Kau pernah mendengar tentang Bruwa dan Ton Iwa? Tentu
saja kau harusnya bukan hanya mendengar, kau harus tahu. Mungkin.
**
”Mbak jangan nyalahin saja aja dong! Mbak juga kan
Ibu nya!” Suara petasan meledak di luar sana.
”Bagaimana bisa?! Hah!”
Ini benar-benar membuat kepalaku sakit. Kedua ibu
tiriku selalu berkicau tiap detik. Mereka kira aku belum pulang dan mereka
takut jika Ayah marah. Bagaimana pun aku anak tunggal di keluarga ini.
**
”Xĩngxing duō.” Kata Haikal dalam bahasa mandarin
yang artinya bintang begitu banyak. Dia menunjuk satu bintang. ”Mungkin itu
Ibumu, atau mungkin bintang yang lain.”
”Aku merindukannya.” Kami memandang bintang dari
jalanan ini, jalan yang begitu ramai di pusat kota. ”Entahlah bagaimana Ayahku
menikahi dua monster itu.” Aku menghela nafas.
Haikal membelikanku jagung bakar seharga 3000
perak. Dia tersenyum padaku.
” Xĩngxing duō.” Aku memegang dadaku. ”Ibuku
selalu bersamaku di sini.”
**
Kedua ibu tiriku dapat di gambarkan sebagai Ton
Iwa dimana mereka jahat tapi, mereka juga dapat di katakan sebagai Bruwa yang
baik. Entahlah, aku juga sedikit bingung.
”Sayang, kamu udah makan?” Tanya Bunda Irma
lembut. ”Kita makan di luar ya?”
”Eh, kita belanja-belanja aja.” Bunda Hesty
menyenggol singuk bunda Irma. Mereka memang sekali pun tidak pernah akur tapi
mereka perhatian, hanya saja, aku tidak tahu apakah itu suatu ketulusan atau
tidak.
Ayah lembur di kantor dan dia memintaku makan
malam bersama kedua monster kicau. Rasanya aku benar-benar bosan jika harus
menonton teater kicau yang di perankan mereka.
”Kamu banyak-banyak makan sayur.” Bunda Henty
mengambilkan sediit sayur untukku. ”Biar kulit kamu sehat.” Ku lihat sayur yang
tidak kusuka sudah ada di piringku.
”Lauknya juga sayang.” Bunda Irma tidak mau kalah.
Aku menonton, memperhatikan dua tingkah manusia
yang aneh. Harusnya mereka merayu Ayahku, bukan aku.
”Berisik!” lalu aku meninggalkan meja makan.
**
Haikal membelikanku soft drink dan dia tertawa mendengar ceritaku. Katanya, harusnya
aku senang, setidaknya lima tahun ini rumahku ramai, tidak seperti kuburan.
”Dulu kamu sering loh ngeluh karena rumah sepi.”
Sindirnya, sejak kecil memang kami tumbuh besar bersama. ”Dan sekarang rame
juga ngeluh.” dia mengusap kepalaku.
Entahlah, aku pun bingung. Yang di katakan Haikal
benar dan tidak ada yang salah. Bagaimana pun aku tidak pernah membenci kedua
ibu tiriku, hanya saja aku kesal jika mereka berkicau setiap saat hany karena
masalah sepele.
”Kamu mau tau nggak kenapa Ayah kamu menikah
dengan mereka?” Tanya Haikal, aku mengangguk. ”Yah, bagaimana pun itu wasiat
Ibumu, dan tante Hesty bukanya adik ibumu?” Aku mengangguk lagi.
”Tapi bunda Irma pilihan Ayahku.”
”Terserah kamu tapi, yang kamu jalani lebih baik
bukan?” Tanyanya, aku tersenyum. ”Setidaknya mereka bukan sosok ibu tiri dalam
kisah cinderella.” Aku tertawa kecil.
**
Pagi ini lagi dan lagi, aku melihat mereka
berkicau di meja makan. Entah apa yang mereka katakan pada Ayah, aku tidak
begitu peduli. Aku sibuk membenahi poniku dan dasiku. Rasanya akan
membuang-buang waktu jika mendengar mereka, aku akan terlambat sekolah.
”Nanti kabarin Chaca ya siapa yang menang.” Kataku
lalu pegi meninggalkan meja makan dan langsung meluncur bersama Haikal. Dia tersenyum
seolah tahu apa yang terjadi di rumah.
Aku menyayangi Ayah dan dia pasti membuat pilihan
yang terbaik. Buktinya saja dia juga menikah dengan dua wanita baik-baik dan
tidak menyiksa batinku. Ayah memang segalanya untukku.
Ayah pernah mengatakan bahwa dia akan melakukan
apa pun untukku tapi aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin Ayah bahagia
bersamaku, itu saja.
**
”Ai.”
Haikal menggambar bentuk hati pada handphonenya.
” Xĩngxing.” Lalu gambar bintang. ”Cinta kamu adalah bintang kamu.”
”Ada apa?”
”Aku tahu ada kebimbangan dalam hatimu.” Katanya.
”Bintang-bintang itu berkeliling bukan?” Aku menarik nafas sejenak. ”Kamu ingin
kedua bundamu tidak berkicau bukan?”
”Tidak.” Jawabku. ”Aku ingin mereka tetap berkicau
tapi setidaknya mereka berteman baik. Itu saja.”
**
Bunda Irma memberikanku sebuah gelang perak yang
bertuliskan namaku. Tentu saja aku mengucapkan terimakasih padanya tapi, apakah
ini sebuah sogokan? Dan beberapa saat kemudian bunda Hesty juga memberikanku
sebuah gelang juga. Mengapa mereka tahu saja apa yang kusuka?
”Bunda.”
”Ya.” Jawab mereka bersamaan lalu saling pandang
singut.
”Kalian menyogokku atau merayuku selama ini?”
Tanyaku, mereka diam. ”Ayolah, aku hanya ingin kejujuran, kumohon, aku hanya
ingin tahu.” Mereka diam, saling pandang. ”Jika kalian anggapanku benar,
setidaknya kita bisa mendamaikan rumah ini walaupun kalian sebenarnya tidak
menyayangiku.”
Bunda Hesty diam, begitu pun dengan bunda Irma.
Ya, inilah yang ingin ku tanyakan dari dulu. Mereka memang Ton Iwa jika sedang
adu mulut tapi mereka Bruwa jika berbicara padaku. Aku bingung dengan semua
ini.
”Ayolah, atau aku akan jarang di rumah, aku akan
sering bermain di luar sana.” Ancamku. ”Kalian tahu kan jika Ayah marah seperti
apa?”
**
”Bintang itu bukan Ibu kamu Cha tapi, itu hati
kamu.” Kata Haikal, aku memandangnya. ”Ibu kamu adalah hati kamu.” Dia mengajakku
ke lapangan basket.
Haikal men-drible
bola itu dan aku memandangnya. Kurasa aku tahu makna ucapannya dan makna
pantulan bola itu. Semua hal tentunya bukan tentang mereka tapi, ini tentang
diriku.
”Apakah mereka benar-benar mencintaiku?” Tanyaku,
Haikal menangguk. ”Tapi tingkah mereka ke kanak-kanakan?”
”Benarkah?” tanyanya, lalu memberikan tangannya.
”Bisa pergi denganku seharian ini? Keluargaku mengajakmu berlibur dua hari ini.”
Jelasnya. ”Aku sudah bicara dengan Ayahmu, dia setuju, dan kedua bundamu tidak
akan tahu.”
”Tentu, apa ini undangan dari keluarga kamu? Wah,
ternyata kita bukan cuma sepupu deket tapi, udah kayak sodara kandung.” Aku
tersenyum. Bagaimana pun, Haikal adalah keponakan Ayahku dan tentu kami harus
bersikap sebagai saudara.
**
Berkali-kali handphoneku
berdering, tidak bunda Irma dan tidak bunda Hesty selalu menelfon. Ayah sendiri
sedang berkunjung ke rumah nenek di luar kota.
Kata Haikal, mereka akan mengkhawatirkanku jika
mereka menyayangiku. Tapi, aku tidak yakin mereka khawatir karena takut dengan
Ayah atau memang karena memperhatikanku. Entahlah.
”Mereka menghubungiku dan kukatakan tidak tahu.”
”Oke, terserah.”
**
Aku merindukan Ibu kandungku dan aku ingin dia
benar-benar kembali. Rasanya ini cukup tidak adil bagi diriku.
”Apa yang kamu
pikirkan? Kedua ibu tirimu?”
”Xĩngxing.” kataku sambil memandang langit. Kedua
orang tua Haikal sedang membakar jagung dan aku mencoba menghitung bintang di
langit. ”Apa di antara bintang-bintang itu ada ibuku?”
”Nggak Cha,” dia menutup mataku. ”Bayangkan, Ibu
kamu ada di semua penglihatan kamu.”
Kulihat lagi handphoneku
yang ku-silent dan benar, tentu saja,
ada beberapa panggilan dari kedua ibu tiriku. Apa mereka khawatir? Atau mereka
takut pada Ayah? Entahlah, aku masih bingung.
”Kamu mau percaya satu hal?” Tanyanya sambil
membuka tangannya yang menutupi kedua mataku. ”Percayalah, kedua ibu tirimu
menyayangimu hanya saja, mereka terlalu kekanak-kanakan.”
”Bagaimana kamu bisa yakin?”
”Karena mereka menangis. Aku memiliki vidio yang
di kirim oleh seseorang di rumahmu.”
Aku mengambil handphone
Haikal dan kulihat vidio itu. Aku tertawa. Lucu sekali saat kedua ibu tiriku
yang biasanya bertengkar ternyata bisa saling berpelukan dan menangis. Aneh
sekali. Benar-benar aneh.
”Mereka nggak jahat dan baik tapi, mereka
benar-benar baik.” Haikal menarik handphonenya.
**
Haikal mengantarkanku pulang tepat di depan pintu
rumah. Kuharap kedua burng yang hobby
berkicau itu bisa bertobat.
”Chaca.” Kedua ibu tiriku langsung berlari dan
memelukku ketika melihatku pulang. Aku memang tidak mengetuk pintu dan langsung
masuk saja ke rumah. ”Bunda khawatir.” Kata bunda Hesty.
”O,” Kataku singkat lalu menaruh tasku di lantai.
”Tumben nggak berkicau?”
”Cha,” Bunda Irma memelukku lagi.
”Oke, baiklah, ini sudah cukup.” Lalu aku kembali
ke kamarku untuk beristirahat.
Aneh, lucu sekali ketika mereka memelukku dengan
air mata. Ini benar-benar membuat perutku sakit dan ingin terus tertawa.
TAMAT
Xĩngxing = bintang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar