Wanita itu bukan mahluk yang
menyebalkan, bukan mahluk yang selalu mengganggu, dan bukan mahluk yang di
anggap berisik. Wanita itu adalah wanita, sudah takdirnya jika wanita seperti
itu. Kalau tidak menyebalkan, itu bukan wanita. Kalau tidak berisik itu bukan
wanita. Bisa-bisa dunia ini sepi tanpa adanya wanita.
Nggak tau kenapa, di sekolah ini ada
salah satu cowok sinting yang menganggap wanita itu mahluk yang menyebalkan.
Aku pernah mendengarnya dari beberapa teman. Kurasa dia seorang gay atau dia nggak pernah di lahirkan
seorang wanita, tiba-tiba muncul saja di bumi
Tiba-tiba di kelasku masuk seorang
siswi yang kurang kusukai, namanya Nanda, “hei,” sapanya pada beberapa teman.
Tampangnya sok manis dan sok cantik, di tambah sok ramah padahal di kelas ini
hampir 90 persen membencinya. Jelas saja, dia menyebalkan dan sombong tapi,
sudahlah, lebih baik Aku men-deletenya
dari kisah ini.
“Boom boom tak!” seseorang menjitak
kepalaku, cukup sakit, “ada gue tuh di mata lo,” tambahnya. Dia Joshua, temanbaikku sekaligus sahabat baikku. Joshua dan Aku sudah berteman sejak kami SMP
dan di lajutkan lagi sampai SMA ini. Dia dan Aku seperti nggak terpisahkan.
“Josh Josh, lo tau nggak, kemaren kan
gue ketemu si cowok aneh itu, eh dia sinis gitu ke gue. Hidih,” kataku, Joshua
tidak merespon, “Josh!”
“Ada yang mau gue bilangin sama lo,”
kata Joshua lirih lalu dia mengeluarkan handphonenya,
“mantan lo kemaren kecelakaan,”
Mantanku kecelakaan? Waw, kejutan
sekali. Mungkin itu hukuman untuknya karena telah selingkuh. Memang Aku sama
sekali nggak cinta sama dia tapi, tetap saja memalukan jika di selingkuhi
apalagi berita itu menyebar ke seantero sekolah. Di taruh mana mukaku?
“Tapi, kasian juga sih,” kataku, “eh
tapi, sudahlah, pacarnya kan sudah menunggunya di sisinya dan mudah-mudahan aja
mereka langgeng selanggeng-langgengnya.”
“Yaudah santai-santai, senyum yang
manis geh,” Joshua menyubit pipiku, “natal nanti masa iya lo nggak punya
pacar?” Josh memandang, “apa mau pacaran sama gue?”
Ketika jam seni, kelasku di tugasi
untuk menuliskan benda apa saja yang ada di ruang seni sekolah. Yang jelas, ada
banyak alat musi tapi, mana kutahu nama alat musik itu apa. Kalau gitar jelas
Aku tahu tapi kalau yang tradisional-tradisional, Aku nggak tau sama sekali.
Aku kan bukan pecinta seni, Aku pecinta buku. Eh salah, ngawur sekali. Aku suka
seni tapi, jika dalam posisi itu Aku di jadikan objek.
Satu-dua-tiga dan beberapa benda
kuamati tapi, Aku benar-benar bingung nggak ngerti, nggak conect untuk membuat
coretan di buku. Bukan karena Aku bodoh tapi, karena otakku sedikit konslet.
Yap, rasanya begitulah.
“Kay, liat geh Mario tuh,” kata
Cristin sambil menunjuk ke Mario. Yap, itu Mario, si cowok aneh yang mengatakan
kalau wanita itu aneh. Menurutku malah dia yang aneh. Jangan-jangan benar kalau
dia gay, “sayang ya padahal
cakep-cakep tapi ya kok nggak suka sama cewek, haduh. Gue aja mau jadi pacarnya
tapi, ckck,”
“Habis dia nggak deket sama cewek
jenis apapun.”
Entah jin apa yang merasuki otakku,
Aku melangkah berjalan mendekati Mario. Aku penasaran saja sama anak kelas
tetangga yang sendirian memperhatikan barang-barang seni di sini.
“Eh Mario, ngapain disini?” tanyaku,
dia cuek, “yah... kok gue di cuekin, nyedih banget sih, ckck”
Mario masih diam dan tidak bicara. Rasanya
benar kalau ini manusia sangat anti dengan wanita. Lihat saja, jelas-jelas ada
siswi cantik yang mencoba mengajaknya berbincang tapi dia tidak merespon. Awas
saja kalau dia tiba-tiba menyukaiku lalu memohon-mohon cintaku, akan kubuat
sengsara.
“Hm... lo suka seni ya, aduh, gue
malah suka belanja,” kataku ngawur, dia masih cuek. Sumpah, Aku merasa
tertantang untuk membuatnya berbicara, “Mario-Mario, kok lo hebat banget sih
jadi kapten futsal sekolah ini.”
“Kay,” Mario bicara padaku dan dup,
entahlah kok Aku jadi salah tingkah dia bicara padaku, “apa lo nggak bisa
sesekali hening?” hah? Sesekali hening? Memang kapan Aku cerewet di hadapannya,
rasanya nggak pernah, “udah selesai Kay tugas lo?”
“Udah kok,” kataku bohong, “oh iya,
pita suara lo mahal ya kok jarang ngomong sama cewek?” tanyaku, dia tersenyum,
“eh akhirnya Mario senyum padahal gue kira senyum lo lebih mahal lagi,”
Suara riuh gaduh mulai terdengar.
Anak-anak kelasku mulai iseng memainkan alat musik satu per satu lalu mencoba
beberapa pakaian adat satu per satu, benar-benar sinting. Lalu di sini, Aku
masih berdiri bersama Mario sambil memperhatikan sebuah kain yang bernama Tapis
asal daerah Lampung.
Kata orang-orang sih, kain ini
melambangkan sesuatu tapi, kataku kain ini melambangkan kesabaran. Jelas saja,
dari bentuk, cara pembuatan, dan pemakaianya pun pasti harus dengan kesabaran.