Aneh
Aku sudah menyiapkan sebuah hadiah manis untuk tunanganku, Crisi dan
kuharap ketika aku tiba di Bali , dia akan
menyambutku dengan senyuman.
Menurut jam tanganku, beberapa menit lagi aku akan tiba di Bandara namun,
ada yang membuatku merasa aneh dengan beberapa pramugari yang berkeliaran
dengan wajah masam. Ada
apa dengan mereka?
“Maaf nona, kau merasakan keanehan tidak?” Tanyaku pada seorang wanita
muda yang tepat duduk di sampingku. “Bukankah raut wajah mereka sangat aneh,
mereka terlihat panic.”
“Mereka juga tadi berbisik, mencari seorang dokter.” Jelasnya, dia
memberikan kartu nama, tertulis, namanya Anida. “Saya merasa ada yang
mengganggu pikiran saya tiba-tiba, ini aneh.”
Aku memandang Anida lalu memejamkan mataku. Entahlah, aku tidak bias beristirahat
atau berpura-pura tidak melihat kepanikan beberapa orang.
“Maaf mengganggu semua penumpang, apakah ada yang mengerti cara
mengendalikan pesawat?” Tanya seorang pramugari melalui pengeras suara. “Ini
darurat, pilot dan beberapa orang yang bekerja pada pesawat ini tewas.”
Jelasnya dan seluruh penumpang panik. “Radio atau alat komunikasi lainnya tidak
ada yang bisa berfungsi sama sekali.”
Aku beranjak dari tempatku duduk dan meminta penjelasan tapi, tidak ada
yang bisa menjelaskannya padaku satu pun.
Seorang pria menghampiriku yang terus berteriak meminta penjelasan. Dia
menunjukkan tanda pengenalnya, seorang polisi. Baiklah, ada seorang polisi di
sini, mungkin ini akan lebih baik.
“Bagaimana keadaan pilot dan co pilot?” Tanya polisi itu kepada seorang
pramugari, dia menunjukkan jalan agar kami mengikutinya.
Astaga! Tinggal pilotnya saja yang masih bernafas itu pun terlihat sangat
kacau. Ada yang
terjadi? Apa dia sakit? Atau dia tiba-tiba terkana serangan jantung? Mengapa
harus saat aku yang menumpangi pesawat ini.
“Apa sudah menghubungi…..” seorang polisi yang bernama Hadi itu mulai
panic, pembicaraannya di potong.
“Tidak, kami tidak bisa menghubungi siapapun,” Katanya memperjelas. “Ini
sebuah kesengajaan.”
“Baiklah, berapa menit lagi kita sampai?” Tanya Hadi, pramugari itu
menggeleng bahwa itu sia-sia saja. “Baiklah, berapa lama lagi tuan ini bisa
mengendalikan pesawat?” Tanyanya lagi, pramugari itu diam.
Aku kembali pada tempat dudukku semula. Nona cantik yang semula terlihat
ramah itu mendadak menangis dan aku berusaha menenangkannya.
“Baik, kita aka mati, mati!” Dia bicara sambil menundukkan kepalanya. “Aku
harus berdoa pada Tuhan agar aku masuk surga.”
“Pesawat akan mendarat darurat.” Kata sebuah suara, aku tidak ingin
memperhatikan siapa yang bicara, entah dia manusia atau malaikat dari neraka. “Mungkin
akan sedikit terjadi kecelakaan, kita akan mendarat di sebuah hutan.”
“Ini sebuah pembunuhan!” Anida berteriak sendiri. “Aku hanya gadis biasa!
Aku bukan seorang anak pengusaha atau
pejabat harusnya aku tidak mati seperti ini!”
Kami mengenakan sabuk pengaman dengan benar dan tentu saja, jantungku
berdetak tidak karuan. Ini seperti perasaan menuju neraka. Benar saja, ini
seperti mimpi yang tidak pernah kubayangkan dalam kenyataan.
Pesawat berhasil mendarat di sebuah hutan, di padang rumput yang sedikit gersang. Aku cukup
senang melihat dari jendela bahwa kami berhasil mendarat tapi, pilot tewas.
“Aaaa!” Teriak seisi pesawat ketika ledakan terjadi di bagian belakang.
OMG! Aku melepas sabuk pengamanku dan segera keluar pesawat dengan beberapa
penumpang lain.
Lari-kami harus berlari tapi, tubuh kami terluka akibat sedikit ledakan
itu. Lari, kami harus lari bagaimana pun itu. DOOR! Ledakan terjadi lagi.
Aku tidak terlalu bodoh untuk
mengenali ledakan itu. Itu sebuah bom kecil. Ini benar-benar membuatku tidak
percaya.
Lari! Kami berlari sejauh mungkin dan BUM, pesawat meledak!
“Aku selamat.” Kataku dalam hati. “Baiklah, aku selamat dari pesawat itu
tapi, aku dimana, kami dimana?”
Seorang wanita berteriak histeris! Dia kehilangan adiknya dan kekasihnya.
Dia terus berteriak dan menangis! Mereka tentu saja tidak selamar, pesawat itu
meledak dengan begitu rapi.
“Saya polisi!” Kata Hadi, dia mengeluarkan senjatanya. “Kecelakaan ini
sudah terencana namun, salah sasaran.” Lanjutnya. “Harusnya yang di ledakkannya
adalah seorang anak yang ingin berlibur tapi, dia tidak menumpangi pesawat
ini.”
“Jadi kami tidak lebih penting dari anak itu! Hah!” Semuanya berteriak
pada Hadi. “Baiklah, kau gila!” Seorang wanita menampar keras wajah Hadi
Hadi menghitung jumlah penumpang yang selamat. 21 manusia, 21 orang,
masih tersisa 21 orang. Baiklah, ini cukup bagus.
Gersang, kering, dan tidak ada minuman atau makanan. Ada pepohonan yang kira-kira berjarak
beberapa ratus meter dari sini. Kami berjalan perlahan.
Ini musim kemarau dan tentu saja hutan pun sedang miskin. Oke, baiklah,
aku harus berusaha bertahan hidup sampai bantuan datang.
“Bukankah itu jambu?” Tanya seorang penumpang lalu aku melirik, ya, itu
hambu biji. Dia berlari lalu memanjat pohon itu dan memakannya. Kami lapar dan
kami benar-benar lapar.
“Kita disini untuk hidup, kita memiliki tujuan dan kita harus bekerja
sama!” Kataku menjelaskan. “Apapaun kecuali yang beracun, kita harus mengisi
perut kita dan jangan mengeluh!”
“Aku ingin hidup! Aku ingin pulang! Aku harus merawat Ayahku yang sakit!
Aku harus ….” Anida duduk, menangis dan menangis.
Kami bertahan hidup untuk hari ini. Kami tidak bisa tidur malam dan kami
berkumpul membuat sebuah lingkaran. Untung saat aku SMU, aku mengikuti kegiatan
pramuka dan aku bisa menghidupkan api dnegan batu. Baiklah, ini sudah membantu.
“Kau tidak menyalahkanku?” Tanya Hadi padaku.
“Kekasihku akan khawatir dan akan marah jika besok aku tidak ada di
Bali.” Aku tersenyum padanya. “Lebih baik aku memikirkan bagaimana kita bisa
kembali dari pada terus menyalahkanmu.”
Senyumku begitu terpaksa dan amat terpaksa. Baiklah, ini masih bisa
menghiburku sedikit. Apa? Ini apa dan apa, semua ini apa? Itulah pertanyaan
pada otakku yang tercatat tapi, aku tidak berani bicara. Sudah banyak penumpang
yang mewkiliku berbicara.
Baiklah, ada hal baik yang kudapat. Ternyata ada salah seorang dari kami
yang pecinta alam, dia berarti sudah mengerti bagaimana keadaan hutan-hutan di
Negara ini. Kuharap tempat ini tidak jauh berbeda.
Matahari di atas tersenyum seakan menyemangati kami tapi, itu matahari,
dia memang selalu tersenyum tiap pagi.
Kami berjalan kembali, mencari jalan keluar. Tentu saja, kami harus
berjalan. Alat komunikasi pesawat sudah terbakar dan akan bodoh jika kami
menggunakan handphone. Bodoh sekali.
“Paman, aku haus.” Kata seorang anak kecil, dia sendiri, dia naik pesawat
sendiri tanpa kedua orang tuanya. Hebat
sekali dia hanya saja, nasibnya kurang beruntung kali ini. “Paman,” Dia
memandang Hadi. Gadis itu masih kecil, rasanya dari tinggi dan gaya bicaranya, umurnya masih 9 tahun.
“Ada
sebuah pohon kelapa disana, akan paman ambilkan.” Kata Hadi.
“Ini pisau kecil, siapa tahu membantumu.” Kata seorang remaja laki-laki.
“Kau bertanya mengapa aku bisa membawa senjata ini dalam pesawat?” Tanya remaja
itu pada Hadi, Hadi diam. “Baiklah, aku lebih pintar untuk melakukan kenakalan
tapi, ini berguna untuk saat ini.” Dia meberikan pisau kecil itu pada Hadi.
Aku di bawah pohon kelapa. Melihat Hadi mengambil buah kelapa itu dan
PLAK! Buah kelapa itu menjatuhi kepalaku. Seketika aku pingsan.
“Tuan.” Seorang wanita memanggilku, aku tersadar. Dimana aku? Aku merasa
seperti mimpi, aku di pesawat. “Tuan, anda baik-baik saja? Mengapa Anda
berteriak?” Tanya wanita yang di sampingku.
“Kau malaikat?” Tanyaku,
“Anda tertidur dalam pesawat ini dan mungkin Anda bermimpi.” Jelasnya,
aku melihat sekeliling dan memukul wajahku. Sakit! Hah! Aku bermimpi dan
pesawat ini baik-baik saja. Baiklah, kami selamat dan itu hanya mimpi.
Crisi menjempurku di Bandara, dia langsung memelukku seolah sudah satu
abad tak bertemu. Aku mencium keningnya dan berjanji tidak akan pergi jauh-jauh
darinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar