberapa orang yang tidak berpuasa dan
terang-terangan makan di tempat umum, padahal bila ditanya ” mas, agama-nya
apa?” jawab-nya muslim, ada juga yang sudah berpuasa tapi masih suka melirik
kanan-kiri dan ketika ditanya ” mas, ini kan lagi puasa?” jawabnya cuma
sebentar kan boleh. Ya… Allah, manusia…, manusia.., sebenarnya banyak contoh
bagaimana lingkungan di sekitar kita atau mungkin diri saya pribadi masih belum
mampu mengemban amanah Taqwallah dengan sepenuhnya.
TAQWA = Terdiri dari
3 Huruf :
Ta = TAWADHU’
artinya sikap rendah dirii (hati), patuh, taat baik kepada aturan Allah SWT,
maupun kepada sesama muslim jangan menyombongkan diri.
Qof = Qona’ah artinya
Sikap menerima apa adanya (ikhlas), dalam semua aspek, baik ketika mendapat
rahmat atau ujian, barokah atau musibah, kebahagiaan atau teguran dari Allah
SWT, harus di syukuri dengan hati yang lapang dada.
Wau = Wara’ artinya
Sikap menjaga hati / diri (Introspeksi), ketika menemui hal yang bersifat
subhat (tidak jelas hukum-nya) atau yang bersifat haram (yang dilarang) oleh
Allah SWT. beberapa ulama mendifinisikan dengan :
Taqwa = dari kata
= waqa-yaqi-wiqayah = memelihara yang artinya memelihara iman agar terhindar
dari hal-hal yang dibenci dan dilarang oleh Allah SWT.
Taqwa = Takut yang
artinya takut akan murka da adzab allah SWT.
Taqwa = Menghindar
yang artinya menjauh dari segala keburukan dan kejelekan dari sifat syetan.
Taqwa = Sadar yang
artinya menyadari bahwa diri kita makhluk ciptaan Allah sehingga apapun bentuk
perintah-nya harus di taati, dan jangan sekali-kali menutup mata akan hal ini.
“Hai Orang-orang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah, dengan
sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati, melainkan dalam keadaan
beragama islam.” (Al-Imron) :
Dr. Abdullah Nashih
Ulwan menyebut ada 5 langkah yang dapat dilakukan untuk mencapai taqwa, yaitu:
a. Mu’ahadah Mu’ahadah
berarti selalu
mengingat perjanjian kepada Allah swt., bahawa dia akan selalu beribadah kepada
Allah swt. Seperti merenungkan sekurang-kurangnya 17 kali dalam sehari semalam
dia membaca ayat surat Al Fatihah : 5 “Hanya kepada Engkau kami beribadah dan
hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan”
b. Muraqabah Muraqabah
berarti merasakan
kebersamaan dengan Allah swt. dengan selalu menyedari bahawa Allah swt. selalu
bersama para makhluk-Nya dimana saja dan pada waktu apa sahaja. Terdapat
beberapa jenis muraqabah, pertamanya muraqabah kepada Allah swt. dalam
melaksanakan ketaatan dengan selalu ikhlas kepadaNya. Kedua muraqabah dalam
kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total.
Ketiga, muraqabah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab
kepada Allah dan bersyukur atas segala nikmatNya. Keempat muraqabah dalam
mushibah adalah dengan redha. atas ketentuan Allah serta memohon pertolonganNya
dengan penuh kesabaran.
c. Muhasabah
Muhasabah sebagaimana
yang ditegaskan dalam Al Quran surat Al Hasyr: 18, “Wahai orang-orang
yang beriman! Takwalah kepada Allah dan hendaklah merenungkan setiap diri,
apalah yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan takwalah kepada Allah!
Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa jua pun yang kamu kerjakan”
Ini bermakna
hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya tatkala selesai melakukan amal
perbuatan, apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan redha. Allah? Atau apakah
amalnya dicampuri sifat riya? Apakah ia sudah memenuhi hak-hak Allah dan
hak-hak manusia.
d. Mu’aqabah Mu’aqabah
ialah memberikan hukuman atau denda terhadap diri
apabila melakukan kesilapan ataupun kekurangan dalam amalan. Mu’aqabah ini
lahir selepas Muslim melakukan ciri ketiga iaitu muhasabah. Hukuman ini bukan
bermaksud deraan atau pukulan memudaratkan, sebaliknya bermaksud Muslim yang
insaf dan bertaubat berusaha menghapuskan kesilapan lalu dengan melakukan
amalan lebih utama meskipun dia berasa berat.dalam Islam, orang yang paling
bijaksana ialah orang yang sentiasa bermuhasabah diri dan melaksanakan amalan
soleh.
e. Mujahadah
Makna mujahadah
sebagaimana disebutkan dalam surat Al Ankabut ayat 69 adalah apabila seorang
mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi
melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya,
maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari
sebelumnya. Dalam hal ini ia harus tegas, serius dan penuh semangat sehingga
pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia baginya dan menjadi sikap
yang melekat dalam dirinya. Sebagai penutup, Allah swt. telah berfirman dalam
Al-Quran yang bermaksud: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kamu mati melainkan
di dalam keadaan Islam”. (‘Ali Imran: 102)
3.2 Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan
modern
Problem-problem manusia dalam kehidupan modern adalah munculnya dampak negatif
(residu), mulai dari berbagai penemuan teknologi yang berdampak terjadinya
pencemaran lingkungan, rusaknya habitat hewan maupun tumbuhan, munculnya
beberapa penyakit, sehingga belum lagi dalam peningkatan yang makro yaitu
berlobangnya lapisan ozon dan penasan global akibat akibat rumah kaca.
Manusia tidak mampu lari seperti kuda dan mengangkat benda-benda berat seperti
sekuat gajah, namun akal manusia telah menciptakan alat yang melebihi kecepatan
kuda dan sekuat gajah. Kelebihi manusia dengan mahkluk lain adalah dari
Akalnya. Sedangkan dalam bidang ekonomi kapitalisme-kapitalisme yang telah
melahirkan manusia yang konsumtif, meterialistik dan ekspoloitatif.
Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena begitu
pentingnya taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan dunia
ini sehingga beberapa syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai wujud
pembentukan diri seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan lebih
sering lagi setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu menganjurkan
jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa dalam
kehidupan beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang diharapkan
dari tujuan hidup manusia (ibadah).
Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim.
Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi
pembeda dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah
refleksi iman seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti
binatang, jin dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap
taqwa, karena binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana
beriman kepada Allah yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara
sederhana adalah “percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara
manusia dengan makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah
mengucapkan dua kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya
dengan bertaqwa dalam arti menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi
segala laranganNya, dan dia juga tidak mau terikat dengan segala aturan
agamanya dikarenakan kesibukannya atau asumsi pribadinya yang mengaggap
eksistensi syariat agama sebagai pembatasan berkehendak yang itu adalah hak
asasi manusia, kendatipun dia beragama akan tetapi agamanya itu hanya sebagai
identitas pelengkap dalam kehidupan sosialnya, maka orang semacam ini tidak
sama dengan binatang akan tetapi kedudukannya lebih rendah dari binatang,
karena manusia dibekali akal yang dengan akal tersebut manusia dapat melakukan
analisis hidup, sehingga pada akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud
implementasi dari keimanannya.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang
aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang
muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan
menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan
sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba
mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan
umat islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi
sangat menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam
terdahulu yang kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu
yang cukup mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu
mewujudkan satu konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap
taqwa sebagai tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun.
Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang
berbentuk syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti
himbauan khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa
faktor, diantaranya yang pertama muslim yang bersangkutan belum paham
betul makna dari taqwa itu sendiri, sehingga membuatnya enggan untuk memulai,
dan yang kedua ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia harus
mulai merilis sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana dia hidup
tidak mendukung dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang
kehidupan yang serba bisa dan cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap
individu muslim harus paham pos – pos alternatif yang harus dilaluinya,
diantaranya yang paling awal dan utama adalah gadhul bashar (memalingkan
pandangan), karena pandangan (dalam arti mata dan telinga) adalah awal dari
segala tindakan, penglihatan atau pendengaran yang ditangkap oleh panca indera
kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh anggota tubuh dan akhirnya
berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika penglihatan atau
pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti sesuatu yang dilarang agama
maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati sudah kotor maka pikiran (akal)
juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi kehidupan nyata, dan jika
prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit mencapai sikap taqwa.
Oleh karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat plural ini dirasa perlu
menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal yang dilarang
agama sebagai cara awal dan utama dalam mendidik diri menjadi muslim yang
bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari hal-hal yang
dilarang agama, menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan besar dalam
memperoleh taqwa. Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh
dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa
kepada kehidupan akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai
sesuatu yang pasti dan tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan
setelah kematian menjadikan taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam
kehidupan manusia yang sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan
mulai melakukan hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih
diri untuk terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya,
karena arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin
Al-Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi
wajtinabinnawahih”, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganya.
Problem
dalam Hal Ekonomi
Semakin lama manusia semakin
menganggap bahwa dirinya merupakan homo economicus, yaitu merupakan makhluk
yang memenuhi kebutuhan hidupnya dan melupakan dirinya sebagai homo religious
yang erat dengan kaidah – kaidah moral.Ekonomi kapitalisme materialisme yang
menyatakan bahwa berkorban sekecil – kecilnya dengan menghasilkan keuntungan
yang sebesar – besarnya telah membuat manusia menjadi makhluk konsumtif yang
egois dan serakah (saya sendiri mengakuinya).
Problem
dalam Bidang Moral
Pada hakikatnya Globalisasi adalah
sama halnya dengan Westernisasi. Ini tidak lain hanyalah kata lain dari
penanaman nilai – nilai Barat yang menginginkan lepasnya ikatan – ikatan nilai
moralitas agama yang menyebabkan manusia Indonesia pada khususnya selalu
“berkiblat” kepada dunia Barat dan menjadikannya sebagai suatu symbol dan tolok
ukur suatu kemajuan.
Problem
dalam Bidang Agama
Tantangan agama dalam kehidupan modern
ini lebih dihadapkan kepada faham Sekulerisme yang menyatakan bahwa urusan
dunia hendaknya dipisahkan dari urusan agama. Hal yang demikian akan
menimbulkan apa yang disebut dengan split personality di mana seseorang bisa
berkepribadian ganda. Misal pada saat yang sama seorang yang rajin beribadah
juga bisa menjadi seorang koruptor.
Problem
dalam Bidang Keilmuan
Masalah yang paling kritis dalam
bidang keilmuan adalah pada corak kepemikirannya yang pada kehidupan modern ini
adalah menganut faham positivisme dimana tolok ukur kebenaran yang rasional,
empiris, eksperimental, dan terukur lebih ditekankan. Dengan kata lain sesuatu
dikatakan benar apabila telah memenuhi criteria ini. Tentu apabila direnungkan
kembali hal ini tidak seluruhnya dapat digunakan untuk menguji kebenaran agama
yang kadang kala kita harus menerima kebenarannya dengan menggunakan keimanan
yang tidak begitu poluler di kalangan ilmuwan – ilmuwan karena keterbatasan
rasio manusia dalam memahaminya. Anda merasakan itu?
Perbedaan metodologi yang lain bahwa
dalam keilmuan dikenal istilah falsifikasi. Apa itu? Artinya setiap saat
kebenaran yang sudah diterima dapat gugur ketika ada penemuan baru yang lebih
akurat. Sangat jauh dan bertolak belakang dengan bidang keagamaan.Jika anda
tidak salah lihat, maka akan banyak anda temukan banyak ilmuwan yang telah
menganut faham atheis (tidak percaya adanya tuhan) akibat dari masalah –
masalah dalam bidang keilmuan yang telah tersebut di atas.
Kalau bersama – sama kita telah
melihat sebagian kecil dari beberapa bagian besar problematika dalam kehidupan
kita saat ini, apa yang sebaiknya menjadi solusi bersama dalam meningkatkan
ketahanan tubuh Negara kita terhadap prediksi – prediksi kehancuran moral
bangsa Indonesia akibat dari kekurang selektifan kita terhadap apa yang namanya
Westernisasi?
3.3 Hubungan timbal balik antara taqwa dan iman
Iman dan taqwa adalah dua
unsur pokok bagi pemeluk agama. Keduanya merupakan elemen yang penting dalam
kehidupan makhluq manusia dan sangat erat hubungannya dalam menentukan nasib
hidupnya serta memiliki fungsi yang urgen.
Menurut ahli hukum, iman itu
hanya sekedar pengakuan suatu makna yang terkandung dalam lubuk hati, menurut
para teolog, iman itu adalah kepercayaan yang tertanam dalam lubuk hati dengan
keyakinan yang kuat tanpa tercampuri oleh keraguan dan berperan terhadap
pendangan hidup atau amal perbuatan sehari-hari. Sedangkan menurut berbagai
filosof, iman diartikan lebih jauh dari lafidz dan makna serta tidak terikat
dengan dalil-dalil apologis. Misalnya Karl Teodor Yoeper seorang filosof Jerman
mengetengahkan istilah iman falsafi yang universil yang berlaku untuk semua
zaman dan kebudayaan. Isi iman falsafi baginya, bahwa Allah itu ada, manusia
harus mampu memilih memilih yang baik secara tak bersarat, dunia tidak
merupakan kenyataan terakhir dan bahwa cinta kasih manusia merupakan suatu
bukti adanya Allah. Semua pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas pada
dasarnya menunjukkan, bahwa iman itu berperanan dan berpengaruh terhadap tindak
laku manusia dalam segala aspek kahidupan manusia.
Menurut filosof islam Imam
Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat spiritual
atau batin, dimana hati dapat menangkap iman dalam pengertian hakiki melalui
kasyaf yang diperoleh berkat pancaran sinar Ilahi padanya. Dalam kesempatan
lain beliau menegaskan, bahwa arti iman adalah pengakuan yang kuat tidak ada
pembuat (faa`il) selain Allah. Makna iman yang dikemukakan ini
menimbulkan problema metafisis, diantaranya membatasi sebab pembuat (illah
faa`iliyah) hanya kepada Allah, manafikan kebebasan berikhtiar dari manusia
serta penyerahan diri (tawakkal) kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini
disebut dengan istilah tauhid, sebab artinya keimanan itu tidak boleh
menghubungkan sebab tersebut kepada selai Allah. Dialah pembuat satu-satunya dan selain-Nya hanya sekedar washilah
(perantara). Hukumnya
perantara itu dalam tinjauan filsafat juga sebab, namun sebab pokok.
Bagi Imam Ghozali iman
itu bukan lawan dari syirik, tetapi peng-Esaan kepada Kholiq (Pencipta). Oleh
karena itu bagi orang yang meng-Esakan Allah harus bersikap tawakkal. Tawakkal
bukan berarti maniadakan ikhtiar, tetapi maniadakan kebebasan berikhtiar,
karena dalam tawakkal manusia berkesempatan untuk kasab (berusaha). Bahkan dengan tawakkal itu dapat mengenal
hakekat ikhtiar dan sekaligus dapat mengetahui nilai dan kualitas iman. Iman
yang sebenarnya harus membuahkan tawakkal, sehingga dapat memperoleh ridho
Allah. Dalam kitab suci dikemukakan, bahwa Nabi Hud, Nabi Musa dan tang lainya
telah menjadikan tawakkal sebagai benteng kekuatan bertaqwa dalam menghadapi
kaumnya. Ini semua menunjukkan, bahwa antara iman dan taqwa saling berpengaruh
dalam membentuk membentuk manusia berkepribadian luhur.
Taqwa itu pada prinsipnya
adalah amal batin atau lahir, baik yang bersifat mengikuti perintah Tuhan
maupun amal yang berbentuk menjauhi larangan Tuhan. Yang menjadi problema
apakah unsur amal itu menjadi syarat iman, dengan pengertian, bahwa apakah
tanpa amal seseoran tidak dianggap beriman. Iman adalah sesuatu yang
tersembunyi dalam jiwa (Ma waqaro fil qalbi). Berdasarkan eksperimen sebagian
besar ahli jiwa berkesimpulan, bahwa iman kepada Allah termasuk obat yang
manjur untuk menyembuhkan penyakit jiwa atau menghilangkan gangguan jiwa.
Kesimpulan inin diperkuat oleh filosof-silosof besar diantaranya Francis Bacon,
William James, Kierkegoor dan lain-lain.
Menurut filosof Islam
Jamaluddin Alafghoni, bahwa iman kepada Allah menumbuhkan keteguahan pendirian
dalam menghadapi kesulitan dan bahaya, bahkan mampu untuk membentuk kerelaan
dan meninggalkan kemewahan hidup, manakala ada seruan untuk bejuang dijalan Allah.
Dalam Islam pengaruh iman diantaranya rasa tawakkal (Ali Imron: 160). Tawakkal
dalam tinjauan tasawuf ini harus seiring dengan kesabaran. Keberhasilan manusia
tidak mungkin sepenuhnya dari usaha sendiri. Sedangkan kecil dan tidaknya
ditentukan oleh berbagai faktor diluar kemampuannya. Faktor-faktor itu adalah
sebab keberhasilan. Banyak akibat yang sebabnya bermacam-macam dan sebaliknya,
banyak sebab yang akibatnya bermacam-macam. Banyak akibat yang sulit diketahui
sebabnya dan banyak sebab yang sulit diketahui akibatnya. Dalam situasi diatas
sikap tawakkal sangat diperlukan.
Bagi insan yang bertaqwa, kita harus memandang alam dari
empat segi,yaitu: 1. Apresiasi 2. Kreatif 3. Proaktif 4. Produktif.
Peran iman dan taqwa di dalam
problem dan tantangan kehidupan moderen
Adalah
suatu masalah besar yang harus di hadapi oleh setiap orang (Manusia) karna
seperti yang kita lihat selama ini semakin bertambahnya Zaman pasti akan ada
perubahan! baik dalam segi moral, agama, budaya, maupun dalam segi sosial kehidupan
di dalam masyarakat. Dan yang paling utama dalam segi agama, kepercayaan dan
keyakinan sehingga dalam segi iman dan taqwapun berkurang.
Peranan Iman dan Taqwa dalam Menjawab
Problema dan Tantangan Kehidupan Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia
sangat besar. Berikut ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman
pada kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.
Orang yang beriman hanya percaya pada
kekuatan dan kekuasaan Allah. Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan
sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan,
menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda-benda keramat, mengikis
kepercayaan pada khurafat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya. Pegangan orang
yang beriman adalah surat al-Fatihah ayat 1-7.
2. Iman menanamkan semangat berani menghadap maut.
Orang yang beriman yakin sepenuhnya
bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan
mati adalah firman Allah dalam QS. an-Nisa/4:78.
3. Iman menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
Rezeki atau mata pencaharian memegang
peranan penting dalam kehidupan manusia. manusia tidak segan-segan melepaskan
prinsip, menjual kehormatan dan bermuka dua, menjilat dan memperbudak diri untuk
kepentingan materi. Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah
dalam QS. Hud/11:6.
4. Iman memberikan ketenteraman jiwa.
Orang yang beriman mempunyai
keseimbangan, hatinya tenteram (mutmainnah), dan jiwanya tenang (sakinah),
seperti dijelaskan dalam firman Allah surat ar-Ra’d/13:28.
5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan
tayyibah).
Kehidupan manusia yang baik adalah
kehidupan orang yang selalu menekankan kepada kebaikan dan mengerjakan
perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS.
an-Nahl/16:97.
6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
Iman memberi pengaruh pada seseorang
untuk selalu berbuat dengan ikhlas, tanpa pamrih, kecuali keridhaan Allah.
Orang yang beriman senantiasa konsekuen dengan apa yang telah diikrarkannya,
baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Ia senantiasa berpedoman pada
firman Allah dalam QS. al-An’am/6:162
7. Iman memberi keberuntungan
Allah membimbing dan mengarahkan pada
tujuan hidup yang hakiki. Dengan demikian orang yang beriman adalah orang yang
beruntung dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS.
al-Baqarah/2:5.
8. Iman mencegah penyakit
Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik
seorang mukmin, atau fungsi biologis tubuh manusia mukmin dipengaruhi oleh
iman. Hal itu karena semua gerak dan perbuatan manusia mukmin, baik yang
dipengaruhi oleh kemauan, seperti makan, minum, berdiri, melihat, dan berpikir,
maupun yang tidak dipengaruhi oleh kemauan, seperti gerak jantung, proses
pencernaan, dan pembuatan darah, tidak lebih dari serangkaian proses atau
reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Organ-organ tubuh yang melaksanakan
proses biokimia ini bekerja di bawah perintah hormon. Kerja bermacam-macam
hormon diatur oleh hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofise yang terletak
di samping bawah otak. Pengaruh dan keberhasilan kelenjar hipofise ditentukan
oleh gen (pembawa sifat) yang dibawa manusia semenjak ia masih berbentuk zigot
dalam rahim ibunya. Dalam hal ini iman mampu mengatur hormon dan selanjutnya membentuk gerak,
tingkah laku, dan akhlak manusia.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Iman dan taqwa sangat penting di kehidupan modern, jika
dalam kehidupan modern yang serba canggih tidak menghiraukan lagi keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah maka akan banyak timbul problem dan tantangan yang
terjadi, baik dibidang ekonomi, social, agama, maupun keilmuan itu sendiri.
Iman dan taqwa juga mempunyai peran
penting dalam kehidupan dunia modern, dalam kehidupan modern yang serba cepat sering
kali memicu timbulnya stress dan berbagai penyakit. Iman dan taqwa mempunyai
peran antara lain:
1) Iman
dan taqwa melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda,
2) Iman
dan taqwa menanamkan semangat berani menghadap maut
3) Iman
dan taqwa menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
4) Iman
dan taqwa memberikan ketenteraman jiwa.
5) Iman
dan taqwa mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
6) Iman
dan taqwa melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
7) Iman
dan taqwa memberi keberuntunganIman mencegah penyakit
Iman didefinisikan
dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan
amal perbuatan (Al-Iimaanu ‘aqdun bil qalbi waiqraarun billisaani wa’amalun
bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan
antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai
pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup. Sedangkan takwa adalah menjadikan
jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu yang ditakuti, kemudian rasa takut
juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam istilah syar’I adalah menjaga diri
dari perbuatan dosa.
Dapat disimpulkan, bahwa
peran iman, diantaranya menghilangkan gangguan jiwa, menumbuhkan
keteguahan pendirian, menumbuhkan kekuatan pengendali hawa nafsu, menumbuhkan
tawakkal, menciptakan tekat berbuat baik dan berperan menciptakan rasa cinta
dan bahagia. Pegaruh kekuatan iman melahirkan
akhlak dan moral dalam kehidupan manusia, seperti jujur, adil dala segala
situasi, diucapkan kebenaran walaupun terasa sangat berat, ditegakkan kebenaran
sekalipun berakibat merugikan dirinya dan keluarganya, bersikap adil terhadap
lawan sebagaimana bersikap adil di tengah-tengah kawan, masih banyak lagi
norma-norma luhur yang dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh karena itu
sangat patut sekali apabila
dinyatakan bahawa iman dan taqwa adalah kunci pengalaman nilai-nilai luhur.
4.2 Saran
1) Sebagai umat islam kita harus
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.
2) Sebagai orang yang beriman dan
bertaqwa, kita harus melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjahui segala
apa yang dilarangNya.
3) Marilah kita mengaflikasikan perintah
Allah yang maknanya "... Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya
Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar..(memudahkan jalannya untuk
sukses)"Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
4) Dalam mengamalkan iman dan taqwa harus
konsisten (istiqomah).
5) Dalam kehidupan yang moderen saat ini,
kita harus menjaga keimanan dan ketaqwaan, agar kita tidak terjerumus kedalam
kesesatan.
6) Dimuhun kepada pembaca apabila dalam
penulisan makalah ini ada kejanggalan / kesalahan dalam penulisan maupun makna
dalam bacaan, untuk memberi masukan kepada kami sebagai penulis. Karena manusia
tak ada yang sempurna dan kesempurnaan itu yang milik Allah SWT.
Daftar Pustaka
v