Kadang semakin kita menganggap hidup
itu sulit maka hidup akan makin sulit. Dan, terus menerus akan sulit. Namun,
jika hidup kita anggap mudah maka kita nggak akan pernah mendapatkan tantangan.
Entahlah, bagiku, hidup itu membingungkan jika terlalu jadi pemikiranku. Yang
aku tahu, kini aku menjalani hidup dengan damai. Damai sekali. Begitu
menyenangkan tanpa beban. Dan kuharap, nggak akan pernah ada beban di hidupku.
BAB 1 – Useobwa (Senyum)
Angka-angka diskon itu membuat
jantungku berdebar-debar. Aku langsung meluncur ke lantai dua mol ini tempat
diskon berlangsung. Namun, aku langsung lemas setelah melihat barang yang di
diskonkan adalah barang-barang lama.
Aku turun ke lantai satu dan langsung
ke tempat parkir. Pulang.
“Violet, ada apa dengan wajahmu?”
tanya Mama, aku diam, “apakah kamu dari mol lagi?” aku mengangguk, “bagaimana
kamu ini, kamu berbisnis online shop
tapi masih saja berbelanja di mol,”
“Beda Ma, kaki aku kan nggak bisa
diem,” kataku menunduk, “tapi tadi ngebetein banget di mol. Huh, udah lah nanti
malem aku mau ngilagin betenya ke restoran Jepang aja,”
Mama tersenyum lalu mengusap
kepalaku, “baiklah, Mama tidak bisa melarangmu,”
Aku ke kamar. Mencari pakaian paling oke untuk kukenakan nanti malam. Kemarin
aku sudah membuat janji dengan Tasya untuk makan malam nanti. Kebetulan Tasya
dan aku sama-sama nggak punya pacar jadi nggak akan ada yang mengganggu makan
malam kami.
‘Violet, aku diminta Ibuku untuk menanyakan kabarmu’ sebuah pesan meluncur pada layar handphoneku.
‘Baik, katakan pada Ibumu aku baik-baik saja dan terimakasih sudah
bertanya’
‘Baiklah, ini hanya sekedar formalitas’
‘Dan aku menbalasnya pun hanya sebagai formalitas’
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh
malam. Terdengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah. Aku mengintip lewat
jendela. Tasya sudah datang. Ia menungguku dan pakaiannya benar-benar terlihat
anggun.
“Pakaian kamu membuatku iri, kamu
tahu itu,” aku mencubit Tasya, dia tertawa, “apakah kamu membelinya di butik
langgananmu?”
“Nggak, ini hadiah. Cantik bukan?” ia
memamerkannya, “aku tahu kamu iri kan? Besok kita akan mendatangi perancangnya,
kamu bisa memiliki yang sama,”
“Hei, aku nggak suka ada orang yang
memiliki gaun sama sepertiku. Nggak suka sama sekali,”
Setelah berpamitan pada Mama, kami
meluncur ke salah satu restoran Jepang yang cukup mewah. Sebenarnya, Papa
sering mengingatkanku agar nggak terlalu boros saat menggunakan uang tapi, ini
adalah kebutuhanku dan Papa masih bisa menyanggupinya jadi aku nggak boleh
menyia-nyiakannya sama sekali.
“Kamu tahu harga dua porsi makanan
yang akan kita makan nanti?” Tasya tersenyum, “dua porsi makanan itu jika
diuangkan bisa untuk membeli sebuah tablet, apakah nggak terlalu sayang?”
“Aku nggak boleh menyia-nyiakan uang
yang diberikan Papaku. Bukankah kamu juga seperti itu?” Tasya mengangguk,
“lagipula aku penasaran dengan masakan di tempat baru itu. Kudengar,
bahan-bahannya langsung dari Jepang,”
“Baiklah-baiklah, setelah makan,
apakah sebaiknya kita minum sedikit?” kemudian kami tertawa bersama. Tasya
melajukan mobil dengan kecepatan yang sedikit gila.
Sejak kecil, aku memang tumbuh besar
bersama Tasya. Ia sahabatku. Ia sudah seperti saudaraku.
Aku dan Tasya, kami memiliki banyak
kesamaan. Kami sama-sama suka shopping,
sama-sama menyukai barang bermerek mewah, sama-sama menyukai makanan yang nggak
pernah kami makan, sama-sama nggak suka terlibat dalam urusan cinta yang
terlalu serius, dan masih banyak lagi kesamaan kami.
Namun, kedua orang tua Tasya berbeda
dengan kedua orang tuaku. Mama dan Papa nggak pernah membatasi apa yang kubeli
sedangkan Tasya sudah di batasi semenjak ia kuliah. Sebenarnya aku kasihan
dengannya tapi Tasya juga sudah mulai terbiasa dengan pembatasan itu jadi aku
hanya bisa memberikan senyum untuk sahabat tercintaku.
“Wow, makanan ini keren rasanya,”
ucap Tasya lirih, “nggak rugi kita kesini,”
“Biasa aja tuh, kalo keren itu di
mulut meledak kayak BOM Bali baru keren,” suaraku pun lirih. Kami sama-sama
tertawa kecil.
Aku sangat senang menjalani hidupku
yang seperti ini. Tanpa di buat pusing oleh siapapun. Benar-benar menyenangkan.
Kalaupun aku punya pacar, aku nggak pernah benar-benar serius dalam berpaaran
sampai ada rasa cinta karena itu merugikanku. Dan selama ini, aku nggak pernah
jatuh cinta dengan pemuda mana pun.
Kalau Tasya, ia sama denganku,
jomblo. Namun, ia sudah jatuh cinta pada seorang pemuda yang membuatnya pernah
terjatuh. Bisa-bisanya pemuda itu membuat cinta Tasya bertepuk sebelah tangan
padahal, menurutku Tasya begitu cantik apalagi di tambah profesi Tasya yang seorang
model remaja. Kurasa pemuda itu benar-benar buta.
“Sya, kamu nggak nyari pacar lagi?”
Tasya diam mendengar pertanyaanku, “Sya,”
“Cari pacar mah gampang ngedip mata
juga dapet tapi aku kan maunya sama Azka. Gimana geh,” keluhnya, “nah kamu,
kenapa nggak nerima Rio waktu nembak kamu?”
“Lagi males di ganggu aja. Lagi
pengen sendirian tanpa ada yang ganggu. Lagian enakan juga jomblo begini,”
“Atau takut hukum Tuhan yaa kalo
pacaran hayo.... takut karma gitu secara.... ah sudahlah,” ia nggak melanjutkan
ucapannya walaupun aku mengerti apa yang ada di otaknya.
**
Kampus nggak terlalu ramai siang ini.
Anak-anak benar-benar tenang tanpa ada keributan atau gosip-gosip baru.
Benar-benar suasana yang tenang.
Aku duduk di kantin sambil meminum
sekaleng soft drink. Dari kejauhan,
aku melihat beberapa mahasiswa sedang menggoda Tasya dengan manisnya. Mereka
benar-benar terpesona akan kecantikan Tasya yang luar biasa.
“Violet, boleh kami berdua duduk
disini?” tanya dua orang pemuda. Aku nggak tahu siapa nama mereka tapi aku tahu
mereka berdua mahasiswa disini, “sekalian kita ngobrol-ngobrol dan mungkin bisa
lebih deket lagi,”
“Sorry¸
rasanya aku lebih tenang jika duduk disini sendiri,”
Aku nggak terlalu suka jika ada
mahasiswa di kampus ini yang mendekatiku. Bukan karena aku pilih-pilih teman
tapi karena aku nggak suka dengan niat mereka. Walaupun mereka cukup tampan
tapi, aku nggak ada niatan untuk dekat dengan seorang cowok sekarang ini. Jika
suatu hari nanti aku ingin pacaran, aku pasti akan memberi kode tapi, saat ini
sendiri terasa lebih tenang. Nggak ada orang yang harus pura-pura kuperhatikan
kesehatannya dan pura-pura perhatian akan kegitannya. Aku nggak suka pacaran
dalam kepura-puraan walaupun sebelumnya aku selalu pacaran dalam kepura-puraan.
Bagaimanapun, aku nggak pernah benar-benar jatuh cinta pada seorang pemuda.
“Violet-Violet-Vio!” Tasya
mengomel-ngomel nggak jelas di depan mataku, “Vio dengerin aku nggak sih kamu
ini!”
“Dengerin loh, kenapa? Ada cowok yang
gangguin kamu? Biarin aja kali kan mereka fans
kamu,”
“Ya kamu mah enak Vio bisa nolak
dengan halus tapi tegas nah aku, Cuma bisa senyum karena nggak enak kalo nolak
mereka deketin aku,”
“Salah siapa coba?”
“Ya salah Azka lah habis nggak
nembak-nembak aku padahal kan....”
“Oke stop Tasya stop please,”
Tasya
diam kemudian ia mengaduk-aduk handphonenya.
Di putar-putar. Di lihat lagi. Kemudian, di putar-putar lagi seperti nggak ada
kerjaan. Aku tertawa melihat tingkahnya yang seperti itu. Hanya karena cinta
Tasya bisa seperti ini? Kalau aku, aku akan seperti ini jika nggak mendapatkan
barang yang kuinginkan.
Kata
Mama, seharusnya aku mulai belajar mencintai lawan jenis. Kata Mama juga, aku
harus belajar perlahan mengenai takdir yang sudah terjadi. Dan ketika Mama
mengingatkan itu, kadang kepalaku sedikit sakit mengingatnya. Mengingat sebuah
kejadian yang selama ini selalu kuanggap nggak pernah terjadi. Dan, tentu saja,
selalu kuanggap, diriku adalah hidupku tanpa orang lain yang bisa memasuki.
“Oh
ya Vio, kemaren Mama aku bilang ada pembukaan butik baru punya temen Mama aku, besok siang, aku diminta gantiin Mama aku buat
dateng kesana, mau ikut nggak?”
“Butik?
Tentu, nggak nolak sama sekali, kalo baru buka ada diskonnya kan?”
“Sip
kita belanja lagi, oke?” kami kembali tertawa dan wajah buteknya Tasya
menghilang-pudar perlahan. Kurasa cintanya di kalahkan oleh shopping.
**
Kak
Gilang pulang dari dari Singapura dalam rangka urusan bisnisnya. Mama dan Papa
menyambut kepulangan Kak Gilang sore ini.
“Violet
cantik,” kata Kak Gilang yang melihatku berdiri mematung. Aku bukan nggak suka
Kak Gilang pulang ke rumah hanya saja ekspresi Mama dan Papa terlalu berlebihan
untuk kepulangannya. Membuatku iri, “kakak punya oleh-oleh buat kamu,”
“Apa
dulu oleh-olehnya?” tanyaku, kemudian kak Gilang mengeluarkan kotak yang berisi
sepatu cantik yang kuidam-idamkan selama ini, “oke deh aku maafin tapi lain
kali kalo pulang dari luar negeri nggak usah lebay lagi,” aku memeluknya dengan
senyum.
“Hah
kamu ini, udah 19 tahun juga masih kekanak-kanakan. Inget kamu itu udah.... sorry keceplosan,” kak Gilang tersenyum
kecil, “ada titipan juga dari keluarganyanya Erza buat kamu,”
“Kakak,
nggak deh,” aku ngambek dan langsung ngeloyor ke kamar. Mama dan Papa hanya
diam melihat tingkahku yang selalu nggak suka hal ini diungkit-ungkit selama
aku masih menikmati masa remajaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar