Vigia
Kelopak mataku terbuka tapi aku
tidak memandang mereka. Pada cermin aku bertanya tentangku, tiada jawaban yang
aku dapat.
“Mengapa aku disini?” Tanyaku pada
cermin tapi dia membalikkan ucapanku. “Kau diam, aku tahu itu.”
“Makanlah ini.” Kata wanita itu
padaku. Aku tidak bicara, ku pandang dia tajam, dan memasuki nadi-nadi matanya.
“Kau akan terus disini jika tidak menerimanya.” Katanya lagi, aku menaruh
tanganku di lehernya untuk mengancam tapi ini tempatnya. “Tanda tanganilah, kau
akan aman.” Aku tetap menolak.
Sebenarnya, aku bisa kabur dari
tempat ini. Jendela kamar ini terbuka lebar, pintu-pun tidak terkunci, dan
gerbang memberiku jalan untuk lenggang keluar dari bangunan ini. Tapi tidak,
bodoh bila aku pergi dengan cara ini. Aku bukan perncuri dan aku keluar harus
dengan terhormat.
“Duduklah.” Mereka mengajakku makan
di sebuah ruangan dalam bangunan ini. “Sudah kau putuskan?” tanya salah seorang
dari mereka, aku menggeleng. “Bicaralah sebelum pemakamanmu.”
“Kau akan membunuhku?” Tanyaku pada
pimpinan mereka. “Kau sanggup? Bunuhlah aku sekarang.” Aku tertawa pada mereka
dan merekapun tertawa padaku.
“Kau kira kami bodoh membunuhmu
begitu saja?” Wanita yang di panggul Elzair menatapku tajam. “Jika ingin
membunuhmu, sudah sejak kemarin namamu akan ada di batu nisan.” Dia
menawarkanku secangkir minuman alkohol. “Kau yang menentukan takdirmu.” Katanya
lagi sambil memandang ke yang lain.
“Hidupku sama saja bukan hidup.”
Kataku, mereka memandang. “Besok aku akan ke sekolah. Letakkan kertas itu. Jika
aku setuju, akan ku tandatangani.”
Itu menguntungkanku, dunia baru
akan ku temui. Sesuatu baru yang menjadikanku lebih nyata dan di atas tingkatan
manusia biasa. Akan tetapi, hatiku mengatakan ini salah walaupun ambisiku
inginkan aku menjadi luar biasa. Lebih baik aku jadi manusia biasa yang nyata
bukan manusia yang luar biasa namun kehidupanku bukan pilihanku.
“Kamu sakit? Aku kerumahmu dan
katanya kamu sakit.” Tora memelukku. Aku tahu dia khawatir tapi dia-pun tahu,
aku tidak ingin menjawab pertanyaannya. “Aku mengerti maksudmu. Duduklah,
sebentar lagi jam di mulai.” Akupun duduk di sampingnya.
“Aku tahu kamu khawatir.” Kataku
sambil mengambil buku kimia. “Apa kamu berani terus di sampingku?” Pertanyaanku
membuatnya ragu. Dia tahu sedang ada yang aku sembunyikan tapi dia-pun tahu,
aku tidak akan memberitahu-nya kali ini.
“Kamu bisa membayangkan jika
matahari tidak ada di bumi ini?” Tanyanya, aku menggeleng. “Jika kamu
membayangkannya, akulah bumi itu.” Jelasnya, aku tertunduk.
Dia mengajakku makan siang sepulang
sekolah. Aku terima ajakannya. Rasanya aku bersalah beberapa minggu ini jarang
menemaninya makan.
“Aku tunggu di depan gerbang.”
Kataku, dia tersenyum.
Satu persatu siswa pulang. Dimana
Tora? Ku rasa tempat parkir sedang bermasalah. Tetap aku menunggunya, belum
tentu besok aku bisa bersamanya.
“CA?” Tanya seorang pria paruh baya
tapi dia rapi layaknya direktur. Aku memandangnya sinis, dia tahu tentangku.
“Masuklah.” Katanya, akupun langsung masuk walaupun aku bisa lari. Ku ulangi,
aku bukan pencuri dan aku tidak akan lari.
“Bisakah kamu berkerjasama dengan
saya?” Tanya pria setengah baya itu padaku. “Kau menandatangani perjanjian
dengan mereka?”
“Saya belum menandatanganinya tapi
saya-pun tidak akan bekerjasama dengan anda.” Kataku sambil tersenyum sinis.
“Yang anda inginkan adalah program itu?” Tanyaku, dia menggeleng. “Semuanya
sama. Ya saya akui, itu-pun menguntungkan saya tapi hidup begitu mudah sama
saja bukan hidup.”
“Kau akan mengikuti perlahan.”
Katanya lagi.
Aku berada di dalam sebuah ruangan
besar, serba putih. Ya semua benda putih dan udara begitu dingin. Dia
memberikan tumpukan kertas padaku. Yang ku baca, isinya sama dengan yang di
tawarkan padaku sebelumnya.
“Tanda tanganilah. Tidak ada yang
di rugikan di antara kita.” Kami saling berpandangan. “Apa keputusanmu?”
“Jika kau ingin membunuhku, ku
persilahkan.” Kataku lalu dia marah dan pistolnya sudah ada di depan mataku. “Kau
yang takut, bukan aku.” Aku tertawa.
“Bisa saya menjemput CA?” Tanya
Elzair yang tiba-tiba datang. “Anda akan merebutnya dengan cara licik seperti
ini?” Tanyanya, keduanya saling memandang. “Pulanglah!” Perintah Elzair padaku,
aku melangkah bersamanya.
Aku tersenyum-senyum sendiri. Ya,
aku tahu ini menyangkut hidupku tapi rasanya lucu memperebutkanku dengan cara
seperti ini. Elzair menyelamatkanku dari pria tua itu tapi aku-pun harus
menghadapi Elzair nantinya.
“Kau menolongku?” Tanyaku pada
Elzair.
“Jalanlah. Gerin menunggumu.”
Katanya, aku tersenyum. Dia seperti ibuku atau kakak perempuanku walaupun dia
jarang bersikap manis padaku.
Aku masuk ke mobil, ku lihat
panggilan tidak terjawab di hanphone-ku.
Tora, apa kabarnya dia? Ku tinggalkan dia di sekolah.
‘’kamu ada masalah sayang’ Pesan masuk dari Tora di handphone-ku.
Sesak dadaku, bukan aku
menangisinya dalam hati tapi aku kasihan padanya. Yang aku tahu, dia
mencintaiku lebih besar dari pada aku mencintainya. Yang dia tahu, aku hanya siswa
SMU biasa. Tidak ingin aku membuatnya sakit hati.
“Kamu akan baik-baik saja.” Kata
Gerin, dia sudah ada di dalam mobil menungguku.
“Ya, aku akan baik-baik saja. Tidak
akan ada yang membunuhku kecuali diriku sendiri.” Kataku, Gerin mengusap
kepalaku. Cowok itu sebenarnya baik hanya saja dia sama sepertiku. Orang
menyangkanya mahasiswa biasa tapi nyatanya dia luar biasa.
Gerin, dia selalu bersamaku sejak
kecil. Dia, dia dan aku hidup bukan pada dunia nyata tapi hidup pada
sketsa-sketsa yang mereka gambarkan. Aku tahu dia tidak ingin disini tapi
inilah hidup kami, bukan kami yang melukiskannya. Mengenai cintanya, ya
cintanya padaku tidak akan sampai karena hidup kami akan rumit jika saling
mencinta.
“Bagaimana hubunganmu dengan Tora?
Dia tidak mencurigaimu belakangan ini?” Tanya Gerin sambil membaca
dokumen-dokumen ditangannya.
“Kau-pun tahu, sejak awal dia
curiga dengan kehidupanku yang penuh misteri.” Jelasku padanya. “Tapi dia-pun
tahu dan dia tidak pernah menanyakannya.”
“Kamu benar mencintainya?” Tanya
Gerin lagi, aku tidak menjawab lalu kupejamkan mataku.
Aku terbangun ketika terdengar
suara biola di kamarku. Kubuka mataku, aku sudah berada di sebuah kamar dan di
dekat jendela, Gerin memainkan alat musik itu.
“Kamu sudah bangun?” Tanyanya
padaku. Aku tidak menjawab, mataku masih berat untuk benar-benar terbuka. “Maaf
aku mengganggumu. Aku kira kamu sudah terbangun tapi ternyata aku salah. Kamu
tidak sekolah?”
“Jam berapa ini?” Aku melihat jam
di meja. “Masih pukul empat pagi. Mengapa kamu terbangun sepagi ini?”
Dia tidak menjawab dan melanjutkan
dengan alat musik itu. Ku lihat dia, rasanya ada yang berbeda. Akankah ada yang
ingin dia beritahukan padaku? Mataku masih lelah, ku tenangkan diriku dan ku-minum
segelas air putih.
Mengapa dia ke kamarku sepagi ini?
Rasanya semalaman dia tidak terlelap jika aku lihat gelembung-gelembung di
matanya.
“Elzair di tembak oleh seseorang
semalam.” Beritahu Gerin , seketika aku merasa sesak. “Kamu pasti terkejut.
Aku-pun tidak tahu tapi ketika aku melihatnya, dia sudah tidak sadarkan diri.”
Jelasnya dan dia mengambil sisir lalu membenahi rambutku.
Bagaimana bisa? Bukankah rumah ini,
maksudku bangunan ini memiliki sistem pengamanan yang canggih. Rasanya Elzair
tidak semudah itu untuk tertembak, aku yakin ada orang yang begitu pintar di
balik semua ini.
Perlahan rambutku tertata rapi, dia
memang baik padaku dan mungkin orang yang paling aku percaya adalah Gerin. Dia
memandangku, dia tahu aku khawatir dengan Elzair walaupun wanita itu tidak
perlu di khawatirkan.
“Dia akan baik-baik saja. Mungkin
beberapa hari lagi dia akan sadar. Dia berbeda dengan kita yang tidak akan
pernah sakit.” Katanya lalu berdiri dan menyuruhku bersiap-siap ke sekolah.
“Aku yang akan menjagamu bukan Elzair yang orang mengenalnya, dia kakakmu atau
kakak kita.”
“Ya aku tahu itu. Kita bukan
saudara tapi orang mengenal kita saudara. Kamu sebagai sepupuku.” Kataku lalu
aku mengambil tugas biologiku. “Saat aku mandi, aku minta kamu mengoreksi
pekerjaanku.” Jelasku.
“Maksudmu mengoreksi apakah semua
jawabanmu benar? Kamu pintar tapi kamu menutupinya. Ya itulah hidup kita.”
Rasanya aku harus menemui takdirku
untuk tetap hidup atau aku menyerah dalam semua ini. Kami berdua, ya tapi
sebelumnya kami bertiga sampai salah seorang memilih berhenti di kehidupan ini.
Hanya aku dan Gerin disini, kami masih kuat menjalaninya walau kadang ada
hal-hal tertentu yang kupikir itu buruk untuk kehidupanku. Tapi aku harus
menegaskan kembali, hidupku seketsa mereka, bukan aku.
Dia mengantarku sampai gerbang
sekolah. Masih pukul enam pagi dan hanya ada beberapa siswa yang datang. Ku
ajak Gerin bicara setidaknya sampai aku tidak sendiri di sekolah ini.
“Tugas biologimu benar sekitar 80%.
Kamu melakukannya dengan baik. Kamu bisa jadi siswa terpintar jika kamu mau.”
Katanya. “Tapi itu akan semakin menyulitkan hidupmu.” Lanjutnya lagi. Kami
sama-sama tidak ingin kehidupan kami semakin sulit.
“Kamu akan menjaga Elzair?”
“Tidak.” Jawabnya singkat. “Mengapa
harus aku lakukan jika ada orang lain yang bisa menjaganya? Dia bukan seperti
kita jadi biarkanlah dia tenang disana. Tanpanya hidup kita-pun sedikit lebih
tenang.”
“Baiklah aku mengerti akan hal
itu.” Aku tersenyum padanya seakan keadaan Elzair membuat aku dan Gerin
bernafas lega walaupun masih ada yang lain. “Kamu menyuntikkan obat itu padaku
semalam? Rasanya aku semalam merasakan sakit tapi pagi ini aku merasa lebih
segar.”
“Sejak lahir kita bukan manusia
yang di takdirkan hidup layaknya manusia-manusia lain. Tanpa obat itu kau dan
aku akan merasakan sakit.” Jelasnya padaku. “Walaupun tanpanya kita masih bisa
bernafas.” Dia tersenyum lalu merapikan seragam sekolahku. “Masuklah, Tora
sudah melambaikan tangannya padamu.”
Aku pergi. Dia sana Tora menungguku. Gerin benar, semua-nya
itu tergantung aku menjalani hidup ini. Apa yang aku pilih dan apa yang aku
jalani sudah terprogram semuanya dengan detail.
Tidak tahu bagaimana kabarnya
Elzair. Aku belum melihat keadaannya sama sekali tapi aku yakin dia baik-baik
saja. Wanita yang di tugaskan menjagaku itu tidak akan mudah melepaskan
tanganku begitu saja. Dia menjadi hantu-pun akan selalu membayangiku di setiap
langkah aku berjalan.
“Siapa dia sayang? Rasanya baru
kali ini aku melihatnya?” tanya Tora, aku belum menjawab. Aku masih sibuk
melambaikan tanganku pada Gerin. “Kakak kamu kemana? Apa dia sakit?”
“Kakakku ada di rumah. Dia sedang
sibuk. Dia sepupuku, kamu mungkin baru melihatnya kali ini tapi dia sering
melihat kamu.” Jelasku. “Masuk yuk. Kamu udah sarapan sayang?” tanyaku, dia
menggeleng.
Kami disana, di kantin sekolah. Aku
tahu dia sedikit marah padaku tapi dia-pun mengerti pasti aku memiliki alasan
lain untuk itu. Hampir satu bulan sudah aku jarang bersamanya. Hanya di jam sekolah
kami bertemu, di luar itu aku tidak ada waktu untuknya.
Kepalaku terlalu sakit jika aku
memutar otak dan aku melihahat apa yang akan terjadi esok. Aku tidak
mementingkan cintaku, hatiku, hidupku lebih berarti. Di sini bukan cinta yang
aku cari tapi pilihan jalan hidupku untuk bersama siapa.
Aku tahu akan tetap hidup jika satu
diantara keduanya kutandatangani. Keduanya sama-sama menguntungkanku tapi
setidaknya ku-pakai hatiku kali ini.
“Kamu berpikir tentang ini?” Tanya
Gerin padaku. Aku mengambil pena di tas-ku. “Akan aku tandatangani perjanjian
itu.” Kataku, dia menggenggam tanganku, mengambil pena itu dariku.
“Perjanjian yang mana?”
“Siapa yang membuatku hidup seperti
ini? Ya, itulah jalanku.”
“Elzair akan tersenyum padamu.” Dia
mengembalikan penaku .”Kamu tidak akan mengecewakannya.” Dia tersenyum
setidaknya pilihanku membuatnya bisa terus disisiku. “Kamu ingin melakukan hal
seperti remaja lainya hari ini?” Tanyanya, aku diam tidak menjawab. Aku tidak
ingin. Aku tidak mau. Namun, aku-pun tidak menolaknya.
Kami disana, di tempat umum, di
sebuah mall. Aku lihat anak-anak seumurku tertawa, berbelanja, dan berjalan
bersama kekasih mereka. Tapi aku, aku tidak seperti mereka.
“Kamu iri?” Gerin menawarkan
sekaleng minuman bersoda.
“Mengapa aku iri? Hidupku lebih
sempurna dari mereka, hanya saja aku tidak bisa bersenang-senang seperti
mereka.” Jelasku. “Bukankah kita sama? Garis hidup kita bukan seperti manusia
lainnya.” Kuperjelas agar dia tidak banyak bicara.
Gerin menarik tanganku ke dalam
tangannya. Kami berjalan melihat kehidupan manusia lain. Akankah satu kali saja
aku bisa seperti mereka? Rasanya tidak akan pernah walaupun aku ingin.
“Hidup bergitu sempurna tidak
terlalu menyenangkan.” Kataku pelan.
“Pikiran-pikiran bebas itu tidak
akan pernah kamu dapati, bagitupun denganku.” Gerin menaruh tangannya di
pinggangku. Dia menjagaku saat ini. Maksudku kami saling menjaga.
Setumpuk kertas diberikan Gerin
padaku. Aku kira itu tentang kehidupanku tapi bukan. Disana, ya disana
gambar-gambar kartun. Apa maksudnya? Aku belum bisa menebaknya. Akankah ini
tentangku? Rasanya bukan.
“Kamu tahu?” Tanyanya, aku
mengembalikan kertas-kertas itu. “Sama saja, awalnya aku tidak mengerti. Elzair
memberikannya padaku. Katanya kamu mengganggap hidupu seperti ini. Benarkah
itu?”
“Ya, kamu tahu, aku-pun tahu itu,”
Dia meminta kertas HVS padaku, ku
ambil selembar kertas dari tas-ku. Garis-garis itu dia lukiskan. Wajahku mulai
terbentuk. Ya, dia melukisku. Dia bisa melalukan segalanya walaupun itu bukan hobby-nya.
“Kamu cantik di lukisan ini.” Ucap
Tora yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku. “Rasanya kamu banyak waktu luang.”
Lalu dia duduk di antara kami. Gerin tersenyum lalu memperkenalkan namanya pada
Tora.
Aku rapikan kertas-kertas itu dan
kumasukkan ke dalam tas-ku. Pandangan Tora padaku membuatku takut, seakan dia lelah
denganku. Ku-maklumi itu, hidupku saat ini memang bukan untuknya. Masih panjang
jalanku untuk menyelesaikan ini, semuanya bukan sekedar untuk cinta.
“Kamu banyak waktu sayang?”
Tanyanya padaku, aku menggeleng. “Rasanya cintaku padamu tidak akan selesai.”
“Apakah kehadiranku mengganggu
kalian?” Tanya Gerin, aku diam. “Tapi aku akan tetap disisi kekasihmu. Itu
tugasku.” Jelasnya lalu Tora berdiri memukul wajah Gerin.
Ketika itu ku diam. Aku tidak
khawatir pada keduanya. Gerin tidak akan membalas perlakuan Tora, aku yakin itu
karena Tora jatuh jika itu terjadi.
“Kau tidak melawanku?” Tanya Tora
pada Gerin. Petugas hanya menonton, aku yang meminta itu. “Apa kau begitu
lemah?” Tanya Tora lagi, Gerin tertawa.
“Ya.” Kata Gerin singkat. “Pulanglah,
kamu akan bermasalah jika dikeramaian.” Gerin berdiri. Berbisik padaku, aku
hanya mengangguk. “Duluan saja.” Katanya lagi sambil memberikan pena padaku. “Berikan
ini pada ETA.” Katanya, ya itu nama sebutan untuk pimpinan kami.
“Pergilah jika kau mau. Rasanya aku
tahu perjalanan ini.” Kata Tora memandangku kecewa. Kali ini sama, aku tidak
bisa menjelaskannya. Sebelumnya, aku-pun tahu dia tidak bisa terus disisiku. Itu membahayakan hidupnya. “Sampai besok disekolah.” Dia pergi dari
hadapan kami.
Gerin tersenyum padaku tapi senyumnya seakan bicara
bahwa akan ada hal besar lain untukku. Ini tidak akan membuatku lemah. Cintaku
akan membawa bencana jika ku-lanjutkan.
“Pada akhirnya kamu bersamaku untuk kesana.” Kataku,
Gerin tertawa. “Kamu baik-baik saja?”
“Beberapa menit lagi luka ini akan hilang. Kamu tahu
itu, bukan ini yang bisa membuatku terluka tapi diriku sendiri. Kehendakku.”
Kami disana, dirumah sakit bawah tanah, rumah sakit
khusus. Kulihat Gerin disampingku, rasanya dia khawatir.
“Kamu mengalami hal yang sama denganku dulu.”
“Ya, aku tahu itu.” Kataku singkat.
“Gunakanlah pena ini.” Dia memberikanku pena berlapis
emas dengan ukiran-ukiran penuh makna, aku tidak tahu apa arti ukiran itu.
Elzair disana tidak sadarkan diri. Dia hanya manusia
biasa yang bisa sakit dan kapan dia sadar, tidak ada yang tahu. Di pojok
ruangan terdapat bunga lili dan Gerin mengganti bunga kamboja.
“Mengapa kau lakukan itu?”
“Agar dia takut mati dan bisa
kembali hidup.”
Aku duduk di sofa menunggu pimpinan
kami dan Gerin sedang fokus pada pemeriksaan dokumen-dokumennya.
“Anda yakin?” Tanya pria yang
sering disebut ETA. “Ada
dua pilihan. Bersama kami atau mereka?”
“Yang kau maksud mereka, semua kaki
tangan pria tua yang menculikku beberapa waktu lalu itu?” Tanyaku lalu dia
menyodorkan beberapa lembar kertas. “Aku membawa pena sendiri.” Aku menulis di
atas kertas itu. Tanda tanganku disana, di atas lembaran neraka itu.
“Kau akan aman. Seseorang yang
memberikan pena ini akan mempertaruhkan hidupnya untukmu.”
Aku memandang ETA. Kulihat
sekeliling, Gerin tidak ada.
“Dia diluar menunggumu.”
Aku tahu setelah ini akan ada hidup
yang rumit. Namaku diatas semuanya. Apa yang mereka bilang, apa yang mereka
lakukan, aku setuju. Mereka tidak akan melakukan pembunuhan terhadapku tapi
mereka bisa menekan batinku. Pemikiranku mereka ikuti, pemikiran mereka ku
setujui, dan tindakan mereka atas persetujuanku.
“Kamu sanggup?” Tanya Gerin.
“Aku pintar, kau tahu itu bukan?”
Aku tertawa, rasanya aku sedikit sombong tapi itulah fakta yang aku sembunyikan
dari banyak orang.
“Tapi tidak ada waktu istirahat
untukmu walau satu detik. Hidupmu akan penuh dengan pemikiran-pemikiran tiu,
percobaan-percobaan itu, dan tindakan-tindakan itu.”
“Kamu bisa, mengapa aku tidak? Aku
tidak akan mati karena apapun kecuali aku yang menginginkannya.”
Gerin mengajakku ke sebuah ruangan.
Tempat itu penuh dengan tabung-tabung yang membeku. Tempat apa ini? Rasanya aku
untuk pertama kali disini.
“Mereka, tabung-tabung ini akan
tumbuh dan hidup seperti kita.” Jelasnya. Aku mengerti akan hal itu. “Kau tahu
pria tua yang beberapa waktu lalu membawamu?”
“Maksudmu pria tua yang menculikku,
maaf merebutku dari mereka itu? Dengan cara halus yang licik itu?”
“Ya. Dia membuhuh beberapa
professor-professor tua itu dan setelahnya dia membunuh dirinya sendiri. Dia
manusia biasa dan dengan mudahnya dia bisa mati.” Aku menarik nafas panjang
lalu ku-pandnagi tabung-tabung itu. “Dia kecewa tidak mendapatkanmu.” Jelasnya,
aku tertawa kecil.
“Hidupnya sia-sia, dia tidak
mendapatkanmu dan juga tidak mendapatkanku. Kamu tahu, hanya kamu dan aku yang
masih bisa bernafas dari percobaan itu.”
“Kamu benar.” Dia memelukku dan
mengajakku keluar dari ruangan penuh tabung itu.
Kami pergi jauh dari rumah sakit
khusus itu kembali pada bangunan dimana kami dibesarkan.
“Jika pria tua itu memilih hidup,
dia akan mati dimakan usia.”
“Akan lama baginya menunggu
percobaan berikutnya berkembang. Itupun belum tentu berhasil.”
“Dia akan mati sebelum itu.” Kata
Gerin lalu kami saling memandang dan tertawa kecil seolah ini hanya permainan
anak-anak.
Oleh: aula nurul (26 april 2011, hari selasa pukul
21 .47 diketik tapi selesainya pukul 14.00)